7. Horny?
Rasanya perih. Namun Shilla mau tak mau menerima dengan lapang dada, jika ini bukan salah Andra. Miranti sudah ada jauh sebelum Shilla hadir di hidup pria itu. Lagi pula, Shilla ada di keluarga ini juga karena Andra yang terpaksa menikahinya. Sial sekali, Shilla harus sadar diri.
Bahkan saat mereka sudah terbaring di atas ranjang, Andra fokus memainkan gawai baru milik Shilla dan tak mengeluarkan sedikitpun jawaban atas pertanyaan gadis itu sesaat lalu.
"Shil," panggil Andra seraya menoleh pada gadis itu.
Shilla membalas tatapan Andra yang berada di balik guling besar di antara mereka. "Ya?"
"Kamu mau sa—uhm, Abang download-kan Shopee dan Mitradagang?"
"Boleh."
"Kalau mobile banking, kamu harus ke bank untuk aktivasi. Kalau bisa, sekalian bikin rekening atas nama kamu aja."
"Abang keberatan, titipin ATM Abang ke Shilla?"
Andra menggeleng dengan kening berkerut samar. "Enggak. Itu kan memang hak kamu, Shil. Abang wajib kasih kamu uang tiap bulan untuk belanja dan keperluan kamu, kan?"
"Terus, kenapa Abang suruh Shilla buka rekening dan aktivasi mobile banking itu?"
"Lebih enak, Shil. Kamu gak perlu cari mesin ATM cuma buat transfer atau transaksi. Tinggal pake ponsel, semua selesai."
Mengerjap pelan, Shilla merubah posisi tidurnya miring menghadap Andra. Ia menumpukan kepalanya pada tangan yang dilipat dekat bantal. "Shilla istri Abang, meski ...." Shilla menggeser sedikit guling di antara mereka. "Maksud Shilla, pegang ATM Abang itu udah yang paling benar. Shilla jarang transaksi. Biasanya ambil uang saja dan simpan di lemari. Jadi Abang aja yang punya mobile banking, Shilla cukup pegang ATM Abang."
Suara Shilla lembut. Seperti biasa, gadis itu memang lembut dalam bertutur kata. Namun di mata Andra yang juga memiringkan badannya menghadap Shilla, malam ini gadis itu beda. Erjapan mata Shilla membuat Andra menyadari bahwa ... bulu mata Shilla lentik. Mata gadis itu bulat indah dengan bola hitam pekat seperti warna rambutnya. Oh, mata Andra kini memindai rambut Shilla yang berantakan di bantal. Andra ingat betul, betapa halus surai gadis di hadapannya ini.
"Gak apa, kan, Bang?" Suara Shilla yang terasa hangat, terdengar lagi.
"Eh?" Mengerjap, Andra menyadarkan diri dari keterpesonaannya sesaat lalu. Sebentar, apa mungkin ada sihir yang terucap hingga Andra terkesima pada istrinya? "Iya, gak apa," jawab Andra dengan anggukan pelan. "Jadi, Abang instal sosial media sama aplikasi jual beli saja, ya"
Shilla tersenyum manis. Binar matanya tampak bahagia mendengar ucapan Andra. "Gitu, dong," respon Shilla lirih namun terdengar ceria.
"Apa?"
"Abang."
"Heh?"
"Abang manggil diri Abang dengan sebutan Abang, bukan saya."
Mendengus geli, Andra tersenyum dan menatap lembut Shilla. Tatapan mereka bertemu, saling menyelam dalam manik mata masing-masing. Ada rasa asing yang perlahan masuk dan terasa menghipnotis. Andra seperti berada dalam masa di mana waktu berhenti berputar dan dunia hanya terpusat pada mereka berdua. Menelan ludah cekat, Andra seperti ditarik oleh magnet yang membuatnya ...
"Bang." Panggilan Shilla membuat Andra mengerjap dan tersadar jika satu tangannya entah sejak kapan menyentuh dagu Shilla.
Bergerak salah tinggah, Andra melepas tangannya dan menggenggam guling."Ya?"
"Besok Shilla ijin pergi ke kelurahan. Ada sosialisasi seluruh kader Posyandu."
"Jam berapa? Abang juga besok ada acara per—kantor," ralat Andra sebelum masalah baru terjadi.
"Pagi sampai sore kata Bu RT."
Mengangguk, Andra meletakkan ponsel di bawah bantal. "Besok jalan bareng Abang saja. Pulang juga tunggu Abang."
Shilla menyernyit dan tanpa sadar, memajukan wajahnya hingga jarak wajah mereka semakin dekat. "Loh, bukannya Abang ada acara kantor?"
Andra berdeham cepat. Matanya kembali mengerjap lambat mendapati wajah Shilla berada sedekat ini. Jika tadi Shilla memajukan wajahnya, berarti dia juga boleh semakin mendekatkan wajah mereka, kan? Sial, tadi di Guardian Shilla beli pembersih wajah merek apa? Mengapa malam ini wajahnya terlihat beda? Lebih ... cantik?
"Tapi kalau gak merepotkan sih, gak apa." Shilla berbisik lirih dan bibinya yang bergerak itu membuat satu organ dalam tubuh Andra bereaksi. "Selamat malam, Bang." Lalu Shilla berbalik memunggungi.
"Loh, Shil, kok ngadep tembok?" Merasa ada yang hilang, Andra terdengar tak terima.
Menolehkan wajah, kening Shilla menyernyit. "Biasanya kan, memang Shilla tidur madep tembok?"
"Ya tapi—"
"Abang mau Shilla tidur madep Abang?"
"Iya—enggak juga, sih," kilah Andra. "Ya sudah, besok harus siap-siap lebih awal biar gak terlambat." Dan Andra masih setia menghadap Shilla meski gadis itu hanya memberinya punggung yang—mata Andra mengarah ke bawah dan menyadari bahwa pinggul Shilla—menggoda.
Oh, tidak. Andra tidak boleh tergoda. Shilla adalah adiknya dan gadis itu masih di bawah usia. Demi Tuhan, delapan belas tahun, Ndra, delapan ... belas ... tahun. Ia masih terlalu bocah untuk dapat menggoda seorang pria.
Jadi, lebih baik memejamkan mata dan memeluk guling bersarung hijau yang kata Shilla saat mereka memasuki kamar tadi, sprei baru pemberian Lolita yang memenangkah flash sale seharga lima puluh ribu.
Andra tak tahu semalam ia bermimpi apa. Yang jelas, pagi ini ia harus segera mandi besar dan bersiap pergi mengantar Shilla, lalu menghadiri pesta pernikahan rekan kerja yang akan menjadi masa lalunya. Mengusap kepala basah dengan handuk, Andra menoleh ke segala arah mencari Shilla yang biasanya sibuk menyiapkan sarapan pagi untuknya. Namun tak ada Shilla di dapur.
Mungkin sedang membantu bunda mengantar masakan ke warung? Entahlah, batin Andra seraya mengedikkan bahu satu kali. Pria itu melanjutkan langkahnya memasuki kamar dan ... matanya seketika terpaku pada punggung mulus yang berdiri di depan pintu lemari.
"Ahk!" Teriakan Shilla membuat Andra mengerjap cepat dan kikuk seketika.
"Maaf." Andra memalingkan wajah namun tangannya justru menutup pintu dan mengunci.
Shilla bergerak merapat pada tembok dengan tangan yang masih berusaha menarim resleting gamis pemberian bunda saat ia baru menikah dulu.
Melirik pada Shilla yang tampak kesulitan, Andra antara ingin menawarkan bantuan namun takut gadis itu salah anggap. Namun, gerakan Shilla yang tampak kepayahan ... "Boleh Abang bantu?" Tak ada jawaban dan mata Shilla menatap Andra dengan binar sungkan dan malu. "Biar cepat selesai. Resletingnya panjang."
Shilla mengangguk kaku lalu tubuhnya berbalik menghadap tembok. Senyum Andra entah mengapa terbit pagi ini. Padahal, jika Lolita yang teriak minta tolong ditutupkan resleting dress wanita itu, Andra pasti memasang wajah jengah. Namun mengapa tidak pada Shilla? Terlebih, hatinya terasa senang saat mendapati rona merah pekat di pipi langsat Shilla.
Sepertinya Andra baru menemukan satu fakta baru, bahwa perbedaan sifat dua adiknya, bisa mempengaruhi perbedaan rasa sayang dan sikap pria itu pada mereka. Shilla lembut dan santun, Andra suka. Beda dengan Lolita yang manja dan blak-blakkan. Andra juga sayang pada Lolita, tapi beda. Sangat beda dengan sayangnya pada Shilla yang entah mengapa ... seperti sampai membuat senyumnya terbit tanpa otaknya perintah.
Tangan Andra menjepit resleting kecil yang masih berada tepat di tengah pinggang Shilla. Mau tak mau, mata pria itu memindai punggung mulus berkulit langsat yang membuatnya terpesona malam lalu. Bergerak pelan, Andra menarik ke atas resleting itu hingga ujung relnya yang berada di tengkuk Shilla.
Sial, apa yang terjadi padanya? Perasaan rambutnya belum kering sempurna dari mandi basah. Namun mengapa ada desir yang timbul pada tubuhnya, yang membuat Andra mati-matian menelan ludah dan mengerjap menyadarkan dirinya bahwa ...
"Sudah, Bang?" Shilla bertanya dengan tangan yang masih setia menggenggam rambutnya ke atas kepala agar tak tersangkut resleting.
"Su—dah." Suara Andra kaku. Sekaku erjapan matanya dan gerakan pria itu menjauhi tubuh Shilla. "Kamu kok pakai gamis?"
"Bunda yang suruh, tadi. Biar orang-orang tau kalau Shilla udah ibu-ibu."
"Oh." Hanya itu respon Andra dan ia tetap terdiam hingga jilbab Shilla sudah terpasang rapi dengan bross cantik yang menjadi atensi. "Tapi kamu kan bukan ibu-ibu," tambah pria itu saat menyadari, bahwa meski memakai gamis, wajah Shilla tetap jelita dan belia.
Shilla mengedikkan bahu seraya tersenyum. "Ikut kata Bunda aja," ucapnya seraya menyemprotkan colonge yang membuat Andra ingin mendekat dan menghidu gadis itu. "Shilla buatkan Abang kopi dulu. Lekas bersiap biar gak kesiangan."
Kunci diputar dan Shilla keluar. Meninggalkan Andra yang terdiam dengan degup jantung berirama tak normal. Andra tertegun, bingung dengan apa yang mendera dirinya saat ini, hanya karena seorang Shilla yang masih bocah.
****
"Lo ke kawinan Miranti sama Shilla?" Hestama bertanya tanpa menatap kaka iparnya. Mata tajam pria itu fokus memindai pergerakan bola yang mereka tanding di playstation Andra.
"Enggak. Sama tim PPL gue, lah."
"Kok gue lihat lo pergi sama Shilla, baliknya juga sama dia."
"Anter jemput dia di kelurahan," jawab Andra sembari meringis karena Hestama hampir membobol gawangnya.
Hestama tampak menyeringai samar. "Patah hati gimana rasanya, Bro? Gue dulu pernah ditampar cewek. Sakitnya bukan di muka, tapi di hati."
"Biasa aja. Salah gue yang belom terlihat mapan di mata bokapnya. Tapi salah dia juga yang susah percaya kalau gue bisa hidupin dia."
"Anggep aja bukan jodohlu dan memang bukan sih, udah jadi bini orang," tukas Hestama enteng yang akhirnya menjerit kencang mendapat kemenangan. "Lagian lo juga udah ada bini."
"Bukan bini, tapi bocah, Ta."
"Shilla bukan bocah."
Andra berdecak sebal. "Belasan tahun itu, bocah. Anak sekolah." Pria itu fokus pada layar permainan dan menyiapkan babak baru untuk pertandingan mereka. "Gue aja, pas anter jemput dia di kelurahan tadi, lihat dia tuh lebih kayak anak PKL dari pada kader posyandu."
Hestama tertawa. "Sinting, lo." Lalu lirikan mata suami Lolita ini, mengarah tajam pada sahabatnya. "Tapi bocah yang lo bilang anak PKL itu ...." Seringai Hestama entah mengapa membuat Andra kesal.
"Jangan mikir macem-macem, lo. Dia gue anggep adek, kaya Lolita."
"Gue juga dulu anggep Lolita adek," sanggah Hestama santai. "Sebelum suka horny kalau liat dia masakin gue nasi goreng."
Tinju kencang mendarat di lengan Hestama. "Sinting, lo! Tau gitu Loli dulu gue kekep aja di kamar."
Tawa kencang terdengar dari Hestama lagi. "Come on, man. Gue normal dan ada cewek muda, cakep, menantang, suka liatin gue sama mata sengaknya dia dan gue ... penasaran sama rasa bibir yang demen maki-maki gue." Tinju kedua, Hestama dapatkan lagi. "Lolita memang beda sama Shilla. Jauh beda, malah. Dan gue juga bukan elo. Lagian, selera kita beda."
"Gue gak paham lo ngomong apa? Bandingin dua adek gue?" Satu Alis Andra terangkat.
Alis Hestama ikut terangkat, dengan gestur mengejek yang pria itu tampakkan. "Adek? Dua? Adek lo, cuma satu. Lolita, bini gue."
"Shilla juga ade—"
"Bini lo, Ndra, bini," tekan Hesta, menyela. "Gue bisa curiga kalau lo gak ada rasa aneh saat lihat dia entah di kamar atau di mana pun. Kalian nikah udah lumayan lama. Hampir empat bulan, atau mungkin udah lebih."
"Terus masalahnya apa?"
"Bullshit kalo lo gak pernah horny!"
"Gue gak horny sama bocah, Ta," elak Andra seraya mengambil kacang panggang buatan Shilla yang terhidang di toples.
Mendengus tak habis pikir seraya menggeleng samar, Hestama melanjutkan, "Paling enggak, lo pernah penasaran gimana rasa kulitnya, kan?"
Rasa kulit? Kulit Shilla yang langsat dan tampak lembut itu? Andra menoleh pada Hestama dengan mulut yang pelan mengunyah kacang.
"Apalagi bibir," tambah Hestama dengan nada memprovokasi. "Jujur gue gak pernah puas mainin bibir Loli. Anehnya, gue punya temen, eh, ipar yang gak kegoda sama bibir bini."
"Sialan, lo!"
Mengedikkan bahu tak acuh, Hestama melanjutkan seraya kembali fokus pada layar permainan. "Kalau suatu hari lo horny, hajar aja. Biar bocah, dia cewek yang potensi menggoda lo. Lagian, dia bini yang secara sah lo nikahin. Entah dengan cinta atau tidak di antara kalian."
Tak ada jawaban yang terlontar dari mulut Andra. Yang tengah menari di pikiran pria itu bukan ucapan terakhir sahabatnya, tapi sekelebat bayangan bibir Shilla yang bersuara lirih malam lalu dan punggung langsat yang terasa lembut di jemarinya tadi pagi.
****
Jangan lupa vote dan komen yess ... Ramein! Hapsari seneng baca komen-komen lapak ini hahahha...
Yang sudah baca Rentang Waktu versi e-book, jika berkenan, tolong bantu kasih bintang lima dan ulasan ya hehehe. Yang belum, hayuk atuh, ditunggu Kak Adam biar gak penasaran hahahhaa
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top