Chapter 12
Tidak ada yang disesali Renard kecuali kedatangan Arleen yang membunuh kesempatannya untuk bicara pada Siahna. Dia harus memberi tahu iparnya tentang apa yang terjadi di antara mereka. Dia sudah berjuang menahan diri selama ini, menanamkan ide di kepala bahwa dirinya sudah gila karena memiliki perhatian pada Siahna lebih dari yang seharusnya. Akan tetapi, saat mendengar Siahna memarahi Kevin lalu menangis karena cemas akan kondisi Miriam, Renard tahu dia sudah kalah. Perasaannya itu tak cuma suka, melainkan sudah bertransformasi menjadi cinta. Perempuan seperti ini yang diinginkannya dalam hidup.
Karena itu, Renard tidak lagi mengekang diri. Dia adalah pria dewasa yang tahu konsekuensi dari tindakannya. Dia tidak malu mengakui sudah jatuh cinta pada iparnya sendiri. Jika Kevin dan Siahna membangun rumah tangga normal seperti yang lain, sudah pasti Renard akan memilih bunuh diri ketimbang mencium iparnya.
Siahna mirip aplikasi rumit dengan kata sandi berlapis yang tak bisa ditembus begitu saja. Namun justru di situ letak pesonanya. Tadi malam, Renard mendadak memutuskan untuk tidak memedulikan dunia. Perempuan ini terlalu istimewa untuk dibiarkan lepas begitu saja. Terserah hinaan apa yang akan ditujukan padanya, Renard tak peduli. Sebelum melangkah lebih jauh, dia akan bicara dengan Siahna.
Hari ini, perempuan itu berhasil lolos karena menolak diantar pulang oleh Renard. Dia tak bisa memaksa karena ada Petty dan Arleen di rumah sakit. Lagi pula, Renard harus berkonsentrasi pada kesehatan ibunya, bukan? Yang pasti, penundaan itu hanya sementara. Renard tak bisa berpura-pura semua baik-baik saja dan tidak terjadi apa pun di antara mereka.
Renard menyempatkan pulang ke rumah sebentar untuk mandi dan berganti pakaian. Seharusnya, Renard menjemput Gwen hari itu. Namun karena masalah Miriam, lelaki itu meminta Bella mengantar putri mereka ke Java Medical Care. Untungnya kali ini Bella tidak membantah atau memusingkan Renard dengan berbagai syarat atau kritikan.
Ketika Renard kembali ke rumah sakit menjelang sore, Gwen dan Bella juga baru datang. Putrinya langsung melompat ke arah Renard, memeluk pria itu dengan erat. Saat melihat ekspresi Arleen dan Petty, Renard tahu bahwa kedua saudara kembarnya sangat kesal karena kehadiran Bella.
"Kamu udah lama, Bel?" tanya Renard, berbasa-basi. Gwen berada di gendongannya.
"Baru sepuluh menitan."
Seperti biasa, Bella tampak cantik meski hanya mengenakan celana berpipa lurus dan kemeja putih slimfit. Renard bertanya-tanya, ke mana semua gelora cintanya menguap? Dulu, dia pernah begitu memuja perempuan itu. Hingga perlahan-lahan perasaan Renard mati. Sekarang, tidak ada lagi yang tersisa. Semua terasa hambar.
"Kamu tadi malam nginep di sini, ya? Kok nggak bilang kalau Mama dirawat sejak kemarin?" tanya Bella dengan mimik terganggu.
Renard menahan seringainya. Sejak kapan Bella peduli pada Miriam? Di masa lalu, keduanya bahkan pernah beradu mulut karena berbagai sebab. Yang jelas, Bella tidak menaruh hormat pada mertuanya.
"Aku juga taunya belakangan," balas Renard tanpa semangat. "Karena kemarin aku masih di Medan."
Lelaki itu bersyukur karena Bella tidak bertahan lama di rumah sakit. Dia kian bersyukur karena Siahna kembali setelah Bella pulang. Sehingga kedua perempuan itu tidak bertemu. Meski Bella tidak pernah lagi bertanya tentang iparnya, Renard tetap saja tidak nyaman jika mereka bersua.
"Pa, itu ada Tante Nana," beri tahu Gwen dengan girang. Renard menoleh ke arah yang ditunjuk putrinya. Jantungnya mendadak bertalu-talu. Saat menemukan objek yang dicari, Renard tanpa sadar tersenyum lebar, nyaris dari telinga ke telinga.
Gwen menyambut Siahna seolah perempuan itu adalah pahlawan terbesar sepanjang masa. Dia berlari ke arah Siahna dengan suara kencang yang membuat adik ipar Renard itu menempelkan telunjuk di bibirnya. Untungnya Gwen menurut, berhenti mengeluarkan suara melengking yang sudah pasti tidak cocok dengan kondisi rumah sakit.
Renard menyaksikan Siahna menunduk untuk memeluk putrinya. Perasaan lelaki itu mendadak tak keruan. Saat itu dia baru benar-benar menyadari salah satu alasannya jatuh cinta pada Siahna. Kedekatan perempuan itu dengan Gwen. Siahna bukan sekadar seorang tante yang perhatian. Melainkan juga perempuan penyayang yang begitu sabar menghadapi Gwen. Hebatnya, Siahna melakukan hal yang sama dengan keponakan Renard lainnya dan para penghuni Mahadewi. Itu menunjukkan bahwa perempuan itu orang yang tulus dan penuh kasih.
"Aku nggak sabar pengin ngeliat Siahna punya anak. Dia keliatan sayang banget sama Gwen. Bayangin gimana perhatiannya sama anak sendiri," bisik Petty di telinga Renard. "Sayang, kamu ngelarang aku nanya-nanya progress Siahna-Kevin dalam upaya untuk punya momongan," guraunya.
Renard buru-buru menoleh ke arah kakaknya. "Kalau udah waktunya, kita semua bakalan tau. Udah deh, nggak usah selalu pengin tau urusan orang."
Saat itu, Renard mendadak diingatkan pada pengakuan Siahna. Tentang kemustahilannya memiliki darah daging. Apakah situasinya memang seburuk itu?
"Kamu kenapa balik lagi? Bukannya istirahat di apartemen," kata Arleen saat Siahna mendekat sembari menggendong Gwen. "Pasti tadi malam kamu kurang tidur, kan? Mana bisa nyaman cuma duduk di sofa gitu."
Siahna tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Udah sempat tidur tadi kok, Mbak." Perempuan itu duduk di sebelah Arleen, tepat di seberang Renard. Gwen duduk di pangkuan perempuan itu, memainkan ritsleting tas Siahna dengan riang. Hingga saat itu, tak sekalipun Siahna menatap ke arahnya.
"Kevin kapan balik, Na?" Petty bersuara. "Kamu udah bisa ngehubungin dia?"
"Udah, Mbak. Tadi malam aku udah ngobrol sama Kevin. Dia bakal balik secepatnya. Tapi karena Eropa itu jauh, jadi tetap aja butuh waktu. Mungkin besok atau lusa dia baru nyampe Indonesia."
Aroma pembelaan untuk Kevin itu membuat Renard gemas. Adiknya yang egois itu sedang menikmati liburan bersama kekasihnya, sementara Siahna ditinggal sendiri. Namun dia tak melihat setitik pun tanda-tanda bahwa Siahna merasa keberatan.
Hari itu, Renard masih belum mendapat kesempatan untuk bicara berdua dengan Siahna. Gwen menyibukkan perempuan itu hampir di segala kesempatan. Siahna masih menginap di rumah sakit, tapi kali ini Renard mustahil menemani. Dia harus membawa Gwen pulang. Sebagai gantinya, Arleen dan Petty sepakat untuk bermalam menjaga Miriam.
Kevin tiba di Indonesia setelah Miriam diizinkan pulang. Lelaki itu langsung mendatangi rumah keluarga mereka, membawa serta koper besar yang dibawanya dari Swiss. Siahna yang sedang berada di rumah mertuanya, menyambut Kevin dengan pelukan hangat. Sementara Kevin mencium kening istrinya dengan lembut. Renard ingin menusuk matanya sendiri karena pemandangan itu.
Renard tahu dia sudah gila karena cemburu pada Kevin. Adiknya adalah suami sah Siahna. Selain itu, Kevin takkan pernah tertarik secara seksual dengan istrinya sendiri. Akan tetapi, fakta-fakta itu tidak membuat akal sehatnya bekerja optimal.
Siahna dan Kevin memutuskan untuk tinggal sementara di rumah Miriam. Entah mengapa, Renard hampir yakin bahwa idenya bukan berasal dari adiknya. Pasangan itu menempati kamar Kevin sebelum lelaki itu pindah ke apartemen. Letaknya bersebelahan dengan kamar Renard.
Sejak Siahna menginap, Renard kesulitan memejamkan mata. Kepalanya malah dipenuhi bayangan tentang Siahna dan Kevin yang tidur seranjang. Kadang dia bertanya-tanya, apakah Kevin pernah mencium Siahna di bibir? Mungkinkah adiknya memeluk sang istri sepanjang malam? Pertanyaan gila semacam itu menggedor kepala Renard tanpa terkendali.
Renard mulai yakin, tak lama lagi dia akan jadi sinting karena iparnya. Perasaannya pada perempuan itu kian menggelora, bukannya mereda. Apalagi tiap kali dia melihat Siahna menyempatkan diri turut mengurus Miriam, sebelum berangkat atau sepulang kerja. Perempuan itu rajin berkonsultasi dengan perawat tentang makanan yang harus dikonsumsi Miriam. Riris mendapat banyak tugas seputar masalah itu.
Kevin? Kali ini Renard membenarkan kata-kata Arleen. Bahwa Kevin menunjukkan egoismenya meski mungkin tanpa menyadari hal itu. Kendati menginap di rumah ibunya, Kevin selalu pergi pagi-pagi dan baru kembali menjelang tengah malam. Kesibukan selalu dijadikan tameng.
Akhirnya, kesempatan Renard untuk bicara dengan Siahna tiba juga, di hari keempat perempuan itu menginap. Kala itu, Petty baru saja pamit pulang, meninggalkan Renard dan Siahna hanya berdua. Miriam sudah terlelap di kamarnya, ditemani oleh perawat. Sementara Riris sudah sejak tadi pamit untuk beristirahat.
Siahna buru-buru menuju kamarnya begitu Petty pamit. Renard membiarkannya tapi dia mengetuk pintu kamar yang ditempati iparnya lima menit kemudian.
"Na, aku nggak bakalan berhenti ngetuk pintu ini. Nggak peduli ada yang bangun."
Itu ancaman gila yang tak seharusnya dilontarkan Renard. Namun dia sama sekali tidak peduli. Dia sudah tersiksa berhari-hari, tak bisa terus bersandiwara bahwa tidak ada yang terjadi di antara mereka. Siahna bersalah karena membalas ciumannya. Jika perempuan itu menampar atau memakinya, situasinya tentu akan berbeda.
"Kamu mau ngapain, sih?" Siahna akhirnya mengalah.
"Aku kan pernah bilang, kita masih jauh dari selesai. Ada yang mau aku omongin. Terserah kamu tempatnya di mana."
Siahna tampak cemas, memandang ke segala arah karena khawatir ada yang melihat mereka. "Kamu gila, tau!"
"Iya, aku tau," balas Renard santai. "Dan kamu tau siapa penyebabnya, kan? The one and only, Tante Nana."
Siahna geleng-geleng kepala, tapi perempuan itu keluar dari kamarnya. Renard mengikuti Siahna yang berjalan ke arah dapur. "Kita ngobrolnya di teras belakang aja," putus perempuan itu.
"Oke," Renard menurut. "Kamu duluan, ya? Aku mau bikin susu dulu."
Nyatanya, Renard juga membuatkan segelas kopi untuk Siahna. Dia hafal takaran yang disukai perempuan itu, hasil pengamatan saat Siahna membuat kopi beberapa kali. Renard tak bisa menahan perasaan girangnya saat mendapati Siahna kaget menerima kopi darinya.
"Aku bikinin sekalian minuman favoritmu. Karena kita bakalan lama ngobrolnya."
Perempuan itu tak menjawab. Saat itu, udara cukup dingin karena hujan mengguyur Bogor lumayan deras sejak sore. Renard dan Siahna terpisah oleh meja bundar tempat mereka meletakkan gelas kopi dan susu.
"Kamu mau ngomong apa?" Siahna akhirnya bersuara. "Aku udah bilang, yang terjadi di rumah sakit itu cuma kekhilafan yang..."
"Itu kan versimu. Aku nggak bilang gitu," tukas Renard. "Aku ngelakuin segalanya dengan sadar, kok. Harusnya memang nggak boleh karena kamu iparku. Tapi, aku nggak peduli."
Siahna masih menatap ke depan, menghindari kontak mata dengan Renard. Seingat lelaki itu, sejak iparnya menginap di rumah yang sama, Siahna memang tak pernah mau berada satu ruangan dengan Renard. Kecuali terpaksa.
"Kamu harus peduli. Aku istri Kevin."
"Ya, istri yang dinikahi karena alasan tertentu," balas Renard tajam.
"Betul. Tapi itu bukan urusanmu."
Renard tertawa kecil. "Kalau soal itu, masih harus diperdebatkan, Na. Karena rumah tangga kalian udah jelas nggak berfungsi sebagaimana mestinya."
Ucapan Renard tampaknya membuat Siahna marah. Perempuan itu akhirnya menatap Renard dengan tatapan murka. "Menurutmu, aku adalah perempuan kesepian yang butuh perhatian khusus darimu karena suamiku gay? Kamu anggap aku sehina itu?"
Renard kaget karena kesalahpahaman Siahna. Dia menggeleng buru-buru. "Aku nggak pernah bilang gitu."
"Iya, tapi maksudnya ke sana, kan?" tuding Siahna.
"Nggak, Na. Bukan itu maksudku. Aku nggak pernah nganggap kamu serendah itu. Aku yang nyium kamu duluan, ingat? Kalau ada yang hina di sini, orangnya adalah aku." Renard menarik napas, berusaha menenangkan diri agar dia tidak mengoceh panjang yang justru membuat Siahna kabur sebelum maksudnya tersampaikan.
"Aku pernah bilang kalau kamu nggak seharusnya nikah sama Kevin, kan? Aku sungguh-sungguh ngucapin itu. Aku..." Renard menyugar rambutnya dengan tangan kiri. Dia frustrasi karena ada terlalu banyak kata-kata, tapi tak tahu mana yang harus lebih dulu diucapkan.
"Na, aku udah berusaha menjauh dari kamu. Karena perasaanku sama kamu memang nggak masuk akal. Tapi aku nggak bisa melawan diri sendiri. Aku jatuh cinta, Na. Sama kamu."
Lagu : I'll Be There (Mariah Carey)
Catatan :
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top