Chapter 25

Siahna sungguh ingin menghilang dari ruang keluarga itu. Kevin tidak pernah memberitahunya dan Renard bahwa lelaki itu mengundang kedua kakaknya juga. Mungkin karena Kevin sudah membayangkan respons dari Renard. Lelaki itu pasti melarang adiknya untuk memperkenalkan Razi pada Arleen dan Petty. Karena menurut Renard, kedua saudara perempuan mereka butuh waktu untuk menerima kenyataan tentang si bungsu.

Di sinilah mereka semua. Siahna tidak tahu pasti apa yang terjadi andai dia berada di posisi Petty atau Arleen. Karena perempuan itu tidak pernah memiliki saudara kandung. Dia melirik Renard yang tampak terlalu kaget hingga tak mampu bicara. Renard berkali-kali mengacak rambutnya, kebiasaan jika sedang kesal atau bingung.

"Jadi, kamu beneran gay, Kev?" Petty masih belum bisa menerima kenyataan dengan lapang dada. "Dan udah pacaran sama bosmu selama lima tahun?"

"Lima setengah," ralat Kevin. Lelaki itu tampak begitu tenang, duduk di sebelah kanan Razi. Sang perancang memandangi setiap orang dengan tatapan penuh ketertarikan, bersikap tak kalah santai. Ini kali pertama Siahna bertemu langsung dengan Razi. Kesannya, pria itu tidak banyak bicara.

Razi lebih menawan dilihat secara langsung. Berkulit cokelat, tidak terlalu tinggi, sekilas mirip Mike Lewis versi Melayu. Lelaki itu hanya mengenakan kemeja lengan pendek abu-abu tua dan celana bahan berwarna senada, tapi mampu memberi kesan elegan.

Tebakan Siahna, Kevin sudah mempertimbangkan segalanya dengan matang dan siap akan risikonya. Karena mantan suaminya bukanlah orang impulsif yang gemar menuruti dorongan hati sesaat. Hari ini, Kevin menunjukkan dia siap menghadapi dunia demi mengakui hubungan terlarangnya dengan Razi.

"Kevin, kurasa kita perlu ngomong dari hati ke hati tanpa kehadiran orang lain." Petty menatap Razi dan Siahna terang-terangan. Saat itu Siahna pun paham, bahwa Petty tetap menyalahkannya karena kandasnya pernikahan dengan Kevin.

"Siahna berhak ada di sini. Aku yang bikin dia terperangkap di pernikahan nggak sehat. Lagian, Siahna tetap aja salah satu teman baikku. " Kevin menoleh ke arah Razi. "Aku juga nggak bakalan nyuruh Razi pulang. Aku nggak pernah merahasiakan apa pun dari dia."

Petty menjadi emosional tapi Sammy berhasil menenangkan istrinya. Sementara Arleen nyaris tak bicara tapi berkali-kali mengusap air mata. Siahna bangkit dari sofa tunggal yang didudukinya, pindah ke sebelah kiri Arleen yang memang kosong. Dia memegang tangan iparnya, mencoba menenangkan perempuan itu.

Makan malam yang sudah disiapkan pun tak tersentuh sama sekali. Sudah jelas tak ada satu orang pun yang berselera makan. Siahna beberapa kali mencuri pandang ke arah Renard. Kekasihnya tampak muram, belum membuka mulut sama sekali sejak tadi. Saat itu, Siahna merasa berada di tempat yang salah. Seharusnya dia tak pernah menyetujui undangan Kevin.

"Jadi, sekarang Siahna tinggal di mana?" Petty akhirnya menyebut nama mantan iparnya dengan suara datar tanpa nada menyalahkan.

"Aku penginnya Siahna tetap di apartemen karena aku tinggal di rumah Razi yang merangkap kantor Puspadanta. Supaya lebih gampang aja urusan kerjaan," Kevin memberi penjelasan. "Tapi Siahna nggak mau. Minggu depan dia bakalan pindah ke kos-kosan."

Ya, meski Kevin setengah memaksa agar Siahna tidak meninggalkan apartemen, tentu saja perempuan itu menolak. Dia harus segera pindah. Pilihan jatuh pada sebuah tempat indekos yang letaknya tidak terlalu jauh dari toko Puspadanta.

"Aku mau tanya satu hal. Kemarin udah nanya ke Renard tapi jawabannya nggak bikin puas," cetus Petty lagi.

Mendadak, punggung Siahna terasa membeku. Tanpa sadar, dia menatap Renard yang terpisah beberapa meter darinya. Perasaan tak nyaman membuat kepalanya memanas.

"Mbak, aku udah ngasih jawaban yang jelas. Bagian mana yang bikin kamu nggak puas?" sergah Renard, akhirnya menghentikan kebisuannya. "Jangan nambah masalah lagi, deh," dia mengingatkan.

Seperti biasa, Petty mengabaikan peringatan adiknya. Siahna menahan napas. Dia selalu menyukai Petty yang supel dan menyambut kehadirannya dengan tangan terbuka. Akan tetapi, sisi keras kepala dan reaksi yang emosional membuat keadaan makin sulit. Kini, di depan Siahna, Petty kehilangan keramahan dan kehangatannya.

"Apa Siahna pernah aborsi anak kamu, Kev?"

Tak cuma Kevin yang tampak kaget, Razi pun ikut bereaksi. Makiannya terdengar jelas, membuat Petty meliriknya dengan tajam.

"Siahna beneran hamil sama kamu?" tanya Razi dengan nada mendesak. Wajah lelaki itu berubah pias. Siahna pun teringat obrolannya di masa lalu dengan Kevin, tentang Razi yang mencemburuinya. Kevin sontak membantah dengan sederet kalimat.

"Aku nggak pernah hamil anaknya Kevin. Apalagi aborsi." Siahna berjuang untuk merespons setenang mungkin.

"Kalau nggak, kenapa Bella bisa tau? Masa iya dia berani ngarang cerita fatal kayak gitu?" bantah Petty. Kalimatnya membuat Siahna mual. Apakah hari ini dia harus membongkar rahasia mengerikan itu demi untuk menenangkan Petty.

"Bella yang ngomong?" suara Kevin meninggi. "Re, kamu tau ini? Kenapa nggak bilang?" protesnya pada sang kakak.

"Aku tau, tapi kukira nggak bakalan panjang. Aku udah ngomong sejelas-jelasnya ke Mbak Petty. Ternyata belum bisa bikin dia puas."

Kevin mengalihkan tatapan ke arah Petty. Wajahnya tampak mengeras. "Mbak, jangan terlalu suka berprasangka. Bella itu gila, kita udah buktiin itu selama dia jadi istri Renard. Jangan percaya semua omongan dia. Malah Mbak harusnya curiga, apa maunya Bella sampai tega nyebarin berita kayak gitu. Yang jelas, Siahna itu perempuan lurus yang nggak akan bertindak sejauh itu. Dia itu penyayang anak-anak, nggak bakalan punya niat untuk aborsi."

Pembelaan Kevin membuat Siahna lega. Apalagi dia mendengar ucapan Arleen sesaat kemudian. "Aku juga nggak percaya Siahna kayak gitu."

Petty mengembuskan napas. "Buatku, tetap aja nggak masuk akal kenapa Bella..."

"Nggak usah mikir terlalu serius, Mbak. Bella punya alasan yang kadang buat kita rasanya terlalu mengada-ada," potong Renard. "Please ya, nggak usah terus mojokin Siahna. Kita nggak perlu berantem melulu gara-gara omongan Bella, kan?"

Siahna merasa pening. Namun kali ini Arleen yang ganti berusaha menenangkannya. "Aku ada di pihakmu," bisik perempuan itu. Kali ini, Arleen sudah tidak menangis lagi.

Jika Siahna mengira kehebohan malam itu sudah usai, dia keliru. Kevin tampaknya memiliki pemikiran yang berbeda dan ingin memanfaatkan momen itu dengan maksimal.

"Satu lagi, aku ada pengumuman penting. Detailnya gimana, nggak usah dibagi karena nggak akan mengubah apa-apa. Tapi kurasa udah saatnya kalian kukasih tau. Minimal, supaya kalian bisa nyiapin mental pelan-pelan." Kevin berhenti. Seolah hendak membuat efek dramatis, lelaki itu memandangi seantero ruangan sebelum melanjutkan pengumumannya. "Aku positif HIV sejak dua tahun lalu."

oOo

Siahna tidak mengira jika Kevin mengumumkan penyakitnya juga. Kali ini, reaksi kaget tak cuma berasal dari Petty. Melainkan juga dari Renard dan Arleen. Siahna yang sudah mengetahui masalah itu sejak lama, hanya bisa memejamkan mata dengan kepala seakan sedang dipalu.

Dia tidak setuju pilihan Kevin untuk mengungkapkan penyakitnya. Meski selama ini kondisi pria itu stabil karena menjalani pengobatan dengan disiplin, keluarganya takkan mudah menerima fakta itu. Ketakutan luar biasa sudah pasti dirasakan semua orang, mengira Kevin sedang sekarat. Meski nyatanya banyak orang yang bertahan hidup tanpa masalah berarti kendati mengidap HIV.

Petty meledak, mengucapkan banyak kalimat tajam yang intinya menyimpulkan bahwa Kevin menderita HIV sebagai hukuman Tuhan untuk kesesatannya. Dia juga sempat bertanya, siapa yang menularkan penyakit itu pada sang adik. Renard meminta Petty menjaga kata-katanya, begitu juga dengan Sammy. Kevin tetap besikap rasional, tidak ikut bereaksi keras meski kakaknya mengucapkan kalimat provokatif yang memerahkan telinga.

"Kamu udah tau ya, Na?" tanya Arleen dengan suara berbisik. Pertanyaan itu mengalihkan perhatian Siahna.

"Iya, Mbak. Udah lama taunya."

"Tapi kondisi Kevin baik-baik aja?"

"Setauku sih nggak ada masalah."

Arleen meremas tangan Siahna. "Petty memang selalu emosi kalau ada sesuatu yang dia nggak bisa terima. Kamu harus maklum, ya. Dia nyalahin kamu karena kalian cerai. Padahal... kesalahan bukan di tanganmu, Na."

Perempuan itu hanya mengangguk, lidahnya terlalu kelu untuk bicara. Dia memaklumi Petty, tapi hubungan mereka mustahil bisa seperti dulu. Siahna menyayangkan itu, tapi dia tak bisa melakukan apa pun.

Siahna yakin, dia kesulitan melewatkan malam itu karena histeria Petty. Kali ini, perempuan itu susah ditenangkan hingga Sammy berinisiatif mengajak istrinya pulang. Siahna cuma bisa memandangi punggung Petty dan Sammy saat meninggalkan ruang keluarga. Untuk pertama kalinya, Siahna lega karena Miriam sudah berpulang. Andai perempuan itu masih hidup dan mendengar sendiri kebenaran dari bibir Kevin, situasinya pasti sangat mengerikan.

"Kamu udah tau, kan? Kenapa nggak ngomong soal penyakit Kevin?" tuntut Renard ketika mengantar Siahna pulang.

"Aku nggak bisa karena bukan wewenangku untuk ngasih tau kamu."

"Kevin itu adikku, Na. Kalau terjadi sesuatu yang buruk sama dia, aku berhak tau, kan?" Renard beralasan. Masuk akal.

"Kevin memang ngasih tau rahasianya. Tapi dia nggak pernah bilang bahwa aku boleh ngasih tau orang lain." Siahna memijat pelipisnya. Terlalu banyak yang terjadi hari ini dan membuat kepalanya berputar. "Lagian, toh dia udah ngaku. Apalagi yang mau diributin?"

Renard terdiam, hanya helaan napasnya yang terdengar. Keheningan menguasai mobil yang dikendarai lelaki itu. Jalanan Kota Bogor masih dipenuhi banyak kendaraan. Siahna memejamkan mata, merasa penat.

"Maaf. Aku jadinya kayak sengaja nyari kambing hitam untuk bikin perasaanku membaik. Beneran nggak nyangka Kevin... sakit."

Siahna menoleh ke kanan. Tangan Renard mencengkeram setir. Ekspresi lelaki itu membuat Siahna ikut merasakan sakit yang sedang mendera Renard. Dia tahu lelaki itu sangat menyayangi adiknya.

"Sekarang ini, kena HIV nggak berarti kiamat, Re. Banyak orang yang baik-baik aja sepanjang disiplin berobat. Kan tadi kamu dengar sendiri gimana Kevin ngejabarin kondisinya. Jadi, nggak perlu cemas. Oke?"

Renard mengerling ke arah Siahna. "Oke."

"Apa menurutmu Mbak Petty bisa bersikap kayak dulu lagi sama aku, Re?"

Lelaki itu tertawa kecil. "Dia memang emosional dan sering nggak pikir panjang dalam banyak hal. Nanti juga balik lagi, kok."

Siahna tidak yakin itu. Paling tidak, dia sendiri pun akan sulit melupakan semua kata-kata tajam yang diucapkan Petty. Tuduhan-tuduhannya. Perempuan itu melamun hingga tidak mendengar dengan jelas ucapan Renard.

"Kamu barusan ngomong apa? Aku nggak dengar."

"Ish, makanya jangan melamun," cibir Renard. "Kubilang, tadi aku sempat tergoda untuk bikin pengakuan. Mumpung situasinya udah chaos. Biar Mbak Petty dan Mbak Arleen terima semua kejutan dalam satu paket. Besok-besok kan udah tenang."

"Pengakuan apa?" tanya Siahna sambil lalu.

"Kalau kita lagi pacaran. Level superserius."

Siahna merespons dengan bibir terbuka dan mata terbelalak. "Hah?"

Renard mengangguk santai. "Iya, sempat kepikiran. Tapi batal karena ngeliat reaksi Mbak Petty. Aku nggak tega, takut kakakku pingsan karena terima terlalu banyak kejutan. Tapi, tetap aja kita nggak bisa selamanya sembunyi-sembunyi kayak gini, kan?"

"Tapi bukan berarti harus buru-buru bikin pengumuman," sergah Siahna. "Nantilah kalau situasinya udah kondusif. Lagian, aku pengin nikmati suasana tenang bareng pacarku."

Siapa sangka, ketenangan yang diinginkan Siahna hanya bertahan selama sebulan. Sebelum semua berubah dalam ledakan dendam yang menyeret perempuan itu ke dalam penderitaan baru. Kadang, ternyata kebenaran lebih baik disimpan dalam pintu terkunci saja.

Lagu : Please Forgive Me (Bryan Adams)

Catatan :

Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.

Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.

Senin dan Selasa : I Need You - kakahy

Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo

Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco

Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri

Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians

Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top