Chapter 21
Siahna takut sekali ketika menyadari perasaannya pada Renard sudah melenceng dari yang seharusnya. Meski merasakan ketertarikan pada iparnya, bahkan sejak pertama kali menatap Renard, Siahna tidak yakin apa yang sebenarnya dirasakan. Kesalahan terbesarnya adalah membalas ciuman Renard di rumah sakit. Hal itu ternyata memberi impresi di luar dugaan.
Perempuan itu kehilangan ketenangan. Akan tetapi, pada akhirnya Siahna tidak bisa terus-menerus memerangi diri sendiri, menolak mengakui perasaannya. Apalagi Renard adalah pria yang sulit untuk ditolak. Kegigihan dan kekeraskepalaannya tergolong langka. Belum lagi perhatiannya yang tak henti. Siahna sudah mengabaikan puluhan telepon dan ratusan pesan Renard sejak Miriam meninggal. Namun tidak membuat lelaki itu mundur dengan mudah.
Dalam banyak kesempatan, bayangan mereka sedang berciuman memenuhi kepala Siahna. Parahnya lagi, entah berapa kali perempuan itu bertanya-tanya kapan mereka bisa mengulangi momen itu lagi. Gila, memang.
Sejak hari menakutkan di rumah Ashton itu, berciuman dengan lawan jenis adalah salah satu hal paling mengerikan dalam hidup Siahna. Sebelum mendapat pengobatan, berkali-kali Siahna harus muntah dan nyaris histeris hanya karena membayangkan Verdi menciumi wajahnya yang sedang dalam kondisi antara sadar dan tidak.
Karena itu, Siahna sangat bersyukur bisa berada di titik ini. Dia bukan lagi gadis depresi yang nyaris tak sanggup menghadapi serangan tornado masalah yang susul-menyusul dalam tempo singkat. Waktu yang panjang dan pengobatan intensif memberi efek positif untuk Siahna. Meski mungkin dia takkan pernah pulih total. Paling tidak, perempuan itu sudah terbebas dari mimpi buruk.
Siahna dewasa tidak pernah berdekatan dengan pria mana pun, secara fisik dan emosi. Tak ada lawan jenis yang bisa menembus pertahanannya. Bahkan Cedric yang begitu gigih mendekatinya selama hampir setahun, dengan segala jenis rayuan yang dilakukan oleh pria berpengalaman, gagal membuat Siahna tergerak.
Memiliki hubungan romantis dengan seorang lelaki lebih mirip kemustahilan. Akan tetapi, lihatlah dia sekarang! Siahna sedang berada dalam dekapan Renard yang menyamankan itu. Renard yang cerewet itu tak lagi bersuara setelah "mengancam" Siahna agar tak menarik kata cintanya. Tentu saja itu hal terakhir yang terpikirkan oleh perempuan itu. Bukan hal mudah baginya untuk melisankan pengakuan.
"Sejak kapan kamu nyadar udah jatuh cinta sama aku?" Renard akhirnya membuka mulut.
"Bisa nggak sih, kamu nggak usah nanya-nanya dan cuma meluk aku doang?" protes Siahna. Pipinya masih menempel di dada kanan Renard. Air mata perempuan itu sudah mengering. Kesedihan dan perhatian Renard menjadi kombinasi yang menakutkan hingga Siahna tak sanggup lagi menahan kebenaran yang selama ini disembunyikannya.
"Nggak bisa, Sweetling. Aku penasaran."
"Renard, jangan ngasih panggilan aneh kenapa? Namaku Siahna."
"Namamu Sweetling," bantah Renard dengan kepala batu. "Kamu itu Sweetling-ku. Satu-satunya. Harusnya, kamu ngerasa istimewa, bukan malah protes melulu. Karena aku nggak bakalan ngeganti nama kesayanganmu. Memangnya kamu mau dipanggil Baby, Honey, Bebeb, Cinta? Bukannya itu lebih norak? Mana pasaran banget lagi. Aku nggak mau ngasih nama yang biasa buatmu. Harus yang istimewa."
Siahna tertawa kecil. "Ya udahlah, aku kayaknya nggak sanggup ngelawan kamu. Kepalaku jadi puyeng."
"Tuh, tau."
Balasan yang menjengkelkan dari Renard itu membuat Siahna mengulum senyum. Entah bagaimana merasionalkan kisah mereka berdua. Siahna sudah mencoba melakukannya selama berbulan-bulan ini. Namun tampaknya cinta memang sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Tidak diketahui kapan datangnya, mendadak... boom! Terlambat untuk menghindar atau melakukan pencegahan karena Siahna sudah terperangkap.
"Re..."
"Hmm? Mau protes apalagi?"
"Bukan mau protes, kok. Cuma mau ngingetin doang. Jalan kita nggak bakalan gampang, lho. Aku nggak berani bayangin reaksi keluargamu kalau tau soal kita."
"Hari ini, aku nggak mau mikirin yang rumit-rumit. Maunya menikmati kebahagiaan gara-gara kamu ngaku cinta sama aku. Yang lain-lain ntar nyusul." Renard mengetatkan pelukan sebelum mundur. Lelaki itu membungkuk di depan Siahna. "Sekarang, lanjut lagi makannya. Nasi gorengnya masih banyak, tuh."
Siahna menurut. Tamunya kembali menempati kursi di depan perempuan itu. Kali ini, wajah Renard tampak bahagia dengan senyum lebar menghias bibirnya. Lesung pipitnya pun terlihat jelas. Meski jengah, Siahna berpura-pura berkonsentrasi pada makanannya.
"Nasi gorengnya harus dihabisin, ya? Kamu tuh udah kurus kering gitu."
"Aku nggak kurus kering. Beratku memang turun dikit. Tapi, itu kan wajar? Setelah ngalamin banyak hal."
Siahna memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Tampaknya, kehadiran Renard mirip spons yang menyerap hal-hal negatif dari sekeliling perempuan itu. Sudah berhari-hari selera makannya kacau. Namun hari ini, Siahna berhasil menghabiskan satu porsi nasi goreng tanpa kesulitan berarti.
"Kamu makan sesuatu dong, Re. Masa cuma ngeliatin aku doang. Pempek, ya?" tanya Siahna. Perempuan itu memasukkan wadah nasi goreng ke kantong plastik sebelum membuangnya ke tempat sampah.
"Aku udah makan, ini masih kenyang."
"Minum susu aja, ya?" Siahna mengambil gelas dari dalam kabinet. "Kamu tunggu aja di ruang tamu."
"Nggak ah, aku ogah ninggalin kamu sendirian meski cuma beberapa menit. Ini hari pertamaku jadi pacarmu." Renard tiba-tiba berdiri di sebelah kanan Siahna. "Eh, sebentar! Aku nggak perlu ngomong 'kita pacaran, yuk' atau sejenisnya supaya hubungan kita jadi resmi, kan?" tanyanya, terdengar tidak yakin.
Siahna terbahak-bahak, apalagi saat melihat ekspresi bingung di wajah Renard. "Kamu kira umurku berapa? Aku udah lebih 27 tahun, sebentar lagi resmi bercerai. Nggak perlu diomongin kayak gitu."
" Oke. Aku kan cuma jaga-jaga. Takut ntar kamu jadiin alasan untuk bikin masalah."
Siahna mengaduk susu yang baru diseduhnya dengan hati-hati. Senyumnya terkulum. "Apa semua laki-laki kayak kamu? Ngerasa harus bikin pernyataan resmi kayak gitu?" Siahna membiarkan tangan kiri Renard melingkari bahunya. "Aku... udah lupa rasanya kayak apa. Cuma sekali pacaran sebelum... langit runtuh."
"Aku udah pernah bilang kalau aku ada untuk ngasih kamu kenangan baru dan menghapus semua memori busuk tujuh tahun lalu, kan?" Renard mengcup pelipis Siahna.
"Renard, jangan ngegombal melulu. Ntar aku bisa semaput." Siahna menunjuk ke arah pintu, mengajak lelaki itu meninggalkan dapur. Mereka jalan bersisian dengan Renard masih memeluk pacar barunya.
"Tadi kamu kenapa nangis, sih? Apa ada masalah baru?"
Siahna meletakkan susu milik Renard ke atas meja. Lelaki itu sudah lebih dulu duduk di sofa sebelum menarik tangan kiri Siahna. Dengan tangannya yang bebas, Renard meraih remote dan menyalakan televisi.
"Nggak ada. Memangnya, menurut kamu, semua yang terjadi masih kurang dramatis?"
"Bukan gitu, sih. Tapi kamu jadinya bikin aku cemas. Takut ada apa-apa sampai sesedih itu," beri tahu Renard. Hati Siahna terasa hangat karena kata-kata pria itu.
"Aku... gimana ya ngomongnya?" Siahna menggigit bibir. Dia tidak tahu apakah sebaiknya bicara blakblakan di depan Renard atau sebaliknya.
"Ngomong aja, nggak usah ditutupi," saran Renard.
Siahna duduk di sebelah kanan tamunya sembari menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan. "Nggg... sebenarnya tadi itu aku nggak sedih, sih. Aku nangis sebenarnya karena takjub. Kok kamu bisa sepeduli itu sama aku. Padahal semua telepon, SMS, dan WhatsApp-mu kucuekin. Beberapa kali ngomong cinta pun aku nggak pernah nanggapin. Di depan yang lain, waktu Mbak Petty marah kemarin itu, kamu belain aku." Siahna menggeleng pelan. Ditatapnya pria itu dengan senyum sedih. "Kevin udah cerita soal keluargaku? Selama ini, nggak pernah ada orang yang merhatiin aku sedetail kamu, Re. Jadinya aku... kewalahan."
"Cinta ya memang kayak gitu, Sweetling." Renard kembali melingkarkan tangan ke bahu Siahna, menarik perempuan itu ke arahnya. "Kevin cerita, tapi cuma garis besarnya aja. Aku lebih suka dengar langsung dari kamu."
Siahna menyandarkan kepalanya di bahu Renard. "Tadinya, aku pengin jauh-jauh dari kamu. Kupikir, setelah aku dan Kevin cerai, kita nggak bakalan ketemu lagi. Tapi, pas tadi kamu ngebel berkali-kali, aku tau nggak ada gunanya ngehindar. Karena kamu nggak bakalan nyerah dengan mudah."
Renard mengecup rambut Siahna. "Nggak bakalan ketemu lagi, ya? Mimpi, tau! Aku nggak akan nyerah gitu aja. Karena kamu layak banget untuk diperjuangkan."
"Serius?"
Renard sempat menjauhkan tubuhnya dari Siahna agar leluasa menatap perempuan itu. "Kamu nggak percaya?"
Perempuan itu mendesah pelan. "Teorinya sih aku tau. Tapi, pengalamanku sendiri bikin sulit untuk percaya kalau aku..." Siahna terdiam.
"Ceritain semuanya sama aku, Sweetling. Supaya aku tau apa yang pernah kamu alami dan nggak ngulangin hal yang sama," bujuk Renard. "Dalam suatu hubungan yang dewasa, terbuka itu penting banget. Jangan pernah mikir kalau aku bakalan jadiin itu sebagai senjata untuk ngelukain kamu. Aku bukan tipe orang yang kayak gitu."
Siahna akhirnya menghabiskan waktu lumayan panjang untuk membagi kisah keluarganya dengan Renard. Lelaki itu mendengarkan dengan sabar, sama sekali tidak menyela. Ketika Siahna menyinggung pengalaman horornya tujuh tahun lalu, Renard langsung melarang.
"Nggak usah. Aku kan pernah bilang, udah tau semuanya dari Kevin. Jadi, kamu nggak perlu ngulangin lagi."
Siahna menurut. Sebenarnya, dia pun tak ingin menceritakan ulang peristiwa mengerikan itu. "Eh iya, aku masih belum paham tentang satu hal. Kenapa Bella nggak datang pas pemakaman Mama? Kevin kan kemarin itu bilang, dia nggak ngizinin Bella datang. Tapi pas kutanya, dia nggak mau jawab detail. Bingung dan penasaran sih jadinya."
Renard mengelus bahu Siahna yang dipeluknya. "Aku juga nggak tau pasti Kevin ngomong apa. Setauku, pas aku ceritain kalau Bella dan Abel itu orang yang sama, Kevin langsung ngamuk. Dia nelepon Bella dan marah-marah. Setelah aku pulang, dia sengaja datang ke butiknya Bella. Nggak tau ngomong apa aja. Trus, waktu Mama meninggal, Kevin minta izin sama aku untuk ngabarin Bella. Lagi-lagi aku nggak tau detail obrolan mereka. Tapi aku percaya sih, Kevin ngelarang Bella untuk datang. Hebat juga dia, bisa bikin Bella nurut."
"Oh gitu ternyata," Siahna manggut-manggut.
"Sweetling, tau nggak kenapa aku jatuh cinta sama kamu sampai setengah sinting?"
Siahna tertawa geli. "Nggak tau. Kayaknya, kamu memang sinting. Bukan karena jatuh cinta sama aku. Enak aja nyalahin orang."
Renard menjawab santai. "Karena kamu sayang banget sama Mama. Masih ingat kejadian pas kita nginep di rumah sakit, kan?"
Siapa yang bisa melupakan malam itu? "Kamu sengaja mau bikin aku malu, ya?" Siahna bersungut-sungut.
"Aku serius." Renard menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Waktu aku dengar kamu marah sama Kevin karena nggak bisa dikontak, trus setelahnya kamu nangis gara-gara mencemaskan Mama, itulah saatnya aku tau udah beneran jatuh cinta sama kamu. Aku sayang banget sama Mama. Tapi Bella nggak peduli sama sekali. Kadang, diajak mampir ke rumah Mama aja pun bisa bikin kami ribut besar. Lalu, aku ngeliat kamu yang bela-belain jaga Mama sendiri di rumah sakit. Gimana aku nggak mabuk kepayang, coba? Kamu itu gampang banget dicintai. Nggak pernah nyadar, ya?"
Siahna tak mampu memikirkan kalimat apa pun untuk merespons ucapan lelaki itu. Karena itu, dia cuma memeluk lengan Renard sembari bersandar pada kakak iparnya. Renard mengelus punggung tangan Siahna.
"Mulai sekarang, jangan lagi menanggung semuanya sendirian, ya? Karena kamu punya aku."
Sebenarnya, Siahna hendak mengoreksi. Renard memang pria bebas, tapi dia memiliki keyakinan bahwa Bella akan membuat semuanya lebih rumit. Setelah sekian tahun pun Bella terkesan masih membencinya, entah apa alasannya. Apalagi jika dia tahu hubungan Renard dengan Siahna. Akhirnya, Siahna cuma berujar, "Kalau kamu bikin patah hati, aku bakalan ngajuin permintaan ke Tuhan supaya kamu dikasih tempat khusus di neraka."
Lagu : My Love (Westlife)
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top