Chapter 18
Renard mengelus pipi kanan Siahna dengan gerakan lamban. Perempuan itu tersenyum samar tapi masih terlihat sedih.
"Makasih karena kamu peduli sama aku, Re. Tapi, aku harus nolak." Siahna mendorong Renard perlahan. Lelaki itu menurut. "Kata-katamu bikin aku merinding. Terlalu manis."
"Itu karena kamu udah ngalamin terlalu banyak hal pahit. Apalagi... yah... kejadian itu karena dijebak. Wajar kalau kamu sulit percaya sama kata-kataku. Kamu nggak akan percaya ada laki-laki yang bisa cinta sama kamu kayak aku tanpa punya niat busuk," Renard membela diri. "Omonganku yang menurutmu terlalu manis itu untuk mengikis semua kepahitan yang kamu alami."
Siahna tertawa pelan. "Teori ngawur!"
Renard menjawab dengan sabar. "Buatmu, kata-kataku mungkin terdengar gombal. Tapi itu bukan omong kosong, Sweetling. Aku cuma pengin mastiin kalau kamu cuma akan bahagia." Dia menahan diri agar tidak bicara lebih banyak. Karena Renard sudah menjelaskan semua yang harus didengar Siahna. "Gini aja, biar waktu yang ngasih bukti aku serius apa nggak. Sekarang, kita makan dulu, ya?"
Untungnya kali ini Siahna hanya mengangguk. Renard membukakan pintu mobil, menunggu dengan sabar hingga perempuan itu duduk.
Setelah meninggalkan tempat praktik psikolog bernama Utari itu, keheningan sempat bertahan selama beberapa menit. Renard diam-diam melirik ke kiri, mendapati Siahna bersandar dengan mata terpejam.
Mendengar sendiri kisah hidup Siahna yang dituturkan oleh Kevin setelah memukul Renard tiga kali karena mengira sang kakak ingin menjahati Siahna dan mengganti biaya kerusakan yang dibuatnya di Deli-Ciuos, dia turut menanggung rasa sakit yang nyaris tak tertahankan. Perempuan ini sudah menghadapi banyak sekali penderitaan di usia mudanya. Bagaimana bisa Siahna bertahan dan tetap menjadi perempuan berhati lembut? Emosi Renard nyaris tak terkendali saat tahu bahwa orang yang memerkosa Siahna tak pernah mendapat hukuman apa-apa. Melenggang bebas begitu saja setelah merusak hidup gadis lain. Juga Bella dan pacarnya yang menurut Kevin membiarkan Siahna dirudapaksa.
"Kamu pengin makan sesuatu?"
"Nggak." Siahna akhirnya membuka mata. Tatapannya tertuju ke depan. "Aku sebenarnya nggak lapar."
"Aku tau. Tapi tetap aja harus makan. Kalau sampai sakit, masalahnya makin runyam."
Siahna setuju dengan usul Renard, makan malam di restoran yang menyajikan menu sunda. Perempuan itu juga berusaha menghabiskan makanan yang dipesannya, nasi dan empal yang dilengkapi dengan sambal dan lalapan. Tidak banyak obrolan yang tercipta di antara mereka. Baru setelah berada di mobil dalam perjalanan pulang, Siahna bersuara.
"Kevin cerita apa aja?" tanyanya dengan suara lirih. "Beneran semua?"
"Iya. Mulai dari Bella yang menjebakmu, pura-pura ulang tahun supaya kamu datang ke rumah pacarnya. Hmmm... yang terjadi di rumah itu. Kehamilan dan efek dari aborsi yang terpaksa kamu jalani."
Siahna menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Kenapa dia mau ngasih tau kamu?"
"Karena aku ngancem bakalan ngomong ke Mama tentang pernikahan palsu kalian kalau dia sengaja nahan info penting." Renard menoleh ke kiri. "Maaf ya, Sweetling. Aku memang curang, tapi itu terpaksa. Karena aku pengin tau apa yang terjadi sama kamu."
"Re, tolong jangan panggil aku Sweetling. Kupingku gatal, tau!"
Renard menjawab sabar. "Itu karena belum terbiasa aja. Nanti lama-lama juga nggak bakalan gatal, kok."
Siahna mengembuskan napas sembari memanggil Tuhan untuk kesekian kalinya. Renard tidak merespons. Dia tidak akan menanggapi semua keberatan yang diajukan oleh pihak iparnya ini.
"Jadi, apa sekarang kamu merasa kasihan sama aku? Merasa bersalah karena perbuatan Bella?" tanya Siahna tajam.
Pertanyaan itu sama sekali tidak mengejutkan Renard. Dia sudah menduga bahwa Siahna akan membuat tuduhan semacam itu. Karenanya, pria itu menjawab santai. "Kenapa harus merasa bersalah? Yang bejat kan Bella, bukan aku. Selain itu, aku juga nggak kasihan sama kamu. Untuk apa? Kamu nggak lantas jatuh cinta sama aku kalau dikasihani, kan? Tapi, aku kagum karena kamu tangguh banget. Percaya, nggak semua perempuan bisa kayak kamu. Tetap hidup dengan baik setelah semua itu. Tetap jadi perempuan dengan hati yang luar biasa."
"Aku nggak tangguh. Aku ini udah rusak luar dalam, Re."
"Rusak karena pernah diperkosa dan nggak bakalan bisa punya anak?" Renard memaksakan diri mengucapkan kalimat itu setenang mungkin. "Kamu justru udah ngebuktiin kalau yang terjadi sebaliknya. Kamu nggak hancur karena semua pengalaman horor itu. Kamu adalah Siahna yang berhati lapang dan punya banyak cinta untuk orang lain. Manusia yang udah rusak nggak bakalan sanggup kayak gitu, Sweetling."
Siahna memijat kepalanya dengan tangan kanan. "Sweetling-mu itu bikin aku migrain. Tolong balik lagi jadi Renard yang asli."
Renard tertawa kecil. "Nggak bisa. Kamu yang udah ngubah aku."
"Astaga! Kalau kamu terus-terusan kayak gini, lama-lama aku bisa..."
"Kena diabetes?" tebak Renard.
Siahna geleng-geleng kepala, terkesan tak berdaya. "Kita... kacau banget."
"Keliatannya memang gitu. Pelan-pelan, kita susun ulang semuanya, ya? Kevin pun tadi ngamuk karena ngira aku punya niat jahat. Dia awalnya gak percaya waktu kubilang aku jatuh cinta sama kamu." Renard mengembuskan napas. "Pasti nanti ada jalan keluarnya."
Siahna mengejutkan Renard saat mendadak bergerak untuk memegang tangan kiri lelaki itu. Dengan senang hati, Renard balas menggenggam jemari Siahna meski itu berarti dia harus melepaskan tangannya dari setir. "Ini misal lho, ya. Kalaupun aku bisa jatuh cinta sama kamu, kita nggak punya masa depan, Re. Apa kata orang-orang di luar sana? Makanya, lebih baik kamu berhenti ngomong soal cinta-cintaan ini."
Renard menggeleng. "Aku nggak mau! Perasaanku adalah urusanku. Kamu nggak perlu mikirin opini orang. Waktu kamu menderita, apa mereka peduli dan berusaha nolong kamu? Nggak, kan? Kita jalani bagian kita sebaik mungkin. Yang paling penting, kita nggak pernah ngerugiin orang lain."
"Oke, abaikan orang-orang. Tapi, gimana sama keluarga kamu? Mama, Mbak Arleen, dan Mbak Petty? Kamu kira, mereka bakal bisa terima ini dengan mudah?"
Renard mengangguk tanpa ragu. Tangan Siahna diremasnya. Dia sengaja melambankan laju mobil karena saat ini harus menyetir dengan satu tangan saja. "Mungkin nggak mudah, tapi pasti bisa. Kalau mereka tau apa yang jadi alasan kalian menikah, semuanya..."
"Nggak!" Siahna menarik tangannya dengan ekspresi ngeri. "Aku nggak bakalan mau ngomong soal itu meski kamu paksa. Aku dan Kevin terikat perjanjian. Dan aku selalu serius sama janjiku."
"Kamu udah mikir sejauh itu, jangan bilang kalau kamu nggak punya perasaan apa pun sama aku," simpul Renard.
"Kan tadi aku cuma bilang 'misal'. Kamu tuh yang mikirnya kejauhan. Ge-er."
Lelaki itu terbatuk. Dia tahu, Siahna takkan menyerah dengan mudah. Namun perempuan itu lupa siapa lawannya. Renard jauh lebih keras kepala dibanding bayangan Siahna. Renard juga memiliki stok kesabaran berlimpah yang mungkin tidak pernah dibayangkan perempuan itu. Apalagi setelah dia tahu pengalaman traumatis yang dialami Siahna tercintanya.
"Aku udah ngomong sama Kevin, minta dia mikirin semuanya dengan jernih. Sampai kapan dia mau terus bohong sama dunia? Kalau tetap nikah sama kamu, itu cuma nunjukin egoisnya adikku. Dia nggak mikirin impaknya buat kamu."
"Aku yang mau, jangan salahin Kevin," sergah Siahna.
Renard mengalah. "Ya udah, jangan maksain untuk bahas semuanya sekarang. Ada banyak kejutan sejak tiga hari yang lalu. Pelan-pelan aja mencernanya, Sweetling. Oke?"
Perempuan itu tak merespons. Namun Renard menilainya sebagai bentuk persetujuan. Mereka sampai di rumah hampir pukul sembilan malam. Kevin sudah lebih dulu tiba. Lelaki itu sedang menemani Miriam menonton televisi saat Renard dan Siahna memasuki ruang keluarga,
"Lho, kalian kok bisa bareng?" tanya sang ibu dengan ekspresi heran.
"Ketemu di jalan, Ma," sahut Renard tanpa merinci lebih detail. "Tumben nih Mama nonton tivi di sini." Lelaki itu menyalami ibunya, lalu mengecup kedua pipi Miriam.
"Mama tadi ketiduran pas habis magrib. Udahnya nggak ngantuk lagi. Pas tau Kevin udah pulang, Mama minta dianterin ke sini. Bosen di kamar melulu." Miriam tiba-tiba mengernyit. "Pipimu kenapa? Kamu habis berantem?"
"Bukan berantem sih, Ma." Renard menegakkan tubuh. Dia melirik adiknya sekilas. "Tadi pas makan siang, ada orang gila masuk restoran. Trus tiba-tiba mukul aku sampai tiga kali. Dia bikin piring pecah dan meja rusak. Untungnya orang gila itu banyak duit. Jadi bisa ngegantiin barang-barang yang dirusak."
"Hah? Memang ada orang gila yang banyak duit? Ceritamu kok nggak masuk akal, Re?" protes ibunya.
Renard mengedikkan bahu. "Dunia masa kini memang aneh, Ma." Dia kembali melirik Kevin yang memandanginya dengan intens dan ekspresi kesal. Renard hanya tersenyum tipis sebelum mengalihkan perhatian pada Siahna. Perempuan itu sedang membungkuk untuk mencium pipi Miriam.
"Na, kamu pasti capek karena jam segini baru pulang. Kerja keras melulu. Kenapa nggak berhenti kerja aja? Mending di rumah, temenin Mama seharian. Kalau pas Gwen ke sini, dia pasti senang banget karena Tante Nana-nya ada di rumah."
Gurauan Miriam membuat Siahna tersenyum. "Nanti Mama malah bosan kalau ngeliat saya seharian."
Miriam beralih pada Kevin. "Kamu nggak kasian ngeliat istrimu, Kev? Nyaris tiap hari pulang malam terus. Kalau dipikir-pikir, bos kalian itu nggak punya perasaan, deh! Kamu sama Siahna jam kerjanya nggak masuk akal. Kalau kayak gini terus, kapan bisa punya bayi, coba?"
Punggung Renard terasa menegang. Setelah sekian lama tidak pernah ada yang menyinggung masalah keturunan, kini Miriam kembali membahas topik itu. Dia tak berani memandang Siahna.
"Ma, kalau mereka diomelin gini, besok-besok pasti balik ke apartemen. Mau?" Renard mencoba menengahi dengan nada ringan.
"Mama nggak ngomel, kok," Miriam membantah. "Mama kasian aja ngeliat Siahna. Pasti capek banget."
Perempuan itu buru-buru menjawab. "Nggak capek kok, Ma. Cuma kadang memang ada klien yang baru punya waktu setelah jam kerja. Jadi, saya terpaksa nunggu. Makanya kadang pulangnya malam."
"Atau gini deh, mending cari kerjaan lain dengan jam kerja biasa," usul Miriam, masih belum mau menyerah.
Kali ini, Kevin bersuara. "Iya, Ma. Nanti pelan-pelan nyari kerjaan yang lebih oke."
Tak sampai satu menit kemudian, Siahna meninggalkan ruang keluarga. Miriam pun minta diantar ke kamarnya setelah beberapa saat. Hingga hanya ada Renard dan Kevin saja.
"Di mana kamu ketemu istriku?"
Telinga Renard sontak berdengung mendengar kata terakhir itu. "Di tempat psikolognya. Aku nunggu sekitar satu jam."
"Trus?"
"Apanya yang 'trus'?" Alis Renard berkerut.
"Hasil pembicaraan kalian?"
Renard menggeleng. "Kamu nggak perlu tau. Itu urusan orang dewasa."
"Sialan!" maki Kevin. "Kalau kamu bikin masalah sama Siahna, awas aja! Makanya tadi kamu langsung kena bogem, itu peringatan supaya nggak macam-macam. Ngajak makan siang cuma untuk ngaku jatuh cinta sama istri orang dan mau suaminya mundur. Siapa yang nggak marah?"
Renard berubah serius. Dia memandang Kevin dengan penuh konsentrasi. "Aku serius, Kev. Kayak yang tadi kubilang, udah saatnya kalian berhenti berpura-pura. Pikirin kepentingan Siahna. Jangan egois dong, Kev. Kamu nikah sama dia tapi malah serumah sama Razi. Itung-itungannya, kamu menang banyak. Lagian, mau sampai kapan nipu semua orang? Kalau lagi sama Razi, kamu pasti deg-degan karena takut ketauan. Iya, kan?"
Kevin menjawab dengan anggukan samar. Renard menepuk bahu kanan sang adik. "Kalau kamu sayang sama Siahna, bebasin dia. Siahna juga punya hak untuk bahagia, kan? Lagian, kamu juga udah mukul aku tiga kali. Anggap aja itu tiket kebebasan Siahna."
"Tapi, dia setuju untuk..."
"Aku beneran cinta sama dia. Sekarang sih dia bilang nggak punya perasaan apa-apa. Tapi aku nggak bakalan nyerah. Aku pengin hidup sama dia dan bikin Siahna bahagia."
Kevin menatap kakaknya cukup lama. "Kamu serius, kan?"
"Menurutmu?" Renard balik bertanya.
Kevin mendesah. "Sebenarnya, belakangan ini aku juga mikir gitu. Maksudku, pengin pisah dari Siahna. Makin lama, semua rasanya nggak adil buat dia. Apalagi, Razi cemburu sama Siahna. Dan itu nyusahin banget. Makanya aku udah nggak pernah lagi nginep di apartemen, untuk menghindari perang sama Razi." Kevin menatap Renard. "Masalahnya, nggak bakalan gampang ngakuin semua ini di depan keluarga kita. Kamu tau sendiri gimana kondisi Mama. Apalagi belum lama ini malah dapat serangan. Kalau terjadi apa-apa sama Mama gara-gara aku ngaku gay, pasti seumur hidup aku disalahin sama semua orang."
Ya, itu benar. Kondisi kesehatan Miriam yang tidak prima, memang menjadi masalah yang cukup serius. "Yang pasti, semua ini nggak bisa diterusin. Menurutku, alasanmu nikah sama Siahna itu gila. Cuma karena takut Mama tau orientasi seksualmu karena keliatan udah mulai curiga dan segala macamnya itu. Siahna juga bodoh karena setuju-setuju aja," Renard mengesah. "Ya udah, nanti pelan-pelan kita cari jalan keluarnya."
Kevin tiba-tiba menyeringai, membuat sang kakak curiga. "Apa?"
"Itu, harusnya kamu kupukul minimal lima kali. Enak aja nyebut aku orang gila."
"Maaf ya, tiga kali itu jumlah yang banyak. Aku ngalah demi Siahna. Kalau aku bikin mukamu bonyok, dia pasti marah."
Lagu : When A Man Loves A Woman (Michael Bolton)
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top