Chapter 26

Renard tersadarkan bahwa tak ada orang yang benar-benar dikenalnya setelah mendengar pengakuan gamblang Kevin tentang penyakitnya. Dia begitu terpukul tapi juga tak mampu melakukan apa pun. Meski cukup sering mencemaskan adiknya, tapi rasanya berbeda saat Kevin memberi validasi bahwa dia sedang menderita penyakit yang belum ada obatnya.

Renard tidak mampu menghibur kakak-kakaknya, karena dia sendiri pun butuh ditenangkan. Dia sempat menumpahkan kekesalan pada Siahna karena tidak memberitahunya. Namun perempuan itu membungkamnya tanpa kesulitan berarti.

Ya, meski Siahna tahu tentang penyakit Kevin, bukan hak perempuan itu untuk mengabarkannya pada dunia. Renard justru harus menghormati Siahna karena berkomitmen menjaga rahasia semacam itu. Jika Siahna adalah orang yang manipulatif, Renard tidak bisa membayangkan apa yang dilakukan perempuan itu untuk menggunakan informasi itu demi keuntungan pribadi.

"Aku belum akan mati dalam waktu dekat, Re. Nggak usah bersikap seolah aku udah sekarat," bilang Kevin sebelum pulang. "Aku disiplin ke dokter dan minum obat. Semua baik-baik aja."

Renard membutuhkan waktu untuk menerima kenyataan itu. Kali ini, kesibukan sudah memberikan bantuan untuk mengalihkan perhatian. Tidak cuma mengurusi pekerjaannya, dia juga ikut membantu Siahna yang bersiap untuk pindah selama beberapa hari. Renard biasanya mampir sepulang kerja. Kadang dia yang lebih dulu tiba dibanding Siahna. Perempuan itu juga memiliki setumpuk pekerjaan. Untung saja Kevin memberikan kunci cadangan untuk kakaknya setelah Renard memacari Siahna.

"Maaf ya, ini nggak boleh dipakai untuk berbuat mesum. Aku kasih ini karena tau banget sifatmu. Mau mati kalau terlalu lama nggak ketemu cewek yang kamu cinta. Dan karena Siahna kadang pulangnya malam, kamu bisa pakai kunci ini untuk nunggu di apartemen. Ketimbang duduk di depan pintu kayak orang sinting dan malah dicurigai sama tetanggaku."

Renard membela diri begitu Kevin selesai bicara. "Enak aja! Aku nggak separah itu! Apa itu 'mau mati kalau terlalu lama nggak ketemu cewek yang kamu cinta'? Fitnah, tau!"

"Ya, terserahlah." Kevin mengangkat bahu dengan gaya tak peduli. "Kalau memang nggak butuh, sini kuambil lagi."

Tentu saja Renard menggenggam kunci itu sekuat tenaga, menjauhkannya dari Kevin. Adiknya tertawa geli melihat apa yang dilakukannya, seolah ingin berkata, "Apa kubilang?"

Setelah Siahna pindah, mereka justru kesulitan bertemu. Kesibukan yang menjadi alasan utamanya. Siahna memiliki beberapa klien baru yang secara otomatis membuat jadwal perempuan itu kian padat. Sementara Renard pun cukup sering harus terbang ke luar kota.

Ketika perempuan itu masih tinggal di apartemen, situasinya tak sesulit sekarang. Namun kini Renard mustahil seenaknya datang dan pergi ke tempat indekos Siahna di luar jam bertamu yang pantas. Dia tak mau orang-orang memandang hina sang kekasih. Apalagi sekarang Siahna menyandang status janda, predikat yang bagi segelintir orang bukan sesuatu yang pantas diapresiasi.

Karena itu, Renard lebih suka jika Siahna datang ke rumah ibunya. Terutama saat Gwen sedang menginap. Hanya saja, tentu hal itu mengundang konsekuensi tersendiri. Renard sendiri cukup heran karena sejak mengaku pada Bella bahwa dia memiliki pacar, tidak ada yang terjadi. Padahal, biasanya Bella langsung bereaksi dengan cara-cara yang membuat Renard kehabisan akal. Namun sekarang? Pikiran positif yang sontak berkelebat di kepalanya adalah, Bella sudah benar-benar bisa menerima perpisahan mereka. Namun, sedetik kemudian, akal sehat Renard membantah kesimpulan itu.

Sayangnya, keinginan Renard agar kekasihnya sering datang ke rumah keluarganya, ditolak karena Siahna merasa tak nyaman. Renard tahu alasannya. Siahna tentu tidak ingin bertemu Bella dan terlibat ketegangan lagi. Karena, siapa yang bisa menjamin bahwa Bella takkan pernah menginjakkan kaki di rumah itu?

Sumber informasi bagi Bella untuk mengetahui seberapa sering Siahna berada di dekat Renard, tentu berasal dari Gwen. Anak sepolos itu, sudah pasti takkan berbohong jika diminta ibunya bercerita tentang aktivitasnya selama akhir pekan bersama Renard. Karena itu, meski tidak yakin seberapa besar manfaatnya, lelaki itu bicara dengan putri kesayangannya.

"Gwen, Papa boleh nanya sesuatu, nggak?"

"Apaan, Pa?" sahut anak itu sembari tetap berkonsentrasi memilih kepingan puzzle yang bertebaran di atas karpet. Renard duduk di sebelah kanan putrinya, memikirkan kalimat sederhana yang bisa dimengerti Gwen.

"Mama sering nanyain soal Tante Nana kalau Gwen habis nginep di sini, nggak?" tanyanya dengan suara setenang mungkin.

"Hu-um. Tapi aku males jawab, Pa."

Kalimat Gwen cukup mengejutkan Renard. "Kenapa, Nak?"

"Aku nggak mau Mama marahin Tante Nana lagi. Kayak waktu itu." Gwen mendongak untuk menatap sang ayah. "Tapi Mama suka maksa. Kalau aku nggak jawab, pasti nanya terus."

Renard terdiam, tidak tahu harus bicara apa pada putri tercintanya.

"Papa dong ngomong sama Mama, jangan nanya-nanya aku melulu. Capek jawabnya, Pa. Kadang Mama jadi kesel kalau aku bilang nggak tau." Gwen kembali mencurahkan perhatian pada mainannya. "Aku sayang sama Tante Nana, Pa. Kenapa sih Mama nggak suka sama Tante?"

Pertanyaan itu mustahil dijawab Renard. Namun tampaknya dia harus memikirkan ulang segalanya. Lelaki itu tak mau Gwen yang harus terjepit di antara dirinya dan Bella. Renard juga tidak ingin putri kesayangannya harus memilih antara ibu dan tantenya.

Renard memutuskan untuk mencari jalan keluarnya pelan-pelan. Dia harus terbang ke Palembang selama enam hari. Yang dia syukuri, Siahna adalah tipikal perempuan dewasa yang santai dan mudah diajak berdiskusi. Kadang, meski tak ingin, Renard jadi membandingkan perempuan itu dengan Bella.

Ketika masih menikah, tiap kali harus tugas ke luar kota, sama saja memasuki babak penyiksaan yang melelahkan. Bella akan meneleponnya pagi-pagi sekali. Lalu, panggilan berulang akan diterimanya setiap dua atau tiga jam. Jika Renard tidak menjawab panggilan telepon istrinya, bisa dipastikan akan ada interogasi panjang setelahnya.

Kecemburuan Bella yang makin tak terkendali itu menggerogoti rumah tangga mereka perlahan-lahan. Lima tahun Renard mencoba bertahan hingga akhirnya berdiri di titik tertinggi pemakluman yang bisa diterimanya. Saat itu dia juga menyadari betapa cintanya sudah terkikis hingga tak bersisa lagi.

Mengajak Bella bicara tentang niatnya bercerai dari perempuan itu adalah salah satu hal tersulit dalam hidup Renard. Kali pertama dia menyebut kata "cerai", Bella histeris hingga membuat Gwen ketakutan. Renard bahkan mendapat tiga jahitan di kening karena dilempar remote televisi. Peristiwa itu kian menguatkan tekad Renard untuk berpisah. Kali kedua, Bella langsung menelepon orangtuanya dan membuat Renard seakan menjadi si penjahat.

Tak punya pilihan, Renard akhirnya memberi tahu mertuanya tentang apa yang harus ditanggungnya selama menikahi Bella. Mertua lelakinya tampaknya bisa mengerti. Dia disarankan untuk tidak meminta hak asuh Gwen karena hanya akan membuat semua lebih sulit. Mertuanya juga yang bicara dengan Bella pelan-pelan, hingga akhirnya perempuan itu rela melepas Renard.

Kini, mengenal Siahna yang memiliki sifat jauh berbeda dari Bella, Renard merasa terberkati. Perempuan ini tidak pernah meributkan hal-hal sepele. Ketika ada masalah yang mengganjal, Siahna adalah teman bicara yang menyenangkan. Perempuan itu mudah diberi pengertian. Kini Renard benar-benar tahu seperti apa rasanya menjalin asmara dengan orang yang sudah dewasa.

Ketika Renard sedang di luar kota, mereka tetap saling kontak. Namun lelaki itu biasanya menelepon sebelum tidur, setelah pekerjaannya tuntas dan Siahna sudah berada di tempat indekosnya.

Hari keempat berada di Palembang, Kevin tiba-tiba meneleponnya pukul sepuluh malam. Saat itu, Renard baru saja mengakhiri perbincangan dengan sang kekasih. Tanpa basa-basi, adiknya langsung mengajukan pertanyaan mengejutkan.

"Kamu sama Siahna rencananya gimana sih, Re? Masih nanti-nanti seriusnya atau apa? Ini aku nanya beneran, lho! Bukan karena kurang kerjaan."

Renard merespons dengan sindiran. "Wah, ada mantan suami yang posesif."

Sang adik mengabaikan gurauannya. "Maksudku, apa kalian cuma mau gini-gini doang? Nggak ada langkah maju?" Suara Kevin terdengar sungguh-sungguh.

"Ini kenapa jadi serius, sih? Kamu kenal aku, kan? Nggak mungkin main-mainlah. Tapi bukan berarti kamu boleh interogasi aku. Udah kayak bokapnya Siahna aja."

Kesantaian Renard direspons Kevin dengan kalimat mengejutkan. "Aku nggak akan cerewet kalau ngerasa tujuan kalian jelas. Tujuanmu sih, sebenarnya. Tapi, setelah sekian bulan, nggak ada kemajuan berarti. Aku sayang dan peduli sama Siahna dan nggak mau dia terlibat hubungan nggak jelas. Kamu bahkan belum ngasih tau Mbak Arleen dan Mbak Petty," kritiknya.

"Nggak jelas apanya? Enak aja! Kan kamu tau sendiri kondisinya kayak apa. Mbak Petty masih berjuang untuk nerima kenyataan soal kamu, Kev. Kalau aku sama Siahna tiba-tiba ngaku kami pacaran, kebayang responsnya?" tanya Renard, mulai merasa tersinggung karena Kevin seolah tak memercayai niat baiknya. "Jadi, lebih baik pelan-pelan aja."

"Baguslah kalau gitu. Nanti kalau Siahna udah disambar Cedric, mungkin baru kamu nyadar. Tapi Bro, penyesalan itu nggak ada gunanya."

"Sebentar! Ini sebenarnya ada apa? Siapa itu Cedric?"

"Lho, memangnya Siahna nggak pernah ngomong soal itu? Cedric itu pengusaha properti yang ngejar-ngejar pacarmu selama hampir setahun, sebelum kami nikah. Orangnya cakep, berduit, jago ngerayu, dan pantang menyerah. Cewek-cewek kan suka sama yang tipe kayak gitu. Untungnya Siahna itu bukan perempuan yang gampang silau sama duit. Lagian, Cedric ini katanya punya kaitan sama mafia gitu."

Renard mengernyit dengan perasaan tak suka menggedor dadanya. "Mafia? Udah kayak cerita film aja. Eh, tapi kenapa Siahna nggak pernah ngomong, ya?"

"Mana kutau? Mungkin karena dia ngerasa itu bukan hal penting. Tapi, biar kamu panik, salah satu faktor pendorong Siahna mau nikah, ya si Cedric ini."

Perasaan Renard mendadak tak nyaman. Kantuk yang tadi sempat mulai memberati matanya, mendadak lenyap. "Laki-laki yang namanya Cedric ini kenapa, sih? Ngapain aku harus panik?"

"Tadi sore aku mampir ke toko. Ada urusan kerjaan sama manajernya. Nah, di sana aku ketemu Cedric yang sekarang jadi salah satu kliennya Siahna. Dari yang lain aku dengar, Cedric udah tau kalau pacarmu itu sekarang nggak terikat sama..."

"Siahna itu pacarku, Kev. Jadi, pastinya dia terikat sama aku."

Kevin mengabaikan lagi kata-katanya. "Intinya, aku cemas aja. Cedric itu udah punya istri tapi nekat banget deketin Siahna. Dari awal dia nggak nyembunyiin tujuannya, pengin jadiin Siahna sebagai cewek simpanannya atau yang semacam itu deh. Ditolak berkali-kali pun tetap nggak peduli. Dia baru mundur setelah kami nikah."

Renard memaki pelan. "Udah tau ada pemangsa kayak gitu, kenapa boleh jadi klien Siahna? Lagian, bukannya di Puspadanta cuma nyediain baju untuk perempuan?"

"Mana bisa urusan bisnis dicampuradukkan sama masalah pribadi? Siapa yang mau nolak klien potensial?" balas Kevin, terdengar sewot. "Aku sengaja ngasih tau karena cemas aja. Aku nggak mungkin maju sekarang ini karena Siahna kan pacarmu."

"Kamu..."

"Siahna sih bisa jaga diri. Cuma aku tetap aja nggak bisa tenang. Masalahnya, kayak kubilang tadi, Cedric ini banyak duit dan keren pula. Digoda terus-terusan, takutnya ada yang lemah iman. Sementara di sisi lain, pacarnya kebanyakan mikir. Cemas ini-itu, nggak jelas."

Renard benar-benar merasa terpojok. "Jadi, maumu aku gimana?"

"Kok malah nanya mauku, sih? Aku cuma pengin ada yang ngelindungin Siahna. Kuulangi, dia bisa jaga diri. Tapi, setelah semua yang dialaminya, aku pengin Siahna bahagia. Karena selama ini dia nggak pernah tertarik sama laki-laki mana pun, aku kaget banget akhirnya Siahna mau jadi pacarmu. Itu langkah besar buat dia. Jadi, kuharap kamu bisa lebih tegas, Re. Maksudku, apa selamanya kalian cuma pengin pacaran?"

Renard memijat tengkuknya. "Aku serius sama hubungan kami. Tapi memang belum kepikiran untuk melangkah lebih jauh. Pelan-pelan ajalah, sampai sama-sama merasa memang udah waktunya."

Tarikan napas Kevin terdengar sesaat kemudian. "Aku paham, sih. Karena pernah gagal, kamu pasti jadi lebih hati-hati. Di sisi lain, mantan suami yang katamu posesif ini, khawatir sama Siahna dengan banyak alasan. Apalagi belakangan ini aku banyak dapat pelajaran hidup. Selagi bisa, lakuin hal-hal yang bikin bahagia tanpa banyak pertimbangan yang nggak perlu. Jangan sampai punya banyak penyesalan."

Kalimat Kevin membuat Renard tidak bisa memejamkan mata sama sekali.

Lagu : You Are The Reason (Calum Scott & Leona Lewis)

Catatan :

Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.

Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.

Senin dan Selasa : I Need You - kakahy

Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo

Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco

Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri

Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians

Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top