Chapter 19
Siahna seperti orang linglung karena semua perlakuan dan kata-kata Renard. Lelaki itu tidak memberinya kesempatan untuk berpikir dengan jernih. Meski mengaku akan pelan-pelan membuat Siahna jatuh cinta, nyatanya Renard sama sekali bukan seorang penyabar. Dia menghujani Siahna dengan kata-kata, perhatian, bahkan genggaman tangan yang membuat perempuan itu kewalahan.
Malam itu, ketika Kevin masuk ke kamar dan menelentang di sebelahnya, Siahna tak bisa marah. Padahal, seharusnya dia murka karena Kevin sudah membongkar rahasianya yang cuma diketahui segelintir orang di dunia ini.
"Maaf ya Na, aku tau udah kelewatan," Kevin langsung bicara sambil menepuk-nepuk bantalnya. "Tapi Renard nggak bisa dibantah. Dia itu, kalau udah ada maunya, nggak bakalan bisa dihalangi."
Siahna bergerak, menghadap ke arah Kevin. "Aku tau. Tapi seharusnya... yah... kamu nggak ceritain semuanya."
"Renard ngancem mau ngasih tau Mama. Tapi itu masih belum bikin aku nyerah. Nah, pas dia cerita soal Bella, aku beneran nggak bisa nahan diri lagi. Aku ceritain semuanya, deh." Kevin mengusap wajahnya dengan tangan kanan. "Kalau aja kamu ngeliat ekspresi Renard tadi kayak apa..."
"Kenapa emangnya?" tukas Siahna.
"Aku belum pernah ngeliat muka Renard nakutin banget kayak tadi. Sempat merah semerah-merahnya, trus berubah pucat sepucat-pucatnya. Aku sampai takut dia bakalan kena stroke. Dia sempat gebrak meja segala, bikin pegawai restoran sampai datang ke meja kami karena ngira aku dan Renard lagi berantem. Padahal, tadi pas aku mukul dia kan kejadiannya di restoran dekat rumah Razi. Trus dia ngajak pindah tempat karena kami diliatin orang meski aku udah bayar ganti rugi." Kevin berusaha tersenyum. "Tapi itu bikin aku yakin kalau dia memang jatuh cinta sama kamu, Na."
Siahna buru-buru menyergah, "Kev, nggak usah ikutan gila kayak Renard, deh!"
Lelaki itu tertawa geli. "Serius, dia memang gila. Tergila-gila sama kamu, tepatnya. Eh, Na, tau nggak dia bilang apa pas baru ketemu aku dan bikin aku nonjok mulutnya?"
Siahna tidak berani membayangkan, tapi dia terpaksa mengalah pada rasa penasarannya. "Apa?"
Kevin menirukan suara Renard yang berat itu. "Dia bilang gini, 'aku jatuh cinta sama Siahna. Jatuh cinta level superserius'. Sinting, kan?"
Siahna melongo, mengingat lagi pengakuan Renard padanya beberapa jam silam. "Kenapa kamu cuma tiga kali doang nonjok mukanya, Kev?"
"Nggak berani lebih, takut Renard keburu ngamuk. Tiga kali itu yang bisa dia toleransi. Aku pasti kalah kalau harus berantem sama dia. Dia itu jago taekwondo, Na. Aku nggak bakalan jadi lawan yang seimbang. Lagian, dia nggak bakalan iseng untuk masalah kayak gini. Kalau Renard udah serius, mending nyerah ketimbang berusaha menggagalkan niatnya. Satu lagi, dia tetap aja kakak yang baik karena udah bantu nyimpen rahasiaku." Di ujung kalimatnya, Kevin mendengkus tajam.
"Tapi Kev, harusnya kamu tetap marah. Karena aku istrimu," tukas Siahna tanpa pikir panjang.
"Yeah, istri yang kutelantarkan dan kumanfaatkan dengan sengaja." Lelaki itu membenahi posisi bantalnya. "Kalau tau bakalan kayak gini, dari dulu-dulu aku udah ngenalin kamu ke Renard, Na. Jujur aja, kalian pasangan yang cocok. Aku nggak pernah mikirin itu, tapi pas tadi ngeliat kalian pulang bareng, gimana ya? Pas aja. Aku nggak bisa jelasinnya."
"Udah deh, stop berandai-andainya," balas Siahna. "Kamu udah ketularan gilanya Renard."
"Kamu mungkin nggak percaya kalau kubilang, salah satu niatku ngajak kamu nikah adalah untuk melindungi, Na. Dari orang-orang kayak Cedric. Karena aku tau, kamu nggak nyaman sama laki-laki setelah semua kejadian dulu itu. Lain halnya kalau Cedric masih single dan hidupnya lurus, nggak terlibat mafia-mafiaan. Selain itu, kita nikah tentunya untuk kepentinganku. Kukira, aku bisa bikin kamu bahagia dan hidup tenang meski caranya nggak lazim. Tapi Renard udah bikin mataku terbuka. Aku terlalu egois."
Siahna mengibaskan tangannya. "Kamu ngomong apaan, sih? Kan sejak awal aku memang setuju. Kamu nggak bujuk aku dengan iming-iming apalah. Pas kamu cerita niatmu, aku langsung oke." Tanpa sadar, Siahna mengacak-acak rambutnya, persis seperti Renard saat sedang suntuk. "Renard ini udah kayak ahli sihir aja. Bisa bikin kamu jadi merasa bersalah."
Tawa geli Kevin menulari sang istri. "Dia memang jago banget urusan bujuk-membujuk. Makanya kamu harus ati-ati. Dia tadi bilang, kamu ngakunya nggak punya perasaan apa-apa ke dia. Tapi Renard udah bertekad bakalan bikin kamu jatuh cinta."
Siahna menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perasaan malu seolah membuat kulit wajahnya melepuh. "Renard itu memang gila! Ngapain coba dia ngomong kayak gitu sama kamu? Ya ampun, beneran nggak punya malu tuh orang."
Kevin terkekeh, padahal Siahna tidak tahu bagian mana kata-katanya yang terdengar lucu. "Na, tadi aku sempat ngobrol panjang sama Renard sebelum dia jemput kamu di tempat Mbak Utari. Eh iya, sebelum kamu protes. Aku cuma mau bilang, dia maksa aku nyari tau kamu ada di mana. Tadi sore dia mampir ke Puspadanta dan kamunya udah izin pulang."
"Aku udah nebak," balas Siahna tak berdaya.
"Nah, balik lagi ke obrolanku sama Renard tadi. Dia akhirnya bikin aku nyadar kalau selama ini udah egois. Dia minta aku punya nyali untuk ngaku di depan Mama dan yang lain. Tapi, masalahnya nggak semudah itu karena kondisi Mama. Aku..."
"Untuk bagian ini, aku beneran nggak setuju!" Siahna bersuara. "Aku nggak mau nyari perkara. Ini persoalan serius lho, Kev! Aku nggak bisa bayangin apa yang bakalan terjadi kalau Mama sampai tau. Lagian, kayak yang kubilang sama Renard, aku nggak punya perasaan apa-apa sama dia."
Kevin menggumamkan persetujuan. "Gini, Na. Aku harus jujur sama kamu. Selama ini, sebenarnya aku udah mikirin kelanjutan rumah tangga kita. Jujur, Razi sekarang nyusahin banget karena cemburu nggak keruan. Makanya aku nggak pernah nginep di apartemen lagi." Lelaki itu memandang Siahna dengan tatapan sedih. "Aku terpikir untuk pisah dari kamu. Karena memang kamu yang banyak dirugiin. Renard juga bilang hal yang sama. Jadi, meski sekarang aku belum berani ngomong sama Mama, tapi memang kurasa kita harus nyari jalan keluarnya."
Kalimat itu sangat mengejutkan Siahna. Perempuan itu mengangkat kepala, bertumpu pada tangan kirinya. "Kenapa kamu nggak pernah ngomong apa-apa soal ini?"
"Karena aku sendiri masih maju mundur, Na. Keputusanku belum bulat. Aku mikirin Mama, kamu, dan Razi. Entah kenapa, Razi sekarang berubah. Jadi lebih banyak nuntut. Tapi, mau gimana lagi? Namanya cinta."
Siahna tersenyum mendengar kalimat terakhir suaminya. Dia tidak menghakimi jalan yang dipilih pria itu meski bagi seisi dunia hal itu sangat menjijikkan. Yang Siahna tahu, Kevin adalah temannya. Lelaki itu banyak membantu mengatasi ketakutan-ketakutannya.
"Eh, iya. Gimana pas kamu tau kalau Abel itu adalah Bella?" tanya Siahna hati-hati.
Kevin mendesah. "Kalau nurutin kata hati, aku pengin seisi dunia tau kelakuannya. Dan jangan pernah nunjukin muka di depan keluarga kita. Tapi, tetap aja dia mamanya Gwen, kan? Aku cuma nelepon Bella, dan bilang tau ulahnya sama kamu dulu. Trus karena belum puas, aku ke butiknya untuk ngomong hal yang sama. Kalau dia sampai ganggu kamu, aku yang maju." Lelaki itu tertawa kecil. "Jadi, kalau boleh nyari kambing hitam, yang salah itu Renard. Ngapain coba dia jatuh cinta sampai nikah segala sama monster itu?"
Siahna benar-benar merasa geli hingga tawanya pecah. "Ya, Renard yang salah."
Kevin menyeringai. "Renard itu nyebelin, Na. Dia ngancem ngasih tau Mama kalau aku nggak cerita soal kamu. Eh, ujung-ujungnya tetap aja nyuruh ngaku sama Mama setelah aku kasih tau semua. Kampret, kan? Tapi karena aku tau banget penderitaannya selama nikah sama Bella, ya udahlah. Aku maklumin aja."
Gurauan Kevin membuat tawa Siahna tidak berhenti berdetik-detik. Meski begitu, dia tak bisa menyembunyikan kegundahannya sendiri. Apa pun ucapan Renard, bagaimanapun perasaan Siahna pada pria itu, dia tak mungkin ikut-ikutan menggila. Karena itu, Siahna ingin menjauh dari Renard. Karena saat ini dia adalah istri sah Kevin.
"Jujur, aku nggak nyangka Renard bisa cerai dan masih hidup sampai detik ini," ucap Kevin tiba-tiba.
"Memangnya kenapa?" Siahna mengangkat alis.
"Bella itu kan gila. Dan kesintingannya makin jelas setelah tau kalau dia itu yang namanya Abel. Di rumahnya, dia nyimpen pistol lho, Na. Memang sih, orangtuanya yang maksa dia punya pistol sebelum pindah ke luar negeri. Renard pernah cerita kalau kakaknya Bella dulu pernah diculik?"
Siahna mengangguk. "Iya. Tapi dia nggak pernah ngomong soal pistol."
"Kayaknya sejak SMA atau pas kuliah, Bella mulai rutin belajar nembak. Skill-nya lumayan oke. Pistolnya sih ada izinnya. Makanya pas tau-tau dengar mereka cerai dan Renard balik ke sini, aku lega banget. Karena kalau liat karakternya, lebih masuk akal Bella itu nembak Renard pas tidur cuma gara-gara nggak mau dicerai. Untungnya Tuhan sayang sama Renard, masih sehat sampai sekarang."
Siahna dicengkeram rasa ngeri mendengar penuturan santai Kevin itu. Meski dimaksudkan sebagai gurauan, tetap membuat bulu kuduknya berdiri. Setelah itu, Siahna membujuk Kevin agar mengizinkannya kembali ke apartemen. Apalagi kondisi Miriam sudah membaik. Kevin tampaknya mengerti apa yang sedang berkecamuk di kepala dan hati Siahna. Tanpa perdebatan, lelaki itu menyetujui usul istrinya. Miriam yang mengajukan keberatan. Renard apalagi. Namun Kevin tidak goyah.
Entah harus menyesali langkah yang diambilnya atau sebaliknya, hanya berselang dua hari setelah kembali ke apartemen, Siahna mendapat kabar buruk. Miriam berpulang dalam tidurnya tanpa seorang pun tahu. Ketika mendengar kabar itu, Siahna yang sudah berada di toko, menangis terisak-isak hingga membuat kliennya cemas. Perempuan itu langsung meminta izin untuk pulang lebih cepat dari biasa.
Ketika melihat jenazah Miriam, tangis perempuan itu pecah lagi. Siahna memang baru mengenal mertuanya dalam hitungan bulan. Namun, Miriam berhasil menempati ruang kosong yang seumur hidup Siahna tidak pernah diisi oleh sosok ibu mana pun. Kini, perempuan itu malah menutup mata, meninggalkan Siahna selamanya. Hidupnya yang baru saja menemukan keseimbangan, kini kembali timpang.
Siahna tidak memedulikan sekelilingnya. Dia hanya ingin mengurangi kepedihan yang membuat dadanya penuh dan napasnya tersendat. Dia mengabaikan tamu yang keluar masuk ruang keluarga untuk melihat Miriam terakhir kali. Siahna juga tak peduli meski mata, tenggorokan, hidung, hingga kepalanya terasa nyeri karena terlalu banyak meneteskan airmata. Hingga seseorang menariknya ke dalam pelukan.
Sontak, tangis Siahna mengencang. Dia balas memeluk pria itu. "Kev, Mama udah nggak ada lagi," isaknya dengan suara serak.
"Tapi Mama udah ada di tempat yang lebih baik, Sweetling."
Seharusnya, begitu tahu bahwa lelaki yang memeluknya adalah Renard, Siahna buru-buru melepaskan pelukan iparnya. Namun dia tidak melakukan itu. Tangisannya seolah menemukan tempat yang tepat untuk dicurahkan.
Kematian Miriam yang mengejutkan itu membuat duka yang menggantung di rumah itu jauh lebih berat dibanding semestinya. Setelah pemakaman, keluarga besar Miriam dan almarhum suaminya memenuhi rumah hingga tiga hari penuh. Siahna pun kembali menginap di rumah mertuanya.
Razi bahkan memberanikan diri datang ke rumah duka meski tidak banyak berinteraksi dengan Kevin. Yang melegakan Siahna, dia tidak melihat keberadaan Bella di mana-mana. Namun Gwen datang sebelum neneknya dimakamkan. Anak yang biasanya tidak bisa diam itu memilih duduk di pangkuan Siahna. Nyaris tanpa bicara. Sesekali, Gwen memeluk Siahna atau menghapus air mata perempuan itu dengan tangan mungilnya. Apa yang dilakukan Gwen justru membuat Siahna makin sedih.
Siahna masih sering menangis diam-diam. Miriam mungkin "hanya" seorang ibu mertua belaka. Namun dia benar-benar menyayangi perempuan itu. Tiap kali Siahna memiliki waktu, dia pasti datang ke rumah mertuanya. Kadang ada penyesalan yang menyesaki dada Siahna. Mengapa dia tidak bertemu Miriam bertahun-tahun yang lalu?
Seminggu setelah Miriam berpulang, keempat putra dan putrinya berkumpul di rumah itu. Petty dan Arleen membawa serta suami mereka. Namun tidak ada satu orang pun yang membawa anak-anak. Gwen juga absen karena belum jadwalnya menginap. Mereka membahas tentang siapa yang akan tinggal di sana. Renard menyanggupi tanpa keberatan sama sekali.
"Bella kenapa nggak nongol sama sekali, sih? Harusnya dia kan datang, meski udah nggak jadi menantu Mama lagi." Petty yang menyinggung masalah kehadiran Bella dengan sambil lalu, di sela-sela diskusi dengan adik-adiknya.
"Aku nggak ngasih izin, Mbak," sahut Kevin. Siahna sampai mengernyit karena kaget.
"Lho, kenapa?" tanya Arleen penasaran.
"Ada masalah, tapi nggak usah dibahas lagi. Nggak penting juga. Yang jelas, aku udah ngingetin Bella supaya jauh-jauh dari keluarga kita." Kevin menatap semua orang satu per satu. "Oh ya, ada pengumuman penting. Mumpung kita semua lagi ngumpul. Tapi sebelumnya aku mau minta maaf karena pasti bakalan bikin kalian kaget."
Siahna menegakkan tubuh dengan rasa dingin seolah bersarang di punggungnya. "Kev..." panggilnya, berusaha mencegah Kevin untuk bicara. Dia sudah bisa menebak apa yang ingin diucapkan suaminya. Namun tampaknya tak ada yang bisa menghalangi lelaki itu.
"Aku dan Siahna bakalan cerai. Selama ini, kami udah bohong sama semua orang. Kami nikah untuk nutupi orientasi seksualku karena aku nggak mau Mama tau. Aku gay."
Lagu : L.O.V.E. (Michael Buble)
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top