Chapter 1
TUJUH tahun kemudian...
Penata rias memutar kursi hingga Siahna menghadap ke arah cermin. Dia berkaca, mendapati wajahnya sudah dirias dengan sempurna. Tidak ada kekurangan mencolok yang bisa membuatnya tidak puas.
"Ada yang mau dibenerin, Na?" tanya sang perias bernama Alya itu. Siahna berdiri, dengan mata masih tertuju ke arah cermin.
"Nggak ada. Udah oke," pujinya. Ibu jari kanannya teracung ke udara.
"Sekarang, kebayanya udah bisa dipakai, lho! Akad nikahnya sebentar lagi, kan?"
Alya pun membantu Siahna mengenakan kebaya cantik yang dipesan sang calon mempelai dalam waktu singkat. Siahna beruntung karena kebaya itu melekat cantik di tubuhnya. Perempuan itu tak bisa merasa lebih puas lagi ketika kembali berkaca.
"Na, saya permisi sebentar, ya? Mau ke kamar mandi dulu. Sambil mau ngecek kerjaan yang lain, udah kelar ngeriasnya atau belum."
"Silakan, Mbak."
Siahna berputar sekali lagi di kamar lumayan luas yang disulap menjadi ruang rias ini. Dia sedang berada di kediaman calon suaminya, Kevin Orlando. Akad nikah mereka akan dilaksanakan kurang dari satu jam lagi, dilanjutkan dengan resepsi sederhana yang hanya mengundang keluarga dekat saja.
Ralat, keluarga dekat Kevin saja. Tidak ada satu orang pun yang mewakili keluarga Siahna. Ibunya memang memiliki dua saudara kandung selain Kemala. Namun, selain mereka tinggal di luar Bogor, hubungan dengan Siahna pun membeku setelah Kemala mengusirnya.
Kevin tidak keberatan, itu untungnya. Lelaki itu turut meyakinkan keluarga besarnya untuk tidak mempermasalahkan ketiadaan kerabat calon istrinya. Permintaan itu direspons dengan positif, membuat Siahna merasa tak perlu mencemaskan apa pun lagi.
Menikah bukanlah bagian dari mimpinya. Memang, saat masih remaja, membangun keluarga adalah salah satu cita-citanya. Namun ketika usianya menginjak angka dua puluh tahun, beberapa angan-angan penting terpaksa ikut ditebas. Salah satunya adalah bersuami. Laki-laki, lebih menyerupai monster yang harus dijauhi demi alasan keselamatan.
Namun, Kevin membuat Siahna berubah pikiran. Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab Siahna mengangguk dan menyetujui pernikahan ini. Meski gamang dan awalnya ragu, perempuan itu berusaha menanamkan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja. Kevin bukanlah pria berengsek seperti Ashton atau Verdi.
Seseorang mengetuk pintu sebelum bergabung di kamar yang luas itu. Siahna berjuang agar tidak mendengkus saat melihat Petty, kakak sulung Kevin. Bukan karena dia tak menyukai Petty. Melainkan karena merasa bersalah sudah mendustai perempuan itu. Petty memiliki saudari kembar bernama Arleen. Meski sangat mirip, Siahna bisa membedakan keduanya. Petty lebih kurus dibanding sang adik.
"Kamu cantik banget lho, Na," puji Petty. Perempuan itu memperhatikan penampilan Siahna dengan saksama. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, pujian semacam itu bukan sesuatu yang mengejutkan Siahna. Pujian itu pula yang sudah merusak hidupnya di masa lalu. Karena itu, dia tak pernah lagi terpengaruh jika mendapat komplimen yang berkaitan dengan penampilan fisik yang tak bisa diubahnya.
"Makasih, Mbak. Ini karena periasnya pinter," argumen Siahna seraya tertawa kecil.
Petty maju selangkah, memegang kedua tangan Siahna dengan hangat. "Kamu nggak tau aja gimana bahagianya Mama karena akhirnya Kevin nikah. Dia udah cukup umur tapi selama ini nggak pernah nunjukin kalau tertarik punya istri. Kerja terus yang dipikirin." Petty tersenyum lembut. "Makasih ya, Na."
Siahna benar-benar tak mampu bersuara karena kosakata mendadak mengabur dari ingatannya. Sejak pertama kali bertemu dengan ibu dan kedua kakak perempuan Kevin, suasana emosional langsung menyergap Siahna. Keluarga calon suaminya menyambut rencana pernikahan mereka dengan antusiasme yang membuat mata Siahna berair.
"Mbak, jangan gitu, deh. Ntar make-up nya luntur gara-gara aku nangis," guraunya. Siahna mengerjap dua kali. "Nggak perlu bilang makasih melulu. Justru aku yang bahagia karena punya keluarga baru," imbuhnya.
Ya, itu kalimat yang jujur. Kecuali kakak Kevin yang nomor tiga, Siahna sudah bertemu dengan semua anggota keluarga calon suaminya. Kevin yang sudah tidak memiliki ayah itu dibesarkan dalam keluarga yang hangat dan dipenuhi cinta, menyambutnya dengan tangan terbuka. Itu salah satu hal yang menguatkan hati Siahna untuk menyetujui pernikahan ini.
"Kamu nggak sedih, Na? Karena nggak ada keluargamu yang datang. Aku nggak enak hati karena kalian nikahnya termasuk cepat. Aku tau, kamu sama Kevin mikirin soal kesehatan Mama. Tapi, seharusnya..."
Siahna memegang lengan kanan Petty, membuat kata-kata perempuan itu berhenti. "Nggak apa-apa, Mbak. Memang ini waktu yang ideal, kok." Siahna memaksakan diri untuk tersenyum setulus yang dia mampu. "Mama dan papaku udah nggak ada. Dari kecil aku diurus sama Bude, dan beliau sekarang nggak tinggal di sini lagi. Masih ada dua om lagi, tapi mereka juga nggak bisa datang. Yang satu tinggal di Malaysia, satunya di Mataram. Mungkin aku sama Kevin yang bakalan datang ke rumah mereka setelah nikah."
"Ide bagus kalau kalian berniat gitu. Memang kamu harus ngenalin Kevin sama keluarga besarmu, Na."
Siahna tersentuh karena pengertian yang diberikan calon iparnya itu. "Iya, Mbak. Sekalian bulan madu. Tapi nunggu kerjaan Kevin kelar dulu. Mbak tau sendiri gimana Kevin, sibuknya luar biasa. Aku pun lagi nggak bisa cuti terlalu lama."
"Nanti kalau udah nikah, pelan-pelan dikasih tau supaya makin jago ngatur waktunya. Kalian juga harus sering-sering main ke sini. Kamu tau sendiri gimana kondisi Mama."
Siahna mengangguk. "Iya, Mbak. Kalau soal itu sih pasti. Kami bakalan sering nengok Mama," janjinya. Kali ini, kata-kata yang diucapkan Siahna memang sungguh-sungguh.
Petty merapikan ujung kebaya Siahna dengan penuh perhatian. "Aku mampir ke sini cuma untuk ngecek aja. Sekarang, aku harus ngeliat Mama dan persiapan akad nikah. Sambil mau ngomelin Renard karena belum datang juga jam segini."
Siahna pernah melihat foto Renard yang diambil bertahun lalu, tapi belum memiliki kesempatan untuk bertemu satu-satunya saudara lelaki yang dimiliki Kevin. "Mungkin masih di jalan, Mbak."
"Iya, tapi tetap aja dia nggak boleh seenaknya gini. Anak itu sejak nikah malah jadi makin nggak jelas. Itulah salahnya kalau nyari bini cuma gara-gara cakep doang. Harusnya ada semacam fit and proper test untuk calon pasangan. Supaya nggak dapat suami atau istri yang punya gangguan jiwa."
"Hah? Memangnya..."
Petty tertawa geli. "Nggak gangguan jiwa banget, sih. Tapi ya mengarah ke sana. Susah aku jelasinnya. Yang pasti, orang yang berakal sehat mustahil bersikap nggak terkontrol, kan? Ntar deh kalau udah ketemu langsung, kamu bakalan ngerti apa yang kumaksud. Tapi semua udah wanti-wanti sama Renard, mending hari ini datang sendiri aja."
Setelah Petty meninggalkan kamarnya, Siahna merasa lega. Saat itu dia baru menyadari bahwa tadi ruangan seolah menyempit hanya karena obrolan mereka yang berkaitan dengan keluarga. Namun dia harus menerima itu. Dia sudah tahu risikonya saat memutuskan menerima tawaran pernikahan dari Kevin.
Bagi Siahna, waktu seolah melamban. Dia tidak benar-benar menyadari detik demi detik yang berlalu sepanjang hari. Setelah akad nikah, dia dan Kevin menjadi bintang utama di acara resepsi yang digelar dengan elegan itu. Halaman depan rumah keluarga suaminya yang luas itu lebih dari sekadar memadai untuk menampung para tamu dalam jumlah terbatas. Semua orang bersikap ramah pada Siahna, membuat kegugupan yang coba disembunyikannya, mereda. Setelah bertahun-tahun pun Siahna tak bisa sepenuhnya santai saat berada di keramaian. Kecuali tatkala dia sedang berada di Mahadewi.
Dalam banyak kesempatan, Kevin bersikap mesra. Memandanginya dengan penuh cinta. Lelaki itu juga tak henti menggenggam tangan Siahna. Atau menempelkan telapak tangan di punggung bawah sang istri. Berkali-kali pula Siahna menahan diri agar tidak melompat kaget dan mengernyit. Sentuhan fisik bukanlah sesuatu yang familier baginya. Bahkan setelah berjarak bertahun-tahun pun dia masih tidak bisa bersikap santai tiap kali ada yang menyentuhnya, entah sengaja atau tidak.
"Sini, Na. Duduk di sebelah Mama sebentar. Kakimu pasti udah mau kram dari tadi berdiri dan jalan sana-sini pakai sepatu setinggi itu." Ibunda Kevin, Miriam, bersuara. Kata-katanya diucapkan dengan perlahan. Perempuan itu menunjuk kursi kosong di sebelah kiri kursi rodanya.
"Iya, kamu duduk dulu di sebelah Mama. Aku mau ngomelin Renard sebentar," dukung Kevin. "Dia baru datang, kayaknya."
Siahna belum pernah bertemu Renard, ipar lelaki satu-satunya. Dia bahkan tidak bisa membayangkan penampilan Renard saat ini di antara puluhan tamu. Dia cuma melihat foto di ruang keluarga rumah ini, yang diambil satu dekade silam. Ketika itu, ayah Kevin masih hidup.
"Kakimu pegal nggak, Na?" tanya Miriam penuh perhatian. Kadang, kalimat perempuan itu tidak terlalu jelas. Namun Siahna bisa mengerti.
"Nggak, Ma," balas Siahna.
Perempuan itu duduk di sebelah kiri ibu mertuanya. Menurut Kevin, Miriam sejak tiga tahun terakhir lebih banyak duduk di atas kursi rodanya setelah terserang stroke. Fisiknya melemah seiring bertambahnya penyakit yang menggerogoti perempuan berusia 61 tahun itu. Tak cuma terkena stroke, Miriam juga menderita penyakit jantung hingga darah tinggi.
Masih menurut Kevin, Miriam mengalami kelumpuhan pada sisi kiri tubuhnya. Namun sekarang kondisinya sudah membaik karena melakukan terapi dengan teratur selama bertahun-tahun. Namun kondisi fisik Miriam tetap saja tidak bisa kembali seperti sedia kala. Wajahnya pun tidak simetris meski tak terlalu kentara.
"Nanti kamu harus sering-sering main ke sini, ya? Ajak Kevin, biar dia jangan sibuk kerja melulu."
Kalimat itu sudah pernah diucapkan Miriam berkali-kali sejak dipertemukan dengan Siahna. Petty pun sama. Dan tak terhitung berapa kali Siahna memberi jawaban positif. Dia memegang tangan kiri ibu mertuanya yang terlipat di atas pangkuan. Siahna tersenyum tulus. Meski ada banyak alasan pernikahannya dengan Kevin, Miriam adalah faktor terbesarnya.
"Iya, Ma. Saya bakalan rutin datang ke sini bareng Kevin. Mama nggak usah cemas."
Miriam membalas senyum menantunya. "Kevin beruntung punya istri kamu. Kalian harus akur, jangan sering berantem." Perempuan itu berhenti sejenak untuk mengatur napas. "Nggak ada dua orang yang cocok segalanya. Meski pacaran lama sekalipun. Pasti ada aja yang bisa bikin ribut. Penyesuaian kata kuncinya ya, Na."
Siahna tidak tega melihat ibu mertuanya bicara panjang. Meski hasil terapi bertahun-tahun menunjukkan hasil positif, tetap saja stroke yang menyerang Miriam meninggalkan jejak.
"Iya, saya paham, Ma." Siahna mengelus punggung tangan Miriam dengan perlahan. "Mama udah makan? Atau pengin ngemil sesuatu?" tanyanya penuh perhatian.
"Nggak, masih kenyang."
Saat itu Siahna melihat remah makanan di sudut bibir mertuanya. Tanpa pikir panjang, dia mengulurkan tangan. "Maaf Ma, ini ada kotoran," katanya lagi.
Seseorang menyapa Miriam, dengan suara berat yang mengejutkan Siahna. "Halo, Ma. Cantik banget hari ini. Aku orang keberapa yang ngomong gitu?"
Siahna kontan menoleh, mendapati seorang pria jangkung berkulit terang sedang mendekat. Lelaki itu tersenyum lebar ke arah Miriam, mempertontonkan sepasang lesung pipit yang mencolok, sebelum berjongkok di depan perempuan itu. Siahna langsung bisa menebak siapa orang yang baru datang itu. Renard, kakak iparnya.
Rambut tebal lelaki itu agak panjang dan berantakan, hidungnya lancip, bibir penuh, serta mata bulat dengan pupil berwarna cokelat. Alisnya tebal, dengan bakal janggut memenuhi rahangnya. Paling tidak, pria ini belum bercukur selama dua hari.
"Kamu baru datang? Adiknya nikah tapi malah telat," kritik Miriam. Namun perempuan itu menerima pelukan dari putranya dengan senyum bahagia. Siahna melepaskan genggaman pada tangan mertuanya. "Kamu ini sibuknya lebih parah dari Kevin."
"Maaf Ma, tapi tadi ada urusan yang nggak bisa ditinggal," Renard menjawab.
"Kamu sendiri?"
"Iya," balas Renard tanpa menjelaskan lebih jauh.
"Udah kenal sama Siahna? Waktu Siahna dibawa ke sini pertama kali, Kevin bilang kamu nggak bisa datang karena keluar kota. Ck ck ck, takjub Mama," Miriam bersuara lagi. Saat itulah Renard baru mengalihkan tatapan ke arah Siahna. Saling menantang mata, tanpa terduga Siahna merasa sesuatu meninju perutnya dengan keras.
Lagu : Because of You (Kelly Clarkson)
Catatan :
Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.
Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.
Senin dan Selasa : I Need You - kakahy
Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo
Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco
Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri
Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians
Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top