Bab 21.1 : Haurisa da Silva

GPIB "Jalan Akasia", Tanjung Paser, 22.00 WITA

Di depan gereja GPIB Kapernaum atau sering juga disebut GPIB "Jalan Akasia" karena lokasinya terletak di Jalan Akasia, ada sebuah kendaraan roda tiga yang difungsikan sebagai tempat berjualan makanan dan minuman. Minuman yang dijual di tempat itu hanya ada empat yakni teh, kopi, teh Thailand dan teh boba, namun yang membuat seorang Regina sering mengunjungi tempat itu adalah karena tempat itu menjual makanan khas Maluku, tepatnya makanan khas Ambon dan Ternate di antaranya sagu bakar, roti kenari dan gogos yang tidak bakal Regina temui di tempat lain.

========

· Sagu bakar (versi Ambon) = sagu yang dibungkus daun kemudian dibakar dan setelah matang diberi lelehan gula merah sebagai topping.

· Roti kenari = roti tawar berempah yang diolesi mentega lalu ditaburi kenari dan dioven sampai kering

· Gogos = seperti lemper tapi dipanggang dan isinya berupa tumisan ikan

========

Pedagang yang menjual makanan dan minuman itu adalah seorang wanita Ambon yang seluruh rambutnya telah memutih. Kulitnya hanya sedikit lebih cerah daripada Regina namun sorot matanya tetap memancarkan semangat hidup yang menggebu-gebu. Wanita itu biasa dipanggil Mama da Silva, meskipun nama aslinya adalah Haurisa Samual.

"da Silva itu nama fam suami beta punya ," begitu ia pernah menjawab pertanyaan kenapa Mama Haurisa lebih sering dipanggil Mama da Silva, "Karena sudah terlanjur toh ya beta pakai saja nama itu!" lanjutnya sambil tertawa renyah.

Mama da Silva lebih sering berjualan sendirian meski kadang-kadang anak perempuannya membantunya apabila ia sedang tidak kuliah atau bekerja sambilan di sebuah gerai ayam goreng. Namun usianya yang renta mulai mempengaruhi kecepatan dan ketepatan kerja seorang Mama da Silva. Seringkali kerja Mama da Silva jadi agak terlambat dan juga beberapa kali Mama da Silva salah memasakkan pesanan.

"Mama harusnya lebih banyak istirahat," usul seorang pelanggannya, "Tak apa bagi kita Mama berjualan hanya sekali seminggu asal Mama tetap bisa jualan."

Dalam beberapa kali kesempatan Mama da Silva selalu mengaku jika ia tetap berjualan hanya untuk hiburan supaya tidak kesepian di rumah namun Regina yang salah satu kemampuannya adalah mendeteksi kebohongan – efek sering bersatu dengan Ina Saar yang awalnya memiliki kemampuan itu – langsung mencium gelagat ketidakjujuran meski awalnya Regina mendiamkan saja. Regina baru tahu alasan Mama da Silva sampai mati-matian berjualan seperti itu ketika saat malam Regina tengah berpatroli dengan mengenakan zirah Lokapalanya ia melihat sekumpulan orang berbadan besar dan bertampang seram tampak berdiri mengelilingi Mama da Silva dan putrinya. Terlihat Mama da Silva hanya bisa menunduk sambil terisak sementara putrinya berusaha memohon agar orang-orang itu pergi namun mereka tidak mau.

"Jangan begitu Kakak, kita bertiga ini juga cari makan. Kalau Kakak dan Mama Kakak tak bayar-bayar terus, mau kasih makan apa kita pada anak istri?" ujar seorang pria bertampang seram itu dengan logat Maluku-Ambon yang khas.

"Saya tahu Kakak, saya tahu bayaran ini sudah lewat jatuh tempo 5 bulan, tapi yang pinjam uang kan bukan saya atau Mama tapi kakak saya, kenapa kami yang ditagih?" jawab putri Mama da Silva dengan ekspresi wajah bercampur antara panik dan sebal.

Regina yang saat itu tengah berpatroli bersama Ignas dan melihat kejadian itu langsung meminta persetujuan Ignas supaya mereka bisa melakukan intervensi pada kejadian itu, "Ignas, beta mau pinggirkan motor dulu, mau lihat ada apa dengan Mama da Silva."

Ignas yang juga pernah diajak Regina makan di sana sama sekali tak menunjukkan keberatan, "Regina, ko yang punya pangkat lebih tinggi, jadi sa akan ikut saja. Tapi sa juga penasarana ada mau apa mereka tiga ini sama Mama da Silva?!"

Kedua Lokapala itu meminggirkan motor mereka dan ketiga pria Ambon bertampang seram yang menyaksikan dua orang mendekati mereka dengan menggunakan zirah mirip zirah kemlandingan yang sering digunakan prajurit khusus TNI itu mulai merasa gelisah. Baik anggota TNI maupun polisi, apalagi mereka yang mengenakan identitas seragam mereka, masih sangat disegani di banyak lapisan masyarakat. Regina dan Ignas sebagai Lokapala telah diajari cara 'mengintimidasi' masyarakat sipil yang melanggar aturan dengan menggunakan seragam Lokapala mereka guna mencitrakan status mereka sebagai bagian dari TNI. Regina sendiri sebenarnya tidak suka memakai seragamnya untuk mengintimidasi warga tapi kali ini ia merasa Mama da Silva benar-benar butuh bantuan.

"Selamat malam Mama da Silva? Wah, ada apa nih kok ramai sekali di sini?" sapa Regina dari balik zirahnya. Suaranya langsung tersamarkan oleh filter suara sehingga orang-orang itu seperti mendengar suara seorang wanita dewasa yang berat dan tegas.

"A, tak ada apa-apa Bu. Kami juga mengobrol sedikit," ujar salah satu dari tiga pria Ambon itu.

Mereka bekerja untuk Radha Leasing. Mereka penagih hutang! ujar Rizal, sepupu Andi Ampa Rawallangi, yang untuk kali ini bertugas sebagai operator yang mengawasi para Lokapala karena Oka tak ada di tempat.

"Ini sudah malam, Unit Lima berencana akan segera mengadakan latihan malam di kawasan ini, saya sungguh menyarankan Bapak bertiga ini pergi dari sini karena kami ada urusan sendiri dengan Ibu da Silva," ujar Ignas yang suaranya juga disamarkan oleh filter suara sehingga orang-orang itu seperti mendengar suara pria Papua yang sudah dewasa dengan nada yang terkesan mengancam.

"Baik Bapak-Ibu, jika begitu kami pamit dahulu dan pada Bu da Silva kita lanjutkan saja pembicaraan kita lain kali ya," ketiga pria itu segera berbalik badan dan menjauh dari sana.

"Sudah malam, Mama, kenapa tak pulang?" tanya Regina lagi, masih menggunakan suara samarannya.

"Dagangan kami masih banyak, Bu," ujar putrinya, "Mama tak mau pulang setidaknya sampai dagangannya habis setengahnya."

"Ada apa ini Mama? Beta sudah sering dengar Mama kerja untuk sekedar mengusir rasa sepi di rumah, tapi baru hari ini beta dengar Mama punya hutang."

"Bukan Mama yang berhutang, Bu," tukas putrinya.

"Adeline!" Mama da Silva dengan gusar menegur putrinya.

"Kenapa ini? Ada apa? Apa kami masuk ke ranah pribadi yang terlalu dalam?" tanya Ignas.

"Bapak-Ibu, saya sungguh berterima kasih Bapak-Ibu sudah membantu saya tadi, tapi urusan ini biarlah jadi urusan saya dan keluarga saya. Oh, tadi saya dengar Bapak-Ibu hendak mengadakan latihan malam di sini. Sungguh, mohon maafkan saya karena sudah berjualan sampai semalam ini di area latihan TNI. Ayo Adeline, kita pulang!" Mama da Silva langsung bangkit berdiri dan mengemasi dagangannya dengan tergesa-gesa.

Baik Regina maupun Ignas hanya bisa tertegun sebelum Rizal menyadarkan mereka akan tugas mereka, "Kalian masih harus patroli, tapi aku bisa carikan info soal hutang Mama da Silva kalau kalian mau. Kasih tahu saya nama lengkap beliau."

"Haurisa Mahulette," ujar Regina, "minta tolong ya Bang!"

"Beri saya waktu 1x24 jam, saya harus minta izin Profesor Denny dulu!"

*******

Markas Besar Unit Lima, 23.00 WITA

Rizal, sepupu Andi, memang punya hak untuk menggunakan perangkat komputer di Unit Lima, tapi setiap kali ia hendak mengakses perangkat di luar ruang kerjanya sebagai pengamat operasional Lokapala – berbagi tanggung jawab dengan Oka – ia harus meminta izin secara tertulis kepada Kepala Unit Lima atau wakilnya. Ancaman jika ia tidak mengikuti protokol ini sama sekali tidak main-main : tembak mati di tempat. Rizal tidak tahu apakah Unit Lima serius dengan ancaman itu atau tidak, tapi dia tak mau ambil resiko. Jadi sampai saat ini ia sama sekali tidak berani mengakses sembarang database atau komputer kecuali jika diizinkan.

Beruntung bagi Rizal, izin untuk mengakses database kependudukan serta sistem informasi debitur keluar dalam kurun waktu tak sampai 1 jam. Ada kerinduan amat sangat bagi Rizal untuk bisa mengakses rahasia orang lain. Saat masih aktif menjadi peretas dahulu, ia selalu merasakan kesenangan sendiri ketika berhasil membuka rahasia seseorang yang disimpan rapat-rapat dalam email mereka. Ya, 'kepo' soal rahasia orang lain adalah alasan utama Rizal belajar menjadi peretas dan perasaan 'kepo' Rizal belum sepenuhnya hilang. Itulah sebabnya Rizal langsung menawarkan diri untuk mencari tahu soal Mama Haurisa.

Setelah mendapat izin dan mengetikkan beberapa perintah-perintah yang hanya dipahami oleh para praktisi Teknologi Informatika, Rizal mendapatkan 2 buah tabel dari basis data Kementerian Dalam Negeri dan data dari Sistem Informasi Debitur Otoritas Jasa Keuangan. Rizal mendapati bahwa rumah Haurisa Mahulette alias Mama da Silva ternyata telah dijadikan jaminan ke sebuah bank dan sebuah koperasi simpan pinjam. Jumlah total pinjamannya Rp. 800 juta, jumlah yang lumayan besar untuk seorang janda yang sumber nafkahnya hanya dari penjualan makanan.

=========
Sistem Informasi Debitur = BI checking = sistem milik pemerintah yang memeriksa apakah orang ini suka berhutang lalu mangkir atau ia orang yang selalu membayar hutangnya tepat waktu.
=========

Namun Rizal penasaran, Radha Leasing sama sekali tidak tercantum sebagai pemberi pinjaman kepada Mama da Silva. Oleh karena itu, Rizal kemudian berinisatif memasukkan semua nomor induk kependudukan semua anggota keluarga Mama da Silva yang telah ia terima dari Kemendagri ke dalam Sistem Informasi Debitur lalu keluarlah satu hal yang cukup mengejutkan Rizal.

Salah satu putra Mama da Silva yang bernama Adeo da Silva ternyata meminjam cukup banyak uang. Histori pembayarannya tidak pernah bagus karena itu ia tercatat 'meminjam' nama-nama beberapa orang sebagai jaminan dirinya. Merasa hal ini akan menyangkut banyak pihak, Rizal kembali menghubungi Profesor Denny dengan aplikasi chat, meminta izin mengakses banyak lagi data soal Adeo da Silva.

"Diizinkan!" begitu jawab Profesor Denny singkat melalui aplikasi chat.

Rizal pun kembali mengetik-ngetikkan berbaris-baris perintah dalam bahasa pemrograman di layar terminalnya dan segera saja tampil sejumlah besar data di hadapan Rizal. Rizal kemudian mencermati data itu sejenak sebelum mereduksi data itu menjadi data yang lebih kecil. Alis matanya sempat naik ketika melihat ringkasan dari data-data yang ia dapat. Ia baru saja mendapati sesuatu yang tak lazim.

*******

Pantai Timur Tanjung Paser, 01.24 WITA

"Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus."

Regina ingat benar, di kebaktian minggu lalu, Pendeta GPIB Akasia mengutip ayat tersebut sebelum memohon maaf kepada segenap jemaat gereja karena uang persepuluhan yang dikumpulkan jemaat untuk merenovasi atap gereja yang sudah berkali-kali bocor terpaksa Pendeta tersebut gunakan untuk membantu salah satu jemaat yang kesulitan keuangan. Si Pendeta juga memohon maaf karena ia tak bisa memberitahu nama jemaat yang kesulitan tersebut karena jemaat itu takkan mau dibantu jika namanya dibocorkan. Sekarang tahulah Regina bahwa jemaat yang dimaksud Pak Pendeta adalah Mama da Silva.

"Pendeta Immanuel dari GPIB Akasia kemarin mentransfer uang sejumlah 7 juta kepada Nyonya Haurisa," begitu Rizal memberi kabar pada Regina yang tengah berjaga di pesisir pantai bersama Ignas.

"Berapa uang Mama da Silva punya hutang Bang Rizal?" tanya Regina

"Kamu jangan kaget ya, Gin? Anaknya Nyonya Haurisa itu punya hutang sebanyak 850 juta, dan rumah serta motor Nyonya Haurisa sekarang dijaminkan semua ke bank dan koperasi."

"Hah?! Buat apa uang sebanyak itu?"

"Entahlah, dari riwayat belanja onlinenya kok aku temukan banyak sekali sparepart untuk modifikasi motor, sementara namanya nongol di banyak kompetisi fotografi dan offroad racing, adapun dari riwayat pembelian tiket pesawatnya aku dapati dia sering travelling keliling Indonesia."

"Mungkin dorang punya usaha? Tapi pailit begitu?" celetuk Ignas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top