[28]_YOU ~ Belong To ME_
.
.
.
"Aku sudah lama menunggumu, Love."
Tercekat, Hime terbelalak saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria di depannya. Secara tiba-tiba, di dalam kepala cantiknya kembali terlintas bayangan-bayangan aneh yang membuatnya semakin kebingungan.
Dalam bayangan samar itu, terlihat seorang pria bermanik rubi dengan surai senada, sangat mirip dengan pria yang saat ini menatapnya.
Pria itu bersama seorang gadis yang juga begitu mirip dengan dirinya. Mereka berdua berlarian di tengah hutan, bercanda, dan tertawa penuh kebahagiaan. Ada pula bayangan saat keduanya saling menatap penuh cinta.
Begitu banyak kilasan film memenuhi kepala Hime, ingatan yang bahkan gadis itu sendiri tak tahu dari mana asalnya. Hingga tanpa sadar, kedua tangannya sudah memegangi kepala yang terasa berat.
Perlahan, bayangan itu memudar seperti sebelumnya, membuat Hime kembali tersadar. Dalam tatapan penuh tanya, ia membuka bibir tipisnya.
"Si-Siapa kau? Bagaimana kau bisa mengenalku? Dan kenapa kau menanggilku seperti itu?" Entah pertanyaan macam apa yang ia ajukan, Hime hanya ingin mendapatkan jawaban dari bayangan-bayangan yang membuatnya hampir gila.
Namun, Chevalier mengabaikan pertanyaan gadis itu. Kepalanya menunduk menatap uluran tangannya yang tak juga bersambut.
Lalu dengan senyum memikat, Chevalier kembali menegakkan kepala. Menatap lembut Hime, menyembunyikan amarah dan kekecewaan karena ternyata pertemuan ini tidak sesuai perkiraannya.
Raja Asmodeus itu pikir, mantra yang diberikan padanya akan membuat gadis cantik ini begitu mencintai dan tergila-gila dalam sekejap mata saat mereka bertemu tatap untuk pertama kalinya. Tapi ternyata Hime masih cukup sadar untuk mempertanyakan siapa dirinya.
Tak ingin tergesa, atau nantinya malah akan menghancurkan rencana besarnya. Chevalier menekuk tangan kanan ke depan dada dan dengan sedikit membungkuk layaknya seorang bangsawan, ia menundukkan kepala.
"Namaku Chevalier Asmodeus, kau bisa memanggilku Chevalier. Dan ya, tentu saja aku sangat mengenalmu, Love." Seringai tipis mencuat samar di sudut bibirnya.
"Karena kau akan segera menjadi milikku," lanjut Chevalier dalam benak.
Mendengar nama pria itu, tautan di kedua alis Hime semakin rapat. Ia semakin bertanya-tanya. Yakin tak pernah mendengar nama Chevalier sebelumnya, tapi kenapa seakan begitu dekat dengan hatinya?
Terlalu dekat, hingga Hime dapat merasakan sesuatu yang berbeda saat nama itu disebutkan. Ada getaran aneh yang tak Hime pahami muncul tanpa disengaja. Seakan mendorongnya untuk bertanya lebih jauh tentang pemuda yang kini ada di depannya.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Ma-maaf, tapi entah bagaimana, aku merasa sangat mengenalmu." Hime berucap canggung, maniknya beberapa kali berkedip dengan kedua tangan yang mulai meremas gaun tidurnya--gugup.
Senyum di bibir Chevalier mengembang. Sepertinya mantra itu berjalan tak seburuk yang ia pikirkan. Kini tergantung bagaimana ia menjalankan bidaknya dan kemenangan mutlak akan segera berada di tangannya.
Perlahan, Chevalier berjalan mendekat. Menatap lembut dengan aura memikat. "Apa kau akan percaya jika aku mengatakan siapa diriku yang sebenarnya begitu saja?"
Satu alisnya terangkat, ia kembali mengulurkan tangannya.
"Genggam tanganku, Love. Dengan begitu kau akan tau siapa aku dan betapa berartinya dirimu untukku," ucapnya begitu menyakinkan.
Untuk sesaat, Hime tampak meragu. Bimbang antara memilih percaya atau mendorong pria itu dan berlari masuk ke dalam kamarnya.
Tapi, kemudian ia tampak begitu yakin untuk mencari tahu alasan di balik bayangan aneh yang terus berputar di kepalanya. Belum lagi perasaan tidak karuan saat menatap manik rubi yang membuatnya berdebar tanpa sebab.
Berusaha menyingkirkan rasa takut yang sempat menghinggap di benak, perlahan Hime mengulurkan tangannya. Menyambut uluran tangan Chevalier dan membiarkan pria itu menggenggam lembut jemari lentiknya, keduanya saling bersitatap.
Di sana, tepat di manik rubi yang tengah ditatapnya, Hime melihat serangkaian kejadian yang seakan pernah ia lalui sebelumnya. Tapi entah kenapa ia sama sekali tak dapat mengingatnya.
.
.
Kejadian itu bermula saat Hime ingin mengakhiri hidup dengan terjun ke jurang, tapi entah bagaimana ia berakhir dengan bergelantungan pada akar pohon yang hampir lapuk termakan usia. Saat itulah tangan kekar terulur padanya. Meraih jemarinya dan mengangkat tubuhnya.
Tak berhenti sampai di sana. Ada ingatan saat Hime tengah mengendarai mobil berkecepatan penuh dengan amarah yang membuncah.
Hingga tanpa Hime sadari, Chevalier sudah berada tepat di depan mobilnya. Hampir saja ia menabrak pria itu jika saja mobilnya tak berhenti tepat waktu.
Dengan raut penuh kelegaan, Hime keluar dari mobil dan menghampiri sang pria. Memeluknya erat sebelum pria itu menggendongnya dan melesat masuk ke dalam hutan.
Yang Hime lihat selanjutnya adalah ia berlarian bersama Chevalier. Tertawa lepas seperti tak ada beban berat di pundaknya. Kebahagiaan terlukis jelas di raut keduanya.
Perlahan namun pasti, Chevalier kemudian meraih tangannya. Membuat Hime kehilangan keseimbangan dan terjatuh di atas dedaunan kering dengan pria itu berada di atasnya.
Dengan napas terengah, keduanya masih menampilkan senyum penuh cinta. Setelah mengatur napas, Chevalier mendekatkan wajahnya. Semakin dekat hingga Hime perlahan menutup mata.
"Aku mencintai-"
.
.
BRAKK!
"Lily!!"
Manik Chevalier membola saat mendengar pintu didobrak bersamaan dengan suara yang sangat dikenalnya. Ia melirik sekilas, menggeram marah dengan gigi gemertak, kemudian melepaskan tangan Hime dan melesat, menghilang begitu saja.
Yang tertinggal hanya embusan angin yang menggebu sesaat. Menerbangkan rambut coklat Hime yang masih terpaku dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Seakan terhipnotis, Hime sama sekali tak beranjak. Menatap kosong, tak sedikit pun bergerak. Sampai tiba-tiba tubuhnya terasa lemas, pandangannya kian memburam, dan kelopak matanya menutup perlahan.
Sementara itu, Damarion yang baru saja sampai di kamar Hime seketika memutar manik kelabunya. Menatap intens ke segala arah, berusaha mencari namun tetap tak menemukan gadisnya.
Hingga manik kelabu itu tertuju pada bayangan di balik kelambu tipis menuju balkon. Bayangan Hime yang tampak terhuyung hingga hampir terjengkang ke belakang jika saja Rion tak melesat dan lebih dulu merengkuh tubuh gadis itu ke dalam dekapan.
"Lily, bangun! Apa yang terjadi? Bangunlah!" teriak Rion seraya mengguncang bahu Hime, tapi gadis itu tetap tak bereaksi selain mengerjapkan mata indahnya.
Disisa kesadarannya, Hime membuka bibir dengan manik menatap Rion, buram. Ia mengulurkan tangan hendak meraih pipi pria itu.
"Chevalier ...," lirihnya sebelum benar-benar kehilangan kesadaran.
Sementara itu, Rion semakin frustasi karena tak tahu apa-apa. Kedua alisnya menyuram, maniknya menatap lekat Hime yang tak sadarkan diri dalam pelukannya. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja gadis itu ucapkan.
Ada tanda tanya besar di dalam kepalanya, sebuah nama yang terdengar familier di telinganya.
"Chevalier?" desisnya hampir tak bersuara.
.......
Langit gelap berangsur benerang. Menyelipkan sinar oranye yang semakin menghangat, mengintip di balik kaca-kaca raksasa. Kesunyian yang sempat meraja, kini tergantikan oleh kicauan merdu burung-burung yang saling bersautan.
Namun, bahkan cuaca cerah pagi itu tetap tak dapat mengalihkan manik kelabu sang pangeran kegelapan walau sesaat.
Tatapannya terarah pada wajah cantik yang masih terpejam damai di atas ranjang, sementara kedua tangannya menaut jari-jari sang gadis. Karena sejak kejadian malam itu, dua hari sudah Hime terlelap dalam tidurnya.
Rion mengembuskan napas kasar. Bukan lelah yang ia rasakan, lebih pada kecemasan karena Hime tak kunjung membuka mata. Meski ia sudah berulang kali memeriksa keadaan gadisnya dan hasilnya tetap sama, Hime baik-baik saja.
Perlahan, Rion mengulurkan tangan. Membelai pipi selembut kapas, mengusapnya perlahan.
"Bangunlah .... Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Haruskah aku membawamu sekarang?" Suara serak Rion terdengar lirih memohon.
Jika pagi ini Hime belum juga sadar, Rion bertekad membawa gadis itu ke Helldon. Memanggil seluruh healer Kerajaan Lucifer bila perlu, dan jika itu tak berhasil membuat Hime terbangun juga, maka usaha terakhirnya adalah membawa gadis cantik itu pada si kecil Zean.
Mungkin saja Zean memiliki sebuah mantra yang bisa membantunya. Meski sebenarnya Rion meragu, bisa saja Hime menjadi bahan percobaan untuk yang kedua kalinya.
Sejenak, Rion termenung. Dan tanpa ia sadari, kelopak mata Hime mulai mengerjap. Merasakan sentuhan lembut yang membelai pipinya, membuat gadis itu perlahan membuka mata.
Mendapati Hime yang mulai tersadar, Rion tersenyum penuh kelegaan.
"Kau sudah bangun? Bagaimana perasaanmu? Apa ada yang terasa sakit? Atau kau membutuhkan sesuatu? Katakan sesuatu, Hime .... Aku mohon." tanyanya beruntun, semakin lekat memandangi Hime yang masih menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya.
Sesaat, Hime membalas tatapan Damarion. Lalu beralih pada tangannya yang masih berada dalam genggaman Rion hingga sulit digerakkan.
"Lepaskan tanganku, Rion." Nada bicaranya terdengar dingin dan tajam.
Sama sekali tak memedulikan sikap Hime yang seolah mengancam, Rion tetap menggenggam telapak tangan gadis itu erat. Saat ini, kebencian di mata Hime tak bisa lagi membuatnya lantas menerima begitu saja.
Sudah cukup Rion mengalah, menuruti setiap permintaan Hime tanpa banyak bertanya. Kini, ia telah melihat akibatnya.
Melihat Rion yang mengacuhkan permintaannya, tatapan Hime kian menajam, bibirnya semakin merapat. Dengan satu hentakan, ia menyentak tangan Rion.
"Aku bilang, lepaskan tanganku!" Hime membentak, manik hazelnya tiba-tiba berkilat merah, sontak membuat Rion melesat mundur seketika.
Dengan manik membola, Rion menatap penuh tanda tanya. Ia masih terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya.
'Kilatan apa itu?' gumamnya dalam benak, sementara tubuhnya masih berusaha menutupi keterkejutan dengan wajah datar yang selalu ia tampilkan.
"Apa yang kau lakukan semalam, Hime?! Kenapa kau bisa berada di balkon saat aku mencarimu?"
Pria bermanik kelabu itu kembali angkat bicara, keningnya semakin mengerut dalam. "Apa kau menemui seseorang?"
Tak lekas menjawab, Hime memutar bola mata sebal. Bangkit dari ranjang dan berjalan menuju meja rias, merapikan rambut panjangnya yang tergerai berantakan.
"Pertanyaan konyol macam apa itu? Untuk apa aku berada di balkon malam-malam? Apa aku sudah tidak waras?"
Mendengar jawaban Hime membuat Rion semakin kebingungan, ia benar-benar tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Apa kau tak ingat apa pun?"
Hime ngendikkan bahu, mengacuhkan pertanyaan Rion karena sama sekali tak tahu apa maksdunya. Gadis itu kembali melangkah.
Namun, saat Hime melewati pria bersurai legam itu, lengannya tertahan. Hime menoleh, menatap tajam pria yang juga tengah menatapnya.
"Apa yang sebenarnya kau lakukan? Aku tak mengerti ke mana arah pertanyaan-pertanyaan konyolmu itu, Rion!" teriak Hime seraya berusaha melepaskan genggaman di lengannya yang semakin mengerat.
"Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi, Hime! Siapa yang kau temui malam itu?!"
Seiring amarah Rion yang semakin memuncak, kabut hitam mulai menguar dan aura kegelapan semakin menyeruak. Tatapannya menajam seiring dengan mengeratnya genggaman tangannya.
"Sebenarnya apa yang merasukimu, Rion?!" Hime kembali membentak. Tatapannya dipenuhi kebencian.
"Apa kau belum puas telah melenyapkan seluruh keluargaku hingga kau juga ingin menyiksaku?" kesal Hime dengan napas mulai terengah.
Bagai mata pedang yang menusuk tepat di jantungnya, perkataan gadis itu berhasil membuat Rion kembali pada rasa bersalah dan penyesalan terdalamnya.
Pria tampan itu termangu sejenak dengan tatapan yang mulai kembali datar. Dan perlahan, kabut hitamnya mulai memudar. Dengan rasa sakit yang berusaha ia sembunyikan, Rion menatap dalam di balik wajah datarnya.
"Ingatlah! Kau adalah milikku, Hime. Dan tak 'kan kubiarkan siapa pun merebutmu dariku." Ucapan Rion terdengar seperti perintah mutlak yang tak dapat diganggu gugat.
Perlahan genggaman Rion melonggar. Ia menurunkan tangannya lalu berbalik dan mulai melangkah.
Dengan satu gerakan jari, pintu kamar Hime terbuka dengan Rion yang sudah berdiri di ambangnya. Sedikit menoleh, melirik Hime dari sudut mata.
"Kau tak perlu pergi ke kantor hari ini. Aku sudah bilang pada mereka kalau kau sedang kurang sehat, mengingat sudah dua hari kau tak sadarkan diri," ucapnya sebelum kembali melangkah.
Menatap punggung tegap Rion yang semakin menjauh, Hime masih mematung di tempatnya.
Sambil memegangi lengan yang masih terasa ngilu, pandangannya semakin menyendu. Ada rasa sakit yang juga ia rasakan saat melihat pria itu terluka. Tapi Hime memilih mengabaikannya.
Dengan embusan napas berat, Hime kembali melangkah. Tapi kakinya tertahan untuk yang kedua kalinya. Maniknya membola, kalimat Rion baru saja tercerna oleh kepala cantiknya.
'Mengingat sudah dua hari kau tak sadarkan diri.'
"Sudah dua hari?" Hime bergumam pelan. Berkedip lucu dengan manik yang masih membelalak lebar. Dengan cepat ia berlari ke arah pintu, celingukan mencari Rion yang sudah menghilang entah ke mana.
"Rion! Apa maksudmu aku tak sadar selama dua hari?!" Teriakannya menggema di seluruh ruangan.
.
.
.
Sejak keduanya bertengkar pagi tadi, Hime dan Rion masih saling diam. Hanya saling mencuri lirikan tanpa mau bicara. Membuat suasana hening merajalela di kediaman mewahnya.
Setelah menyantap makan siang, Hime masih duduk di meja makan. Memainkan sendok di tangan kanan, sedang tangan kiri menopang dagu lancipnya.
Sementara Rion sedari tadi hanya berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan dada di sampingnya.
Sesuai yang Rion katakan, hari ini bisa dibilang hari bebas untuk Hime. Terbebas karena tak harus mendengarkan para clien yang menyuapnya dengan berbagai cara agar dapat bergabung dengan perusahan terbesar se-Asia. Tentu saja perusahaan Hime dengan Damarion sebagai pengelolanya.
Hampir setengah jam berlalu, keduanya masih sibuk dengan pikiran masing-masing.
Hime yang masih bingung mengapa ia bisa tak sadarkan diri selama dua hari. Yang ia tahu, saat itu ia seperti tengah bermimpi. Mimpi yang terasa sangat nyata. Entahlah, Hime sendiri tak tahu itu apa. Hanya bayangan samar yang dapat ia ingat di dalam kepala cantiknya.
Sedangkan Rion masih memutar otak, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis di sampingnya. Sekaligus mengingat jika ia pernah mendengar nama yang Hime ucapakan sebelum gadis itu kehilangan kesadaran.
Hingga tiba-tiba ....
Tok! Tok! Tok!
Tok! Tok!
Tok!
Tok!
Tok!
Tok! Tok! Tok! Tok! Tok! ... Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh serempak. Hime yang hampir saja berteriak memanggil pelayan untuk membukakan pintu, mengurungkan niat mengingat tak ada lagi satu pun pelayan di rumahnya. Damarion telah memecat mereka semua karena dituding lalai menjaga dirinya.
"Biar aku yang membukanya." Rion berucap seraya berjalan menuju pintu utama.
"Siapa yang mengetuk pintu padahal ada bel di sampingnya? Dasar tidak tahu sopan santun!" gerutu Rion di tengah-tengah langkah.
Saat Rion membuka pintu dengan sekali tarikan, pemuda bersurai kuning terang tersenyum lebar dengan tangan kanan melambai kegirangan.
"Yo! Kakak, Aku dat-"
BRAKK!
Belum sempat pemuda itu melanjutkan kata-kata, Rion langsung membanting pintu. Beranjak pergi sebelum sebuah suara menghentikan langkahnya.
"Hei, Bangsat! Kenapa kau menutup pintunya, hah?!" Aylmer yang tiba-tiba sudah berada di depan Rion mengumpat dengan berkacak pinggang. Tak terima ketika sang kakak membanting pintu tepat di depan wajahnya.
Menatap adiknya jengah, Rion menarik napas sedalam-dalamnya. Kepalanya sudah penuh dengan kejadian aneh yang menimpa Hime, kini kedatangan Aylmer akan benar-benar membuatnya gila.
"Kembalilah, kau tak dibutuhkan di sini," tukas Rion datar seraya berjalan melewati Aylmer begitu saja.
"Tu-Tunggu! Aku di sini karena perintah Kakak Dantalion. Dia menyuruhmu kembali, ada suatu hal yang harus kau ketahui." Dengan segera, Aylmer berbalik. Berusaha menghentikan Rion yang semakin menjauh. "Kau harus menemuinya. Ini sangat penting! Aku berjanji akan menjaga Hime di sini."
"Aku janji!" Aylmer mengangkat dua jari tangan kanannya ke atas.
"Aku tak peduli." Rion terus melangkah, nengacuhkan Aylmer yang berdiri dengan wajah masam di bekakangnya. "Jika keparat itu ingin bicara, dia bisa mengatakannya pada Calvert. Calvert yang akan-"
"Maaf, Kakak, tapi Calvert tidak akan bisa melakukannya."
Terhenti, kening Rion menampilkan kerutan samar. Ia berbalik menatap sang adik yang berekspresi serius. "Apa maksudmu?"
Sejenak, Aylmer terdiam. Menatap manik Damarion lekat.
"Jika kau ingin tau, kembalilah. Lihatlah dengan mata kepalamu sendiri."
~°^°~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top