Advice 24: Jangan Keseringan Overthinking

"Gimana? Ketemu?" Harold mengintip melalui tirai yang disibaknya. Ponselnya masih menempel di telinga dan melantunkan nada sambung. Orang yang berusaha dihubunginya masih belum mengangkat telepon.

Dua orang perawat yang Harold ajak bicara kompak menggelengkan kepala sebagai jawaban. Mereka sedang berusaha mencari pembuluh darah pada tangan dan kaki seorang pasien balita. Namun, sejak tadi, usaha mereka selalu berujung kegagalan.

Tenggorokan Harold seperti tersekat. Balita tersebut datang tengah malam dalam kondisi lemas. Bahkan saking lemasnya, si balita tidak menangis ataupun memberontak meski dirinya dikerubungi dari segala arah oleh wajah-wajah asing para nakes. Balita itu mengalami dehidrasi parah dan denyut nadinya amat lemah. Harus segera diinfus. Namun, sejak tadi Harold dan para perawat yang memeriksa tidak dapat menemukan pembuluh vena balita tersebut.

Harold kembali mencoba menghubungi dokter Banu. Dia berharap dokter spesialis anak itu cepat sampai di rumah dan menyadari ada telepon darinya.

Akhirnya usaha Harold berbuah hasil. Teleponnya diangkat. Harold segera melaporkan kondisi pasien untuk meminta saran dokter Banu.

"Saya setuju pasien harus segera di-IO." Dokter senior itu sepakat dengan Harold bahwa prosedur kanulasi intraosseus harus dilakukan, yaitu memasang jalur infus sementara dengan menusukkan jarum pada sumsum tulang.

"Tapi, perlu sekitar setengah jam buat saya balik ke RS."

Jantung Harold serasa mencelus. Mereka tidak punya waktu sebanyak itu. Nyawa si balita taruhannya.

"Dokter Harold sudah pernah ikut pelatihan ATLS–Advanced Trauma Life Support, kan?" tanya dokter Banu.

Harold mengiakan. Dia memang pernah mendapatkan pelatihan yang dimaksud dokter Banu yang juga mencakup prosedur intraosseus, tetapi belum pernah mempraktikkan prosedur tersebut kepada seorang balita. Jujur saja, dia tidak percaya diri melakukannya tanpa pengawasan dokter lain yang lebih ahli.

Tampaknya dokter Banu dapat menangkap keraguan Harold. Dia akhirnya menyarankan Harold menghubungi bagian bedah dan meminta bantuan dokter bedah yang sedang stand by untuk melakukan operasi venaseksi, salah satu prosedur alternatif untuk menemukan pembuluh vena melalui pembedahan minor.

Harold segera menjalankan saran kedua dokter Banu. Untungnya, ada spesialis bedah yang baru selesai operasi malam itu. Si balita dapat segera ditangani tanpa perlu menunggu lama.

Setelah infus terpasang, Dokter bedah yang dimintai bantuan mengajak Harold mengobrol. Dia memuji kecekatan Harold saat menjadi asistennya selama operasi. "Kenapa nggak lanjut spesialis, Dok?" tanya pria itu dengan rasa penasaran yang tergambar jelas di wajahnya.

Harold hanya tersenyum tipis. Malam itu, dia terlampau lelah untuk mengarang alasan.

"Umurnya masih memenuhi kriteria, toh?"

"Masih, Dok." Harold mengangguk. Ingin sekali dia mengakhiri obrolan, tetapi tak enak hati mengingat dokter tersebut jadi tidak bisa langsung istirahat karena Harold mintain bantuan.

"Sayang, lho, dengan kompetensi seperti dokter Harold ini kalau cuma jadi dokter umum." Si dokter bedah kembali berkomentar.

Lagi-lagi, Harold hanya menanggapi dengan senyuman. Hanya itu yang bisa dia lakukan tanpa terlihat sedang kesal. Energinya sudah menyusut sedemikian banyak hingga tak ada yang tersisa untuk berbasa-basi.

Setelah si dokter bedah berpamitan, Harold kembali ke pos jaga. Dokter magang yang menemaninya menjaga IGD sudah terlelap di bawah meja. Karena kondisi IGD telah sepi dan sebagian besar pasien sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, Harold membiarkan saja si dokter magang melanjutkan tidur. Dia sendiri sudah tidak mengantuk.

Karena tak ada kegiatan lain, obrolan dengan dokter bedah tadi kembali terngiang di telinga Harold. Lelaki berkacamata itu memang sudah memantapkan diri untuk tidak melanjutkan ke program spesialis. Namun, akhir-akhir ini, dia jadi sering memikirkan opsi itu lagi.

Sebelumnya, Harold sudah merasa puas dengan hidupnya yang biasa-biasa saja. Gaji bulanannya ditambah penghasilan tambahan dari endorse yang diterima sudah lebih dari cukup. Namun setelah identitasnya terungkap, Harold sengaja agak menahan diri mengunggah foto baru di akun Instagramnya. Palingan dia hanya sekali-kali update story atau membagikan ulang story Abigail yang menandainya. Selebihnya, Harold masih ragu ke mana dia akan membawa akun Mashtama.

Jika hanya untuk hidup sendiri, tabungan Harold masih cukup. Namun, dalam jangka panjang, Harold perlu berpikir ulang. Uang memang bukanlah tujuan utamanya menjadi seorang dokter. Namun, tetap saja dia harus memikirkan bagaimana cara memberikan hidup layak bagi istri dan anaknya.

Ya, istri dan anak. Beberapa minggu terakhir, Harold memang jadi sering memikirkan pernikahan. Kalau kata Ario, memang sudah waktunya. Kalau kata Harold, ini semua gara-gara Mary. Dia hanya bisa membayangkan pernikahan jika mempelai wanitanya adalah Mary. Dia hanya bisa merencanakan membangun sebuah keluarga jika partner hidupnya adalah Mary.

"Kenapa jadi melantur ke mana-mana?" gumam Harold saat menyadari pikirannya melayang terlalu jauh ke masa depan yang belum pasti.

Lelaki itu menyandarkan kepalanya ke kursi dan menutupi mata dengan punggung tangan untuk menghalau cahaya. Bahkan dengan mata terpejam seperti sekarang, bayang-bayang Mary masih saja bercokol di benaknya.

=0=

Setelah empat hari berturut-turut mendapat jadwal jaga IGD, akhirnya Harold bisa libur juga. Kebetulan, Ario juga libur hari ini dan mengundang Harold untuk mengadakan barbeku di rumahnya. Mengundang berarti Ario akan menyediakan tempat dan peralatan, sementara Harold yang bertanggung jawab membeli daging. Pembagian tugas yang kurang adil, tetapi karena Harold sedang butuh teman curhat, jadi dia iyakan saja tawaran itu.

Ketika Harold tiba di rumah Ario, sahabatnya itu sudah mengeluarkan alat pemanggang dan menunggu di halaman belakang.

"Keren, kan." Ario memamerkan alat pemanggang yang diperolehnya dari doorprize acara jalan sehat tahun lalu.

Harold tak menyahut dan justru berpura-pura sibuk mengeluarkan daging yang dia beli.

"Sini, aku marinasi dulu." Rina mengambil bungkusan plastik berisi daging dari tangan Harold, kemudian mengajak putrinya ke dapur, meninggalkan kedua pria itu agar dapat berbicara berdua.

"Kirain lo bakal ngajak Mary sekalian," celetuk Ario sembari menyalakan api di alat pemanggangnya.

"Mary liburnya cuma Jumat sama Minggu," ujar Harold. Namun, bukan hanya itu alasannya tidak mengajak Mary. Hal yang ingin dia bicarakan dengan Ario siang itu tidak boleh didengar Mary karena nanti malah menghancurkan efek kejutan yang ingin Harold persiapkan.

Hening lagi. Padahal, waktu di mobil tadi, Harold sudah menyusun daftar hal-hal yang ingin dia ceritakan kepada Ario. Akan tetapi, ketika kesempatan itu datang, entah kenapa pikirannya jadi kosong.

"Ada yang mau lo omongin?" pancing Ario. "Lo berantem sama Mary."

"Nggak, kok!" Harold buru-buru menyangkal.

Mary memang terlihat sedikit kesal, sih, di pertemuan terakhir mereka. Namun, Harold tidak merasa sudah berbuat salah. Setelah itu, Mary juga masih membalas pesan-pesannya. Mereka bahkan janjian bertemu Sabtu nanti. Itu artinya, mereka tidak sedang bertengkar, kan?

"Terus ada apa? Muka lo kusut banget, kayak lagi mikirin masalah negara."

Harold mendengkus. Yang sedang dipikirkannya lebih berat dari masalah negara. Ini menyangkut masa depannya.

"Lo yakin Mary juga suka sama gue?" Akhirnya Harold berhasil merangkai sebuah kalimat utuh.

"Ya, nggak seratus persen yakin, sih. Tapi, kalian itu rutin banget ketemu, lho. Terus dia juga mau-mau aja, kan, diajak ketemu Opa dan Oma lo?" Ario menarik napas panjang dan melirik gemas ke arah Harold. "Kenapa nggak lo tanya langsung aja, sih? Biar nggak nebak-nebak terus overthinking sendiri kayak gini?"

"Takutnya kalau gue jujur pingin hubungan kami err ... lebih serius dari sekadar temenan, dia jadi ngerasa nggak nyaman."

"Tapi, lo jadi dapat kepastian, kan? Di umur segini, udah bukan waktunya main-main kali, Rold. Kalau perasaan lo nggak berbalas, mending cepat tarik garis batas, nggak , sih? Jadi lo bisa cepat move on. Nggak galau berlarut-larut."

Harold tercenung. Bisakah dia move on dari Mary? Hanya memikirkan tidak bisa sembarangan menghubungi Mary saja sudah membuat hatinya nyeri. Bagaimana mungkin dia menghapus gadis itu dari hidupnya begitu saja?

Seakan bisa membaca apa yang Harold pikirkan, Ario melanjutkan nasihatnya. "Namanya patah hati, pasti sakit, Rold. Justru kalau menurut gue, kalau memang nggak ada harapan buat lanjut, mending diakhiri cepat-cepat. Tambah lama, tambah sakit nantinya. Lagian, ada kemungkinan lo diterima juga, kan? Jangan terlalu pesimis, lah."

"Tapi ... Mary bilang belum kepikiran buat nikah."

Ario mengernyitkan dahi. Ditatapnya Harold dengan sorot serius. "Lo mau langsung ngajakin dia nikah?"

Harold menggeleng. "Nggak juga, sih. Gue nggak masalah kalau mesti nunggu."

"Ya, lo bilang aja gitu ke dia. Lo mau serius, goal jangka panjangnya nikah, walau mungkin belum kebayang kapannya. Tapi, at least, hubungan kalian ada kejelasan. Lo dan Mary punya tujuan yang sama."

Ario mode serius sangat sulit dibantah. Harold hanya manggut-manggut saja selama Ario ceramah. Dia hanya sesekali menimpali saat Ario lupa membalik daging yang sedang dipanggang. Selebihnya, lelaki berkacamata itu mencatat baik-baik petuah yang diberikan sang sahabat.

=0=

Lagi-lagi, Harold harus jaga IGD pada malam minggu. Siang harinya dia pun harus ke RS karena harus ikut sosialisasi kebijakan baru dari pihak rumah sakit. Akhirnya, dia terpaksa untuk memindahkan lokasi kencan dengan Mary ke kafe di dekat Rumah Sakit Nusantara Sehat. Untungnya, Mary tidak keberatan.

Kegiatan sosialisasi selesai lebih cepat dari yang Harold perkirakan, tetapi tidak sempat juga jika harus pergi ke tempat lain. Harold memutuskan untuk makan siang di kafe sekalian menunggu Mary. Selain itu, ada satu orang lagi yang harus dia temui sebelum bertemu Mary.

Abigail Sanggabuana

Mas. Aku agak telat, ya.

I am so sorry.

Harold Tanutama

Nggak, apa-apa. Santai aja, Bi.

Mary juga masih di kantornya, kok.

Setelah membalas pesan Abigail, Harold memberi tahu Mary bahwa dia telah berada di kafe. Karena belum ada tanggapan dari Mary, Harold pun melanjutkan makan siangnya. Dalam hati, dia berdoa semoga Mary tidak datang lebih dulu dari Abigail. Kalau tidak, bisa hancur semua rencananya hari itu.

Perlu usaha cukup keras bagi Harold untuk menandaskan ricebowl yang dia pesan. Meski sudah mempersiapkan diri sejak semalam, tetap saja Harold tegang.

Untuk menghibur diri, Harold memutar lagi memori tentang percakapannya dengan Ario tempo hari.

"Ada kemungkinan lo diterima juga, kan? Jangan terlalu pesimis, lah."

Harold berusaha mengecamkan pesan Ario tersebut dalam hati. Sampai takdir berkata lain, dia tidak boleh keburu pesimis. Masih ada harapan Mary akan menyambut tawarannya.

"Mas Harold!"

Lamunan Harold terputus. Abigail yang baru saja datang kini telah berdiri di hadapannya.

"Sorry, ya. Aku belum telat, kan?" tanya Abigail sambil memasang raut bersalah.

"Mary belum datang, kok," kata Harold sambil tersenyum lebar.

Kedatangan Abigail membuat perasaan Harold makin campur aduk, apalagi saat gadis itu mengeluarkan sebuah kaleng berbentuk hati yang sengaja Harold pesan untuk Mary. Rasa gembira yang meluap-luap di dada Harold dan berhasil menyingkirkan perasaan gugup yang sejak tadi membuat Harold kehilangan nafsu makan.

Kemarin, Abigail sempat memamerkan idenya untuk membuat paket kukis sehat edisi valentine. Melihat kemasannya yang menarik, Harold pun berpikir untuk membeli satu. Masak iya dia hanya membawa tangan kosong saat hendak mengutarakan perasaan kepada Mary.

"Berapa, Bi?" Harold menanyakan harga yang harus dia bayar.

Abigail mengayunkan tangannya di udara. "Nggak usah. Mas Harold, kan, sudah banyak bantuin aku."

"Aku ikhlas, kok, bantuin kamu."

"Aku juga ikhlas ngasih Mas Harold ini," ujar Abigail sambil mendorong kaleng kue ke arah Harold.

Suara tawa Abigail yang renyah membuat Harold ikut tergelak. Lelaki berkulit cerah itu mengucap terima kasih dengan sepenuh hati. Dia mencomot satu kue yang sengaja Abigail lebihkan sebagai tester.

"Good luck, ya, Mas. Semoga habis ini aku mendengar kabar baik," doa Abigail sebelum berpamitan.

Senyuman Harold kian lebar saat melihat adanya notifikasi pesan masuk dari Mary. Sayangnya, senyuman itu tidak bertahan lama. Mary yang awalnya memberi tahu bahwa sudah akan berangkat menuju kafe, tiba-tiba membatalkan rencana pertemuan mereka secara sepihak.

Mary Angelica Mulyabakti:

Sori, ada kerja dadakan. Nggak jadi OTW, ya.

Harold tidak bisa menghalau rasa kecewa yang singgah di hatinya. Namun, dia tidak ingin menyerah begitu saja. Dicarinya cara agar tetap dapat menemui Mary hari itu.

Harold Tanutama:

Lho? Apa aku perlu anterin makan ke kantor?

Menit demi menit berlalu. Mary tak kunjung membalas pesan. Harold sudah hendak mengetikkan pesan susulan ketika akhirnya tanda centang di layar ponsel Harold berubah biru.

Mary Angelica Mulyabakti:

Nggak usah. Lagi ribet.

Harold Tanutama:

Tinggal ngedrop doang. Mau spaghetti apa burger?

Mary Angelica Mulyabakti:

Nggak usah. Gue mau off dulu. Dah.

Harold Tanutama:

Oke. jangan lupa makan, Mar

Harold melirik kaleng kue yang teronggok di meja. Sepertinya, dia tidak bisa menyerahkan kue-kue itu kepada Mary hari ini. Ungkapan perasaannya pun terpaksa dia simpan kembali sampai menemukan waktu yang tepat. Semoga saat tersebut tiba, Harold tidak kehilangan keberaniannya.

=0=



Ceritamela:

Halo, dari saya yang sudah nyoblos duluan minggu lalu.

Jadi, apakah kalian bisa menggunakan hak pilih kalian hari ini?

Semoga siapa pun yang terpilih nantinya, Indonesia makin makmur dan jaya, ya.

Di hari yang katanya hari kasih sayang ini, ternyata Harold dan Mary justru salah paham. 

Maafkan, sebenarnya ini tidak direncanakan. Kebetulan aja, kok, part ini dapat jadwal tayang hari ini.

Untuk merasakan kegalauan Mary yang salah paham pas lihat Harold dan Abigail, silakan cek di tempat izaddina ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top