Chapter 33
Ashton mungkin mengira bahwa permintaan Siahna agar jangan pernah lagi muncul di hadapannya, hanyalah sesuatu yang tak perlu dipandang serius. Hingga lelaki itu nekat kembali mendatangi Puspadanta. Dihajar lumayan parah oleh Renard ternyata tak sepenuhnya mampu menyadarkan Ashton bahwa kehadirannya tidak diinginkan.
"Kamu mikirnya kejauhan kalau ngira aku bakalan terima tawaranmu. Aku nggak berniat nuntut tanggung jawab apa pun dari kamu. Bahkan meski bukan kamu yang bikin aku celaka. Apalagi sekarang, setelah tau apa yang terjadi." Siahna menggeleng pelan, seolah dengan begitu dia bisa menjernihkan kepalanya.
"Waktu itu, aku masih remaja, Na. Yang labil dan nggak punya pegangan. Oke, aku nggak bakalan nyalahin kondisiku dulu, atau keluarga yang berantakan. Aku yang..."
"Kamu mungkin menderita dan nggak bahagia. Tapi nggak semua orang yang hidupnya sulit bakalan ngelakuin apa yang udah kamu buat. Itu yang bedain kamu sama manusia lain." Siahna menyingkir dari ambang pintu. Dia tak peduli andai ada yang mendengar perbincangan mereka. "Jangan pernah lagi datang ke sini. Jam kerjaku udah kelar dan toko bakalan segera tutup. Aku nggak tertarik berhubungan sama kamu. Kalau kamu masih ganggu aku, mungkin kita harus ke polisi."
Ashton adalah makhluk bebal yang luar biasa. Bukannya memahami makna penolakan dan kata-kata Siahna, lelaki itu masih terus berusaha membujuk Siahna. Dia bahkan berdiri dari tempat duduknya dan berjalan pelan ke arah perempuan itu.
"Aku khilaf, Na. Kayak yang tadi kubilang, aku remaja labil yang bodoh. Jujur, waktu pertama kali ngeliat kamu, aku langsung suka. Tapi ternyata kamu pacaran sama Verdi. Kami nggak mungkin rebutan cewek, kan? Kami udah temenan lama. Lagian, waktu itu aku masih sama Abel. Tapi, makin lama perasaan sukaku nggak bisa disembunyiin. Sampai Abel mulai curiga dan marah ke kamu. Ingat?"
Siahna mundur selangkah. Dia sempat memandang ke sekeliling, suasana toko sudah cukup sepi. Ada dua orang yang sedang memilih pakaian di pojok terjauh dari tempatnya berdiri. Dia mendengar samar-samar suara pintu terbuka tapi tidak bisa melihat siapa yang baru masuk karena terhalang beberapa maneken. Siahna mendadak merasa lega, nyaris yakin jika Renard yang baru tiba.
"Aku nggak peduli kamu suka atau nggak sama aku. Itu udah lewat, sama sekali nggak penting." Siahna mengepalkan kedua tangannya. "Satu hal yang aku tau, kalau kita suka sama seseorang, mustahil malah bikin dia celaka. Apalagi sengaja ngerekam waktu memerkosanya. Itu kerjaan orang sinting. Ini malah disebarin di internet dengan..." Siahna berhenti, mulai merasa mual. Meski hari ini ada kemajuan karena dia tidak ketakutan melihat Ashton. Bukan berarti Siahna nyaman berada di dekat lelaki itu.
"Bukan aku yang nyebarin, Na. Itu kerjaan Verdi. Dulu aku udah minta dia ngapus video itu setelah kamu ngilang. Aku juga baru tau kalau Verdi ngunggah semua video lama yang dia punya pas ketemu Abel kemarin itu."
Siahna mundur lagi, mulai yakin dia terserang sesak napas misterius. "Jangan ke sini lagi, Ashton. Apa pun yang kamu omongin, aku nggak tertarik. Lagian, aku udah mau nikah. Sumpah, kamu bikin aku muak. Siapa korban yang mau ngasih kesempatan sama pemerkosanya kayak yang kamu minta? Selain itu..."
"Siahna, kamu barusan bilang apa? Laki-laki ini yang ada di video itu?"
Jantung Siahna nyaris rontok mendengar suara menggelegar milik seseorang yang tak pernah diduganya. Bukan Renard, melainkan Cedric. Sebelum Siahna sempat membuka mulut, Cedric sudah maju dan mencengkeram kerah kemeja Ashton. Lelaki itu tidak memukul Ashton seperti yang dilakukan Renard. Melainkan membisikkan sesuatu yang membuat wajah si pemerkosa memucat dengan brutal.
"Jadi, sekali ini kamu masih diampuni. Tapi kalau kamu berani datang untuk ketemu Siahna, apa yang kubilang tadi bakalan kejadian. Kalau nggak percaya dan kamu kira aku cuma ngancem, bisa dibuktiin." Suara Cedric terdengar dingin dan menakutkan ketika dia mendorong Ashton ke arah pintu.
Beberapa detik kemudian, hanya ada Siahna dan Cedric yang berdiri berhadapan. Perempuan itu tidak tahu apakah suara kencang kliennya didengar oleh rekan-rekan atau calon pembeli yang datang ke Puspadanta. Dia tak peduli.
"Kamu beneran tau soal video itu?" Siahna nyaris kehabisan napas saat mengucapkan kalimatnya. Sesaat kemudian, dia teringat tentang informasi lama bahwa Cedric terlibat dengan para mafia yang tak terjangkau hukum.
"Aku tau semuanya tentang kamu, Na," balas Cedric. Wajahnya tampak sedih. "Kamu pasti nggak suka dengernya. Tapi, aku memang berusaha nyari tau segalanya tentang kamu. Mungkin aku terobsesi atau semacamnya, entahlah." Lelaki itu mengangkat bahu. "Aku kan tadi udah bilang, kamu bikin efek yang nggak pernah kurasa ke perempuan lain. Nggak tau kenapa." Jeda sesaat. "Soal video, aku baru tau. Detailnya gimana, mending kamu nggak usah tanya."
Siahna menghela napas. "Udah kayak cerita-cerita detektif aja. Kamu mata-matain aku dengan sengaja. Bayar detektif atau apa?" tanyanya tak yakin.
Cedric hanya menggeleng. "Aku sering ngelakuin hal semacam itu sebelum kerja sama dengan klien tertentu. Karena nggak mau ada masalah nantinya. Jadi, terbiasa waspada dan hati-hati." Lelaki itu berdeham pelan. "Maaf, sekali lagi. Aku tau kamu nggak suka. Tapi, meski kamu sulit untuk percaya, aku nggak punya niat buruk. Aku cuma pengin tau tentang kamu. Dan karena nggak mungkin kamu mau cerita sama aku, jalan kayak gitu yang kupilih."
Apa yang harus diucapkan Siahna? Dia masih terlalu bingung. Hari ini, Cedric menunjukkan sisi lain dirinya yang tidak pernah diketahui perempuan itu.
"Jadi, kenapa kamu balik lagi? Apa mata-matamu ngasih tau kalau si orang jahatnya datang ke sini?"
"Nggak. Ponselku ketinggalan di sofa."
"Apa aku harus percaya?"
Cedric tak menjawab. Lelaki itu melangkah ke arah sofa yang tadi didudukinya, lalu meraih sebuah telepon genggam yang terselip di sana. "Nih, buktinya. Aku nggak bohong." Cedric tersenyum. Lelaki itu menawan, Siahna tak bisa membantah. Tinggi, berkulit kecokelatan, dengan berat proporsional, penampilan necis dan selalu wangi. Namun, Siahna tidak memiliki perasaan apa pun meski Cedric berjuang untuk memenangkan hatinya.
"Kamu jangan takut ya, Na. Laki-laki tadi nggak akan berani ketemu kamu lagi. Kalau dia masih nekat, tolong kontak aku. Biar aku yang beresin. Kalau kamu mau maju ke jalur hukum pun, ayo. Terserah kamu mau yang mana."
Siahna gagal bicara. Apa yang dilakukan dan diucapkan Cedric hari ini, membuatnya kehilangan kata-kata. Matanya mulai memanas.
"Kamu nggak perlu takut sama aku, Na. Meski aku pengin banget jadi laki-laki penting buatmu, aku bukan pemaksa. Aku nggak akan ngelakuin hal-hal jahat kayak orang tadi." Cedric memandangnya sungguh-sungguh. Mendadak Siahna merasa hatinya seakan diremas. "Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan untuk ngomong. Oke?"
Siahna tidak tahu apakah dicintai oleh lelaki seperti Cedric menjadi keuntungan atau bencana. Yang pasti, dia masih tak sanggup bicara hingga pria itu meninggalkan Puspadanta. Dia tak tahu dari mana Cedric mendapat semua informasi itu. Mungkinkah salah satu rekan sekerja Siahna adalah sumbernya? Sangat mungkin. Namun, Andin yang mengenal Cedric dengan baik pun tidak tahu banyak tentang kehidupan pribadi Siahna.
Renard menelepon dengan kabar mengejutkan bahwa Gwen dirawat karena tifus. Untuk sesaat, Siahna melupakan Bella dan berniat menjenguk ke rumah sakit. Untungnya Renard melarang, sehingga Siahna pun tersadarkan oleh situasi yang dihadapinya. Perempuan itu menghabiskan waktu di kamar indekosnya meski sebenarnya sangat ingin berbagi cerita dengan Renard tentang yang terjadi sejak sore. Akan tetapi, tentu saja Siahna tak bisa mengganggu Renard yang sedang kesusahan.
Hingga berhari-hari kemudian, Siahna tidak bisa bertemu Renard untuk sementara. Lelaki itu harus berkonsentrasi untuk mengurus Gwen. Renard bahkan meminta pembatalan penugasan ke Semarang. Mereka pun hanya berkomunikasi via telepon. Siahna ikut bahagia saat Gwen diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Namun dia tidak terlalu senang karena Renard harus menginap di rumah Bella.
Mengikuti akal sehat, itu adalah hal yang wajar dan tak perlu membuat Siahna cemburu. Karena Gwen sudah pasti tak ingin jauh-jauh dari ayahnya setelah dirawat beberapa hari. Namun, jika harus mengedepankan kata hati, tentu saja Siahna terganggu. Karena dia merasa cukup mengenal Bella yang seolah memiliki obsesi pada pasangannya.
Namun, membuang bayangan yang buruk dari kepala adalah hal yang mesti dilakukan Siahna. Dia harus percaya bahwa apa pun yang terjadi, Renard takkan mengkhianatinya. Akan tetapi, kecemasan itu terbukti saat Renard datang pagi-pagi untuk menemui kekasihnya. Lelaki itu berkali-kali mengacak rambutnya saat menunggu Siahna di ruang tamu untuk para penghuni tempat indekos itu. Dari jauh, melihat adegan itu saja sudah membuat Siahna tahu ada sesuatu yang tidak beres.
"Kenapa udah nongol jam segini? Terlalu kangen, ya?" canda Siahna. "Ini masih jam enam, dan aku baru aja kelar mandi. Eh, Gwen tau kamu ngilang pagi-pagi gini?"
Renard menarik tangan kiri kekasihnya, membuat Siahna duduk di sebelah lelaki itu. "Aku nggak bisa tidur dari tengah malam. Bella itu memang gila. Kukira dia udah mulai berubah, nggak taunya..."
"Kenapa?"
Dalam waktu satu menit, Renard menggambarkan bagaimana Bella masuk ke kamar yang ditempatinya dan nekat membuka kimono tidur di depan mantan suaminya. Kepala Siahna langsung pening. Maksud Bella sudah jelas, ingin menggoda Renard terang-terangan. Membangkitkan hasrat seorang lelaki dengan cara paling primitif.
"Jadi, kamu gimana? Lemah iman?" Siahna mencoba menanggapi dengan santai. "Trus sekarang mau bikin semacam pengakuan dosa?"
"Ya nggaklah. Kuusir dia dari kamar, tapi udahnya aku nggak bisa tidur walau pintu udah dikunci. Jadi takut aja tiba-tiba pas kebangun tau-tau udah ada Bella di sebelahku," Renard bergidik. "Pas udah pagi, buru-buru deh ke sini. Sengaja nggak mau nunda-nunda. Ngeri aja, siapa tau Bella bikin cerita sinetron sendiri dan kamu percaya. Trus, ujung-ujungnya salah paham dan bikin kita kacau. Sering kejadian kayak gitu, kan? Aku nggak mau kita ngalamin juga. Makanya aku sengaja datang pagi-pagi, nggak mau ngomong di telepon."
Pencegahan yang diupayakan Renard pantas mendapat komplimen, kan? Namun tetap saja tak mampu membuat Siahna merasa tenang. Dia mulai yakin, jalan penuh jebakan mematikan sedang menunggu mereka di masa depan.
"Aku nggak gampang salah sangka, kalau itu yang kamu takutin. Aku percaya kamu setia," kata Siahna. Renard masih menggenggam tangannya. "Kondisi Gwen gimana? Wajar kalau dia pengin kamu juga ada di rumah sekarang ini."
"Gwen udah mending. Karena dia yang minta makanya aku nginep. Tapi cukup sekali doang. Cuma, aku juga nggak tega bikin anak itu kecewa. Soal aku sama Bella, Gwen itu tergolong pengertian. Untuk anak sekecil itu, dia cuma pernah nanya sekali, kenapa mama dan papanya nggak lagi serumah. Aku jelasin dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti."
Siahna mengelus lengan Renard. Dia bisa membayangkan kekalutan yang sedang mendera Renard. Padahal tadinya dia ingin memberi tahu tentang Ashton dan Cedric. Namun, Siahna harus menahan diri. Dia adalah perempuan dewasa yang tahu caranya menentukan prioritas.
"Jadi, kamu nggak bakalan ngambek dan sejenisnya, kan? Kita baik-baik aja?"
Mendadak, Siahna lebih paham kecemasan Renard. Pria ini sudah bertahun-tahun terikat pada hubungan penuh gejolak kecemburuan dengan Bella. Jangan salahkan Renard jika dia mengira banyak perempuan yang akan bersikap tak masuk akal karena cemburu.
"Kita baik-baik aja. Nggak usah cemas. Aku ini cewek yang pengertian."
Renard memeluknya. "Aku tau."
Perbincangan itu membuat Siahna gelisah. Dia percaya, Renard bisa menjaga diri dengan baik. Namun jika Bella terus-menerus menggoda dengan aneka cara, tidak semua orang mampu bertahan. Apalagi, mereka memiliki Gwen dan pernah menikah lebih lima tahun.
Setelah berlalu sebulan, kecemasan Siahna mulai terkikis. Tidak ada lagi kejutan yang meninjunya. Ashton benar-benar tidak lagi muncul di Puspadanta. Cedric pernah membuat janji temu, tapi tidak menyinggung masalah pribadi personal shopper-nya. Renard pun tidak lagi memiliki pengalaman horor berkaitan dengan Bella.
"Aku jaga jarak banget, seolah dia itu penyakit menular. Aku juga nggak pernah mau lagi nginep. Yang rada susah itu ngasih pengertian ke Gwen. Tapi, akhirnya sih beres." Renard merentangkan kedua tangannya. "Aku milikmu seutuhnya, Sweetling."
Lalu, mereka menghabiskan waktu untuk bicara tentang rencana pernikahan. Semua berjalan mulus, jauh lebih lancar dibanding bayangan Siahna. Hingga dia mendapati Bella datang ke Puspadanta suatu pagi sambil mengajukan permohonan tanpa bertele-tele.
"Gwen pengin kami sama-sama lagi. Kemarin dia nggak mau tidur sebelum Renard datang ke rumah. Jadi, aku minta bantuanmu, Na. Tolong lepasin Renard."
Lagu : This I Promise You ('N SYNC)
Catatan :
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick - Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top