Chapter 4
RENARD menyaksikan pupil mata Siahna melebar seketika, mengindikasikan bahwa perempuan itu terlalu kaget karena kata-katanya. Mereka masih berdiri di dapur, berhadapan. Saat ini, Riris sedang menata meja dan sibuk memindahkan semua masakan yang diolahnya bersama Siahna ke ruang makan. Hingga Renard dan iparnya memiliki privasi meski mungkin cuma dalam hitungan menit.
"Kamu kira nggak ada yang tau rahasia Kevin?" Renard menaikkan sepasang alisnya. Setelah tampak ragu selama beberapa detik dengan wajah lesi, Siahna akhirnya mengangguk.
"Kevin bilang, dia bisa menyimpan rahasianya dengan baik."
"Yang lain mungkin nggak tau. Tapi aku... katakanlah punya gaydar yang lumayan tajam." Renard tersenyum lemah. "Aku selalu punya kecurigaan sejak Kevin SMA. Tapi baru benar-benar yakin sekitar tiga tahun terakhir. Aku juga pernah ngeliat dia lagi jalan sama bosnya. Perancang terkenal itu."
Siahna akhirnya bersuara meski begitu lirih hingga nyaris tak terdengar. "Razi juga bosku."
Ini fakta yang sama sekali tidak diketahui Renard. Mungkin karena selama ini dia tak memedulikan berbagai cerita tentang Kevin-Siahna yang dikisahkan Petty. Alasannya, Renard sendiri pun sedang menghadapi badai yang memusingkan dan membutuhkan konsentrasi utuh.
"Kamu kerja di bagian apa? Kalau Kevin kan ngurusin bagian humasnya."
"Aku jadi personal shopper di salah satu butik Razi."
Itu pekerjaan yang sangat asing bagi Renard. Seluk-beluk dunia audit dikuasainya dengan baik. Karena Renard adalah seorang auditor di sebuah jaringan hipermarket dengan ratusan cabang di seluruh Indonesia. Namun dia buta total jika menyangkut pekerjaan adik dan iparnya.
"Jadi, kamu dan Kevin ketemu karena satu kerjaan?"
"Nggak bisa dibilang satu kerjaan juga, sih. Karena bidang yang kami tangani memang beda banget. Selain itu, Kevin nggak berkantor di butik tempat aku kerja."
"Oh, gitu." Renard diingatkan pada topik awal perbincangan mereka. Di saat bersamaan, Gwen berdiri di ambang pintu dapur, meminta ayah dan tantenya untuk bergabung di meja makan. Renard pun memutuskan untuk mengabulkan keinginan putrinya. Ketika memasuki ruang makan, perawat Miriam sedang mendorong kursi roda perempuan itu.
"Kamu bikin kejutan karena muncul di sini bareng Gwen." Mata Miriam berbinar. Perawatnya menurunkan tuas pengaman agar kursi rodanya tidak bergerak. Sementara Gwen dengan lincah menarik kursi di sebelah kiri neneknya. "Na, duduk di sebelah kanan Mama, ya?" pinta Miriam.
Siahna menurut. Renard sendiri menempati kursi di depan ibunya. Meja makan sudah dipenuhi berbagai menu yang menguarkan aroma menggoda. Renard melihat Siahna mengisi piring ibunya dengan nasi secukupnya. Perempuan itu juga mengajukan pertanyaan tentang pilihan makanan yang diinginkan Miriam. Semua hidangan yang tersaji diupayakan aman untuk dikonsumsi oleh perempuan itu.
Siahna memberikan perhatian yang sama pada Gwen. Tadinya, Renard ingin meminta iparnya agar membiarkan Gwen mengambil makanannya sendiri. Karena selama ini Gwen yang baru berusia lima tahun itu cukup mampu mengurus diri sendiri. Namun akhirnya dia mengurungkan niat karena melihat antusiasme Gwen menunjuk berbagai menu yang diinginkannya.
Renard menikmati makan siangnya dengan berbagai pikiran saling membelit di kepala. Entah apa yang dipikirkan Kevin hingga tega membiarkan istrinya sendiri di rumah mertuanya dan mengurus hal lain yang dianggap lebih penting. Meski tampaknya Siahna cukup nyaman berada di rumah keluarga besar mereka, tetap saja Kevin memiliki kewajiban untuk menemani istrinya. Apalagi, baru sekitar 24 jam silam mereka menjadi suami istri.
Renard memang tidak lagi dekat dengan Kevin sejak dia mulai kuliah. Awalnya, kesibukan sebagai mahasiswa yang menjauhkannya dengan si bungsu. Setelah Renard menjadi sarjana dan mulai bekerja, mereka berdua sudah kian tenggelam dalam dunia masing-masing. Apalagi setelah Renard menikah dan disibukkan dengan kehadiran Gwen. Dia hanya bertemu sesekali dengan Kevin meski komunikasi via ponsel tidak terputus.
Sebenarnya, Renard masih penasaran apa yang membuat Siahna menikah dengan adiknya. Dia belum sempat mengajukan pertanyaan itu. Namun jika diizinkan untuk menebak, Kevin diyakininya memberi imbalan yang besar. Entah beruapa uang atau hal lain. Karena Renard susah mengerti alasan yang lebih sederhana hingga Siahna rela menikah dengan seorang gay.
Perempuan itu takkan kekurangan pria untuk dijadikan pasangan andai memang mau. Atau, mungkinkah Siahna seorang lesbian dan menikah untuk menyembunyikan orientasi seksualnya, sama seperti Kevin?
Kian lama, kepala Renard terasa makin berat karena memikirkan hal-hal semacam itu. Padahal, kedatangannya hari ini karena ingin membicarakan sesuatu yang cukup penting pada Miriam. Dia tidak ingin membuat ibunya kaget dan sedih. Akan tetapi, Renard tidak memiliki pilihan lain. Dia harus berterus terang untuk kondisi yang sedang dihadapinya meski tak berani meyakini bahwa Miriam akan senang dengan keputusannya.
Menjelang sore, Gwen -seperti biasa- minta izin untuk berenang. Anak itu tak pernah melewatkan kesempatan untuk berkecipak di kolam renang yang berada di halaman belakang tiap kali mengunjungi rumah neneknya. Sebelum sempat berkomentar, Gwen sudah menarik tangan Siahna yang tampaknya dijadikan sebagai pendukung gadis cilik itu.
"Aku berenangnya sama Tante Nana, Pa. Jadi Papa nggak usah ikutan nyebur," ucap Gwen dengan artikulasi jelas.
Renard terperangah. Gadis kecilnya memang tipikal anak yang supel. Gwen sangat mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya tanpa pandang bulu. Kini, hanya dalam hitungan jam, dia sudah menghadiahi Siahna nama panggilan khusus.
"Nggak apa-apa, aku bisa jagain Gwen, kok. Kalau kamu nggak keberatan, sih," kata Siahna hati-hati. Perempuan itu menatap Gwen yang sedang mendongak ke arahnya sembari mengelus pipi kiri anak itu dengan lembut. Siahna bahkan tertawa kecil melihat Gwen mengerutkan hidungnya dengan jenaka.
"Justru takutnya kamu yang kenapa-napa karena malah dibikin repot sama Gwen," balas Renard tak enak hati.
Siahna mengangkat wajah, memandang Renard dengan matanya yang sendu itu. Perempuan itu tersenyum tipis. "Aku selalu suka anak-anak. Nggak masalah kalau cuma nemenin berenang," tegasnya dengan nada santai.
Renard akhirnya mengangguk. Setelah Siahna dan Gwen berlalu, dengan gadis cilik itu melompat-lompat kegirangan, barulah Renard mengembuskan napas. Entah kenapa, dia menahan napas selama berdetik-detik. Lelaki itu sempat memandangi punggung keduanya yang sedang berjalan menjauh dari ruang keluarga.
Lelaki itu kembali duduk di sofa. Ibunya sudah kembali ke kamar usai makan. Sejak siang, Renard menghabiskan waktu dengan menonton televisi atau berselancar di dunia maya, sementara putrinya sibuk menarik Siahna ke sana dan kemari. Pria itu harus menunggu kesempatan untuk bicara dengan Miriam.
Untung saja tak lama kemudian Miriam keluar dari kamarnya. Saat Renard menoleh ke belakang, dia melihat ibunya sedang meminta perawat untuk menghentikan kursi rodanya.
"Re, Mama pengin duduk di teras belakang, deh. Tapi penginnya jalan aja, nggak naik kursi roda melulu. Bisa kamu bantu?"
Renard buru-buru melompat dari sofa, mendekat ke arah Miriam dengan langkah-langkah panjang. "Untuk Mama, apa sih yang nggak bisa?" guraunya.
Miriam tertawa kecil. Tiap kali melihat ibunya yang sudah kehilangan banyak kekuatan fisik, hati Renard seolah ditinju hingga tak berbentuk. Miriam adalah perempuan yang paling dicintainya di dunia ini selain Gwen, tentunya. Renard memapah ibunya dan dengan sabar menunggu Miriam mulai melangkah.
Perjalanan ke teras belakang yang bisa ditempuh dalam waktu kurang dari satu menit, molor berkali lipat. Suara tawa melengking Gwen ditingkahi kecipak air terdengar sebelum Renard dan Miriam mencapai pintu menuju teras belakang.
"Mama tau, Gwen pasti berenang. Tadi kedengeran pas dia minta izin sama kamu. Makanya Mama minta keluar dan duduk di sini karena pengin liat cucu Mama."
Renard mengambil tempat di kursi yang berada di sebelah kiri Miriam setelah memastikan ibunya merasa nyaman. Tatapannya tertuju ke kolam renang, melihat Gwen sedang memeluk leher Siahna.
"Kemarin katanya Gwen panas. Nggak masalah kalau dia udah mulai berenang?" tanya Miriam. Sontak, Renard teringat alasan yang diajukannya kemarin.
"Maaf, Ma. Kemarin aku bohong. Gwen nggak panas, tapi rasanya alasan itu yang paling masuk akal tanpa bikin yang lain curiga dan mulai nanya-nanya," aku Renard dengan nada sesal.
"Mama udah nebak," respons Miriam dengan tawa kecil. "Untuk acara sepenting kemarin, nggak mungkin kamu ninggalin Gwen cuma karena dia panas. Kalau soal Bella, Mama no comment, ya."
Renard terbatuk saking gugupnya. Akan tetapi dia tahu tak ada gunanya menunda lagi. "Ada yang mau kuomongin sama Mama. Tadinya kukira hari ini nggak bakalan ada siapa-siapa. Ternyata Siahna masih di sini."
"Kayaknya Mama udah bilang kalau Kevin sama Siahna bakalan nginep di sini, deh."
Renard tidak yakin itu. Karena dia sama sekali tidak mengingat ada yang membahas tentang masalah tersebut. Atau, bisa jadi karena konsentrasinya yang kacau membuat Renard tak mampu mengolah informasi sederhana dengan baik.
"Jadi, apa yang mau diomongin, Re? Pasti masalah Bella, kan?" tebak Miriam terang-terangan. Renard mengangguk lemah.
"Mungkin Mama kaget dan nggak bakalan suka sama apa yang mau kubilang. Tapi, aku udah nggak bisa lagi terus-terusan bertahan dan..."
"Tolong ya Nak, langsung aja ke pokok permasalahan. Nggak usah muter-muter mirip gasing. Darah tinggi Mama bisa melonjak kalau kayak gini," tukas Miriam, diiringi tawa kecil.
"Nggg... tiga hari yang lalu, kami resmi bercerai, Ma."
Keheningan terasa memekakkan telinga Renard. Dia menunggu reaksi ibunya selama berdetik-detik. Lelaki itu tidak berani menoleh ke kanan untuk melihat langsung ekspresi yang terpentang di wajah Miriam.
"Kenapa kamu nggak pernah ngomong?" Miriam akhirnya membuka mulut. Renard lega karena tidak memindai kemarahan pada suara ibunya.
"Karena aku nggak mau nyusahin Mama. Penginnya, ngasih tau pas semuanya udah kelar. Karena prosesnya lumayan berliku dan menyita waktu sampai berbulan-bulan. Nggak mudah untuk dilewati, Ma."
Setelah menggenapi kata-katanya, barulah Renard berani menatap ibunya. Mungkin ini bukan tempat ideal untuk membicarakan masalah penting dalam hidupnya. Namun Renard sudah tak bisa terus menunda. Ibunya harus tahu apa yang diputuskan oleh putranya.
"Mama nggak akan nyalahin kamu, Re. Kamu yang menjalani semuanya. Kalau memang udah nggak bisa bertahan, nggak ada yang bisa maksa." Miriam mengelus lengan kanan putranya. "Mama nggak suka perceraian. Nggak pengin kalian ada yang ngalamin." Miriam terdiam sejenak untuk mengatur napas. "Tapi Mama juga tau gimana Bella. Dia bukan orang yang mudah untuk dihadapi."
Renard balas mengelus tangan ibunya, menggenggam jari-jarinya dengan perasaan bersalah yang sulit untuk didepak pergi. "Kemarin itu Bella nggak ngasih izin untuk bawa Gwen ke sini. Kami sempat berdebat lama, sampai aku datang telat."
"Mama bisa bayangin situasinya." Miriam membuang napas. Perempuan itu mengalihkan tatapan ke depan, ke arah cucu dan menantunya yang masih beraktivitas di kolam renang. Renard mengikuti arah pandangan ibunya. Gwen sedang duduk di tepi kolam sementara Siahna berjarak satu meter darinya. Gwen menyiramkan air ke arah tantenya tanpa henti sambil berteriak kegirangan.
"Dua bulanan ini aku tinggal di tempat kos-kosan yang nggak jauh dari kantor. Kalau Mama kasih izin, minggu-minggu ini aku mau pindah sini. Sekalian nemenin Mama. Boleh, Ma"
"Boleh banget lah, Re. Harusnya, sejak dua bulan lalu kamu udah pindah ke sini." Miriam memberi isyarat dengan dagunya. "Gwen gimana?"
"Bella yang dapat hak asuh, Ma. Aku nggak masalah karena dia memang ibu yang baik. Lagian, kalau aku ngotot minta hak asuh, mungkin proses cerainya jadi makin alot. Tapi akhir pekan Gwen bakalan tinggal sama aku." Renard bangkit dari kursinya, berjongkok di depan Miriam. Dia memegang kedua tangan ibunya. "Maaf ya Ma, aku udah gagal," ucapnya sungguh-sungguh.
Lagu : Photograph (Ed Sheeran)
Catatan :
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top