Chapter 13

Siahna sungguh ingin menangis mendengar pengakuan Renard. Entah berapa lama, Siahna cuma mampu duduk serupa arca batu. Meski ingin mengalihkan tatapan dari wajah Renard, Siahna tak mampu melakukannya.

"Kamu... kalau becanda jangan keterlaluan, Re," pintanya dengan suara nyaris hilang.

"Aku nggak bercanda, Na. Aku sungguh-sungguh. Aku juga tau risikonya ngomong kayak gini ke kamu. Belum lagi kalau ada yang dengar, bisa-bisa aku dianggap laki-laki amoral. Aku cuma mau bilang, kalau bisa, aku nggak bakalan ngebiarin perasaanku berkembang sejauh ini." Renard mengacak-acak rambutnya, kebiasaan lelaki itu jika sedang pusing. "Aku mau ngomong sama Kevin. Kamu tinggal bilang iya, aku yang maju."

Siahna akhirnya mampu berpaling dan kembali menatap ke depan. Jantungnya mungkin akan berubah menjadi kembang api jika dia tetap memandangi Renard. "Kamu ngomong apa pun, nggak ada gunanya, Re. Kita adalah saudara ipar."

"Kamu kira aku nggak tau?"

"Apa pun penilaianmu, aku dan Kevin adalah suami istri. Nggak ada yang bisa mengubah itu. Aku puas dengan pernikahanku meski mungkin buatmu itu susah untuk diterima. Asal kamu tau, sejak awal, aku dan Kevin nggak pernah berencana untuk cerai. Ini pernikahan tanpa jatuh tempo."

"Siahna..."

"Udah ya, nggak usah ngomong lagi. Aku cuma mau bilang satu hal. Aku ngaku salah karena responsku malam itu. Jujur, aku cuma terbawa suasana. Bukan karena alasan lain." Siahna memberanikan diri untuk menatap Renard lagi. "Jangan salah paham. Aku nggak punya perasaan apa pun ke kamu."

Lalu, dengan mengeraskan hati sembari mengepalkan kedua tangannya, Siahna bangkit. Dia tidak menyentuh kopi yang dibuatkan Renard. Tanpa bicara, perempuan itu meninggalkan teras belakang. Dia benar-benar bersyukur karena Renard tidak mengekorinya.

Siahna hendak menuju kamarnya saat Kevin memanggil nama istrinya. Lelaki itu tampak segar meski hari sudah cukup malam. Siahna lega karena dia sudah meninggalkan teras belakang. "Kamu mau kubuatin minum?"

"Nggak usah. Aku mau langsung tidur."

Mereka berjalan bersisian menuju kamar. Siahna tahu ini bukan waktu yang tepat. Namun dia butuh pengalihan agar tidak mengingat perbincangan dengan Renard tadi. Meski mungkin harus bertengkar dengan Kevin. "Kamu banyak kerjaan, ya? Beberapa hari kita nginep di sini, kamunya malah jarang punya waktu untuk Mama. Padahal tujuan kita ke sini supaya lebih sering ketemu Mama."

Kevin membuka pintu kamar. "Kamu yang ngusulin, padahal aku udah bilang kalau beban kerjaku belum berkurang," katanya membela diri.

"Produk baru kan udah diluncurkan. Ini saatnya kamu lebih santai."

"Razi butuh aku, Na. Ide-ide promosi dan beberapa negosiasi sama klien, aku yang tangani. Nggak bisa kutinggal gitu aja meski Mama sedang sakit."

Siahna memilih untuk berbaring di ranjang, menunggu Kevin yang sedang mengganti pakaian. Dia bukan orang yang meninggikan suara saat bertengkar. Dia juga tidak mudah emosi karena hal-hal sepele. Namun, kali ini Siahna tidak keberatan bersitegang dengan suaminya.

"Aku udah pernah ngingetin kamu soal Mama. Karena nggak sesuai sama perjanjian awal. Dulu, salah satu alasanmu pengin nikah karena mau bikin Mama bahagia. Sekaligus supaya nggak curiga kalau kamu gay. Kamu juga pengin bikin Mama bahagia selagi bisa. Mumpung masih sehat dan punya waktu. Gitu, kan?"

Mereka berbaring berhadapan. Kevin mengangkat alis mendengar kata-katanya. "Iya, aku masih ingat semuanya. Tapi, kamu juga harus fleksibel dong, Na. Kamu tau banget kerjaanku, kan? Aku nggak bisa seenaknya..."

"Dulu, kamu nggak sesibuk sekarang," potong Siahna tenang.

"Urusan kerjaan, iya. Tapi masalahnya beda kalau udah menyangkut Razi. Makin ke sini, dia justru makin butuh bantuanku. Semuanya nyambung sama kerjaan juga, sih."

Siahna memutuskan untuk memberi tahu pendapatnya. "Kamu nggak bisa bedain urusan Razi dan kerjaan. Menurutku, kamu terlalu manjain pacarmu. Harusnya kamu bisa ngasih dia pengertian, kalau saat-saat sekarang ini Mama butuh perhatianmu, Kev."

Lelaki itu malah menguap. "Na, aku beneran capek dan nggak pengin berantem gara-gara ini. Kamu kan udah ada di sini, gantiin aku. Kenapa harus diributin lagi?"

"Ya bedalah, Kev. Aku nggak keberatan kalau harus tinggal di sini dan ngurusin Mama. Tapi, aku cuma menantu di rumah ini. Mama jauh lebih butuh perhatian kamu." Siahna menghela napas. "Jangan sampai nyesel nantinya, lho."

Mata Kevin terpejam. Suaranya terdengar putus asa saat lelaki itu bicara. "Kamu kira aku nggak pusing, Na? Razi sekarang jauh lebih sensi. Entah karena penyakitnya atau apalah." Kevin mendesah tajam. "Razi dan Mama sama-sama penting buatku."

Siahna menyergah tak sabar, "Tapi kamu kudu bikin prioritas. Lupa pernah janji sama aku? Setelah peluncuran produk baru, kamu bakalan punya lebih banyak waktu untuk Mama."

Kevin menjawab pelan, "Iya, aku ingat. Nanti deh, pelan-pelan aku ngomong ke Razi."

Percakapan itu membuat Siahna melupakan pengakuan mengejutkan Renard tadi. Namun hanya selama seperempat jam. Setelah Kevin memutus perbincangan karena mengantuk, usaha Siahna pun berakhir menyedihkan. Kata-kata Renard membuat gema tanpa henti di kepalanya.

Siahna tak tahu apakah sepatutnya dia bahagia atau justru sebaliknya karena pengakuan iparnya itu? Perempuan itu tidak gentar membenarkan pada diri sendiri bahwa dia memiliki perasaan tak biasa pada Renard. Namun, apakah itu pantas disebut cinta? Siahna tidak tahu sama sekali. Karena bertahun-tahun silam dia sudah bersumpah akan membunuh semua perasaan yang bisa bertumbuh untuk seorang pria. Dia sudah tidak ingat seperti apa jatuh cinta. Namun, Renard berhasil masuk ke dalam hidup Siahna lebih jauh dibanding orang lain.

Seharusnya, Renard tidak pernah membuat pengakuan apa pun. Karena hanya membuat Siahna bingung sekaligus canggung jika bertemu lelaki itu. Sengaja menghindar pun sepertinya mustahil karena Renard adalah iparnya. Entah bagaimana dia harus menghadapi hari-hari di depan yang berkaitan dengan Renard. Lelaki itu, sadar atau tidak, sudah merumitkan hidup Siahna yang memang dibelit benang kusut.

Malam itu, Siahna memimpikan iparnya. Adegan saat Renard menarik Siahna mendekat sebelum mencium perempuan itu, tergambar begitu jelas. Hingga setelah terbangun pun Siahna masih merasakan kehangatan yang masih menempel di bibirnya.

oOo

"Mbak, aku naksir ini," beri tahu salah satu klien Siahna, Venita. "Ish, melamun lagi."

Siahna tergagap karena Venita mengibaskan tangan kanan di depan wajahnya. "Oh, maaf. Kamu mau yang mana, Ta?"

Venita memandangnya dengan ekspresi jail. "Pasti lagi ngebayangin yayangnya. Mentang-mentang baru nikah."

"Nggak baru-baru banget juga, Ta. Udah beberapa bulan," bantah Siahna, tertawa kecil. "Aku nggak lagi mikirin yayangku, lho! Tebakanmu sok tau." Perempuan itu menunjuk ke arah katalog yang tadi dipegang kliennya. "Naksir yang mana? Mau dicobain sekalian?"

"Yang ini, tapi pengin warna lain. Biru tua, kalau ada."

Telunjuk Venita terarah pada sebuah haori berwarna hijau lumut. Haori adalah mantel longgar selutut dengan lengan panjang yang berasal dari Jepang. Tentunya sudah mengalami modifikasi sana-sini sesuai perkembangan mode dunia. Siahna membaca keterangan di bawah haori itu.

"Biru tua ada, ukurannya juga masih lengkap. Sebentar ya, kuambil contohnya dulu supaya kamu bisa nyoba."

Siahna bergegas meninggalkan ruangan konsultasi itu untuk mengambil contoh busana yang diinginkan Venita. Puspadanta menyediakan beberapa ruang konsultasi sekaligus yang terletak di area belakang toko, masing-masing dilengkapi dengan ruang ganti.

Di ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu, disediakan sofa tiga dudukan yang nyaman, sebuah meja bundar, kulkas mini yang dipenuhi minuman, tumpukan katalog terbaru, serta lemari pendek tempat sebuah televisi diletakkan. Para klien mendapat kebebasan memanfaatkan ruangan itu untuk berkonsultasi dengan personal shopper-nya masing-masing. Namun, tentu saja waktunya dibatasi, maksimal dua jam dalam satu sesi. Jika lebih, akan dikenakan biaya tambahan yang ditagih setiap akhir bulan.

Melayani klien yang membayar demi mendapatkan seorang pembelanja pribadi, bukan hal gampang. Banyak di antara mereka yang cenderung membuat tuntutan tinggi karena sudah mengeluarkan biaya khusus. Siahna dan rekan-rekan seprofesinya harus memiliki kesabaran berlimpah dan kemampuan untuk bekerja dengan profesional.

Selama ini, Siahna tidak pernah menghadapi masalah berarti. Klien yang bawel dan menyebalkan bisa dihadapinya dengan baik. Venita adalah salah satu pelanggan favorit Siahna. Perempuan itu memiliki toko kue yang cukup top di Bogor dan senang tampil trendi. Dalam sebulan, Venita biasa datang ke Puspadanta minimal dua kali.

Saat hendak membawa haori ke ruangan konsultasi, Siahna berhenti sebentar untuk mengambil sebuah rok accordion pleats dengan panjang di bawah lutut. Perempuan itu dituntut untuk mengenali selera para kliennya. Dan dia cukup yakin Venita akan menyukai pilihannya.

Benar saja! Begitu melihat rok berwarna ungu muda itu, Venita nyaris memekik. "Mbaaak, kamu itu punya indra keenam atau gimana, sih? Kok tau kalau aku memang lagi nyari rok model gini? Ini lagi ngetren kan, ya?"

Siahna tertawa geli sembari mengangguk. "Iya, lagi ngetren. Ini produk baru dan langsung laris begitu diluncurkan."

Hari itu, Venita membeli beberapa produk dengan jumlah total belanja lumayan besar. Ketika sesinya bersama perempuan itu selesai,  arloji Siahna menunjukkan waktu yang sudah cukup sore. Hampir pukul lima. Namun Siahna lega karena tidak ada klien lain yang harus dilayaninya hari ini. Artinya, perempuan itu bisa pulang tepat waktu.

Mendadak, Siahna kembali teringat Renard. Sejak pernyataan cinta lelaki itu yang diam-diam meluluhlantakkan hati Siahna, konsentrasi perempuan itu menjadi kacau. Dia memang bisa bekerja dengan baik, tapi setelah mengerahkan semua upaya yang terasa melelahkan. Karena itu, ketika jam kerjanya berakhir, Siahna begitu lega.

Akan tetapi, karena dia masih menginap di rumah mertuanya, pulang berarti mendapat siksaan baru. Karena itu artinya dia akan bertemu Renard lagi, sengaja atau tidak. Kondisinya lebih parah jika Petty atau Arleen berkunjung. Karena itu maknanya Siahna harus menghabiskan banyak waktu dengan iparnya. Renard pun biasanya bergabung dengan gaya santainya yang biasa.

Meski begitu, situasi terberat bagi Siahna justru ketika Gwen sedang menginap. Kehadiran anak itu membuat Renard memiliki alasan untuk menguntit Siahna ke mana-mana. Meski Renard tidak pernah lagi membahas tentang perasaannya, tetap saja hal itu membuat perempuan itu merasa canggung. Mereka tidak pernah lagi mengobrol santai dan tertawa geli karena gurauan salah satunya.

"Tante Nana lagi marahan sama Papa, ya? Dari tadi cemberut melulu tiap ada Papa," tebak Gwen tadi pagi dengan alis berkerut.

"Nggak kok, siapa bilang?" balas Siahna agak panik.

"Iya nih, Tante Nana memang lagi sebel sama Papa." Renard menolak bekerja sama. "Kamu kasih tau dong Gwen, supaya Tante Nana jangan marah-marah ke Papa. Oke?"

Siahna menahan diri agar tidak menendang tulang kering Renard. Entah apa yang diinginkan lelaki itu dengan "mengadu" pada Gwen. Namun, meski mencoba untuk membenci Renard, Siahna gagal. Bodohnya lagi, perempuan itu malah bersemangat melewati perjalanan pulang karena dia akan bertemu Gwen yang masih menginap sehari lagi dan... ayahnya!

Perempuan itu baru saja memasuki ruang keluarga saat menyadari kehadiran seorang tamu yang sedang menyusun puzzle di lantai berkarpet bersama Gwen. Renard yang duduk di sofa sembari memainkan ponselnya, mengangkat wajah dan tersenyum lebar begitu melihat Siahna. Sepasang lesung pipitnya membuat Renard tampak kian menawan.

Gwen yang menyadari kehadiran Siahna, berlari ke arahnya sambil berteriak, "Tante Nanaaaa..."

Siahna baru saja hendak berjongkok untuk menyambut Gwen saat sang tamu mengangkat wajah dan memandangnya. Di detik yang sama saat mereka beradu tatap, Siahna merasa lumpuh dan membeku. Salah satu iblis dari masa lalunya, sudah kembali.

Lagu : Everything I Do (Bryan Adams)

Catatan :

Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.

Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.

Senin dan Selasa : I Need You - kakahy

Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo

Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco

Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri

Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians

Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top