Chapter 17

Interupsi,
Waktu nulis bab ini, aku cemas kena diabetes karena Renard lagi usaha mati-matian untuk dapetin Siahna.
Kalau kalian, suka atau malah mau muntah?

Siahna selalu merasa hidupnya sudah melewati badai terberat. Ternyata dia salah. Meski Bella tidak bisa lagi mengulangi perbuatannya di masa lalu, tapi efek dari yang terjadi tujuh tahun silam masih begitu memengaruhi Siahna. Baru bertemu Bella saja dia sudah nyaris lumpuh. Bagaimana jika kelak Siahna bersemuka pula dengan Ashton atau Verdi?

Oleh sebab itu, Siahna merasa harus menyiapkan mental. Pertemuan dengan iblis-iblis dari masa lalunya itu sangat mungkin terjadi. Dulu, dia meninggalkan Jakarta karena berharap takkan pernah melihat mereka. Namun tampaknya Bogor masih terlalu dekat untuk dijangkau.

Setelah melewatkan dua hari penuh penderitaan usai bertemu Bella, Siahna akhirnya mendatangi tempat praktik psikolognya, Utari. Dia memang sudah tidak lagi mengunjungi psikiaternya sejak empat tahun terakhir. Namun Siahna beralih pada Utari. Perempuan itu tidak ingin mengalami kejatuhan mental lagi di masa depan. Salah satu pencegahan yang dia bisa lakukan, menemui psikolog secara teratur meski tidak menghadapi masalah apa pun.

Siahna mengenal Utari tanpa sengaja, lebih lima tahun silam. Waktu itu, dia masih menjadi pasien psikiater dan rutin meminum obat. Dari bincang-bincang santai di ruang tunggu psikiater, Siahna pertama kali mendengar tentang Survivor, sebuah grup pendukung untuk orang-orang yang memiliki pengalaman traumatis. Terinspirasi dari Alcoholics Anonymous yang berkembang pesat di luar negeri meski cara bergabungnya tidak sama persis.

Survivor dikelola oleh beberapa psikolog yang fokus ingin membantu orang-orang seperti Siahna. Meski begitu, mereka tidak sembarangan membuka pintu. Lebih diutamakan pasien-pasien psikolog atau psikiater yang datang dengan surat rekomendasi. Alasannya, Survivor pernah kecolongan karena salah satu peserta ternyata wartawan yang menyamar untuk kepentingan artikel psikologi di majalahnya. Ketika tulisan si wartawan muncul, sempat memicu kehebohan. Akibatnya lagi, aktivitas Survivor sempat terhenti beberapa bulan.

Untuk alasan keamanan dan mencegah kebocoran informasi tentang para anggotanya, Survivor pun mengubah kebijakan. Tak hanya harus datang dengan rekomendasi, calon peserta juga wajib menandatangani surat perjanjian yang sudah disiapkan. Jika ada pasal yang dilanggar, Survivor akan maju ke jalur hukum.

Di Survivor inilah Siahna bertemu dengan Utari, salah satu pendiri perkumpulan tersebut. Di Survivor pula Siahna bertemu dengan Kevin. Mereka berada dalam satu kelompok dan terbiasa bertukar cerita tentang pengalaman buruk di masa lalu di depan semua anggota. Dari Kevin pula Siahna tahu terbukanya peluang berkarier di Puspadanta. Pertemanan mereka terus berlanjut hingga berakhir dengan pernikahan.

"Kamu pernah mikir, nggak? Bahwa ini cara Tuhan untuk ngasih tau kalau kamu udah siap maju ke step selanjutnya? Karena kamu nggak bisa selamanya berdiri di titik yang sama, titik aman versimu itu, Na."

Siahna tertegun mendengar ucapan Utari. Ditatapnya perempuan berusia 37 tahun itu dengan mata menyipit. "Mungkin Mbak nggak akan bilang gitu kalau ngeliat sendiri responsku kemarin itu. Aku nggak bisa bergerak sama sekali lho, Mbak. Kayak lumpuh gitu. Tapi air mataku keluar. Nggak paham kenapa sampai separah itu."

"Itu karena kamu terlalu kaget. Itu juga cara tubuhmu merespons, mekanisme pertahanan diri. Kasarnya nih, nggak ada clue tapi tiba-tiba kena sambar geledek. Tapi aku yakin, ke sananya nggak bakalan terulang lagi." Utari tersenyum. Perempuan itu memiliki aura yang menenangkan. Bahkan sebelum dia membuka mulut, Siahna merasa aman setelah melihat psikolognya.

"Sekarang, ambil napas dan tenangkan diri, Na. Kamu udah jadi perempuan dewasa yang bisa membela dirinya sendiri. Kamu itu kuat, Na. Kayak yang udah kubilang ratusan kali, nggak semua orang bisa bertahan kalau ngalamin kayak kamu. Kendali ada di tanganmu dan nggak ada yang bisa merebutnya. Selama ini kamu udah ngebuktiin bahwa ketangguhanmu nggak main-main. Kamu survivor sejati."

Utari masih bicara panjang, meredakan kecemasan yang menari-nari di tiap pembuluh darah Siahna. Kevin menginterupsi dengan teleponnya, bertanya tentang keberadaan Siahna yang hari ini sengaja pulang dari Puspadanta lebih cepat dari biasanya.

"Maaf Mbak, harusnya hape kumatiin. Kelupaan," kata Siahna pada Utari dengan perasaan bersalah. "Kevin kaget karena datang ke toko dan nggak ketemu aku."

"Oh," Utari tersenyum maklum. "Gimana rasanya jadi istri Kevin? Nggak pengin suatu saat nanti jadi istri beneran?"

Siahna tertawa pelan. "Sekarang pun jadi istri beneran, Mbak."

"Kamu pasti tau maksudku. Aku nggak menghakimi lho, ya. Tapi, kamu itu tetap manusia normal yang butuh cinta dan kasih sayang dari pasangan, Na. Mau sampai kapan terjebak sama Kevin? Itu bukan jalan keluar untuk masalahmu."

Siahna mengedikkan bahu. "Aku dapet banyak hal dari pernikahan ini kok, Mbak. Paling nggak, salah satu adik klien yang ngotot pengin aku jadi cewek simpanannya, mundur setelah tau aku udah nikah. Nggak pernah datang lagi ke toko dan bikin aku terpaksa main kucing-kucingan."

Perempuan itu terkenang pada pria bernama Cedric, pengusaha properti yang sudah menikah tapi masih nekat mengejar-ngejarnya. Kakak perempuan Cedric adalah klien Siahna. Suatu ketika, Cedric yang juga mengenal Andin, mampir ke toko untuk membicarakan sesuatu dengan kakaknya yang sedang berkonsultasi dengan sang personal shopper.

Sejak mereka berkenalan, Cedric langsung mendekatinya. Namun, entah pantas mendapat komplimen atau tidak, Cedric tak pernah menutup-nutupi statusnya sebagai pria beristri. Intensitas pendekatan yang dilakukan lelaki itu membuat Siahna ngeri. Apalagi saat Kevin memberitahunya bahwa Cedric itu pria kaya yang konon terbiasa bekerja sama dengan mafia untuk melindungi bisnisnya. Itu salah satu dorongan lain hingga dia mau menikahi Kevin, menghindari Cedric.

"Aku juga punya keluarga baru yang sayang dan perhatian. Rasanya luar biasa banget, Mbak. Akhirnya aku bisa ngerasain gimana punya keluarga kayak orang normal lainnya. Telat puluhan tahun, sih. Tapi aku tetap bahagia." Sesaat, wajah Renard meriuhkan benak perempuan itu. Juga pernyataan cintanya. Namun kemudian bayangan itu digantikan oleh keberadaan Bella. Siahna merasa patah hati di saat yang sama.

"Ada apa?" tanya Utari. "Ada yang mengganjal?"

Siahna tertawa kecil. Wajahnya mendadak terasa panas. "Nggak mengganjal, sih. Cuma..." perempuan itu memegang pipi kanannya. "Entahlah Mbak, nggak tau harus ngomong apa. Singkat aja, ya? Mantan suami Bella, Renard, tau soal orientasi seksual adiknya. Belum lama ini... hmmm... Renard ngaku dia jatuh cinta sama aku. Gila, kan?"

Upaya Siahna agar kata-kataya terdengar lucu, tidak membuahkan hasil. Di depannya, Utari menatapnya dengan keseriusan setara para ilmuwan di depan mikroskopnya. "Kamu sendiri gimana? Perasaanmu ke Ronald."

"Renard, Mbak," ralat Siahna. Lalu, dia menggeleng. "Aku nggak tau, Mbak. Kalaupun ada sesuatu, nggak mungkin bisa kejadian. Dia iparku, mantan suami Bella. Terlalu rumit."

"Berarti memang ada perasaan khusus kan, ya?" simpul Utari, lengkap dengan senyum jail. "Gimana rasanya setelah bertahun-tahun nggak pernah tertarik sama laki-laki? Mules? Migrain? Jantungan? Apa?"

Siahna akhirnya tertawa. "Mules, cek. Migrain, cek. Jantungan tiap ngeliat orangnya atau sekadar dengar ada yang nyebut namanya, cek." Siahna mengusap pelipis kirinya. "Jangan tanya kelanjutannya. Aku nggak tau, Mbak. Kurasa, Renard dikirim Tuhan untuk bikin hidupku makin rumit. Apalagi setelah tau siapa mantan istrinya. Udah ah, nggak mau bahas soal dia."

Siahna bersiap meninggalkan tempat praktik Utari hampir pukul tujuh. Ruang tunggu seharusnya sudah kosong karena Siahna menjadi pasien terakhir. Nyatanya, ada seseorang sedang duduk membelakanginya sambil menekuri ponselnya dengan serius. Siahna terus melangkah, lega karena dadanya tak sepenuh sebelumnya.

"Na..."

Jantung Siahna seolah baru saja ditembak saat menyadari bahwa orang itu adalah Renard. Lelaki itu kini sudah berdiri di depannya, mengadang langkah Siahna. Keheranan, perempuan itu menatap Renard dengan glabela berkerut. "Kamu... kenapa babak belur gini?" tunjuknya ke arah wajah Renard. Ada lebam di rahang kiri dan pipi kanan lelaki itu. Juga ada darah menodai kemejanya. "Kamu mau ke dokter? Ini psikolog, Re. Yuk, kuantar sekalian. Atau, kamu mau ke Mbak Utari? Iya?"

Renard mengacak-acak rambutnya dengan tangan kiri. "Pertanyaanmu banyak banget. Bingung mau jawab yang mana dulu."

"Ya udah, ini dulu. Siapa yang mukulin kamu? Atau, baru berantem?"

Jawaban lelaki itu membuat mata Siahna melebar. "Kevin yang mukul aku. Gara-gara kuminta dia untuk mundur karena aku yang mau jagain kamu mulai sekarang."

"Hah?" Dunia seolah berputar. "Kamu ketemu Kevin? Trus, ngomong apa aja? Pasti kamu ngasih tau soal Abel... eh... Bella. Iya?"

"Udahlah, nggak usah dibahas soal itu. Kevin juga marahnya udah kelar. Tadi itu dia lagi sok-sokan jadi suami siaga." Renard mengibaskan tangan kanannya. "Aku sengaja ke sini mau jemput kamu. Jangan marah dulu, ya? Kevin kupaksa ngasih tau alamat psikologmu."

"Apa?"

Di depan Siahna, Renard malah maju selangkah. Lelaki itu meraih kedua tangan Siahna, menggenggamnya. Tangan hangat Renard membuat perut Siahna seolah dipelintir. Dia tak memiliki kekuasaan pada tubuhnya sendiri, bahkan untuk sekadar menarik jari-jemarinya dari genggaman Renard.

"Aku udah tau semuanya. Se-mu-a-nya," ejanya.

Gelombang panik seolah baru saja membuat Siahna terlengar. "Semuanya itu apa? Kamu... kamu nggak bisa seenaknya nanya-nanya sama Kevin. Aku... aku bakalan..."

Renard dengan lancang malah menarik Siahna ke dalam pelukannya. Perempuan itu berdiri mirip reca batu. Semua kata-kata yang siap dilisankannya, menguap tanpa jejak. Otaknya ikut membeku, tak sanggup berpikir. Dia hanya merasakan betapa hangat pelukan Renard. Serta gerakan lembut telapak tangan pria itu saat mengusap punggungnya.

"Mulai sekarang, semua akan baik-baik aja, Na. Aku nggak akan ngebiarin kamu ngalamin hal-hal buruk lagi. Kamu mungkin nggak butuh aku karena kamu perempuan kuat. Tapi aku bakalan selalu ada buatmu. Jagain kamu, Na," bisik Renard di telinga kanannya. "Aku yang butuh kamu."

Semua itu membobol pertahanan Siahna. Tangisnya meledak begitu kencang. Dia tak peduli jika ada yang mendengar suara isakannya atau membuat Utari panik dan tergopoh-gopoh mencari tahu apa yang terjadi. Renard malah mengetatkan pelukan. Kedua tangan Siahna yang tadinya menggantung di sisi tubuh, perlahan melingkari pinggang lelaki itu.

"Kamu boleh nangis sepuasnya. Sampai bebanmu berkurang, hatimu jadi lebih ringan."

Siahna tersedu-sedu selama puluhan detak jantung. Hingga kemudian dia berhenti, kombinasi karena kelelahan dan kembalinya akal sehat. Perempuan itu menghapus air matanya dengan punggung tangan kiri sembari melepaskan diri dari dekapan Renard. Ruang tunggu itu masih sepi, tidak ada orang lain di sana.

"Kita makan dulu, yuk! Kamu pasti makannya kacau beberapa hari ini," tebak Renard. Lelaki itu kembali mengulurkan tangan kanannya, meraih jari Siahna. "Dilarang nolak."

"Re, jangan kayak gini. Kamu itu iparku."

"Memangnya aku ngapain? Aku cuma ngajak kamu makan," Renard membela diri. Lelaki itu mulai melangkah tanpa melepaskan tangan Siahna meski perempuan itu mencoba meloloskan jari-jarinya dari genggaman sang ipar. "Jangan dilepasin, Na. Aku suka megang tanganmu. Walau bikin perutku kayak habis ditonjokin nggak berhenti-berhenti."

Siahna melongo mendengar keterusterangan Renard. "Kamu ngomong apa, sih?"

Lelaki itu tertawa kecil, menoleh ke kanan. Lesung pipitnya begitu mencolok. "Ngomongin reaksi kimia yang kualami gara-gara megang tangan kamu. Serem kan, ya?"

"Astaga, kamu lagi ngelawak atau apa?"

"Kok ngelawak, sih? Aku ngomong apa adanya." Renard meremas tangan kiri Siahna. Mereka terus berjalan menuju mobil SUV Renard yang diparkir di halaman. "Kamu mau makan apa, Sweetling?"

Siahna berhenti, urung membuka pintu mobil. Sembari berbalik, dia kembali mencoba menarik tangan dari genggaman Renard. Namun lelaki itu dengan keras kepala menggagalkan upayanya. "Sweetling? Kamu manggil aku Sweetling?" tanyanya tak percaya.

"Iya. Itu nama baru Tante Nana sekarang, spesial dari papanya Gwen."

"Renard, serius, dong!"

"Aku serius, Sweetling. Itu bukan nama iseng doang. Mulai sekarang, aku bakalan manggil kamu pake nama itu."

"Astaga!" Siahna menelan ludah. Juga berperang dengan hawa panas yang menyambar pipinya. "Kamu ini lagi demam atau apa? Nyadar nggak sih kalau kita nggak..."

"Aku sadar sesadar-sadarnya. Aku tau risikoku, kok. Tadi aja Kevin langsung ngamuk waktu aku ngaku udah jatuh cinta sama kamu, level superserius. Dia harus ganti rugi ke restoran karena ngerusakin barang."

Ya Tuhan, ini benar-benar bencana. Mata Siahna terpejam. Bagaimana bisa Renard begitu santai mengambarkan pertikaian fisiknya dengan Kevin? Siahna membayangkan apa yang terjadi jika pengakuan sinting Renard didengar oleh anggota keluarganya yang lain. Ketika dia membuka mata, Renard sedang membungkuk di hadapannya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Refleks, Siahna mundur, tapi tidak ada ruang sama sekali. Karena gerakan yang tiba-tiba, kepala belakangnya malah membentur pintu mobil bagian atas.

"Ya ampun, ati-ati dikit kenapa?" Renard meraih belakang kepala Siahna, mengusapnya dengan lembut.

"Bisa nggak sih kamu mundur dan jangan ngusap-ngusap kepalaku?" desah Siahna.

"Nggak bisa. Permintaan semacam itu nggak bakalan bisa kupenuhi. Kan tadi udah bilang, aku bakalan selalu ada untuk jagain kamu."

Siahna menjawab sewot, "Aku bukan balita. Aku bisa jaga diri sendiri."

"Aku tau itu. Tapi tetap aja, aku maunya jagain kamu."

Siahna sungguh bingung harus melakukan apa. Renard yang dikenalnya tidak pernah sebebal ini. Meski lelaki itu memang pernah mencium dan mengaku jatuh cinta padanya, Renard tidak terkesan memaksa. Namun sekarang? Menyabarkan diri meski jantungnya seolah sedang menggeliat sekuat tenaga, Siahna akhirnya bersuara. "Sebenarnya, kamu mau apa? Kenapa kamu ngelakuin ini semuanya? Apa yang kamu harapkan sampai ngomong ke Kevin segala?"

Renard berhenti mengusap kepala belakang Siahna. Kini, kedua tangannya malah menggenggam jari-jari iparnya. Sadar kalau dia takkan bisa melepaskan diri dari Renard, Siahna tidak menepis tangan lelaki itu.

"Aku nggak tau salahnya di mana. Mungkin kamu nggak percaya kalau aku serius sama semua kata-kataku. Kamu iparku, fakta itu nggak bisa diubah. Tapi kamu juga nggak perlu ngingetin aku terus-menerus soal itu. Aku nggak amnesia, kok. Tapi, yang namanya perasaan, mana bisa diatur-atur? Mana aku tau bakalan jatuh cinta sama kamu, Sweetling? Yang perlu kamu ingat, aku orang yang total. Kalau udah jatuh cinta, nggak pernah setengah-setengah."

Lalu, seolah ingin menegaskan maksudnya, Renard malah mengecup punggung tangan Siahna dengan lembut. "Aku ngomong sama Kevin supaya dia tau perasaanku. Aku nggak mau ngerasa bersalah karena seolah-olah udah mengkhianati adikku. Meski nyatanya kan nggak kayak gitu juga. Aku nggak mau kamu berkorban terlalu banyak, Na. Untuk Kevin atau keluargaku. Aku penginnya kamu bahagia."

"Bahagianya aku kalau kamu balik kayak Renard yang dulu. Aku nggak punya pera..."

"Kalau sekarang ini kamu nggak punya perasaan apa-apa, no problem. Pelan-pelan, aku bakalan bikin kamu jatuh cinta. Janji."

Siahna geleng-geleng kepala. "Pernah nggak sih kamu mikirin efeknya buatku? Kalau sampai keluargamu tau dan jadi salah paham, aku..."

Renard lagi-lagi memotong. "Justru karena mikirin kebahagiaanmu, makanya aku ngomong sama Kevin. Aku nggak mau selamanya kamu terjebak dalam pernikahan palsu kayak gitu. Kamu berhak bahagia, Sweetling." Renard menatapnya lekat-lekat. "Aku nggak mau kamu terus sendirian karena trauma. Nggak semua laki-laki itu berengsek."

"Aku tau itu. Aku bukan tipe orang yang main pukul rata meski punya pengalaman jelek." Siahna menghela napas dengan perasaan tak keruan. Dia memutuskan untuk menyodorkan beberapa fakta yang mungkin tidak terlalu dipikirkan si bebal Renard ini.

"Saran gratis dari aku, mending kamu jauh-jauh. Gini, katakanlah kamu beneran cinta sama aku. Tapi, perasaanmu itu nggak akan bisa jadi modal memadai untuk terima aku apa adanya. Kalau kamu udah tau semuanya, kamu harusnya sadar perempuan kayak apa aku ini. Pernah diperkosa sama pacar sendiri setelah dicekokin entah apa sama mantan istrimu, hamil, dipaksa aborsi, sampai kemudian kena infensi yang bikin Bude minta dokter ngangkat rahimku. Aku nggak akan pernah punya anak, Re."

"Kamu kira aku nggak tau semua itu? Jujur aja, aku merinding pas tadi Kevin ngomong. Gimana bisa kamu ngalamin begitu banyak kejadian buruk? Itu nggak adil sama sekali. Tapi, dulu aku belum kenal kamu, nggak bisa belain kamu. Sekarang situasinya beda." Renard tersenyum lembut. Menatap Siahna sungguh-sungguh.

"Masa lalu itu nggak penting, Sweetling. Karena nggak bisa direvisi. Yang lebih penting, semua yang jelek-jelek itu nggak bikin kamu jadi perempuan jahat. Kamu adalah Siahna yang cantik hingga ke dalam hatinya. Yang penyayang dan peduli sama orang lain. Yang mau nikah sama adikku dengan satu syarat, Kevin ngasih dana untuk bikin perpustakaan Mahadewi. Kamu memang bukan malaikat. Tapi aku belum pernah ketemu perempuan sehebat kamu, Sweetling."

Saat itu, jangankan untuk bicara, mengerjap pun Siahna kesulitan. Akal sehatnya memerintahkan untuk memaki Renard dan meminta lelaki itu menjauh selamanya. Sementara hati perempuan itu menginginkan Renard menepati setiap huruf yang diucapkannya tadi. Bagaimana bisa kepala dan hatinya menyuarakan dua hal yang sangat kontradiktif?

"Sekarang ini, aku pengin banget nyium kamu."

Siahna berjengit. "Astaga, Renard!"

Lelaki itu bicara dengan serius. "Tau sebabnya? Aku pengin ngasih kamu kenangan baru dan menghapus semua memori busuk tujuh tahun lalu. Karena aku cinta sama kamu, Sweetling."

Lagu : To Be With You (Mr. Big)

Catatan :

Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.

Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.

Senin dan Selasa : I Need You - kakahy

Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo

Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco

Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri

Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians

Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top