[32]_Let ME Go..._
.
.
.
Lebih dari lima ratus tahun telah berlalu sejak terjadinya pertarungan sengit antara Kerajaan Lucifer dan Behemoth yang menewaskan kedua raja dari kerajaan tersebut, hingga membuat ketiga Pangeran Behemoth menjadi buronan karena kabur begitu saja dari pertempuran.
Hari ini, salah satunya kembali menampakkan diri di hadapan Damarion dengan Raja Asmodeus sebagai sekutunya.
Sejujurnya Rion tak pernah menduga jika selama ini para Pangeran Behemoth bersekutu dengan Kerajaan Asmodeus. Tapi mengingat raja terdahulu Kerajaan Asmodeus bersikeras menginginkan Putri Lacreimosa dapat bersanding dengannya, semuanya menjadi jelas.
Perjodohan antara Damarion dan Lacreimosa juga pasti rencana yang mereka susun dengan para pangeran keparat itu untuk menghancurkan Lucifer dan memiliki takhta tertinggi Helldon.
Untuk sesaat, Rion mematung dengan ekspresi tak terbaca. Apa yang ada di dalam kepalanya kini bagai ombak yang berkecamuk. Bukan bingung, cemas, apa lagi takut saat melihat pangeran kedua Kerajaan Behemoth berdiri di hadapannya.
Saat ini, di dalam kepala tampannya sedang berputar rekaman kejadian dalam beberapa bulan terakhir layaknya sebuah film. Buku mantra yang ditemukan Zean di Kerajaan Asmodeus, sikap aneh Hime, hingga pikiran gadis itu yang tiba-tiba tak bisa terbaca, juga kematian Calvert yang tak terduga.
Kini, potongan puzzle itu mulai tersusun. Rion yakin buku mantra milik Kerajaan Behemoth yang ditemukan Zean di Kerajaan Asmodeus pastilah bagian dari rencana licik pria bersurai perak yang berdiri di depannya saat ini.
Kalau pun bukan, buku itu pasti milik dua saudaranya yang lain, yang memang sengaja ditinggalkan agar Zean mengambilnya. Semua itu diperjelas dengan kejanggalan dimana hanya Zean yang dapat membukanya.
Sedang kematian Calvert, tak lain juga terkait dengan ketiga pangeran keparat itu. Tapi hal aneh yang terjadi pada Hime? Bahkan Hime tak pernah menyentuh buku mantra itu. Lalu bagaimana mantra sihir Pangeran Behemoth bisa mempengaruhinya sampai seperti ini?
Dalam diamnya, manik Rion teralih pada Hime yang kini berada di samping sang Raja Asmodeus--Chevalier. Dalam hati ia meruntuki kebodohannya yang sampai tak tahu sejak kapan Hime mengenal pria berengsek itu. Apalagi begitu dekat hingga mau mempertaruhkan nyawa untuk melindunginya.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Pangeran?" Terkesiap, manik sang pangeran kegelapan menyipit. Beralih menatap tajam pria bersurai perak yang maju beberapa langkah ke arahnya.
"Falcon." Rion mendesis pelan.
"Setelah lari lebih dari lima ratus tahun, kau masih bernyali untuk berdiri di hadapanku? Apa kau sudah bosan dengan keabadianmu?" Rion berucap tenang, namun menyelipkan ancaman yang justru membuat iblis bernama Falcon itu melebarkan senyumnya.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Pangeran?" Falcon mengulang kalimatnya, seperti meledek saat melihat Rion kehilangan fokus pada pembicaraan keduanya.
"Apa kematian pelayan setiamu?" Falcon menjeda,
"Atau gadis manusia itu?" Ekor matanya melirik Hime dengan satu alis terangkat.
Mendengar nama Calvert disebut, manik Damarion semakin menajam. Terdengar gemeretak tulang dari kedua tangannya yang perlahan mengepal. "Jadi, kau yang membunuh Calvert?!"
Falcon sedikit memiringkan kepala, kedua alisnya terangkat seolah-olah ia terkejut dengan apa yang Rion tanyakan.
"Aku? Hahahaha ...." Falcon menunjuk dirinya sendiri kemudian tertawa keras.
"Aku hanya tau Lexiz ingin memberikan hadiah kecil pada Yang Mulia Raja Lucifer. Tapi, aku tidak tahu jika itu adalah kepala pelayan setiamu," Falcon menjeda kalimatnya, menatap Rion dengan seringaian di sudut bibirnya.
"Dia memilih hadiah yang sangat menarik," lanjutnya sarkas.
"SIALAN KAU!" Rion melangkah maju dengan santai. Maniknya berubah keemasan, sementara telapak tangannya menengadah dengan cahaya kebiruan yang menyeruak, dan seketika itu pula terlihat retakan tanah yang semakin menjalar ke arah Falcon juga Chevalier yang berdiri di belakangnya.
Krak!
Krak!
Kratak!
Retakan tanah itu terus menjalar hingga membuat Falcon dan Chevalier semakin bersiaga dengan melompat mundur menghindarinya.
Dan ketika Rion mengangkat tangannya ke udara, ribuan anak panah dengan kobaran api biru menerobos dari dalam retakan tanah yang ia ciptakan.
Blashh ....
BLEDAMM!!
Falcon dengan cepat melompat dan melayang di udara. Membalas serangan Rion dengan menembakkan bola api ke arah panah yang terus melesat mengikutinya.
BLAM! BLAM!
BLEDARR!!
Ledakan keras tercipta, kepulan asap meraja, membuat pandangan memburam. Falcon yang masih melayang di udara tampak mencari Chevalier yang kini entah di mana keberadaannya. Dan saat ia menyadari tempatnya melayang, maniknya membola kala melihat sebuah barrier sudah menyelimutinya.
"Sialan! Sejak kapan Damarion memasang barriernya?!" Falcon mengumpat dalam benak.
Falcon semakin bersiaga saat tahu ternyata Rion sudah memasang barrier hingga hanya ia yg terkena dampak serangan. Yang lebih sialnya, bahkan mantranya tak berhasil menciptakan retakan kecil pada barrier yang Pangeran Lucifer itu ciptakan.
"Apa kau pikir aku bodoh dengan membahayakan gadisku sendiri?" Sebuah suara menginterupsi di ujung arena. Membuat manik Falcon memicing tajam saat kilatan merah menerobos kepulan asap yang mulai menghilang.
Tak ingin terjebak lebih jauh, Falcon mengeluarkan tombak dari tangan kanannya. Melemparnya tepat di mana Damarion berada. Di saat yang sama, bola api milik Damarion ternyata juga melesat untuk menghadang.
Blashh ....
BLEDAMM!
Suara riuh kembali bergemuruh. Sementara Chevalier yang masih berpijak di atas tanah hanya dapat menjadi penonton pertarungan tanpa bisa berbuat apa-apa. Jika ia melakukan satu kesalahan, semua rencana yang sudah tersusun tak akan berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam beberapa saat, asap akibat ledakan mulai kembali menipis dan perlahan menghilang. Menyisakan desiran angin seolah ikut merasakan aura mencekam.
Di tengah hutan yang sudah porak-poranda. Dua bangsawan iblis tengah melayang di udara. Saling melempar tatapan tajam, kemudian melesat untuk menyerang dan menghantam hingga menimbulkan ledakan yang tak terhitung jumlahnya.
Falcon terlihat menggebu saat menyerang Damarion. Beberapa kali serangannya hampir mengenai sang Pangeran Lucifer jika saja Rion tak pandai menangkis dan berkelit. Manik rubi Falcon yang menatap nyalang menyiratkan betapa inginnya ia melenyapkan lawan tandingnya.
Sementara Rion yang tadi sempat terpancing amarah karena mengetahui siapa pembunuh Calvert sebenarnya, kini mulai dapat menguasai akal sehat. Meskipun begitu, ia tampak tak fokus dengan musuh di depannya.
Jika dilihat dari jurang antara kekuatan keduanya, seharusnya Rion dapat dengan mudah melenyapkan pangeran keparat itu. Tapi sampai saat ini, serangannya hanya berdampak ringan. Bahkan Rion beberapa kali sempat kecolongan. Hingga tiba-tiba maniknya membelalak saat tombak Falcon melesat ke arahnya.
Sraatt!!
"Bedebah sialan!" Rion mengumpat. Ia melesat mundur setelah beberapa detik yang lalu tombak Falcon berhasil menggores bahu kanannya.
"Ada apa, Pangeran? Aku merasa kau tak benar-benar menyerangku." Falcon kembali berucap dengan angkuhnya.
"Jika kau memang benar-benar ingin bertarung, mustahil aku bisa mendekat ke arahmu, apa lagi sampai bisa meninggalkan goresan di bahu kananmu," Falcon menggantung kalimatnya, sementara Rion hanya diam dengan seribu sumpah serapah di dalam benak.
"Apa karena gadis manusia itu? Kau tak ingin barriermu hancur dan membuat gadis itu terluka, bukan?"
Melihat reaksi Rion yang hanya diam mendengar pertanyaannya, Falcon yakin jika itu memang benar.
Perlahan, senyum miringnya kembali mengembang, menatap Damarion dengan pandangan sulit diartikan.
Falcon mendecih pelan, seolah merendahkan. "Jadi, kau benar-benar jatuh cinta pada gadis itu, Pangeran Damarion? Aku sama sekali tak menyangka jika seorang Pangeran Lucifer sepertimu bisa jatuh pada gadis rendahan, apa lagi seorang manusia," ucapnya menggelengkan kepala dengan decihan.
Masih tak menjawab, tatapan Rion kembali menajam. Ia bahkan meruntuhkan dua belas Kastil Lucifer saat kakak keparatnya menentang. Lalu apa yang harus ia lakukan pada pria berengsek yang berani menghina gadisnya?
"Lihatlah. Bahkan dia telah mengkhianatimu sekarang," lanjut Falcon dengan menunjuk tempat di mana Chevalier dan Hime berada.
Seketika itu, manik keemasan Rion berkilat merah. Amarahnya yang sedari tadi dengan susah payah berhasil ia tahan kini kembali menyelimutinya. Membuat kabut hitamnya menguar, menari-nari mengitari penuh aura kematian yang semakin gelap.
Mengingat keanehan yang terjadi pada Hime, Rion menyadari dari mana akarnya. Sudah jelas iblis busuk inilah dalangnya. Karena dari ketiga pangeran Behemoth, Falconlah yang memiliki kemampuan sihir paling tinggi.
Hanya saja ia tak tahu bagaimana mereka bisa mengubah Hime hingga hanya kebencian yang selalu Rion lihat dalam mata gadis itu saat menatapnya.
"Apa yang telah kau lakukan padanya, Falcon?" Rion mendesis tajam. Tangan kanannya sudah mengepal erat hingga bergetar.
Falcon tersenyum miring. Reaksi Rion membuatnya semakin yakin kalau ia memegang kartu as dari permainan yang tengah mereka mainkan.
"Apa kau tahu buku mantra milik Kerajaan Behemoth selalu terhubung pada tuannya?"
"Kuakui, buku itu bisa berada di tangan putra mahkota Lucifer karena sudah direncanakan," ucapnya yang membuat tatapan Rion semakin nyalang.
"Dan aku sudah menunggu lama untuk melukai gadis itu agar mantraku digunakan. Sebenarnya aku tak menduga jika kau bisa sampai melenyapkan Lacreimosa, tapi itu membuat pekerjaanku menjadi lebih mudah," Falcon kembali menggantung ucapan. Memperlihatkan seringaian yang semakin mengembang.
"Saat gadis yang kau cintai terluka oleh Putri Lacreimosa, Aku menambahkan mantra pengikat saat pangeran kecil itu membangkitkan gadismu."
"Mantra pengikat?" Rion mengulang. Kedua alisnya menaut rapat dengan manik kian lekat. Mantra apa pun itu, Rion yakin itulah penyebab ia tak bisa membaca pikiran Hime sekarang.
"Benar. Sebuah mantra yang mengikat seseorang dalam tatapan mata hingga kau pun tak akan bisa mengetahuinya. Dan aku," Falcon menatap Rion lalu tersenyum lebar.
"Aku telah mengikat gadismu pada Raja Asmodeus ... Chevalier."
Manik Rion membelalak. Tercengang mendengar apa yang dikatakan iblis di depannya. Dan bahkan ia sendiri tak menyadarinya?
"Selama mantra itu masih mengikatnya, gadis itu akan selalu menuruti semua perintah Chevalier tanpa bertanya. Bukankah itu sangat menyenangkan? Gadis secantik dia- Ah, Aku tidak tau apa yang akan dilakukan raja iblis seperti Chevalier pada gadis manusia secantik dia."
Falcon mengedarkan pandangan, seolah menerawang.
"Saat aku pertama kali melihatnya pun, rasanya aku ingin memilikinya. Haruskah aku minta Chevalier untuk membuatnya melayaniku? Bagaimana menurutmu, Pangeran?" ucap Falcon menatap Rion dengan senyum remeh dan satu alis terangkat.
Ucapan Falcon berhasil membuat Rion naik pitam. Kematian Calvert sudah membuatnya ingin memenggal kepala iblis itu saat ini juga, dan pangeran Behemoth itu sudah benar-benar membuatnya tak bisa menahan sisi iblisnya.
Manik Damarion kembali berkilat merah. Tangan kirinya mengepal erat, sedang tangan kanannya menengadah.
Perlahan, sinar biru kembali menyeruak, membentuk sebilah pedang di genggaman Damarion. Bahkan kabut Hitamnya semakin pekat hingga tubuh Falcon sempat kesulitan untuk bergerak.
Melihat itu, ekspresi santai yang sedetik lalu tampil di wajah Falcon kini lenyap tak bersisa. Keningnya mengerut dengan manik menyipit, memperhatikan pedang Rion yang perlahan menyeruakkan sinar kebiruan kian benerang.
Falcon mengenal pedang itu. Sebilah pedang yang membuat lukanya tak dapat pulih dengan cepat seperti seharusnya.
Pedang Lucifer yang membuat regenerasi bahkan bangsawan iblis sepertinya tak akan bekerja.
"Sial! Sepertinya aku berlebihan dalam memancing kemarahannya," gumamnya terlihat semakin cemas.
"Bajingan kau, Falcon! Tak akan kubiarkan kau menyentuhnya!" Rion berteriak lantang, melesat secepat kilat dengan pedang terhunus ke depan.
Falcon yang sempat terhenyak sesaat segera menangkis dengan tombaknya. Mencoba berkelit agar pedang Rion tak sampai mengenai tubuhnya. Karena jika itu terjadi, maka tamatlah riwayatnya.
Trank!
Trank!
Trank!
BLARRR!!
Ledakan demi ledakan kembali terdengar. Suara dua senjata yang saling beradu kembali memudarkan kesunyian. Keduanya saling beradu kekuatan. Membuat angin bergemuruh hingga sanggup menyayat dedaunan, merobohkan pepohonan, dan membuat tanah bergetar.
Hingga akhirnya Rion berhasil mengunci Falcon yang membuatnya tak dapat menghindar. Dengan sekali hunusan pedang, sinar biru menyeruak dan melesat.
Sebelum Falcon sempat menggerakkan tombaknya, sinar itu sudah lebih dulu menghantam dan membuatnya terlempar menabrak pepohonan hingga menciptakan dentuman keras.
BLEDARR!!
Asap menggunung dari tempat Falcon terlempar. Di sana terlihat tanah yang retak membentuk cekungan dengan Falcon yang terhunyung di tengahnya saat mencoba kembali berdiri.
Sementara itu, Damarion yang ada di udara kini kembali menapakkan kakinya. Menatap kabut yang mulai memudar. Menampakkan sosok Falcon yang terbatuk hingga mengeluarkan cairan merah kental.
Rion kembali mengangkat pedangnya.
"Enyah kau, Falcon!"
"Hentikan, Rion!"
Saat Rion akan kembali mengayunkan pedang. Sebuah suara membuat tangannya terhenti seketika. Maniknya terpusat pada seorang gadis yang perlahan menampakkan diri di balik kabut yang kian memudar. Sementara Chevalier dengan gesit menghampiri Falcon dan membantunya berdiri.
"Cukup, Rion." Hime melangkah menghampiri Chevalier yang tengah menahan tubuh Falcon dengan tangan kanannya.
"Hime," Rion bergumam lirih. Manik keemasannya perlahan kembali seperti semula, menyayu dengan raut kian sendu. Sementara pedang di tangannya lenyap menjadi butiran kristal yang terbang tersapu udara.
Rion tahu itu bukan diri Hime yang sebenarnya. Mantra Falcon telah mempengaruhi gadis itu hingga Hime menatapnya penuh kebencian. Tapi tetap saja rasanya seperti tercabik saat melihat gadis itu berada di samping pria lain di hadapannya.
"Hime, aku-"
Tercekat, Rion tak bisa melanjutkan kalimatnya saat Hime melayangkan tatapan tajam. Gadis itu maju beberapa langkah, wajahnya beralih datar saat melihat kesakitan di mata Rion yang amat kentara meski pria itu bahkan tak lagi memiliki segores luka.
Kesunyian kembali tercipta. Hanya terdengar riuh angin yang berdesir pelan, menerbangkan surai coklat gadis bermanik hazel itu perlahan.
"Biarkan aku pergi, Rion."
Ucapan Hime membuat Rion tersentak. Maniknya membola dengan kedua kaki yang entah kenapa terasa kaku hanya untuk bergerak. Rion membeku di tempatnya.
"Biarkan aku pergi ... dan aku juga akan melepasmu." Hime kembali berucap, sejenak ia menoleh ke arah Chevalier yang menatapnya dengan senyum menawan.
"Dan akan kujanjikan, kita tidak akan saling mengenal lagi setelah ini." Dengan langkah enteng, Hime berbalik menghampiri Chevalier.
"Hime-"
"Ini perintah terakhirku, Damarion."
Rion tak mampu lagi bersuara. Lidahnya kelu hanya untuk mengucap satu kata. Saat ini semuanya campur aduk di dalam hatinya.
Marah, sakit, kecewa. Semuanya menyatu hingga Rion tak tahu perasaan macam apa yang sebenarnya ia rasakan.
Rion hanya bisa menatap Hime berjalam menghampiri Chevalier yang langsung memeluk pinggang gadis itu tanpa segan. Bahkan Hime tak sedikit pun mencoba untuk berontak.
"Bagaimana, Pangeran? Kau sudah melihatnya sendiri, bukan?" Suara serak Falcon membuat perhatian Rion teralih. Tatapannya menajam saat pria itu mendeklarasikan kemenangan dengan senyum remeh meski tubuhnya dipenuhi luka.
"Pangeran Damarion," Chevalier yang sedari tadi hanya bungkam kini ikut angkat bicara.
"Apakah sakit saat melihat gadis yang kau cintai memilih pria lain?" Tatapan Chevalier ikut menajam, bahkan rahangnya mulai mengeras dengan gigi gemeretak.
"Itu juga yang kau lakukan pada adikku. Dan sekarang kau akan membayarnya, Pangeran Damarion Rensford."
Tak menjawab, Damarion perlahan menundukkan pandangan tanpa berkata apa-apa. Saat ini ia hanya ingin berpikir jernih dan tak langsung gegabah karena Hime berada di tangan mereka. Bagaimana pun juga, ia tetap tak ingin gadis itu terluka.
Suara langkah kaki kembali menyadarkan Rion dari lamunan singkatnya. Melihat Falcon yang sudah kembali berjalan angkuh meski terluka cukup parah membuat Rion kembali terfokus dengan picingan tajam.
"Pertarungan kita belum selesai, Pangeran. Jika kau ingin gadismu kembali, maka aku dan kedua saudaraku menginginkan pertarungan dengan Lucifer sekali lagi."
Kening Rion berkerut. Sejenak, tatapannya beralih pada Hime sebelum ucapan Falcon kembali membuatnya terfokus.
"Jika kali ini kau menang, aku akan mengembalikan gadismu tanpa cacat sedikit pun. Tapi jika kau dan kedua saudaramu kalah, maka takhta Lucifer akan menjadi milik Behemoth," Falcon menjeda sejenak, mengangkat dagu penuh keangkuhan.
"Dan jika kau menolak, maka tidak hanya kepala Calvert yang kukirimkan. Tapi, kau juga akan melihat gadis cantikmu ini di dalam peti mati dalam keadaan tidak bernyawa. Bukankah itu adil?" Falcon berucap santai, beralih menampilkan senyum ramah yang dibuat-buat.
"Sampai bertemu lagi, Pangeran Damarion Rensford."
Rion hanya bisa menggeram marah saat kedua pangeran iblis itu menghilang bersama Hime di balik kegelapan, kedua tangannya mengepal saat Falcon dengan santainya mengajukan permintaan yang membuat Rion semakin ingin melenyapkannya jika saja mereka tak mendapatkan Hime.
"Dasar keparat busuk!" Rion berteriak marah, membuat angin kembali bergemuruh beberapa saat.
Tampak berpikir keras, Damarion tak bisa memikirkan cara lain selain menerima tawaran Falcon yang membuat kepalanya seperti mau pecah.
Ia tak bisa membiarkan Hime bersama mereka lebih lama. Ya, gadis itu kini berada di tangan Chevalier yang sudah pasti akan di bawa ke Kerajaan Asmodeus.
Jika ia mau, Rion bisa saja meluluh-lantakkan kerajaan itu seperti yang ia lakukan pada kastil sang kakak. Tapi jika ia melakukannya, maka Hime pasti berada dalam bahaya.
Menatap lurus ke depan, kepalan di kedua tangan Rion semakin mengerat. Menatap kosong dengan amarah yang tertahan.
"Aku akan merebutmu kembali, My Lady."
Kabut hitam kembali menguar dan melingkupinya, membuat sang pangeran kegelapan menghilang dalam sekejab mata.
~°^°~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top