Chapter 2

Renard Julien tersenyum ke arah perempuan berkebaya putih yang sudah resmi menjadi iparnya. Dia berdiri sambil mengulurkan tangan, melisankan nama. Siahna juga berdiri, agak membungkuk sebagai isyarat penghormatan. Perempuan itu bergumam dengan suara halus.

"Maaf ya, karena kita baru bisa ketemu sekarang. Alasannya klise, tapi memang faktanya kayak gitu. Kerjaan yang numpuk," kata Renard, berusaha bicara dengan gaya santainya yang biasa.

"Nggak apa-apa. Saya maklum, kok," balas Siahna sopan.

"Mama yang nggak bisa maklum," potong Miriam.

Renard berjongkok lagi di depan ibunya. "Maaf banget, Ma. Memang situasinya kayak gitu," dia menyeringai. "Tapi aku janji. Setelah ini bakalan sering ketemu Mama. Ntar, Mama jangan komplain kalau sering banget liat mukaku."

Renard nyaris memberi tahu Miriam tentang rencana yang akan diwujudkannya dalam waktu seminggu ke depan. Namun seolah ada tombol rem yang menahan hingga dia menelan kembali kata-katanya. Bagaimanapun, ada Siahna yang baginya masih merupakan orang asing. Lagi pula, seharusnya semua orang hanya boleh mendengar kabar bahagia saja di hari ini, kan?

"Kamu janjinya gitu melulu dari tahun ke tahun. Bosan Mama. Padahal, belum tentu Mama panjang umur dan..."

Siahna yang menukas cepat sebelum Renard melakukannya. "Mama bakalan panjang umur, kok. Nggak boleh mikir yang negatif lho, Ma."

"Mama nggak mikir negatif, Na. Umur Mama udah lebih enam puluh tahun. Trus, kondisi fisik juga nggak fit lagi." Miriam berhenti sejenak untuk mengatur napas. Itu bukan hal yang aneh sejak Miriam terserang stroke. Dulu, kondisinya bahkan lebih parah. "Tapi mereka-mereka ini selalu sibuk. Belum tentu sebulan sekali datang ke sini."

Renard melihat Siahna memegang tangan kiri ibunya. "Saya bakalan datang sesering mungkin, Ma," janji perempuan itu.

Andai Renard tidak tahu pasti siapa adiknya, sudah pasti dia akan mengagumi istri pilihan Kevin. Ini memang kali pertama Renard bertemu Siahna, tapi telinganya sudah nyaris tuli mendengar puja-puji tentang perempuan itu. Sumbernya? Kedua kakak dan ibunya. Sementara Kevin, seperti biasa, tidak terlalu suka mengumbar segala hal yang sifatnya pribadi.

Menurut Petty, Siahna cantik dan perhatian pada Miriam. Pas menjadi pasangan Kevin. Sementara Arleen memuji Siahna karena mudah akrab dengan keluarga mereka, termasuk anak-anak. Petty pernah menunjukkan fotonya bersama Siahna saat Renard bertemu kakaknya. Hari ini, Renard melihat sendiri sikap penuh perhatian yang ditunjukkan perempuan itu pada ibunya. Namun itu tidak membuat Renard lantas terpesona membabi-buta. Ada beberapa hal mengganjal yang Renard yakin memiliki alasan masuk akal.

Dia harus sepakat bahwa adik iparnya memang menawan. Akan tetapi, ketika melihat Siahna langsung dengan matanya, Renard tahu bahwa perempuan itu bukan orang yang fotogenik. Aslinya, sang ipar jauh lebih cantik.

Siahna berkulit kuning langsat. Rambutnya yang saat ini disanggul dengan gaya sederhana, melewati bahu. Setidaknya, itu yang dilihat Renard saat Petty menunjukkan foto bersama perempuan itu. Wajah Siahna berbentuk hati, dengan dagu yang cukup lancip dan pipi tirus. Hidungnya sedang sementara bibir perempuan itu tergolong mungil. Matanya memiliki ujung lancip yang mengarah ke atas, tapi -entah kenapa- terkesan sendu.

"Iya, Ma. Jangan mikir yang negatif. Mama harus ngebayangin yang bagus-bagus. Kayaknya kita bisa ngerencanain liburan, deh," Renard akhirnya bersuara. Dia sudah melihat bagaimana Siahna membujuk ibunya dengan kata-kata manis yang memicu senyum lebar di bibir Miriam. Paling tidak, Kevin memilih istri yang bisa menghibur ibu mereka. Meski Renard -untuk saat ini- tak berani mencari tahu apa yang menjadi imbalannya.

"Liburan apaan? Pasti ntar ujung-ujungnya batal karena kalian pada sibuk."

Rasa bersalah membuat Renard memejamkan mata sesaat. Dia takkan mengulangi kekeliruan yang pernah dibuatnya. Itulah sebabnya lelaki itu mengambil keputusan drastis meski menuntut pengorbanan besar darinya.

"Kali ini pasti bisa, Ma. Nanti deh, aku cari waktunya. Serius ini, lho!"

Miriam tertawa kecil. "Iya deh, Mama percaya."

Sepanjang sisa acara, Renard tak banyak bertukar kata dengan iparnya yang menyibukkan diri berbincang dengan Miriam atau menempel di sebelah Kevin. Renard malah diinterogasi oleh Petty tentang ketidakhadiran istri dan anaknya.

"Aku sih senang karena kamu nggak ngajak istrimu ke sini. Karena kita nggak perlu ngadepin perempuan bermasalah yang bisa ngamuk cuma karena kamu dianggap nggak perhatian sama dia," cetus Petty pedas. "Kali ini kamu bikin keputusan bijak, nurut sama rekomen semua orang. Tumben."

"Makasih untuk pujiannya, Mbak," sindir Renard.

Petty buru-buru membela diri. "Lha, biasanya kamu kan nggak peduli sama pendapat kami. Istri pujaanmu itu ditenteng ke mana-mana meski sering banget bikin onar. Aku salut karena kamu tabah banget ngadepin dia."

Istrinya selalu menjadi objek kritikan dari semua anggota keluarga, kecuali Kevin. Namun hal itu tidak membuat Renard tersinggung. Nyatanya, perempuan yang dicintainya selama bertahun-tahun memang sulit untuk disukai. Isabel yang biasa dipanggilnya dengan Bella, seorang pencemburu mengerikan yang berusaha menjauhkan Renard dari semua orang, termasuk keluarganya.

Memaklumi perilaku istrinya selama enam tahun pernikahan mereka bukanlah hal yang mudah. Namun, batas kesabaran dan toleransi Renard sudah terlampaui. Secinta-cintanya dia pada Bella -bahkan dulu mungkin mencapai taraf tergila-gila- lelaki itu tak sanggup lagi terus memainkan peran sebagai suami pengertian. Namun, Renard belum memiliki waktu untuk memberi tahu keluarganya. Terutama sekarang, saat si bungsu yang menjadi pujaan seisi rumah, akhirnya menikah.

"Re, kenapa Gwen juga nggak diajak, sih? Aku kangen sama dia, udah lumayan lama nggak ketemu," sela Arleen yang baru bergabung.

Kepala Renard langsung pusing. Dia teringat waktu puluhan menit yang harus dihabiskannya karena terlibat dalam drama bikinan Bella sejak pagi. Hingga lelaki itu telat menghadiri acara pernikahan adiknya sendiri. Tadi, dia sudah pasrah jika Miriam dan kakak-kakaknya murka. Untung saja mereka cukup mengerti meski tak urung menyindir Renard berkali-kali.

"Gwen lagi panas, Mbak. Makanya nggak kuajak. Nantilah setelah sembuh, mau kuajak nginep di sini. Kalian juga dong, sesekali kita ngumpul di rumah ini."

Mata Petty membulat. "Hah? Nggak salah, nih? Memangnya Bella bakalan ngasih izin kalau Gwen dibawa nginep? Aku ogah nginep juga kalau istrimu juga ke sini."

Renard menghela napas. "Iya, aku paham kok."

Arleen tiba-tiba bersuara. "Kamu kurusan, deh. Trus rambut udah panjang dan nggak cukuran. Beda tipis sama gelandangan yang sering keliling kompleks rumahku," celanya. "Mbok ya rapi dikit kenapa, Re? Dulu, kamu itu cowok paling trendi yang pernah kukenal. Kevin aja kalah. Sekarang kok malah butek gini."

Renard tertawa geli hingga matanya berair. Petty pun sama. Sementara Arleen malah menatap kedua saudaranya dengan ekspresi bingung. Seolah tidak menyadari lucunya kata-kata yang dilisankan perempuan itu.

Renard memang sengaja membiarkan rambutnya gondrong dan menunda bercukur. "Aku udah agak berubah, Mbak. Lagi nggak demen tampil klimis. Kesannya kurang macho."

Petty menyambar tanpa belas kasih. "Macho tapi takut sama istri. Nasibmu kok malang banget ya, Re. Coba dulu nikahnya sama Yessy. Ceritanya pasti beda."

"Pet, jangan manas-manasin melulu," Arleen menengahi. "Ini hari bahagianya Kevin, mari kita libur sejenak nge-bully Renard." Perempuan itu menepuk pipi kiri adiknya sambil tertawa kecil. "Lain kali, ajak Gwen ke sini. Dia kan perlu ngeliat om kesayangannya nikah. Siapa tau dia juga bisa dekat sama Siahna. Anakku pun gampang nempel sama dia. Lagian, supaya Gwen ngeliat contoh perempuan yang stabil."

Renard geleng-geleng kepala. Namun dia memilih untuk tidak membuat bantahan. Tanpa sadar, matanya kembali tertuju pada pasangan pengantin yang baru saja melegalkan hubungan mereka. Dia melihat Kevin sedang berbisik di telinga Siahna, sementara perempuan itu tertawa geli.

Kemesraan yang ditunjukkan oleh Kevin dan Siahna membuatnya mulas. Sejak mendapat kabar tentang Kevin yang membawa kekasihnya untuk bertemu Miriam dan kedua kakaknya, Renard tahu ada yang tidak beres. Namun dia mustahil membuka aib yang selama ini disembunyikannya dari dunia.

Setelah satu per satu tamu sudah meninggalkan rumah, Renard mengantar ibunya ke kamar. Lalu dia membopong Miriam sebelum membaringkan perempuan itu di atas ranjang. Tangan kanan Miriam terangkat, mengelus pipi putranya dengan lembut.

"Kamu kenapa, Nak? Seisi dunia bisa kamu bohongi, tapi bukan Mama."

Renard menyembunyikan kekagetannya dengan brilian. Ibunya seolah memiliki mata yang bisa membaca kedalaman jiwa anak-anaknya. "Nggak apa-apa, Ma. Cuma agak capek. Soalnya aku tugas ke luar kota, baru pulang tadi malam." Ini pengakuan jujur.

"Katanya Gwen sakit, ya? Tadi Mama kira dia ikutan cuma lagi main di kolam renang. Dia kan betah banget di sana."

"Iya, dia lagi panas. Makanya nggak kuajak. Tau sendiri kalau udah di sini, kayak kuda lepas dari kandang. Nggak bakalan bisa dilarang berendam di kolam renang."

Renard lega karena ibunya tidak mendesak. Karena jika itu yang terjadi, dia mungkin akan menyerah dan membongkar rahasia yang disembunyikan Renard berbulan-bulan ini. Lelaki itu tak ingin merusak hari bahagia Kevin. Miriam jelas-jelas sangat gembira karena putra bungsunya menikah. Jika Renard membahas apa yang sudah dilakukannya, ibunya pasti akan sedih. Hari ini, Renard cuma ingin Miriam merasa bahagia.

Lelaki itu berpapasan dengan perawat yang mengurus Miriam. Dia mangangguk sopan sebelum menuju dapur. Di halaman depan, para pegawai katering membereskan meja-meja berisi makanan dan mengumpulkan semua piring kotor. Renard sempat melihat ketiga saudara dan dua ipar lelakinya sedang mengobrol di ruang keluarga yang sudah kembali rapi. Istri Kevin justru tidak terlihat.

Makanya dia cukup kaget saat mendapati Siahna sedang di dapur sendirian. Perempuan itu berdiri seraya memegang cangkir di tangan kiri, menghadap ke arah jendela lebar yang menyajikan pemandangan kolam renang di halaman belakang. Aroma kopi samar-samar tertangkap hidung Renard.

Lelaki itu selalu memandang dirinya sebagai orang yang tak suka mencampuri masalah yang bukan urusannya. Namun, kali ini dia tak bisa menahan diri. Lelaki itu sengaja berdiri di sebelah kiri Siahna sebelum bertanya dengan nada datar, "Apa imbalannya sampai kamu mau jadi istri Kevin?"

Siahna menoleh secepat cahaya, memandang Renard dengan alis berkerut. "Maaf, barusan Mas Renard bilang apa?"

"Nggak usah pakai 'Mas', cukup Renard aja," ralat lelaki itu. "Barusan aku tanya, apa imbalannya sampai kamu mau jadi istrinya Kevin?" ulangnya.

Mimik Siahna sontak berubah manai, sebelum berganti merah karena marah. "Kenapa kamu bisa ngomong jahat gitu?" tanyanya tajam. "Apa yang salah kalau kami menikah? Toh, umurku dan Kevin udah lebih dari cukup. Kenapa harus nyebut-nyebut soal imbalan?"

"Karena aku tau banget siapa adikku," balas Renard tenang. Dia tidak terprovokasi dengan kemarahan Siahna yang masuk akal. Ya, memang salahnya jika sang ipar meledak. Kata-kata Renard sudah pasti menyakiti hati Siahna.

"Tau banget soal Kevin? Itu maksudnya apa? Setauku, kalian bahkan nggak ketemu sebulan sekali. Jadi, atas..."

"Sering ketemu nggak jadi jaminan kamu bisa kenal seseorang, lho!" tukas Renard. "Jujur aja, aku salut ngeliat kamu. Bisa ngehibur Mama dengan baik. Semua orang di rumah ini jatuh cinta sama kamu. Seolah kamu pahlawan hebat yang udah menyelamatkan keluarga ini." Renard tersenyum tipis saat menoleh ke kanan. "Tapi aku tau lebih banyak dari itu. Makanya aku yakin kalau kalian nikah dengan ngelibatin imbalan tertentu. Dan udah pasti bukan cinta."

Siahna tampak kesulitan bicara dan berlama-lama memandangi Renard dengan sorot murka. "Kata-katamu... jahat banget."

"Aku akan menghargai kalau kamu berani jujur, lho. Aku cuma muak aja ngeliat ada yang pura-pura tulus ngasih perhatian ke orang lain. Mama yang kumaksud. Karena kalau Mama tau apa yang terjadi sebenarnya, pasti sedihnya ampun-ampunan. Aku nggak mau Mama sampai terluka. Bukan cuma karena kesehatannya tapi juga karena aku sayang banget sama Mama." Renard berdeham. "Paling nggak, kamu bisa ngaku sama aku. Supaya aku punya rasa hormat sedikit ke kamu. Berapa banyak kamu dibayar Kevin untuk nikah sama adikku?"

Renard mengharapkan jawaban, bukan siraman kopi yang lumayan panas dan membuat kemeja batiknya bagian depan basah kuyup.

Lagu : I Run to You (Lady Antebellum)

Catatan :

Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.

Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.

Senin dan Selasa : I Need You - kakahy

Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo

Rabu dan Kamis : Lovesick - Indah Hanaco

Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri

Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians

Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top