Chapter 32
Beberapa hari lagi Renard harus terbang ke Semarang untuk urusan pekerjaan. Karena itu dia ingin memanfaatkan waktu bersama Siahna. Meski sudah melamar perempuan itu, mereka masih tergolong jarang bertemu. Makanya setiap kali memiliki waktu luang, Renard buru-buru menjemput Siahna ke Puspadanta.
Hari itu pun dia berniat mendatangi tempat sang kekasih bekerja dengan penuh semangat, berniat mengajak Siahna makan malam. Dia sudah berjarak kurang dari satu kilometer dari Puspadanta saat Bella menelepon. Seperti biasa, dia mengabaikan panggilan itu. Sejak Bella menunjukkan video laknat itu, Renard tak pernah lagi mau bicara dengan mantannya.
Bella menelepon hingga tiga kali sebelum akhirnya layar ponsel Renard malah bertuliskan nama Petty. Begitu dia menjawab, kakaknya mencerocos panik hingga Renard pun terpaksa menepikan mobil. Dia meminta Petty tenang dan mengulangi kata-katanya. Tengkuk Renard terasa membeku saat mendengar bahwa Gwen dirawat di rumah sakit setelah demam tinggi selama tiga hari.
Tanpa pikir panjang, Renard berbalik arah dan langsung menuju rumah sakit. Dia menyetir seperti orang kesetanan. Meski begitu, Renard baru tiba di Java Medical Care setengah jam kemudian karena kemacetan terjadi di mana-mana. Begitu memarkir mobil, Renard buru-buru menelepon Bella, mencari tahu di mana mantan istri dan putrinya.
Ketika tiba di ruangan tempat Gwen dirawat, dadanya luar biasa sakit. Gwen yang nyaris tidak pernah ke dokter kecuali untuk urusan imunisasi, kini tergolek lemah dengan jarum infus menusuk tangan kirinya. Dengan langkah-langkah panjang Renard berjalan ke arah Gwen. Bella duduk di tepi ranjang sebelah kiri, mengelus-elus tangan putrinya yang diinfus.
"Pa..." suara Gwen terdengar lemah saat mengenali Renard. Lelaki itu duduk di seberang Bella, menggenggam tangan kanan Gwen yang bebas.
"Apanya yang sakit, Sayang?" tanya Renard dengan hati kelam lebam. Dia menunduk untuk mencium kening Gwen yang panas.
"Semuanya," sahut Gwen dengan suara lemah.
Tangan kanan Renard membelai rambut putrinya. Gwen yang selalu serupa boneka pegas karena tak pernah kehilangan energi, kini terbaring lemah dengan suhu tinggi. Jika bisa, dia sungguh ingin menggantikan putrinya, menanggung semua rasa sakit yang mendera Gwen.
"Udah makan, Nak?"
"Udah, makan bubur. Nggak enak." Gwen menguap.
Renard berjuang untuk tersenyum. "Yah, makanan rumah sakit memang nggak enak. Makanya kamu harus cepet sembuh biar bisa makan yang enak-enak."
"Tante Nana mana, Pa? Kenapa nggak diajak ke sini?"
Pertanyaan tak terduga itu membuat Renard nyaris mengerutkan glabelanya. Namun dia segera menjawab, "Tante Nana masih di toko. Sekarang mungkin udah mau pulang."
"Aku kangen sama Tante Nana. Besok diajak ke sini dong, Pa."
Tentu saja permintaan itu mustahil diwujudkan Renard. Jika dia nekat, kemungkinan besar akan terjadi perang dunia yang tak pernah diinginkan. Karena itu dia hanya menjawab, "Nanti kalau kamu udah sembuh, bisa ketemu Tante Nana lagi. Sekarang, istirahat dulu. Kamu harus banyak makan supaya sehat lagi. Trus, nurut sama dokter, Mama, dan Papa juga. Oke, Nak?"
"He-eh," balas Gwen, kembali menguap. "Tapi, aku tetap pengin ketemu Tante Nana," imbuhnya keras kepala.
Renard tersenyum geli. "Iya, iya. Sekarang, kamu bobo dulu, ya. Dari tadi udah nguap."
Lelaki itu mengusap-usap tangan putrinya dengan lembut hingga akhirnya mata Gwen mulai terpejam. Dia menahan berjuta pertanyaan yang nyaris meledak di kepala. Setelah yakin putrinya terlelap, Renard memberi isyarat pada Bella untuk keluar dari ruangan itu. Kedua mata Bella membengkak karena banyak menangis. Juga ada bayangan gelap di bawah matanya.
"Gwen kenapa?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Tifus."
"Hah? Tifus?" ulangnya.
"Iya. Jangan nanya 'kok bisa'. Karena aku pun nggak mau anakku sakit," sahut Bella, defensif. "Dia demam tinggi udah tiga hari. Dikasih obat penurun panas, nggak mempan. Tadi kubawa ke dokter anak yang biasa, tapi malah dirujuk ke sini. Kesimpulannya, Gwen kena tifus. Mungkin harus dirawat antara tiga sampai lima hari. Tergantung kondisinya."
Renard bersandar di dinding dengan lutut terasa lemas. Dia pernah menderita penyakit yang sama, tahu pasti seperti apa rasanya.
"Aku nelepon kamu dari kemarin tapi nggak diangkat," cetus Bella.
"Aku sengaja karena tingkahmu makin nggak terkontrol," kritik Renard. Ditatapnya Bella dengan serius. "Tiap kamu nelepon, malah berasa horor. Takut ada kejadian lain yang aneh-aneh. Kamu yang sekarang... makin... entahlah."
"Aku tau. Aku minta maaf," desah Bella mengejutkan.
Renard mengerjap, tidak mengira akan mendengar kalimat itu meluncur dari bibir mantan istrinya yang selama ini tak pernah mau mengalah. "Apa?"
"Iya, aku tau kamu nggak akan percaya kalau aku minta maaf." Bella tampak sungguh-sungguh. "Aku beneran nyesel, Re. Apalagi kamu sampai mukulin orang. Belum pernah aku ngeliat kamu semarah itu."
Renard bersiap membuka mulut, ingin menumpahkan rentetan kata-kata. Namun akhirnya dia memilih untuk menelan semua kegusarannya. Yang penting, hari ini terjadi peristiwa langka. Karena tampaknya Bella menyesali perbuatannya. Tidak ada kata terlambat untuk memberi maaf meski impak perbuatan Bella sungguh mengerikan.
"Dokter bilang, jangan terlalu cemas. Kalau semua stabil, bisa cepat pulih. Untungnya buru-buru dibawa ke dokter sebelum ada gejala lain yang lebih parah," kata Bella setelah menguraikan apa saja tindakan dokter hari ini untuk memeriksa Gwen.
Untuk urusan semacam ini, Bella yang tergolong dimanja oleh orangtuanya, cukup sigap mengurusi Gwen. Bahkan kadang cenderung agak pencemas. Ketika mereka masih menikah, jika badan Gwen agak hangat, Bella langsung panik. Buru-buru ingin membawa putrinya ke dokter. Untungnya Renard jauh lebih santai.
"Baguslah kalau gitu. Aku cemas karena Gwen kan jarang banget ke dokter." Renard mengecek arlojinya, sudah hampir pukul delapan. "Dokternya udah nggak ada, ya? Aku mau nanya-nanya soal Gwen."
"Udah pulang setelah periksa Gwen. Kalau mau ketemu, besok aja."
"Sebentar, aku mau nelepon dulu," pamit Renard seraya menjauh dari Bella. Dia menghubungi pacarnya, membahas tentang Gwen yang hari ini diopname karena tifus. Siahna kaget dan sempat ingin menyusul ke rumah sakit. Namun Renard buru-buru melarang sambil berjanji akan terus mengabari jika ada perkembangan baru. Dia tak mau ada ketegangan baru karena sudah pasti Siahna tidak bisa mengelak bertemu dengan Bella.
Setelah itu, Renard juga menghubungi Petty, memberi tahu kondisi putrinya. Kakaknya berjanji akan membesuk esok hari bersama Arleen. Renard juga mengontak atasannya, memberi tahu situasi yang dihadapinya. Meski belum ada keputusan apakah dia bisa membatalkan penugasan ke Semarang. Renard harus menunggu, tapi dia sudah memutuskan untuk mengambil cuti besok.
Lelaki itu kembali menuju ruang perawatan yang ditempati putrinya. Bella baru keluar dari kamar mandi ketika Renard masuk. "Kamu nginep di sini?" tanya perempuan itu.
"Iya. Tapi aku mau pulang sebentar, mau mandi dan ganti baju." Renard menatap mantan istrinya dengan perasaan tak nyaman yang harus dikendalikan. Dia tak punya pilihan, kecuali bermalam di ruang perawatan yang dihuni Gwen bersama Bella. "Kamu atau Gwen butuh sesuatu?"
"Nggak," geleng Bella. "Tadi sebelum ke sini, aku sempet pulang ke rumah dulu untuk ngambil baju ganti dan peralatan mandi."
"Kalau gitu, aku pulang dulu, ya? Kamu nggak apa-apa kutinggal sebentar, kan?"
Bukannya menjawab pertanyaan Renard, Bella malah berujar, "Gwen bilang, kamu sama Siahna mau nikah, ya? Kapan?"
Pertanyaan itu membuat Renard urung melangkah menuju pintu. Dia menatap Bella dengan serius. Tidak ada nada sinis atau suara tajam sama sekali yang tertangkap oleh telinganya. Ini cukup aneh, menurutnya.
"Hmm, iya. Secepatnya," balas Renard tak jelas. Bertahun-tahun mengenal Bella yang emosional dan pencemburu, rasanya janggal jika sekarang Renard malah berbagi cerita tentang rencana pernikahannya.
"Sekali lagi, aku minta maaf. Semoga semuanya lancar ya, Re."
Harapan yang diumumkan Bella itu membuat kekagetan Renard berlipat ganda. Keningnya berkerut. Namun kemudian dia hanya berkata, "Makasih."
Renard meninggalkan rumah sakit dan kembali lagi dua jam kemudian. Dia membelikan makanan untuk Bella. Ketika lelaki itu memasuki ruang rawat inap, mantan istrinya sedang duduk di kursi dengan kepala rebah di ranjang, tepat di sebelah kanan Gwen yang juga terlelap. Meski tak tega untuk membangunkan Bella, Renard tetap melakukannya karena yakin perempuan itu belum mengisi perut.
"Bel, kamu pasti belum makan. Iya, kan? Aku beliin mi goreng jawa. Makan dulu, ya?"
Bella membuka mata sebelum tersenyum lebar dengan mata tampak mengantuk. "Kamu beliin mi goreng jawa? Wah, kamu masih inget salah satu makanan favoritku."
Renard menegakkan tubuh dengan perasaan tak nyaman. "Kamu makan dulu."
Bella menurut. Renard menarik kursi lipat lainnya, menghadapkan ke arah Gwen. Tepat di saat itu, putri kesayangan Renard membuka matanya. "Pa, aku haus."
Renard buru-buru mengambil air mineral yang berada di meja tinggi yang letaknya bersebelahan dengan ranjang. Dengan menggunakan sedotan, Gwen mulai minum.
"Mama mana, Pa?" tanya Gwen lagi. Anak itu sudah kembali menelentang di ranjangnya. Wajahnya masih pucat, suhu tubuhnya pun belum berubah.
"Mama lagi makan," Renard menunjuk ke belakangnya. Bella melambai kepada Gwen.
"Tante Nana nggak datang?"
"Ini udah malam, Sayang. Tante Nana juga harus istirahat karena besok mau kerja," balas Renard dengan suara pelan. "Bobo lagi, ya? Biar cepat sembuh."
Renard mengelus-ngelus punggung Gwen setelah putrinya memiringkan tubuh. Di saat seperti ini Renard menyadari kesedihan yang sangat mungkin sedang menaungi Gwen, hanya saja anak itu belum menyadarinya. Kesedihan karena perceraian yang membuat keluarga mereka terpisah. Apalagi hubungan Renard dan Bella pun tidak bisa disebut baik-baik saja. Namun, Renard tidak menyesali keputusan yang diambilnya dengan hati bulat itu.
Malam itu, Renard tidak berani memejamkan mata. Dia sangat mencemaskan putrinya meski Bella sudah meyakinkan bahwa dokter optimis Gwen akan segera membaik. Lelaki itu meminta Bella tidur di sofa bed yang ada di ruangan itu. Sementara Renard sendiri memilih duduk di kursi, memandangi Gwen selama berjam-jam. Anak ini membawa banyak sekali kebahagiaan dalam hidup Renard.
Mendadak, Renard merindukan Siahna. Andai perempuan itu ada di sini, hatinya takkan semendung sekarang. Namun kemudian Renard membayangkan pernikahan mereka yang akan segera digelar, membuat senyumnya merekah. Dia yakin, Siahna perempuan terbaik untuknya.
Meski kelak mereka tidak bisa memiliki buah hati, Renard tidak keberatan sama sekali. Karena dia sudah memiliki Gwen. Apalagi Siahna pun sangat menyayangi Gwen. Memikirkan Siahna, membuat Renard ingin mendengar suara perempuan itu. Namun dia membatalkan niat untuk menelepon kekasihnya karena sudah terlalu malam.
Seperti perkiraan dokter, kondisi Gwen membaik. Meski begitu, anak itu tetap harus bermalam di rumah sakit selama empat hari. Selama itu pula Renard menunggui buah hatinya dan mengambil cuti. Dia bersyukur karena ada teman yang bersedia menggantikannya bertugas ke Semarang.
Lelaki itu berniat menemui Siahna yang sudah berhari-hari tidak dilihatnya setelah mengantar Gwen dan Bella pulang. Namun tampaknya dia harus menunda keinginan itu karena Gwen enggan ditinggal dan memeluk leher ayahnya begitu erat.
"Pa, jangan pulang..." gumamnya dengan suara lirih. Renard tidak tega menolak, terpaksa setuju untuk menginap di rumah yang pernah ditinggalinya selama bertahun-tahun itu. Dia menempati kamar putrinya, sementara Gwen tidur di kamar Bella. Yang tak diduganya, sang mantan membuatnya terjaga setelah tengah malam, hingga Renard terlonjak dengan jantung hendak meledak mendengar suara pintu terbuka.
"Gwen kenapa?" Renard mengerjap berkali-kali, masih kehilangan orientasi. Dia terduduk dengan jantung seolah hendak menghancurkan tulang dada. Sementara itu, Bella mendekat ke arah ranjang.
"Gwen nggak apa-apa. Dia lagi bobo. Tapi aku nggak bisa tidur, Re." Sedetik kemudian, perempuan itu melepas kimono tidurnya dengan gerakan perlahan. Kimono berbahan licin itu merosot dan jatuh ke lantai. Bella ternyata tidak mengenakan apa pun di baliknya. Telanjang.
Karena Rabu nggak posting, jadwalnya kugeser jadi hari ini, ya.
Gimana? Suka bomnya? Kabur ah...
Lagu : Now And Forever (Richard Marx)
Catatan :
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top