Chapter 3
MENYIRAMKAN secangkir kopi pada seseorang adalah hal paling kasar yang pernah dilakukan Siahna dalam hidupnya. Namun Renard pantas mendapatkannya meski lelaki itu baru saja menjadi kakak iparnya. Sayang, kopinya tidak lagi panas. Jika iya, alangkah baiknya karena bisa membuat kulit lelaki itu melepuh. Mungkin sikap menyebalkan Renard akan berkurang jika menderita luka bakar.
Siahna sudah bersiap andai peristiwa itu membuah heboh keluarga suaminya. Makanya dia kaget karena Renard tidak mengatakan apa-apa. Lelaki itu memang mengganti kemeja batiknya, entah memakai baju siapa. Ketika ada yang bertanya, dia cuma menjawab, "Ketumpahan kopi."
Petty yang tampaknya tahu kebiasaan semua orang, memiringkan kepala. "Sejak kapan kamu minum kopi? Bukannya kamu itu demennya susu, kayak bayi?"
"Lagi pengin nyoba aja," balas Renard. "Biar nggak diledekin melulu sama kalian."
Meski lega karena tampaknya Renard mengambil langkah bijak, Siahna masih bertanya-tanya apa yang diketahui lelaki itu. Kevin pernah memberitahunya bahwa rahasia lelaki itu sama sekali tidak diketahui keluarga besarnya. Namun Miriam memang sudah menunjukkan tanda-tanda kecurigaan meski tak pernah diucapkan dengan gamblang. Faktor itu, salah satu pendorong kuat sehingga Kevin ingin menikah. Jadi, bagaimana bisa Renard tampak begitu yakin bahwa pernikahan Siahna dan Kevin berdasarkan kesepakatan tertentu?
Sejak sore, Siahna menghabiskan waktu di kamar pengantin yang disiapkan oleh keluarga mertuanya. Kamar itu cukup luas, berukuran lima kali tujuh meter. Ada sebuah ranjang ukurang king yang ditutupi seprai cantik. Ada lemari pakaian dan meja rias yang terlihat baru. Menurut Petty, suaminya menempati kamar itu sebelum kemudian pindah ke apartemen yang ditinggalinya sekarang.
Suami.
Siahna mengeja kata itu dengan perasaan datar. Meski Renard benar, dia takkan sudi mengakui di depan iparnya bahwa pernikahan dengan Kevin adalah sebuah kepura-puraan belaka. Tudingan Renard yang diucapkan tanpa perasaan dan dengan pilihan kalimat menyakitkan yang membuat Siahna murka. Apalagi, itu kali pertama mereka bertemu.
Perempuan itu sudah mendengar banyak cerita tentang Renard. Selain bahwa pria itu menikahi perempuan yang salah karena temperamental dan pencemburu, Renard adalah orang yang penyayang dan lembut hati. Terutama pada putri semata wayangnya, Gwen. Akan tetapi, apa yang disaksikan Siahna beberapa jam silang, menjungkirbalikkan penilaian positif yang sempat tertanam di kepalanya.
Ketika Siahna bergabung dengan anggota keluarga lainnya untuk makan malam, Renard sudah tidak ada. Perempuan itu sungguh merasa lega karena tidak harus berbasa-basi. Dia duduk di antara Kevin dan Miriam. Meja makan itu juga dipenuhi oleh Petty dan Arleen bersama suami masing-masing. Anak-anak mereka memilih bermain dan meriuhkan ruang keluarga.
"Kalian menginap di sini seminggu, kan?" tanya Miriam, dengan nada gurau yang disengaja. Semua tahu, Siahna dan Kevin hanya menginap selama dua malam saja. Menghabiskan malam pengantin di rumah itu. Tadinya, Kevin dan Siahna sepakat memesan paket bulan madu dari salah satu hotel di Bogor. Akan tetapi, Miriam bersikeras agar mereka menggunakan kamar bekas putra bungsunya itu.
"Ya nggak lah, Ma," Kevin yang bersuara. "Cuma sampai lusa. Udahnya, aku mau bantuin Siahna pindahan ke apartemen. Barang-barangnya lumayan banyak, Ma."
"Kalian nggak bulan madu ke mana gitu?" Arleen mengajukan pertanyaan. Tatapannya ditujukan pada Siahna dan Kevin bergantian. "Jangan alasannya karena sibuk kerja mulu, deh! Nggak kreatif."
"Ada kerjaan yang memang nggak bisa ditinggal. Setelah itu, baru deh kami bulan madu." Kevin menatap istrinya dengan mesra. "Iya kan, Na?"
Siahna lega karena Kevin tidak memberinya panggilan kesayangan yang sudah pasti akan membuat bulu kuduknya meremang. "Iya," jawabnya pendek. Siahna menghabiskan makanan yang memenuhi mulutnya sebelum memberi dukungan pada sang suami. "Aku juga ada kerjaan, Mbak. Kalau bulan madu sekarang-sekarang, nggak bakalan leluasa. Karena pasti 'diteror' klien."
Obrolan di meja makan begitu hidup. Setelah membahas masalah bulan madu, berganti tema tentang masa kecil Kevin dan kakak-kakaknya. Lalu beralih pada makanan favorit semua orang. Setelah itu, mereka pindah ke ruang tamu. Jika tadi dia sempat kesal karena Renard, kini Siahna kembali merasa bahagia.
Keluarga ini membuatnya merasa nyaman dan diterima dengan tangan terbuka. Sekali pun dia tak pernah menikmati makan malam sambil mengobrol santai dengan anggota keluarga yang lain. Dulu, dia memang sering makan semeja dengan Kemala. Namun, jauh dari kesan hangat yang menenangkan. Siahna biasanya duduk tegak dengan perasaan tegang yang membuatnya sulit menikmati makanan. Kemala selalu memiliki persediaan kata-kata yang meremukkan selera makan Siahna muda.
"Renard kayaknya beda banget hari ini. Kayak lagi banyak pikiran," Kevin membuka mulut begitu mengambil tempat duduk. Ada dua set sofa dengan model identik yang memenuhi ruangan itu. Tampaknya Miriam memutuskan membeli dua set sofa sekaligus untuk menampung anggota keluarganya yang cukup banyak. Dengan empat orang anak yang semuanya sudah menikah, ditambah enam orang cucu, itu keputusan yang bijak.
"Kapan sih dia nggak banyak pikiran? Sejak nikah malah jadi susah melulu. Keuntungan Renard karena menikah cuma Gwen," sahut Petty. Perempuan itu memang tipe orang yang tak ragu menyuarakan pikirannya dengan jelas.
"Hush! Jangan ngomong gitu!" lerai Miriam. "Renard udah susah sama pilihannya sendiri. Kamu nggak perlu bikin dia makin mumet dengan komentar-komentar yang nggak peka."
"Aku kan ngomong apa adanya, Ma," Petty membela diri. Namun perempuan itu kemudian terdiam. Mungkin karena suaminya memberi isyarat agar Petty tidak lagi membuka mulut tentang Renard.
"Yang penting, Bella nggak datang. Kalau iya, cuma bikin masalah aja," imbuh Arleen. Lalu, perempuan itu menatap Siahna. "Maaf ya Na, kalau kata-kata kami terkesan jahat. Tapi nanti kalau kamu ketemu langsung sama yang namanya Bella, baru deh paham."
Siahna lega karena tak harus memberi respons. Penyebabnya, putri bungsu Arleen yang baru berusia dua tahun, Emma, menangis kencang dan tak bisa dibujuk. Baik oleh pengasuh atau ibunya. Siahna akhirnya berjongkok di depan anak batita itu, membujuknya dengan lembut dan sabar. Hingga akhirnya Emma bersedia masuk ke dalam pelukannya.
"Anak itu kalau udah ngantuk memang kayak begitu. Ada aja ulahnya untuk bikin mamanya ngelus dada," Arleen menggerutu. "Sebentar ya Na, aku bikinin susu dulu."
Siahna menggendong Emma, mengayun-ayunkan gadis cilik itu dengan lembut. Anak perempuan itu sangat menggemaskan, dengan wajah serupa pinang dibelah dua dengan ayahnya. Ketika Arleen datang dengan sebotol susu hangat, Emma malah memeluk Siahna.
"Biar aku aja yang ngasih susu, Mbak," pinta Siahna.
"Lho, jangan! Biar aku atau papanya aja yang ngurus Emma." Arleen tampak sungkan. "Masa pengantin baru udah ikut repot ngurusin anakku."
Siahna tertawa geli, mengambil botol susu dari tangan Arleen. "Nggak apa-apa, Mbak. Aku senang sama anak kecil. Mungkin karena nggak pernah punya adik." Perempuan itu kembali duduk sembari menyamankan posisi Emma di pangkuannya. Dia mulai memasukkan botol susu ke mulut anak itu yang disambut dengan sedotan antusias.
Petty sontak menyela. "Wah, kayaknya nggak lama lagi cucu Mama bakalan nambah, nih! Siahna luwes banget gendong dan nyusuin Emma." Suara tawa pun menyambut ucapannya, membuat Siahna merasa tengkuknya kembali membeku. Dia melirik Kevin yang mampu menguasai diri dengan baik. Siahna berani bertaruh, lelaki itu pasti sangat tak nyaman mendengar ucapan kakaknya.
"Semoga, ya. Biar rumah ini makin ramai kalau semua lagi ngumpul," Miriam mengamini. "Sayangnya Gwen nggak ada. Pasti dia juga nempel sama Siahna kalau udah ketemu," ramalnya. "Anak-anak biasanya suka dekat-dekat sama orang yang tulus."
Pujian itu belum sempat ditanggapi Siahna saat Petty tak tahan untuk bersuara. "Pastilah Gwen bakalan nempel sama tante barunya. Meski Bella bisa ngurus anak dengan baik, tetap aja dia..."
"Hush! Udah deh Mbak, berhenti ngomongin Bella," Kevin menyergah. "Walau matahari terbit dari tenggara, Bella tetap Bella."
Siahna sungguh penasaran tentang sosok bernama Bella ini. Seberapa berengsek tingkahnya hingga menjadi topik pembahasan di keluarga suaminya? Namun saat dia mengingat kejadian di dapur tadi, Siahna malah bersimpati pada Bella. Tampaknya perempuan itu berjodoh dengan pria menjengkelkan. Mungkin itu yang membuat Bella bersikap menyebalkan.
Emma akhirnya tertidur di pelukan Siahna. Susu di botolnya hanya tersisa sedikit. Setelah terdengar dengkur halusnya, Arleen mengambil putrinya dari pelukan Siahna. Ada perasaan kosong yang mendadak menusuk dada perempuan itu. Namun segera diremukkannya emosi itu sebelum menggerogotinya lebih jauh. Siahna sudah belajar untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua keinginan manusia bisa tercapai. Hal-hal yang bagi sebagian orang hanya merupakan persoalan sepele, bisa menjadi masalah hidup dan mati bagi yang lain.
Pukul setengah sembilan, keluarga Petty dan Arleen pamit untuk pulang. Siahna sempat mengantar mertuanya ke kamar, dia berniat mengobrol ringan sebentar. Namun Miriam malah "mengusir" perempuan itu dari kamarnya.
"Mama capek dan mau tidur. Kamu juga harus istirahat, Na. Ini malam pengantin, lho!"
Siahna tertawa saat melihat ibu mertuanya berusaha mengedipkan mata kirinya. Dia akhirnya mengalah, merapikan selimut Miriam sebelum meninggalkan kamar itu. Perawat yang mengurusi Miriam sedang menyalakan televisi.
Malam pengantin selalu meninggalkan kesan spektakuler, itu yang sering didengar Siahna. Namun tidak malam pengantinnya dan jutaan orang yang menikah karena kesepakatan tertentu. Siahna tidak mengeluh sama sekali. Dia malah bersyukur karena Kevin membuatnya mengenal keluarga lelaki itu.
"Kamu nggak apa-apa kita tidur seranjang?" tanya Kevin setelah mereka berada di kamar. Siahna memandang ke seluruh penjuru kamar. Tidak ada sofa untuk ditiduri.
"Nggak apa-apa, Vin. Aku nggak merasa terancam sama kamu," balas Siahna tenang. "Aku tidur di sebelah kiri. Boleh?"
"Silakan."
Mungkin yang terjadi hari ini bukan pernikahan impian para gadis. Pestanya dihadiri oleh undangan terbatas, tanpa busana heboh dan detail rumit yang membutuhkan persiapan panjang. Lalu, Siahna "cuma" menghabiskan malam pengantin di rumah keluarga suaminya. Bukan di hotel bintang lima meski dia tahu mereka mampu membayar biayanya. Juga tanpa bulan madu romantis. Namun Siahna sudah cukup puas. Untuk pernikahan yang dibangun demi alasan-alasan yang saling menguntungkan, apa yang terjadi hari ini cenderung sempurna.
Esoknya, pasangan pengantin baru itu sedianya menghabiskan waktu di rumah bersama Miriam. Kevin sempat berniat mengajak ibunya menghabiskan waktu di Puncak, bahkan ada usul untuk menginap. Akan tetapi, Miriam terlihat lelah. Mungkin acara resepsi kemarin ikut menguras tenaga perempuan itu.
Yang tidak diduga Siahna, sebelum pukul sebelas Kevin menerima telepon yang membuat wajahnya lebih pias dibanding kapas. Tanpa memberi tahu detailnya, lelaki itu pamit pada Siahna dan Miriam untuk urusan penting yang tak bisa ditinggal. Tentu saja urusan yang berkaitan dengan Razi.
Cemburukah Siahna? Tidak, tentu saja. Sejak awal dia tahu, sedang menjalani satu episode palsu yang takkan membawanya ke mana-mana. Episode yang kemungkinan besar berdurasi panjang. Lupakan cerita tentang orang-orang yang menikah tanpa cinta lalu akhirnya berubah saling tergila-gila. Sehingga pernikahan jangka pendek yang semula direncanakan pun berakhir dengan "sampai maut memisahkan". Karena dirinya dan Kevin takkan melalui hal semacam itu. Bahkan meski neraka berubah sehangat khatulistiwa.
Kejutan lain datang menjelang jam makan siang. Siahna sedang membantu di dapur untuk menyiapkan makanan saat seorang anak berambut kriwil menginvasi area itu dan langsung memeluk asisten rumah tangga yang bernama Riris. Baru setelahnya anak itu mengalihkan perhatian pada Siahna dengan tatapan ingin tahu.
"Gwen, kenalan dulu sama Tante Siahna. Ini lho istrinya Om Kevin yang kemarin Papa ceritain." Renard tahu-tahu sudah bergabung di dapur. Gwen menuruti saran ayahnya, menyalami Siahna dengan gaya sok dewasa sambil menyebut namanya.
Renard tampaknya sengaja mencari waktu untuk bicara dengan Siahna. "Maaf, kemarin aku memang kelewatan. Tapi, aku punya alasan. Aku nggak mau nantinya Mama sedih." Lelaki itu terbatuk dua kali. "Aku tahu adikku gay."
Lagu : Forever Love (Gary Barlow)
Catatan :
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top