Chapter 11

Jika saja Renard mencium Siahna beberapa tahun silam, saat ini dia sudah pasti akan histeris sekaligus ketakutan luar biasa. Mungkin Siahna akan menyerang Renard, meninju lelaki itu berkali-kali agar menjauh darinya. Tubuhnya sudah pasti akan gemetar hebat dengan keringat mengalir dari tiap pori-pori. Lalu, mimpi buruk akan menghantuinya berminggu-minggu.

Namun, kini di usianya yang tergolong matang dan sudah mendapat perawatan dari psikiater dengan intensif, situasinya berbeda. Siahna bahkan seolah sedang melayang di antara gugusan bintang, dengan isi perut seolah jungkir balik. Yang paling parah adalah kondisi jantungnya. Berdegum-degum dan menulikan telinga. Penderitaannya bertambah karena darahnya seolah menyentak-nyentak dengan liar. Bagaimana jika dia terkena stroke karena ciuman Renard?

Apakah semua itu menjadi kombinasi sesat yang membuat Siahna membalas ciuman Renard? Bagaimana bisa sejak awal mengenal Renard, dia tak pernah merasa takut pada lelaki ini? Entahlah, dia tak tahu pasti dan tak berani mencari tahu. Namun, akal sehatnya yang sempat membeku, mendadak bereaksi dan membuat Siahna menjauh dari Renard dengan napas terengah. Wajah Renard memerah tua, nyaris sewarna ceri.

"Aku anggap kamu khilaf, mungkin karena jetlag atau kerasukan leluhur pencipta bika ambon pas di Medan. Sedangkan responsku yang nggak seharusnya itu kemungkinan besar muncul karena masih mellow gara-gara obrolan sesama keluarga pasien tadi. Aku mengalami disorientasi serius. Harusnya, aku nabok kamu atau lapor ke pihak keamanan sebagai korban pelecehan."

Siahna tahu dia melantur, kebiasaan yang kadang muncul saat gugup luar biasa dan tak punya alasan untuk membenarkan tindakannya. Perempuan itu tidak berani menatap Renard. Dia mengubah posisi tubuh sehingga menghadap ke arah televisi yang menyala dengan volume minim. Siahna juga tidak berani mencari tahu apakah ada orang yang memergoki mereka sedang berciuman meski suasana sudah sepi.

"Aku nggak jetlag atau kerasukan apa pun," sahut Renard, seolah sengaja mencari masalah. Suara lelaki itu terdengar lebih berat dibanding biasa. "Aku nyium kamu dengan sadar kok, Na. Sadar sesadar-sadarnya," tegasnya.

"Terserah aja. Tapi yang jelas, aku tadi nggak beneran sadar."

"Siahna, kalau..."

"Aku mau tidur dulu. Dan aku nggak bakalan mau ngebahas masalah ini. Buatku, ini kekhilafan yang nggak bisa dimaafin." Siahna bersandar di sofa, memejamkan mata. Perempuan itu bersyukur karena Renard tidak bicara lagi. Sekarang, Siahna bisa fokus untuk meredakan denyut jantung yang menggila dan seolah ingin mengubah susunan tulang dadanya.

Entah berapa lama Siahna memejamkan mata meski telinganya dengan tajam bisa menangkap setiap suara yang dibuat Renard. Tiap kali bergerak, lelaki itu melakukannya dengan hati-hati. Mereka sama-sama terjaga entah berapa lama. Siahna harus menahan godaan untuk membuka mata. Dia tidak boleh melakukan itu karena mungkin akan memicu masalah baru yang serius.

Siahna sempat menghitung dalam hati. Sudah bertahun-tahun berlalu sejak dia membalas ciuman seseorang. Di masa lampau, ciuman itu mengantarkannya pada malapetaka. Di masa kini, Siahna tidak tahu arah yang ditujunya. Yang pasti, meski teramat sangat terlarang, Siahna menyukai keberanian Renard. Namun, tentu saja dia mustahil mengakui itu di depan iparnya itu, bukan?

Perempuan itu akhirnya tertidur menjelang pagi, setelah otaknya lelah memilah-milah banyak hal yang tampaknya takkan berujung. Dia terbangun oleh suara kesibukan memulai hari di sekelilingnya. Yang paling fatal, dia membuka mata dengan kepala berada di dada Renard, sementara tangan kiri lelaki itu melingkari pinggang Siahna. Renard, -entah sejak kapan- jelas-jelas berpindah tempat duduk, mendekat ke arah Siahna.

Sebagai efek dari kekagetannya, Siahna buru-buru melepaskan diri dari dekapan Renard. Lelaki itu sontak membuka mata karena gerakan yang dilakukan iparnya. Renard mengerjap beberapa kali sebelum mengalihkan tatapan ke arah Siahna.

"Ada apa?" tanyanya dengan ekspresi tanpa dosa.

"Sejak kapan kamu pindah tempat duduk?" tanya Siahna. "Dan sejak kapan aku malah tidur di..." Perempuan itu tak sanggup menggenapi kata-katanya.

Renard meregangkan tubuh, mengangkat kedua tangan ke udara. "Kepalamu berkali-kali tersentak ke kiri dan ke kanan. Nggak nyadar, ya? Padahal kamu bolak-balik terbangun dan benerin posisi."

Siahna menggeleng. "Aku nggak inget."

"Makanya aku pindah ke sini. Nggak tega liat kamu bolak-balik kebangun." Renard mengedikkan bahu. "Nggak ada maksud apa-apa, Na. Aku cuma berperan sebagai bantal tapi punya semacam sabuk pengaman. Aku memang sengaja meluk kamu, supaya nggak kepentok sana-sini."

Siahna sungguh tidak tahu harus merespons dengan kalimat apa. Dia seolah mengalami fase kemusnahan kata-kata dari dalam benaknya. Renard mengejutkannya sejak tadi malam. Apakah dia harus marah pada lelaki ini? Tidak, karena Siahna bukan perempuan munafik. Karena itu, dia memilih menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.

Perempuan itu bertahan di toilet lebih lama dibanding seharusnya. Siahna tidak bisa menjabarkan perasaannya saat ini karena beberapa momen yang melibatkan Renard. Dia harus menenangkan diri agar bisa tetap menjaga kesantaian di depan sang ipar.

Ketika Siahna kembali ke ruang tunggu, suasana sudah lebih ramai dibanding sebelumnya. Renard menunggunya dengan dua porsi nasi uduk yang dibelinya entah di mana. Bahkan saat mendekat ke arah sofa yang ditempati Renard, Siahna merasakan wajahnya membara dan perut yang seakan diaduk oleh cairan kimia. Entah semerah apa kulit wajahnya saat ini.

"Sarapan dulu ya, Tante Nana? Tadi malam kamu kan nggak makan."

Gurauan Renard ditanggapinya dengan senyum tipis. Namun Siahna tetap menerima bungkusan yang diangsurkan Renard. Duduk di sebelah kiri lelaki itu, Siahna mulai menyantap sarapannya. Renard melakukan hal yang sama. Tidak ada yang bersuara selama beberapa saat. Hingga kemudian Renard yang tampaknya sulit untuk menutup mulut lebih dari sepuluh menit, kembali bicara.

"Kalau kamu merasa terganggu untuk segalanya, aku minta maaf. Aku nggak akan ngoceh panjang untuk bela diri, Na. Aku cuma nggak bisa melawan diri sendiri lebih lama lagi." Renard mengucapkan kata-kata itu dengan tenang, tapi sambil menantang mata Siahna.

Kalimat iparnya membuat Siahna takut. Meski dia sungguh ingin bertanya makna ucapan Renard, perempuan itu tak berani melakukannya. Oleh sebab itu, dia memilih untuk membahas masalah lain.

"Kamu nggak pulang dulu? Mandi dan ganti baju? Biar aku yang jagain di sini. Aku udah ambil cuti hari ini."

"Nggak ah, nanti aja. Nunggu ada yang datang untuk gantiin kita. Kamu juga harus pulang dan istirahat. Meski aku nggak bakalan nyuruh kamu mandi. Kamu wangi lho, Na."

Siahna memijat tengkuknya dengan gelisah. "Re, kayaknya nggak perlu ngomong gitu, deh," protesnya. "Kamu sengaja mau bikin aku salting, ya?"

Renard berpura-pura kaget. "Memangnya kamu bisa salting gara-gara aku ngomong gitu, Na? Wah, aku suka kalau itu beneran terjadi."

Kini, niat Siahna untuk bersikap seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka, mendebu. Dia mengernyit ke arah Renard. "Sebenarnya, kamu lagi ngapain? Kamu lagi berusaha ngerayu aku?" tanyanya blak-blakan. "Kalau iya, please ya Re, jangan dilanjutin. Nggak ada gunanya dan cuma bakalan nyakitin banyak orang."

Renard meremas bungkusan nasi uduk, memasukkannya ke dalam kantong plastik. "Kamu kira aku ini tipe laki-laki iseng yang..."

Semua kebenaran yang nyaris dimuntahkan Renard terhalang oleh suara Arleen. "Renard, kapan kamu balik? Kirain baru ntar siang nyampe Jakarta."

Lelaki itu menghela napas sebelum beralih memandang saudaranya. "Aku nyampe sini tengah malam. Naik pesawat jam sembilan."

"Berarti nginep di sini dong, ya?"

Mendadak, Siahna merasa sedang ketahuan melakukan dosa besar. Perempuan itu berpura-pura menyibukkan diri menepuk-nepuk celana yang sebenarnya baik-baik saja.

"Iya, nginep tapi belum ketemu Mama. Kamu kok pagi-pagi udah ke sini, Mbak?"

"Aku mau ngegantiin Siahna. Aku merasa jadi anak durhaka karena malah ngebiarin Siahna jaga sendirian. Kalau tau kamu juga di sini, aku nggak sudi disiksa rasa bersalah," canda Arleen. Perempuan itu duduk di antara adik dan iparnya. Arleen meletakkan sebuah kantong plastik di atas meja. "Aku beliin lontong sayur ala padang untuk sarapan, Na. Enak, lho!"

"Siahna udah makan, Mbak. Nasi uduk." Renard yang menjawab. "Mbak Petty nggak ke sini?"

"Nanti, agak siangan." Arleen menoleh ke arah iparnya. "Kamu mau pulang sekarang, Na? Nggak apa-apa kalau iya, kan sekarang udah ada aku dan Renard."

"Belum, Mbak. Ntar aja. Aku udah ambil cuti hari ini. Ketimbang was-was nungguin kabar Mama di apartemen, mending di sini aja."

Arleen melingkarkan lengan kirinya di bahu Siahna. "Beruntung banget aku punya ipar kayak kamu. Yang beneran sayang sama Mama. Ngimbangin Kevin yang... jujur aja nih, belakangan terkesan makin nggak peduli."

Ucapan Arleen mengejutkan Siahna. Tanpa pikir panjang, dia membela suaminya. "Kevin memang lagi sibuk banget, Mbak. Sejak persiapan sampai peluncuran produk baru Puspadanta kemarin itu, bener-bener nguras tenaga."

"Iya, aku tau. Tapi bukan berarti dia bisa liburan sendirian dan ninggalin kamu. Itu namanya egois," bantah Arleen. "Aku kesel tapi selama ini berusaha untuk nggak nyinyir. Harusnya kan dia nyisihin waktu liburan bareng kamu. Kalian belum sempat bulan madu, kan? Atau sering datang ke rumah mumpung kerjaan lagi rada longgar. Sekarang, malah ke Swiss untuk liburan."

Siahna berdeham dengan perasaan tak enak. "Aku nggak bisa ikut, Mbak. Kerjaan lagi banyak-banyaknya." Itu alasan klise yang sangat masuk akal. "Jadi, Kevin pergi bareng timnya. Kami masih punya banyak waktu untuk liburan berdua."

Entah mengapa, mata Siahna berkhianat karena memilih untuk menatap Renard meski cuma sekilas. Ekspresi kecut lelaki itu tertangkap olehnya.

"Udahlah Mbak, nggak usah sibuk ngurusin rumah tangga orang. Kalau nggak sreg sama yang dilakuin Kevin, ya tegur langsung orangnya. Bukan malah protes sama Siahna. Dia kan nggak bisa ngapa-ngapain. Kayak nggak tau aja gimana Kevin. Tampilan sih santai, tapi urusan keras kepala, nggak ada yang bisa ngalahin."

Siahna kian tak nyaman. Renard biasanya tak pernah mengucapkan kata-kata semacam itu, terkesan menyalahkan saudaranya.

"Iya, ya. Renard bener juga. Maaf ya, Na."

Renard mendadak berdiri. "Jam berapa kita bisa ketemu dokter untuk nyari tau kondisi terkini Mama?"

Arleen melihat arlojinya. "Dokter baru datang jam sembilanan. Nanti kita barengan ketemu dokter, ya? Aku tadi sempat mampir ke HCU tapi nggak boleh masuk. Di sini memang ketat banget aturannya."

"Ya iyalah, Mbak. Pasien HCU bukan orang dengan sakit ala kadarnya," respons Renard. "Aku mau ke toilet dulu."

Siahna lega setelah iparnya menjauh. Sejak Arleen datang, dia seolah menghirup udara beracun yang membuat sesak dada. Renard sudah menyalakan sumbu permasalahan yang dia takut tidak akan berakhir dengan mudah. Karena melibatkan perasaan yang coba dinafikan Siahna selama ini.

Perempuan itu menahan diri berkali-kali agar tidak memukul kepalanya sendiri. Dia tidak tahu mengapa mengikuti permainan Renard. Seharusnya, saat lelaki itu dengan lancang menciumnya, Siahna membalas dengan sesuatu yang berbeda. Sebuah tamparan seperti yang banyak ditampilkan di film-film mungkin lebih masuk akal. Menunjukkan penolakan yang tegas. Atau diimbuhi dengan makian.

Namun, Siahna tahu dia tak bisa memilih cara itu. Karena Renard memberinya alasan sinting yang mendorong perempuan itu melangkahi batasan yang selama ini tak terpikirkan untuk dilanggar. Jika terus dibiarkan, pada akhirnya nanti, Renard akan membuat Siahna gila.

Setelah mendapat kepastian dari dokter bahwa kondisi Miriam makin menggembirakan, perasaan lega Siahna sungguh tak terkatakan. Dia menyayangi mertuanya dengan tulus, tak peduli pernikahannya dengan Kevin bukan seperti bayangan Miriam. Di mata Siahna, Miriam adalah pengganti ibu yang tak pernah ditemuinya. Dia bahagia memiliki kesempatan mengenal mertuanya. Itulah alasan Siahna tak bisa menyesali pernikahannya.

Renard ingin mengantarnya pulang menjelang tengah hari, setelah Petty datang. Namun Siahna menolak mentah-mentah. Dia tidak boleh berdekatan dengan Renard.

"Oke, sekarang kamu bisa mengelak. Tapi kita belum selesai, Na. Masih jauh dari itu," ucap Renard, mengejutkan. "Kamu belum dengar apa yang mau kuomongin tadi."

Lagu : Fix You (Coldplay)

Catatan :

Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.

Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.

Senin dan Selasa : I Need You - kakahy

Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo

Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco

Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri

Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians

Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top