Chapter 31
Interupsi
Mohon maaf karena telat posting. Ini gara-gara sinyal yang nggak bersahabat semingguan ini.
Siahna tahu bahwa Renard mencintainya. Dia juga percaya dengan ketulusan perasaan kekasihnya. Namun, Siahna tidak pernah mengira jika Renard memintanya menikah dengan lelaki itu hanya setelah berpacaran beberapa bulan. Dia sangat bahagia hingga kehilangan kata-kata. Nyaris seharian Siahna terjebak dalam pikirannya sendiri, takut jika itu cuma mimpi. Dia tidak tahu berapa kali menunduk untuk mengagumi cincin yang dihadiahkan oleh Renard. Berlian tunggal berbentuk bundar itu didesain sederhana tapi sangat menawan mata.
Keesokan harinya, dia terbangun dengan ketakutan baru yang tak diperkirakan sebelumnya. Siahna cemas, naluri untuk melindunginya yang dimiliki Renard terlalu kuat. Hingga lelaki itu mengambil keputusan drastis dengan terburu-buru. Tidak mempertimbangkan kondisinya sendiri. Bagaimana jika suatu saat Renard menyesali keputusannya?
Dalam seminggu terakhir, Renard sudah pernah beberapa kali menyinggung tentang rencana pernikahan mereka. Siahna selalu berhasil mengabaikan topik itu, hingga hari ini. Dia tak bisa mengelak lagi karena Renard justru salah memahami kata-katanya.
"Aku pengin kita nikah secepetnya, Sweetling. Nggak ada lagi yang perlu ditunggu, kan? Tolong, jangan bilang kalau kamu takut Bella bikin ulah lagi. Setelah kemarin itu, aku beneran bakal lapor polisi kalau dia macem-macem."
Siahna memandang pria yang dicintainya dengan perasaan hangat yang membuat nyaris melayang. Siahna memang tidak memiliki banyak pengalaman seputar asmara. Namun dia bisa yakin, Renard adalah yang terbaik baginya. Sebelum bertemu lelaki ini, Siahna tak pernah berani membayangkan bahwa dia akan menemukan orang yang menerima masa lalunya tanpa keberatan sama sekali. Meski Siahna tidak merasa bersalah kecuali bagian mampir di rumah Ashton tanpa izin budenya, tetap saja sulit membayangkan ada yang tak keberatan bersamanya. Karena Siahna adalah perempuan cacat. Dia takkan pernah bisa memiliki anak.
"Oke, aku serahin semuanya sama kamu."
"Beneran, kan?" Renard menegaskan. Lelaki itu mengetatkan genggaman di tangan kiri Siahna. "Kamu nggak akan kayak remaja labil yang tiba-tiba berubah pikiran nantinya, kan?"
"Nggak," Siahna tertawa. "Aku ngikut aja apa yang kamu mau. Tapi kalau boleh ngasih saran, penginnya sederhana aja. Nggak usah bikin acara heboh yang ngabisin banyak uang."
Renard buru-buru menjawab, "Oke."
Siahna menepati kata-katanya. Dia benar-benar menyerahkan rencana pernikahan mereka pada Renard. Toh, Siahna tidak memiliki keluarga yang perlu dipertimbangkan. Dia sudah putus kontak dengan kedua pamannya. Begitu juga hubungan dengan Kemala. Setelah pulih dari operasi pengangkatan rahim, Kemala mengusir Siahna. Bahkan mengultimatum bahwa dia tak ingin melihat wajah keponakannya lagi seumur hidup.
Meski begitu, Siahna masih bersyukur karena Kemala memberikan bagian warisan yang seharusnya menjadi jatah ibunya. Jumlahnya memang tidak fantastis, tapi Siahna menggunakannya sebaik mungkin. Karena itulah kali pertama dia memperoleh kebebasan walau karena diusir. Siahna pindah ke Bogor, mencari tempat indekos yang dirasanya nyaman dan aman. Setelah menganggur setahun, dia kembali ke bangku kuliah sambil rutin mendatangi psikiater dan minum obat.
Sudah tujuh tahun lebih Siahna tidak pernah lagi bertemu atau berkabar dengan Kemala. Sebelum menikahi Kevin, dia sempat mendatangi rumah budenya dengan kenekatan luar biasa. Tubuh Siahna banjir keringat meski dia naik taksi online yang nyaman. Sayang, tidak ada hasil positif yang didapatnya. Rumah itu sudah dijual dan Kemala pindah tanpa ada yang tahu alamat pastinya.
Ketika itu, Siahna sempat merasa sedih karena sudah terputus dari akarnya. Tidak ada keluarga yang dikenalnya. Akan tetapi, akal sehatnya mengingatkan Siahna. Bukankah selama ini pun dia memang lebih mirip orang yang hidup sebatang-kara?
Kini, menghadapi pernikahan keduanya, dia tak merasa sedih meski tiada kerabat yang mendampingi. Siahna mendapat keluarga baru yang mengasihinya. Itu sudah lebih dari cukup, bukan? Dia membiarkan Renard berdiskusi dengan keluarga lelaki itu, membahas tentang detail pernikahan yang diinginkan.
Siahna sulit mengungkapkan perasaannya melihat keseriusan calon suaminya. Situasinya teramat berbeda dibanding pernikahan pertamanya dengan Kevin. Jika sebelumnya perasaan Siahna datar saja, kini sebaliknya. Dia sampai kewalahan menghadapi kombinasi banyak emosi yang meluap-luap.
"Sweetling, gimana kalau kita nikah tiga bulan lagi?" tanya Renard beberapa hari kemudian. Saat itu, semua anggota keluarganya -kecuali Kevin dan Sammy- berkumpul. Lelaki itu baru saja berdiskusi panjang dengan kedua kakaknya.
"Barusan kamu manggil apa ke Siahna, Re? Sweetling?" sela Petty dengan tatapan jail. "Ya ampun, udah tua bangka masih aja sok-sokan romantis."
Siahna malu luar biasa. Wajahnya pasti berwarna merah tua, mungkin seperti paprika. Renard yang tadinya berdiri, segera mengambil tempat di sebelah kanan pacarnya. Lelaki itu sengaja memeluk bahu Siahna. "Itulah namanya cinta, Mbak. Semua pengin serba spesial. Nama pun mau yang khusus, supaya nggak ada duanya. Kalian berdua, nggak punya panggilan istimewa, kan? Yah, aku maklum kalau jadi iri, sih."
Siahna buru-buru berusaha melepaskan diri dari pelukan Renard. "Kamu nggak bisa diam aja, ya? Sengaja mau bikin aku malu?" gerutunya.
Arleen dan Petty terbahak-bahak, sementara Arthur jauh lebih pengertian. Namun lelaki itu menggumamkan kalimat yang membuat Renard tampak begitu senang. "Kalian memang cocok banget, lho. Chemistry-nya bikin iri."
"Tuh, kan," sahut Renard sambil mengelus bahu pacarnya.
Siahna tak berkutik. Lagi pula, dia mustahil mendebat Arthur, bukan? Beruntung anak-anak membuat keributan sehingga merebut konsentrasi para orangtuanya. Sayang, Gwen absen karena memang bukan akhir pekan. Mendadak, Siahna diingatkan akan sesuatu. Ketika perhatian yang lain teralihkan, dia berbisik di telinga Renard.
"Bella udah tau kita mau nikah?"
"Entahlah, aku nggak tau. Tapi kayaknya sih udah. Feeling aja, karena dia pasti nanya ke Gwen tentang aktivitasnya selama nginep di sini. Cuma, Bella nggak ada komen."
Kesimpulan yang masuk akal. Siahna tidak bertanya lagi karena tampaknya Bella tak bereaksi. Itu hal yang melegakan. Karena jika Siahna tidak salah menilai, Bella akan merespons dengan frontal mendengar kabar rencana pernikahan mantannya.
Hari itu, Siahna akhirnya ikut urun suara saat mereka membahas lebih detail rencana pernikahannya. Kali ini Petty meminta Renard dan Siahna memberinya kesempatan menyelenggarakan resepsi sederhana di rumahnya, karena dia adalah putri tertua. Sementara Arleen mengambil alih tanggung jawab mengurusi menu untuk acara istimewa itu.
"Kalau soal gaun, itu bagian Kevin. Dia kan harus ngasih sumbangan," usul Arleen.
"Ih, kayak orang melarat aja ngarepin yang gratisan," cela Renard. "Nggak usahlah, kecuali Kevin maksa."
Siahna terkekeh. "Iya, setuju. Kecuali Kevin maksa mati-matian."
Ada kelegaan yang aneh jika dia mengingat Kevin. Kedua kakak kembarnya terkesan sudah bisa menerima pilihan yang dibuat adik bungsu mereka. Meski Razi tak pernah datang lagi ke rumah itu. Namun, situasinya memang serba canggung jika Kevin menggandeng Razi untuk bertemu keluarganya.
Di sisi lain, Siahna merasa agak terusik melihat kondisi Kevin belakangan ini. Lelaki itu terlihat lebih kurus dibanding biasa. Kadang Siahna juga menangkap ekspresi lelah di wajah mantan suaminya. Belum lagi kulit yang lebih pucat.
"Kamu buang-buang waktu karena mencemaskanmu, Na. Mbok ya urusin aja Renard. Kalau aku, udah ada yang merhatiin. Nggak butuh tambahan satu orang lagi untuk bilang aku begini atau begitu."
Protes Kevin beberapa hari silam membuat Siahna menyeringai. "Aku cemas aja, Kev. Beneran deh, kamu kurusan. Harusnya kamu senang karena aku perhatian. Memangnya mau kalau mantan istrimu kayak Bella?" godanya.
Siahna lega karena mereka bisa menertawakan status pernikahan yang pernah dijalani dengan santai. Entah sejak kapan. Bagi Siahna, Kevin adalah salah satu sosok penting dalam usia dewasanya. Berteman sejak bertahun silam, lelaki ini membantunya mendapatkan pekerjaan bagus dan membelanya dalam banyak kesempatan. Kevin juga menjadi pembuka jalan yang mengenalkan Siahna dengan Renard.
Di hari itu, di tengah dengung percakapan yang membahas rencana pernikahannya, Siahna akhirnya yakin bahwa dia akan bahagia bersama Renard. Mereka ternyata memiliki masa depan, hal yang sebelumnya tak dipercayai Siahna. Karena dia selalu merasa bahwa dirinya sudah rusak dan takkan punya kesempatan merasakan cinta.
Hari itu sebenarnya dia sudah malas bekerja karena harus bertemu Cedric. Lelaki itu sudah membuat janji sejak kemarin. Namun, Siahna tidak pernah membolos hanya untuk menghindari klien tertentu. Meski itu berarti dia harus menghadapi Cedric selama beberapa jam. Mungkin satu hal yang patut disyukuri Siahna, Cedric tidak pernah menggunakan jam konsultasinya untuk merayu perempuan itu. Cedric benar-benar hanya memilih isi katalog Puspadanta. Entah untuk siapa, Siahna tak pernah bertanya.
Namun, situasinya berbeda hari itu. Cedric datang sesuai janji, pukul empat sore. Seperti biasa, Siahna menyapa seramah yang dia mampu meski perutnya selalu bergolak tiap kali berada dekat lelaki itu, bukan untuk alasan seperti yang dirasakannya ketika bersama Renard. Wajah Cedric terkesan datar, tidak secerah biasa. Dia langsung menuju ruang konsultasi tanpa banyak kata.
Siahna mengikuti dengan perasaan tak nyaman. Dia baru saja melewati pintu kaca lebar yang selalu dibiarkan terbuka, saat Cedric bersuara.
"Kamu mau nikah lagi ya, Na?" Cedric baru saja duduk di sofa, menatap Siahna yang berjarak dua meter darinya.
"Iya," balas Siahna tenang. Dia berjalan mendekat ke arah kliennya.
Tatapan Cedric tertuju pada cincinnya. "Aku bisa beliin cincin yang seratus kali lebih bagus dari itu," katanya muram.
"Kamu tau, nggak semua hal berkaitan sama uang."
"Aku tau. Tapi, apa kamu pernah mikir kalau aku serius?"
"Kamu udah punya istri, dan aku bukan perebut suami orang."
"Aku juga tau itu. Siahna, aku nggak mungkin ninggalin dia saat..." Cedric terdiam sebentar. "Intinya, entah kamu percaya atau nggak, aku bukan tipe laki-laki yang ninggalin perempuan setelah bosan. Aku berkomitmen penuh, Na."
"Itu bukan..."
Cedric tidak memberi Siahna kesempatan untuk menggenapi kata-katanya. "Belum pernah aku ngerasain kayak gini sama cewek lain setelah nikah. Kamu kira, aku nggak pernah ketemu perempuan yang lebih oke dari kamu selama bertahun-tahun ini? Aku juga nggak paham kenapa sama kamu semuanya jadi beda."
Hati Siahna menjadi tak keruan. Kali ini, dia memindai ketulusan dan keseriusan ucapan Cedric, pria yang selama ini hanya dilabelinya sebagai suami genit yang tak tahu malu.
"Aku minta maaf, karena... perasaan nggak bisa dipaksa."
Cedric tersenyum murung. "Aku tau banget maknanya setelah ketemu kamu. Tapi, kali ini kamu yakin? Kamu memang cinta sama calon suamimu dan nggak nikah untuk kamuflase?"
Siahna tak bisa menyembunyikan kekagetannya. "Kamu..."
"Ya, tentu aja aku tau. Kamu kira aku nggak bakalan nyari info pas tau perempuan yang kutaksir mati-matian tiba-tiba nikah? Soalnya, aku nggak pernah tau kamu sama Kevin Orlando punya hubungan spesial. Tapi, sama laki-laki yang satu lagi, kamu memang pacaran, kan?"
"Kamu mata-matain aku?" Siahna terpana.
"Bukan itu intinya," Cedric mengibaskan tangan. "Kalau kamu nolak aku, pastikan kali ini kamu memang akan bahagia. Karena aku yakin bisa bikin kamu ngerasain itu."
Hingga Cedric meninggalkan toko setengah jam kemudian, Siahna masih belum tahu bagaimana harus merespons ucapannya. Perasaannya menjadi tak nyaman. Meski mungkin tidak ada artinya, hari ini dia memandang lelaki itu dengan cara yang berbeda.
Hari itu makin memburuk saja bagi Siahna. Sebelum dia pulang, seseorang meminta waktu bicara berdua dengannya. Tak punya pilihan meski merasa nyaris muntah, Siahna menyuruh tamu yang tak diharapkannya itu memasuki salah satu ruang konsultasi. Akan tetapi, dia memilih berdiri di ambang pintu. Adakalanya menghindar bukan jalan terbaik.
"Setelah kamu berhenti kuliah dan hamil, aku merasa berdosa banget. Aku memang bejat, tapi selama ini nggak pernah sampai sejauh itu. Verdi yang biasa ngasih obat di dalam minuman pacar-pacarnya sebelum... yah... kamu tau sendiri. Setelah itu aku putus dari Abel dan sempet diteror segala. Kukira, Abel bakalan masuk rumah sakit jiwa karena kegilaannya. Makanya aku kaget banget waktu kemarin itu dia ngontak aku lagi. Sebenernya dia mulai menghubungi aku tiga bulan yang lalu, bilang dia punya kejutan tapi aku harus sabar nunggu momen yang tepat. Abel nggak mau ngasih tau apa maksudnya. Trus, kemarin itu tiba-tiba dia nelepon lagi dan bilang udah tau di mana kamu tinggal selama ini. Dia tau aku mau ketemu kamu. Bertahun-tahun ini aku nyari kamu, Na. Kamu mungkin nggak percaya, tapi aku nyesel banget untuk semuanya. Aku pengin bertanggung jawab untuk semua yang udah kulakuin."
Asthon, salah satu iblis masa lalu Siahna itu, mengucapkan rentetan kata-kata itu dengan tatapan penuh harap.
Lagu : Nothing Compares 2 U (Sinead O'Connor)
Catatan :
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top