Right Here

'Ku rasa kata-kata sudah tidak bisa lagi mengungkapkan, tapi bisakah kita ulangi kembali?'

.

"Taehyungie, sayang,"

Yoo Ahra mengusap rambut sang anak sayang. Ia tersenyum kecil ketika Taehyung membenamkan wajahnya ke selimut tebalnya sembari mengerut kesal. Taehyung memang paling tidak suka kalau tidurnya diganggu sejak kecil, tapi anak itu harus bangun bagaimanapun keadaannya mengingat ini adalah hari pertamanya kembali ke sekolah.

Liburan sudah selesai dan ia harus menghadapi kenyataan kalau sekarang ia harus menjalani hari baru dengan predikat siswa SMA tingkat dua.

Ahra menghela nafas, putera kecilnya cepat sekali dewasa.

"Maafkan eomma mengganggu tidurmu, sayang. Tapi appa dan hyungmu sebentar lagi akan datang menjemput. Kau harus bersiap 30 menit dari sekarang." Ahra mencium hidung Taehyung sekilas ketika sang putra masih saja keras kepala ingin melanjutkan tidurnya, dan benar saja.

Taehyung membuka mata. Ia menatap ibunya seolah protes akan tindakan ibunya barusan.

"Eomma! Sudah ku bilang aku ini sudah dewasa! Kenapa eomma masih saja suka menciumku?!"

"Kenapa memangnya? Tidak seperti kekasihmu akan marah pada eomma. Oh tapi kan kau belum punya kekasih."

Ahra mengerling senang melihat Taehyung bangkit dari tempat tidurnya secepat mungkin dan bergerak menuju kamar mandi. Menghindari bahasan yang coba ibunya bawa padanya sekarang.

"Tae! Kau marah pada eomma?" Teriak Ahra ketika Taehyung masih diam saja ketika ia goda dan malah langsung masul ke kamar mandi tanpa ada niatan mengomentari perilaku sang ibu.

"Sayang! Kau tidak sedang marahkan?"

"Eomma! Katanya aku harus cepat-cepat bersiap. Bagaimana aku bisa mulai bersiap kalau eomma terus-terusan mengajakku bicara!" Nada sarat akan frustasi terdengar dari ucapan Taehyung barusan, tapi itu tidak menghentikan Jieun untuk mengusik si bungsu.

"Baiklah, eomma tidak akan bicara lagi dan akan turun. Tapi sebelum itu, apa kau menyayangi eomma?"

"…."

Tidak ada sahutan.

"Tae?"

"Eomma sudah tau jawabannya." Jawab Taehyung kalem.

"Apa, Tae? Eomma tidak mengerti." Baiklah. Ahra akui aktingnya cukup buruk saat menanyakan ini. Karena detik selanjutnya Taehyung membalas dengan suara lantang,

"Eomma, ayolah!"

Ketika mendengar Taehyung mulai kesal, Ahra tertawa tanpa suara di atas kasur si bungsu, seolah merayakan kemenangan karena telah berhasil mengganggu Taehyung, "Katakan kalau kau menyayangi eomma dulu baru eomma berhenti."

"…."

"Sayang? Kau tidak sayang pada eomma?"

"…."

"Benar-benar tidak sayang eomma?"

"…."

"Ini benar-benar membuat eomma sed—"

Terdengar desis kekesalan Taehyung dari dalam kamar mandi, "Baiklah! Aku menyayangimu eomma!"

Ahra tersenyum senang mendengarnya, ya meski harus dipaksa karena putera bungsunya itu memiliki harga diri yang cukup tinggi. Ya, ia memaklumi hal itu.

"Eomma juga sangat menyayangimu, sayang. Tidak sulit 'kan bilang seperti itu saja?"

***

Kedua orang ibu dan anak itu kini sudah mulai keluar dari rumah. Berjalan santai menuju sebuah mobil range rover hitam metalik yang sudah terparkir rapi di depan rumah megah itu. Chanyeol dan seorang pria paruh baya berjas hitam sudah menyambut mereka sejal tadi.

Orang itu Kim Hyungsik. Ayah kandung Taehyung dan Chanyeol.

Mantan suami Yoo Ahra.

Hubungan Ahra dan Hyungsik memang tidak bisa dibilang baik. Namun untuk menyebut mereka bermusuhan juga tidak benar. Tepatnya tidak bisa.

Walaupun mereka sudah bercerai, mereka tetap tidak bisa bertengkar atau meninggikan suara ketika berdebat. Mereka harus kompak meski sudah tidak bersama lagi.

Demi kedua anak kesayangan mereka Kim Chanyeol dan Kim Taehyung.

Di depan Taehyung apalagi. Mereka harus benar-benar menjadi figur ibu dan ayah yang ideal. Karena setelah perceraian mereka, orang yang paling terdampak adalah si bungsu.

Taehyung benar-benar sangat terpukul. Ia bahkan tidak bicara dan mengurung diri di kamar selama 7 hari penuh. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Maka dari itu Ahra dan Hyungsik sepakat untuk tidak mengklaim hak asuh pada kedua anaknya hanya untuk satu pihak. Mereka sepakat tetap mengurus Chanyeol dan Taehyung bersama-sama. Meski bedanya, Taehyung akan hidup bersama kedua orang tuanya secara bergilir.

Hari biasa Taehyung akan ikut bersama sang ibu karena rumah Ahra lebih dekat dengan sekolah si bungsu Kim, dan lagi ia adalah direktur di sana. Saat weekend Taehyung akan bersama Hyungsik untuk menghabiskan waktu bersama.

Kalau Chanyeol karena dia sudah dewasa dan sudah bertunangan, ia tinggal sendiri di apartment. Ia bisa datang kapan saja di rumah orang tuanya bila ingin bertemu. Tapi seringnya dia akan memastikan Taehyung juga ada di sana. Win-win solution katanya. Selagi bertemu dengan ayah atau ibunya, dia juga bisa bertemu Taehyung, adik kecilnya.

"Halo, jagoan," Hyungsik segera menarik Taehyung ke dalam pelukannya dan mengusak kepala anak keduanya itu sayang, "Bagaimana kabarmu? Appa rindu sekali, apa flumu sudah membaik?"

Taehyung meronta dari pelukan sang ayah. Dari wajahnya terlihat sekali kalau dia risih. Namun, Hyungsik tidak peduli. Dia memang merindukan Taehyung.

"Appa lepas! Minggu lalu aku 'kan aku sudah bersama appa dan, ya, fluku sudah membaik, hanya sedikit pusing."

"Tetap saja! Appa merindukan anak tampan appa ini, apalagi kau sedang tidak sehat. Apa kau akan baik-baik saja kalau masuk kelas nanti? Tidak mau istirahat dulu? Eommamu bisa mengizinkanmu pada guru."

Taehyung memutar kedua bola matanya malas. Pasti seperti itu, ia selalu di perlakukan layaknya gelas kaca. "Sudahlah appa, aku ini sudah dewasa dan aku hanya terlena flu biasa. Aku akan baik-baik saja! Kenapa kalian tidak bisa berhenti memperlakukanku seperti bayi!"

"Well, kau memang bayi di keluarga ini. Jadi terima saja ne, uri Taehyungie." Kata Chanyeol sembari menepuk puncak kepala adiknya seolah mengguruinya.

Taehyung melemparkan tatapan tajamnya pada Chanyeol karena telah merusak tatanan rambutnya pagi ini.

Benar-benar kakaknya itu. Bukannya membela malah mengompori.

Taehyung menyentak tangan Chanyeol kesal dan berjalan masuk ke mobil. Namun, sebelum menutup pintu mobil Taehyung sempat berteriak kesal.

"AKU BUKAN BAYI!"

Kata seseorang yang masih diantar kedua orang tuanya di hari pertamanya sekolah.

****

Sepanjang ia menyelusuri rel kereta itu Aira tidak berhenti menghela nafas berat. Berkali-kali pula ia menghapus air mata yang menetes dari mata cokelatnya. Perasaannya sangat kacau pagi ini. Selain masalah ayah dan kakak laki-lakinya yang bersikap dingin padanya, kini, orang yang dia jadikan sandaran kala ia sedih juga marah padanya.

Min Yoongi.

Ya. Sedari tadi pikiran gadis itu tidak lepas dari Yoongi.

Malam setelah pertengkarannya dengan Taehyung, Yoongi ke rumahnya. Pemuda berkulit seputih salju itu mencercanya dengan berbagai pertanyaan mengenai obat antidepresan yang ia konsumsi.

Benar.

Aira memang menggantungkan hidupnya pada obat-obatan sejak ibunya meninggal. Tapi bukan obat antidepresan yang harusnya ia pertahankan. Karena bukannya sehat, obat itu justru akan membunuh Aira secara perlahan.

Yoongi hanya mengucapkan satu kalimat.

'Aku kecewa padamu.'

Namun, kalimat yang sang pemuda ucapkan dengan nada dingin itu terus menghantuinya sampai sekarang.

Yoongi tidak bisa dihubungi untuk setidaknya 10 hari sejak malam itu dan Aira benar-benar bertambah depresi. Yoongi tidak biasanya mendiamkannya selama itu.

"Oppa." Gumamnya ketika melihat siluet pemuda berdarah dingin yang 10 hari ini menyita pikirannya. Ia terlihat santai berdiri di bangunan yang biasa ia gunakan untuk singgah selepas kuliah. Ia bersandar di bingkai pintu, sebelah tangannya ia masukkan dalam saku celana dan tangan yang satu lagi memegang lintingan tembakau.

Asap putih keluar dari mulutnya kala ia membuang nafas. Namun ia terlihat sedikit mengernyit kala dadanya merasa seperti dicubit kecil.

Aira menangkap ekspresi itu dan tanpa pikir panjang berlari ke arah pemuda itu sembari meraih benda sialan itu dan membuangnya tepat di bawah kakinya. Gadis itu menginjak rokok itu hingga menjadi serpihan lalu menatap Yoongi dengan netra yang berkaca-kaca.

Yoongi sebaliknya. Ia menatap Aira jengah dan memutar kedua bola matanya. Tak peduli kalau gadis bermarga Park ini tengah khawatir padanya.

"Mau apa lagi?" Tanyanya malas, ia bahkan tidak melirik Aira sama sekali.

"Kenapa kau melakukan ini lagi? Kau mau membunuh dirimu sendiri atau bagaimana, hah?!"

"Berhentilah berteriak. Kau membuat telingaku sakit."

"Yoongi oppa," pandangan Aira mulai mengabur karena air mata menggenang di pelupuk matanya, "Apa kau sadar yang kau lakukan ini?"

Yoongi diam. Ingin beranjak namun tiba-tiba Aira memeluknya erat. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Yoongi.

Air mata menetes dari bola mata cokelatnya. Bahunya bergetar dan tangisnya pecah.

"Jangan lakukan itu lagi. Aku mohon. Aku tidak mau kehilanganmu."

Mata sipit Yoongin terpejam. Tangannya gemetar di sisi tubuhnya. Ia ingin balik memeluk Aira, namun tangannya berhenti di udara.

Dengan sekali hentak ia mengurai pelukan Aira padanya. Berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat wajah Aira sekarang ini.

"Pergilah. Kau akan terlambat."

Dan yang terakhir Aira ingat adalah Yoongi yang menutup pintu tepat di depan wajahnya dengan sedikit dentuman.

Aira beringsut ke bawah. Ia memeluk kedua lututnya sembari membenamkan kepalanya di sana.

Tanpa tau kalau Yoongi masih di sana. Ia memegang kenop pintu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Ia ikut turun dengan salah satu lutut menumpu tubuhnya dan menyandarkan keningnya pada pintu.

"Maafkan aku." Gumamnya lirih. Yoongi tidak bisa untuk tidak hancur mendengar isakan Aira. Gadis itu memang sering menangis padanya. Namun, hal yang paling Yoongi hindari adalah Aira menangis karena dirinya.

Tapi mau bagaimana lagi? Aira memang salah kali ini.

Yoongi mengetukkan telunjuknya pada pintu sekali. Membuat perhatian Aira teralihkan. Ia sadar Yoongi masih mendengarkannya.

"Pergilah. Jangan menangis di tempatku. Menangislah di tempat lain."

Aira mendeguk pelan, ia menghapus air matanya namun isakan masih terlontar dari mulut kecilnya.

"Oppa,"

"Pergilah."

"Dengarkan aku dulu, kenapa kau seperti ini? Kau berjanji padaku untuk berhenti merokok, tapi kenapa kau—"

"Apakah itu penting untukmu?" Nada dingin Yoongi kembali terdengar memotong kalimat Aira.

Gadis itu menghela nafas berat lalu ia meletakkan tangannya pada pintu hitam di depannya. Air matanya kembali turun.

"Aku tau kau marah, tapi jangan melukai dirimu seperti ini."

Yoongi tertawa sinis, "Dengar. Kalau semua yang kita punya ini penting bagimu, kau juga tidak akan mengingkari janjimu. Karena bukan hanya aku yang punya janji di sini. Kau kembali meminum obat sialan itu diam-diam. Lalu, kenapa aku tidak boleh merokok?"

"Kau punya asma, oppa!"

"Dan kau punya penyakit jantung!" Yoongi mengusak rambutnya frustasi, "Pergilah. Aku malas berdebat denganmu. Lakukan sesukamu dan aku juga akan lakukan sesukaku."

Tangis Aira kembali pecah. Ia benar-benar tidak menyukai situasi ini.

"Aku mohon. Jangan tinggalkan aku, oppa. Aku—" Aira menjeda ketika ia merasakan hidungnya mengeluarkan darah. Air matanya mengalir lebih deras, "Aku menyayangimu."

Yoongi terdiam mendengar pengakuan Aira. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuka pintu penghalang ini dan memeluk Aira. Ia sangat berusaha.

"Aku sangat menyayangimu."

****

Jimin dan Senna kini sedang berada di koridor sekolah. Senna sedang mengambil buku di loker, sedangkan Jimin mengulurkan satu tangannya untuk menampung semua buku yang Senna mau bawa dengan wajah datar.

Ia terus menghela nafas menunggu Senna yang terlihat sangat merepotkan diri sendiri.

"Apakah kau harus membawa semua buku-buku ini ke kelas?" Keluh Jimin

Senna tidak menanggapi untuk beberapa saat namun setelah ia selesai dengan lokernya gadis itu mengangguk pasti.

"Ya, karena aku harus belajar untuk kita berdua." Senna mengetuk kening Jimin dengan jari telunjuknya dua kali, "Bersyukurlah, bisa apa kau tanpa aku?"

Jimin mendesis kesal lalu menjauhkan tangan Senna dari keningnya, "Aku masih bisa bernafas tanpamu kau tau itu."

Senna merengut tidak setuju, "Aku yang menyelamatkanmu dari insiden lemari asam waktu itu, ingat? Kau menghirup HCl sampai hampir pingsan karena tidak bisa bernafas."

"Ayolah, apa kau harus membeberkan semua kebodohanku sekarang? Tanganku pegal membawa buku-buku ini."

"Kau yang mengajakku berdebat, Jimin-ssi." Goda Senna dengan seringainya.

Jimin memutar kedua bola matanya dan berjalan mendahului Senna. Namun, belum sampai tiga langkah Senna menarik kerah baju Jimim dari belakang. Membuat pemuda itu hampir saja terjungkal.

"Sialan, Senna! Kau—"

"Lihat! Itu Kim Taehyung!"

Jimim mengurungkan niat awalnya ingin memarahi Senna kala gadis itu menunjuk seorang pemuda bersurai biru yang kini dengan santai berjalan di lorong koridor tanpa memperdulikan tatapan para siswa padanya.

"Wah, dia memang berbeda."

Jimin mendelik pada Senna yang menatap Taehyung tanpa berkedip.

"Ya, kau benar. Karena, siapa lagi orang bodoh yang akan mengecat rambutnya dengan warna mencolok seperti itu? Mentang-mentang ibunya seorang direktur bukan berarti dia bisa seenaknya begitu— aww Senna! Kenapa kau memukulku?!"

Senna melotot pada Jimin, "Dan apa kau sadar? Orang yang kau sebut bodoh itu sedang mendekati adikmu!"

Jimin memutar kedua bola matanya malas, "Apa kita akan mendebatkan ini lagi? Karena kalau iya, aku sungguh tidak ada waktu."

"Jimin! Tunggu, dengar, aku tidak memiliki prasangka buruk pada Kim Taehyung selain dia adalah orang yang bisa saja menyakiti Aira. Ayolah, Jim. Kau tau Taehyung bisa bertindak sesukanya di sini. Menurutmu apa yang bisa dia lakukan pada Aira?"

"Kim Taehyung tidak akan membunuhnya, aku jamin." Kata Jimin cuek.

"Kau benar-benar akan terus bersikap seperti ini?"

"Kau mau aku bersikap seperti apa? Menemui Kim Taehyung dan memintanya menjauhi anak sialan itu? Kau bercanda." Jimin kembali berjalan dengan wajah super dingin. Meninggalkan Senna yang kini kembali frustasi karena tingkah kekanakan Park Jimin.

****

Kim Taehyung melangkah menuju kelas 2-1. Persis seperti apa yang tertulis di papan pengumuman di depan. Ia mendecak sekilas karena sedari tadi para siswa di sekitarnya tidak berhenti berbisik dan memandangnya. Ia sadar perubahan penampilan ini akan mengundang kontroversi, tapi ia tidam menyangka akan separah ini.

Taehyung menggeser pintu kelas dan di sambut tatapan yang sama dengan yang ia dapat sepanjang perjalanan ke sini. Awalnya Taehyung membiarkannya, namun sepasang mata hitam yang berasal dari bangku nomer dua dari depan mengalihkan atensinya.

Alis Taehyung menurun marah, rahangnya mengeras begitu melihat Jungkook berada di sana menatapnya datar.

'Sialan. Kenapa aku harus sekelas dengannya.'

Tak lama kemudian bel tanda kelas pertama di mulai terdengar. Taehyung menghela nafasnya lalu berjalan menuju meja urutan nomer lima dari depan yang artinya paling belakang. Ia memgambil tempat di pojok dekat jendela dan meletakkan tasnya dengan malas di meja lalu tidur di atasnya.

"Baiklah, kelas. Ini adalah pertemuan pertama kita di semester ini. Saya adalah wali kelas kalian untuk satu semester ke depan." Kata seorang pria berumur mendekati akhir 30an bernama Ahn Jaehyun.

Para gadis berteriak senang, pasalnya pak Jaehyun adalah guru paling tampan dan muda di sekolah mereka. Jaehyun ssaem mengajar pelajaran bahasa inggris dan tidak jarang membuat para gadis terpesona dengan aksen britishnya yang sempurna.

"Sekarang. Kita susun perangkat kelas dulu. Apa kalian ada usulan tentang siapa yang akan menjadi ketua kelas? Atau ada yang mau mencalonkan diri?"

Kelas bertambah riuh dengan masing-masing meneriakkan nama calon ketua kelas yang mereka kehendaki. Namun, yang paling banyam terdengar adalah nama Jeon Jungkook.

"Baiklah, tenang dulu. Saya banyak mendengar nama Jeon Jungkook sebagai calon kandidat. Apakah kau bersedia Jungkook?"

Jungkook tersenyum canggung sembari melihat ke sekitar. Namanya kembali riuh diserukan oleh teman sekelasnya membuat Jungkook mengangguk pelan.

"Baiklah, ada calon kandidat yang ingin kalian ajukan lagi?"

Hening beberapa saat. Warga kelas sibuk berbisik mendiskusika siapa lawan yang pas bagi Jungkook.

"Kim Taehyung, ssaem!"

Jaehyun ssaem menaikkan sebelah alisnya, "Kim Taehyung?"

Dan tak lama kelas kembali riuh. Taehyung mendengar namanya disebut tentu saja. Dan dia mengutuk orang bernama Kim Minjae itu.

'Dasar bocah sialan.'

Taehyung mengangkat kepalanya sembari menatap ke seluruh siswa kelas itu sembari menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak mau." Kata Taehyung tegas dan hal tersebut membuat kelas kembali ramai.

"Oh ayolah, Taehyung! Jangan jadi pengecut seperti itu!"

"Ya! Tunjukkan kehebatanmu di sini jangan bersembunyi dibalik ketiak ibumu terus!"

Mata Taehyung berkilat marah mendengar komentar yang ditujukan padanya itu. Ia mengepalkan tangannya kuat menahan segala emosi yang membuncah di hatinya.

"Apa kau takut dengan Jeon Jungkook?"

"Ya benar! Mungkin dia minder dengan Jungkook!"

"Aku yakin Jungkook yang jadi ketuanya!"

Dan kuping Taehyung tidak pernah lebih merah dari ini sebelumnya.

"Hey sudah, hentikan! Tidak boleh ada ujaran kebencian di sini." Kata Jaehyun ssaem, ia memandang Taehyung sekali lagi.

"Jadi, Taehyung kau dipilih sebagi calon kandidat ketua kelas. Apa kau bersedia?"

Taehyung menampilkan wajah datarnya dan menghela nafas, "Terserah."

Jaehyun ssaem mengetok meja dengan penghapus, "Baik, sekarang keluarkan satu lembar kertas serta pulpen. Selain Jungkook dan Taehyung, tuliskan nama kandidat yang kalian pilih lalu kumpulkan di depan."

Selama kurang lebih 5 menit kelas hening. Semua siswa sibuk menulis dan tak berapa lama kertas berisikan suara mereka sudah terkumpul di depan.

"Baik. Kelas kita memiliki total siswa sebanyak 25 orang dan saya akan mulai menghitung perolehan suaranya."

Satu persatu lembar suara di buka dan Jaehyun ssaem terus menghitung perolehan suara. Siswa kelas 2-1 memperhatikan dengan seksama untuk tau siapa yang aka  menjadi ketua di kelas mereka untuk satu semester ke dapan.

Selama Jaehyun ssaem menghitung, tak disadari Jungkook melirik Taehyung dengan ekor matanya. Pemuda itu terlihat datar. Seperri tidak peduli tapi dia tau, dia sedang mengalami perang batin dalam dirinya.

Taehyung itu perfeksionis. Salah satu murid kebanggaan sekolah karena kecerdasannya dan si murid sempurna ini benci dengan yang namanya kekalahan.

Jungkook paham itu. Sangat paham. Dulu ia pernah mengalahkan Taehyung sekali di ujian mid semester di tingkat sepuluh. Jungkook menjadi juara pertama di sekolahnya dan Taehyung ada di posisi kedua. Hanya berbeda 5 poin saja dan Taehyung benar-benar sangat marah kala itu.

Sekarang dia juga cemas. Pasalnya, meskipun ia adalah siswa populer yang terkenal karena kecerdasan otaknya dan juga paras tampannya. Taehyung memiliki banyak pembenci dari kalangan siswa.

Utamanya karena posisi Taehyung sebagai anak direktur sekolah. Tak jarang banyak dari mereka yang mengira kalau peringkat Taehyung di dapat dari peran ibunya sebagai pemegang kasta tertinggi di sekolah ini.

Padahal, Taehyung memang sepintar itu.

"Baiklah, perolehan suara Jeon Jungkook adalah 11 suara. Dan Kim Taehyung sebanyak—" Jaehyun ssaem menatap siswa ya satu-satu, "11 suara."

"Bagaimana bisa!"

"Jadi mereka seri?! Tunggu apakah ada yang golput?"

"Ya siapa yang belum memberikan suara?!"

Di tengah keributan kelas 2-1 itu tiba-tiba pintu kelas bergeser terbuka dan menunjukkan seorang gadis dengan wajah yang tertunduk. Semua siswa lantas terdiam mengamati siswi yang perlahan melangkah masuk itu.

Wajahnya terlihat pucat dan matanya sedikit membengkak.

"Maaf saya terlambat, ssaem" kata sang gadis lirih.

"Park Aira."

Gadis itu perlahan mendongakkan kepalanya dan benar saja.

Ia adalah Park Aira.

Mata Taehyung tidak lepas barang sedetikpun dari gadis itu. Tangannya terkepal kuat di atas meja kala netra mereka bertemu. Aira terlihat kaget saat melihat Taehyung berada di kelas yang sama dengannya.

Kenapa seolah takdir sedang bermain-main dengannya sekarang?!

"Park Aria."

Aira sedikit gelagapan, ia menoleh pada Jaehyun ssaem, "Iya ssaem?"

"Kami sedang melakukan pemilihan ketua kelas sekarang dan hasilnya seri. Kau belum memberikan suaramu jadi pilihanmu lah nanti yang akan menentukan siapa ketua kelas 2-1."

Dengan ragu Aira mengangguk, lalu Jaehyun ssaem kembali melanjutkan kalimatnya.

"Kandidatnya hanya ada dua dan mereka adalah Jeon Jungkook dan Kim Taehyung."

Mata Aira membola. J-Jeon Jungkook?

Aira kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas berusaha mencari keberadaan Jeon Jungkook.

Yang benar saja! Takdir benar-benar menikmati kesengsaraan Aira saat ini.

Tak lama ia menemukan Jeon Jungkook di baris kedua dari jendela dengan bangku nomor dua dari depan. Ia bisa melihat Jungkook kini tersenyum manis padanya sembari melambai kecil.

Ya Tuhan.

Dia benar-benar tidak bisa bicara apa-apa lagi.

"Aira?"

"I-iya ssaem?"

"Kau akan memberikan suara pada siapa? Jeon Jungkook atau Kim Taehyung?"

Pandangan Aira secara bergantian memandang Taehyung dan Jungkook yang kini sama-sama sedang menatap padanya.

Bedanya Taehyung menatapnya datar dan dingin sedangkan Jungkook tersenyum kecil padanya.

Aira mengepalkan kedua tangannya dan menarik nafas singkat, "Aku—"

-

to be continued

---------

Oct, 21 2019

Part terpanjang dalam sejarah penulisanku!! 3100an kata ya Tuhan.

Gimana? Udah kenyang belum setelah sekian lama akhirnya terupdate juga ini cerita ya hehe.

Aku harap kalian terhibur sama chapter ini ya dan drop opini kalian soal cerita ini dongggg mau tau seberapa antusias sih para warga wattpad sama tulisan ini:)

Karena ku merasa kok sedikit ya ni yang baca jadinya aku update ntar ntaran juga nggak apa-apa gitu mikirku karna ya aku gatau ada yang masih nunggu cerita ini atau enggak but anyways thank you so much bagi kalian yang masih stay dan dukumg cerita ini lewat komentar dan votes kalian ya!!

Aku makasih banyaaaaak!!:)

Oiya dan katanya hari ini jadwal comebacknya adek-adek TXT ya? Gasabar banget gasihhhh yaampun!!!

Pen liat mereka semua terutama 'adek'nya Taehyung a.k.a Choi Yeonjun:"

Tapi kudu belajar buat UTS dan kuota juga limit jadi dedek dedek TXT semangat yaaa!! Aku liat kalian setelah selesai UTS:"

OKAY!

SEE YOU BABES JANGAN LUPA KOMEN YA MWAH💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top