Led Vatra - 2
Kegelapan menyelimuti Led Vatra, hanya beberapa penerangan di rumah-rumah yang memang mendapat hadiah mereka. Semua beristirahat untuk kembali menghadapi hari esok. Jalanan sepi, hanya beberapa prajurit yang terlihat berkeliling membersihkan sisa-sisa pertempuran hari ini.
Gadis muda itu mengetuk sebuah pintu rumah berukuran kecil, jika dibanding dengan yang lainnya. Seseorang dari dalam sana membukanya perlahan, mengintip sosok yang bertamu di tengah malam seperti ini.
"Kau?" Pemuda berusia lima belas tahun membukakan pintu dan langsung menarik gadis muda itu untuk masuk. "Hei, semua. Dia datang!" Tiga anak lainnya berlarian menghampiri mereka berdua dan langsung memeluk sang gadis muda.
"Aku merindukanmu, Lay."
Gadis muda itu membalas pelukan adik perempuan terkecilnya tak kalah erat. Ia tahu jika sang adik membutuhkan tempat yang bisa membawanya merasakan rumah. Lay memang sudah lama tak pernah mengunjungi rumah keluarganya lagi sejak bergabung dengan Seine. Ia harus bertahan demi kelancaran rencana.
"Dia membunuh ayah." Lay menatap wajah keempat adiknya bergantian, terlihat jelas raut kesedihan di sana. Tentu, mereka sedang berduka. Sayang, Lay tidak bisa melakukan banyak hal saat ini.
"Kalian tahu di mana dia?" Mereka semua mengangguk sebagai jawaban. "Antar aku ke sana."
"Kau yakin, Lay? Di luar sana banyak prajurit." Adik keempatnya—yang membukakan pintu—bertanya dengan nada keraguan, memastikan sang kakak.
"Tentu! Salah satu dari kalian bisa mengantarku."
Tidak ada yang menentang keinginan Lay lagi. Adik keduanya yang mengambil posisi untuk mengantar. Karena ia kini menjadi yang tertua di rumah itu dan memegang tanggung jawab untuk melindungi adik-adiknya. Mereka mengendap-endap demi menghindari para prajurit tersebut.
Sebuah aturan di Led Vatra, tidak ada yang boleh pergi ke mana pun di tengah malam hingga pukul enam pagi. Karena pada waktu tersebut menjadi tugas para prajurit untuk mendata sisa penduduk yang ada. Mereka akan mendatangi satu per satu rumah demi keakuratan untuk dilaporkan.
Mereka berdiri di depan sebuah gang buntu dengan bau busuk yang begitu menyengat. Lay menemukan yang ia cari dan berjongkok diikuti oleh sang adik. Ia menatap wajah tak bernyawa yang ternoda oleh darah kering dari tumpukan mayat lainnya.
Iris ungunya menampilkan berbagai emosi di sana, meringis menyesali kebodohan sang ayah. Andai saja sejak awal pria tua ini mengikuti ucapannya. Tentu sekarang ia masih bisa bernapas dan menjaga keempat adiknya.
"Dia benar-benar tak berguna, bukan?" Lay berucap pelan sambil masih menatap mayat sang ayah. Adiknya sendiri hanya menjawab dengan gumaman. "Sudah berulang kali aku katakan untuk menghindari Seine, tetapi ia malah menyerahkan diri pada pria keparat itu."
Liam memilih bungkam, karena percuma juga jika menjawab pertanyaan Lay. Ia sedih ketika sang ayah tewas, tetapi entah ada rasa lain yang seolah menjadi pemuas diri ketika mendengar kabar tersebut pertama kalinya.
Pemuda itu memilih memperhatikan keadaan sekitar, mengawasi jikalau ada prajurit yang melihat mereka di sini. Ia tidak ingin ditangkap dan menjadi salah satu penghuni dari penjara istana. Selain itu, Liam juga tahu jika Lay masih ingin mengungkapkan banyak hal lagi. Mereka akan berpisah kembali setelah ini.
Sejujurnya, Liam tak pernah setuju dengan keputusan awal Lay untuk bergabung bersama kelompok Seine. Namun, saat itu sang ayah mengatakan jika kakak perempuannya nanti bisa hidup tenang ketika bersama dengan orang kuat. Pria tua itu merasa tidak sanggup melindungi mereka semua di saat bersamaan.
Liam tahu alasan sebenarnya bukan hanya itu, melainkan ada hal lain yang lebih dalam. Ikatan sang ayah dengan Seine membuat pria tua tersebut memilih mengorbankan salah satu anaknya. Sayang sekali, karena rasa itu membuat sang ayah meregang nyawa. Mungkin memang begitulah takdir. Siapa yang berbuat? Maka, ia pun akan menuai hasilnya.
"Pulanglah, Lay. Kami selalu menunggumu kembali," ucap Liam penuh harap. Kini, hanya Lay yang bisa mereka jadikan panutan.
"Tidak. Aku belum selesai, bahkan ini baru dimulai." Gadis muda itu kembali berdiri, menatap sang adik penuh ketegasan. Ia memegang dan meremas erat pundak Liam. "Aku tidak akan berhenti, Liam. Namun, apabila aku menyerah, itu artinya kematian.
Kemudian mereka berpisah karena Lay harus kembali ke rumah Seine. Ia memang sempat meminta izin sebentar untuk mengunjungi adik-adiknya. Gadis itu ingin semua berjalan sempurna, tanpa ada kecurigaan sedikit pun. Perannya adalah sebagai gadis muda polos yang selalu mengidolakan Seine.
"Ah, kau sudah kembali? Bagaimana keadaan adik-adikmu?" tanya Poxy begitu melihat gadis muda itu mendekati rumah mereka.
Seine pun memperhatikan Lay yang sudah duduk di samping Poxy. Gadis itu memilih mengambil daging yang masih tersedia dibanding menjawab pertanyaan temannya. Ia lapar dan tak ingin membahas apa pun tentang keluarga.
Sebenarnya Lay tahu jika Seine pun menunggu jawaban, tetapi untuk saat ini ia hanya ingin menjaga agar emosi tetap stabil. Sebentar saja, ia hanya butuh waktu agar tidak lepas kendali. Gadis itu akhirnya menghela napas pelan, menatap beberapa pasang mata yang juga menunggu jawaban.
"Aku sudah mengatakan jika mereka dapat menjaga diri masing-masing. Hanya Eve yang masih terpukul." Setelah mengucapkan hal itu, pandangan Lay menangkap ada sedikit reaksi dari Seine. "Namun, aku tidak tahu bagaimana Eve akan bertahan jika hal itu terjadi lagi," lanjutnya.
Bibir gadis itu tersenyum tipis, ia menjalankan peran dengan baik sebagai kakak yang khawatir terhadap adiknya. Semua percaya, bahkan Lay jelas melihat tubuh Seine kembali menegang karena ucapannya. Ini menarik. Serangan yang tepat pada sasaran.
Kini, Lay memiliki kartu lain untuk menjatuhkan pria beriris hitam kelam tersebut. Sebelumnya, gadis muda ini hanya bisa mempengaruhi para penduduk untuk menghindari Seine di pertempuran. Ia ingin agar pria itu sulit mencapai target karena tidak memiliki lawan yang mau berhadapan dengannya. Memang cara itu sedikit berhasil. Namun, pada akhirnya Seine selalu bisa memenuhi target lebih cepat dari yang lain.
Mungkin memang ia harus menggunakan Eve sebagai alat. Katakanlah ini cukup kejam, tetapi Lay belum mendapat cara lain. Hanya sementara, ia berjanji.
Pikirannya berkelana untuk merancang rencana yang lebih matang. Tiba-tiba hal yang ia katakan terjadi. Lay membayangkan Eve yang menangis dan meringkuk ketakutan. Tidak ada lagi sang ayah, siapa yang bisa melindunginya?
Tubuh gadis itu tak sanggup lagi berdiri. Lay benar-benar merasa lemah. Ia yang ingin memanfaatkan keadaan ini, tetapi tidak bisa bertahan. Gadis itu hanya menggeleng berulang kali. Bagaimana ini?
"Eve!" Lay berteriak dan menguatkan diri menuju rumah. Sayang, ia kembali terjatuh. Tanpa sadar air matanya mengalir deras.
Suasana yang awalnya sunyi, kini kembali riuh karena kepanikan dari para penduduk. Terlebih bagi mereka yang seharusnya bersantai menikmati hadiah dan kehangatan.
Saat kaki berubah menjadi seperti jelly, tak bisa digunakan untuk menghindari bencana ini. Mereka yang kuat pun bisa mati dengan mudah jika tidak memiliki keahlian lain.
Memang benar, tidak ada yang bisa menebak kondisi alam di Led Vatra. Putihnya salju akan kembali diselimuti oleh darah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top