Part. 7 - VVIP
WARNING : MATURE CONTENT (21+)
Written by. AndienWintarii
"Oh, shit."
Ayle menggerutu ketika mobil Neil berhenti persis di depan lobby apartemennya. Laki-laki itu menengok ke samping, mencoba mencermati ekspresi Ayle yang kembali berubah kecut.
Ayle melihat Neil dan menghela napas lelah. "Bisa kita puter balik?"
"Maksudnya?" tanya Neil tidak mengerti.
"Maksud gue lo bisa turunin gue di pintu belakang?"
"Kenapa harus di pintu belakang?"
"Lo bakal terimakasih sama gue setelah ini, jadi please, tolong puter balik."
"Kenapa saya harus terimakasih sama kamu? Saya enggak ketemu alasan yang tepat kenapa saya harus buang-buang bensin untuk puter balik dan nurunin kamu dari pintu belakang."
Ayle berhenti berbicara, dia menghela napas dan mencondongkan tubuhnya ke arah Neil. "Lo serius ngajak gue ribut di sini?"
Neil yang sama sekali tidak merasa goyah karena ancaman Ayle hanya bisa menatap gadis itu datar. "Saya enggak ngajak ribut kamu."
"Oh c'mon, Neil sayang, please, bantuin gue kali ini."
"Oh c'mon, Ayle, please, saya enggak mau."
"Fuck you."
Neil membalas perkataan Ayle dengan senyuman paling tulus yang bisa dia berikan. Setelahnya, Ayle bergerak keluar dari mobilnya tanpa berkata-kata lagi. Pandangan Neil mengekori Ayle yang berjalan dengan berjinjit sambil menenteng sepatu heels-nya yang patah.
Tetapi sebelum gadis itu sampai pada anak tangga pertama lobby apartemennya. Seorang lelaki tua merentangkan kedua tangan dan menghalangi jalan Ayle. Mata Neil menyipit saat melihat Ayle yang memasang wajah malas. Ada perdebatan panjang di antara mereka yang mampu menarik perhatian Neil.
"Papa, dia bukan pacar, Le. Dia atasan Le."
"Apa bedanya? Kamu bisa pinjam uang ke dia dulu. Papa butuh sekarang, Le. Buat bayar pajak mobil."
"Kemana uang yang minggu lalu Le kirim? Udah habis lagi?"
"Yaudah lah, gimana sih kamu. Pajak mobilkan tiga juta, sedangkan kamu cuma ngirim dua juta. Itu buat makan juga enggak cukup."
Hari ini semua orang membuatnya ingin marah dan mengamuk, Ayle mengepalkan sebelah tangannya yang bebas. Tidak pernah dalam hidupnya merasa semuak hari ini. Ayle juga tidak mengerti kenapa Neil tidak langsung pergi dan berlalu saat dia sudah keluar dari mobil laki-laki itu. Butuh berkali-kali baginya untuk memastikan Neil segera menginjak pedal gas mobilnya sampai laki-laki itu benar-benar melakukannya.
Pandangan Ayle sepenuhnya mengarah ke ayahnya, satu-satunya anggota keluarga yang dia punya, yang tidak pernah sekali pun berguna untuk Ayle. Ayle selalu berharap dalam hati bahwa bukan dari laki-laki itu lah dirinya dilahirkan.
"Ayle, kamu dengerin Papa enggak sih?"
"Nanti Ayle kirim ke Papa."
"Kapan? Papa butuh segera."
"Papa bisa sabar?! Le bukan atm berjalan, Pah."
"Masa kamu enggak punya simpanan sama sekali?"
Ayle menghela napasnya lagi, kali ini dia berusaha untuk tidak meledak meski kedua matanya sudah memanas. "Pah, nanti malam Le kirim. Oke?"
"Papa bener-bener tunggu ya. Awas jangan sampe enggak ngirim."
Ayle menatap punggung ayahnya yang menjauh. Dia tau percuma menangis untuk sekarang ini. Tidak akan memperbaiki keadaan, tapi air mata sialannya tidak bisa dibendung. Mereka meluncur dengan bebas tanpa halangan. Ayle hanya bisa menangkap beberapa di antara tetesan itu, mencoba untuk tidak terlihat terlalu menyedihkan.
Tabungannya sudah menipis, tanggal gajiannya masih jauh, dia tidak punya simpanan apa-apa lagi untuk mengirimkan uang pada ayahnya. Mencoba untuk berhutang sama sekali tidak akan terpikir oleh seorang Ayle. Dia tidak akan melakukan perbuatan yang satu itu. Masih ada sejuta cara menghasilkan uang dan Ayle mengetahui beberapa di antaranya yang cepat membuat kantungnya terisi penuh.
Setelah sampai di unit apartemennya. Ayle mengeluarkan ponsel, mengetik beberapa pesan khusus dan menunggu balasan sambil mengeluarkan pakaian-pakaian pekerjaan sambilan yang sudah dilakukan Ayle lebih dari lima tahun ini.
Tidak ada pilihan yang cukup baik yang bisa membawa Ayle pada gunungan emas atau berlian dengan jalan pintas. Tidak ada pilihan suci yang akan membenarkan semua tindakkannya ini dan tidak ada waktu untuk memikirkan ulang tentang keputusannya.
Suara ponsel mengalihkan perhatian Ayle, dia bergerak cepat untuk membaca pesan. "Oh yeah, welcome to Las Vegas, babe."
Ayle mengepak seluruh pakaian ke dalam tas jinjing, mengambil kaca mata hitam yang tergantung dan siap untuk memulai malam ini dengan tampilan yang berbeda. Ayle melirik sekilas ke arah heels'nya yang malang. Dalam hati dia berjanji akan membuat perhitungan pada siluman kodok itu, tapi malam ini adalah miliknya. Dia harus mengumpulkan pundi-pundi emasnya dulu sebelum bergerak membalaskan dendam yang tidak akan menemukan kata impas untuk Neil.
Senja turun lambat-lambat menarik malam menyelimuti ibu kota yang mulai menyibukkan diri dengan gemerlap lampu-lampu kendaraan penghuninya. Ada Ayle di antara jutaan orang yang melata di dalam jiwa dan pikirannya masing-masing. Tidak tersentuh, tidak pernah merasa jenuh.
Saat sampai di depan sebuah gedung pencakar langit yang tampak tak jauh berbeda di antara banyaknya gedung-gedung yang bediri kokoh di kota yang megah ini. Ayle tersenyum sedih, mengingat beberapa tahun lalu saat dia memutuskan mengambil jalan pintas pada usia belia.
Kehidupan tidak pernah bersikap ramah padanya. Ayle harus tetap ingat bagaimana dia dibesarkan tanpa kasih sayang seorang Ibu di sisinya, tanpa seorang Ayah yang melindunginya, hanya dengan begitu geloranya akan tetap membara, membakar dirinya sendiri dalam semangat yang tak pernah putus menentang nasib.
Hanya orang-orang malas yang tidak akan pernah berubah dan Ayle bukan salah satu di antara orang-orang itu. Dia salah satu di antara yang paling berbeda. Ayle selalu berani mengambil resiko, resiko itu dianggapnya setimpal dengan apa yang seharusnya dia dapatkan. Ayle tidak berkompromi dengan nasib buruk atau pada orang-orang yang tak mengerti tentang apa pun selain memberikan sesuatu yang paling diinginkannya.
Dan di sinilah dia sekarang. Menatap dirinya sendiri di depan cermin.
"Hai, Ayle. Gimana udah siap?"
Laki-laki kekar berjas hitam tanpa dasi masuk ke dalam ruang rias. Ada beberapa perempuan yang tengah sama sibuknya dengan Ayle dalam merias wajah, memakai atribut pakaian yang hampir tidak menutupi apa-apa dari diri mereka, tapi hanya Ayle yang memalingkan wajah dari cermin.
"Hampir."
"Lima menit lagi lo yang tampil."
"Kok cepet banget sih?"
"Lima menit lagi, Ayle." Laki-laki berteriak pergi meninggalkannya.
Ayle menggelengkan kepala tidak percaya. Rasanya baru setengah jam yang lalu dia sampai, tapi semuanya bergerak dengan ritme yang tidak terkendali. Seolah-olah tempat ini memiliki waktu yang berbeda dari waktu di dunia luar sana.
Pengecualian, terasingkan, tapi paling menjanjikan kesenangan dan pelepasan akan kepenatan hidup yang monoton.
Ayle melirik ke jam tangannya yang berada di meja rias. Jarumnya sudah menunjukkan hampir jam sebelas malam. Ayle bergerak dengan cepat membenarkan stocking hitam berjaringnya untuk terakhir kali yang kian rapat melapisi kulit kakinya.
Raungan musik menghentak gendang telinga dan tubuh Ayle ketika dia berjalan keluar ruang rias. Lampu-lampu berwarna-warni menyorot ke berbagai arah, mencermati banyak orang yang berbaur di lautan gairah. Bau rokok dan alkohol memenuhi ruangan, tapi tidak ada yang merasa terganggu karenanya.
Ada tiga lantai berbeda yang menggambarkan kelas orang-orang yang datang di club ini. Masing-masing kelas memiliki penggemarnya sendiri-sendiri. Banyak di antara orang-orang itu datang untuk menikmati malam mereka yang sepi dan canggung.
Di antara mereka ada yang membawa kartu ajaib, tapi tidak jarang yang lebih memilih membawa beberapa lembar kertas kusut yang tidak begitu berarti selain hanya untuk membeli satu gelas alkohol paling murah. Ayle tidak mengincar orang-orang itu. Malam ini dia mengincar seseorang yang membawa kartu ajaib, kartu yang membuatnya bisa pergi ke mana saja, membeli apa saja.
Laki-laki berjas yang semula masuk ke dalam ruang rias menunjuk ke lantai tiga dan berbicara tanpa suara kepada Ayle, mengatakan nomer ruang khusus yang harus dia datangi.
Ayle mengangguk sekali dan berjalan menaiki tangga dengan keanggunan yang natural. Udara dingin membelai kulitnya, tapi tidak cukup kuat untuk membuatnya menghentikan langkah. Badannya yang dibalut leather lace waist korset ketat berwarna hitam berbahan kulit itu menampilkan kesan yang Ayle inginkan. Semua laki-laki yang melihatnya lewat, membunyikan siulan menggoda saat melihat bokongnya yang hanya dibalut thong.
Ayle hanya tersenyum meremehkan mereka sambil memainkan rambut panjangnya yang terikat seperti ekor kuda, menjuntai sampai batas punggungnya.
Banyak di antara para gadis penghibur bergerak melilitkan diri pada tiang-tiang yang ditancapkan di tengah-tengah panggung kecil, yang jumlahnya puluhan di club ini. Menari mengikuti irama musik atau sekedar mengikuti gairahnya sendiri dan Ayle akan menjadi salah satu di antara mereka.
Laki-laki yang bersedia membayar akan melemparkan uang atau menjamah tubuh mereka dengan tangan-tangan tanpa dosa. Tidak ada dosa di tempat ini, yang ada hanya kesenangan dan pelepasan.
Para gadis yang lebih khusus seperti Ayle dipesan oleh beberapa orang berpengaruh yang memiliki kartu ajaib. Biasanya mereka tidak datang dari pintu depan, semua orang itu datang dari pintu belakang, pintu khusus untuk menghindari pemberitaan oleh media masa. Club ini jelas memberikan penawaran terbaiknya bagi para pengunjung spesial yang berani membayar mahal untuk servis terbaik.
Ayle salah satu gadis itu, butuh waktu yang cukup lama baginya untuk bisa melayani orang-orang penting berdasi yang memiliki kartu ajaib. Dia membutuhkan banyak waktu untuk melatih mentalnya dan kemampuan dalam memuaskan hasrat binatang mereka.
Ayle melirik pada nomer ruangan yang harus dia masuki ketika akhirnya sampai. Club ini menyewakan beberapa ruangan yang dibentuk sebagai bar tersendiri dan kamar yang dirancang seperti hotel. Ruang-ruang diisi dengan berbagai kebutuhan si pemesan. Beberapa di antaranya diisi dengan sex toys, atau sedikit improvisasi seperti kolam rendam di tengah-tengah ruangan.
Tanpa pikir panjang Ayle masuk dan mendapati seorang laki-laki tengah berdiri membelakanginya. Laki-laki itu hanya memakai handuk yang dililitkan di sekitar pinggul. Badannya kekar, berorot. Ayle tersenyum ketika melihatnya dan kemudian menutup pintu perlahan, lalu kembali memperhatikan pelanggannya yang masih sibuk meracik minuman sendiri. Dia berjalan mendekat, suara heels-nya tertutupi suara musik yang mengaung dari luar.
Ketika tidak ada lagi jarak di antara dirinya dan laki-laki itu. Ayle mengulurkan jari-jari tangannya ke pundak client-nya, mendekatkan bibir ke arah kuping pemesannya dan berbisik lirih. "Hai."
Saat laki-laki itu akhirnya bergerak berputar arah, mata Ayle membelalak tak percaya. Ayle mundur beberapa langkah. Reaksi yang sama juga ditunjukkan oleh laki-laki itu.
"Neil?!"
Ayle melihat Neil dalam balutan yang sama berbedanya seperti yang dia tunjukkan sekarang. Tidak ada kaca mata tebal berbingkai hitam, tidak ada rambut lepek, tidak ada jas dan dasi yang menampilkan kesan kaku.
"Kenapa kamu di sini?"
Neil tidak bisa berpaling melihat wajah Ayle, melihat tubuh gadis itu yang dibalut korset ketat, stocking dan heels tinggi yang membuatnya jauh berkali-kali lipat lebih seksi.
"Seharusnya gue yang nanya, kenapa lo di sini? Kenapa di ruangan ini? Ke..kemana kaca mata lo? Ke..kenapa lo berubah jadi gantengan banget, anjir. Gila!"
"Ha?" Neil tidak mengerti apa yang dimaksudkan Ayle.
Sedangkan Ayle mengangguk, tapi kemudian menggerakkan kedua tangannya sebagai kode agar Neil tidak perlu menjawab. "Kenapa lo di ruangan ini? Jawab, itu yang terpenting sekarang. Bukan lo yang mesen gue kan?"
Dada Neil berhenti membusung dan bahunya mulai mengendur turun. Neil sudah bisa memastikan kenapa Ayle yang masuk ke ruangannya. Jelas, dia sama sekali tidak mengetahui bahwa Ayle yang akan melayaninya malam ini. Dia hanya memesan seorang gadis seperti biasa. Tidak peduli dengan latar belakang mereka, yang terpenting hanyalah gadis itu mampu memuaskan birahinya. Jika dia lebih beruntung, ketika gadis itu membuatnya nyaman, dia akan bersedia memesan untuk beberapa sesi pertemuan mereka selanjutnya.
"Neil, lo bercanda." Ayle menggelengkan kepala tidak percaya, dia lantas berusaha berputar arah untuk keluar dari ruangan, tapi Neil menarik tangannya sampai Ayle tidak dapat mengendalikan gerak tubuhnya sendiri dan akhirnya menabrak tubuh Neil yang kokoh tak tergoyahkan.
"Kenapa kamu pergi?"
Ayle menatap kedua mata Neil, sedangkan musik masih memekakkan telinganya. "Buat mastiin gue gak salah ruangan."
"Sergio yang bawa kamu sampai ke sini?"
Ayle tidak mengiyakan, tapi di dalam hatinya dia benar-benar mengutuk semua hal yang terjadi di hari ini.
Neil tidak mendapatkan jawaban, dan dia mengetahui bahwa pertanyaannya adalah benar. "Berarti kamu gak salah kamar. Jadi ini pekerjaan sampingan kamu?"
Bola mata Ayle berputar malas. Neil mulai mengejeknya dengan kata-kata pedas lagi. "Jadi ini kerjaan lo di luar kantor? Nidurin gadis-gadis penghibur buat muasin kebutuhan sex lo?"
"Saya bayar mereka, bukan mendapatkan dengan cuma-cuma."
"Oh, bagus. Setidaknya mereka punya konspensasi setelah bercinta dengan siluman kodok."
Neil mencengkram pergelangan tangan Ayle lebih erat dan kencang. Membuat Ayle bereaksi untuk melepaskannya. Dia tersenyum kepada Ayle yang menatapnya dengan pandangan marah sekaligus jijik, tapi Neil mengetahui Ayle sempat terpukau melihatnya beberapa saat lalu. "Kenapa kamu enggak mulai saja?"
"Gue gak sudih."
Saat Ayle semakin kuat berusaha melepaskan dirinya dari cengkraman Neil. Neil memuaskan diri atas kemarahan Ayle padanya. Dia tidak akan melepaskan Ayle dengan mudah. Terlebih bagaimana perempuan itu sering membuatnya kesal saat di kantor dan berbagai kesempatan yang bisa dia pergunakan untuk mengganggunya.
Neil menarik dan mendorong Ayle menuju tiang. Butuh usaha lebih bagi Ayle untuk bisa menyeimbangkan diri ketika Neil mendorongnya dengan kasar. Neil hanya memberikan intruksi dengan dagunya agar Ayle mulai melilitkan diri pada tiang di dalam ruangan itu. Sedangkan Neil tetap memperhatikan Ayle yang memandang penuh rasa jijik, marah bercampur menjadi satu. Neil tau bahwa Ayle tidak bisa menolaknya, mereka tidak bisa menolak pelanggan. Siapa pun yang mereka datangi, itulah laki-laki yang harus mereka layani.
"Kenapa kok diem?"
"Lo sengaja ngejebak gue!"
"Enggak ada yang menjebak kamu, Ayle. Kamu sendiri yang datang ke saya."
"Fuck you, Neil. Kenapa harus lo."
Kedua pundak Neil bergerak tidak peduli. "Saya sudah bayar, sekarang waktunya saya dapat apa yang sudah saya bayar."
"Gue bisa batalin semua ini."
"Dan lebih memilih dioper ke laki-laki tua berperut buncit?"
"Asal bukan lo, jauh lebih baik."
Neil tertawa mengejek. "Kemana Ayle yang sering saya temui?"
"Mau lo apa sih?!"
Reaksi Neil kembali seperti biasa. Dia tidak peduli pada apa-apa. Tangannya menyambar segelas minuman yang semula sudah dia racik. Menegaknya dengan sekali usaha, membiarkan Ayle berdiri tanpa daya.
"Kamu tau apa yang saya mau, kenapa perlu bertanya lagi?"
Ayle yakin, bahwa Neil adalah psikopat. Dia tidak percaya bahwa Neil berubah seratus persen seperti sekarang ini. Dia tampak jauh lebih tampan, jauh lebih tampan dari apa yang bisa Ayle bayangkan tentang diri laki-laki itu. Tetapi ketampanannya jelas tidak membuat Ayle mabuk kepayang, Neil tetap sama saja baginya. Siluman kodok bermulut berbisa.
Ayle bergerak menyentuh tiang yang seharusnya sudah mulai dia jamah semenjak tadi. Ayle tidak ingin menyerah dan mengalah pada Neil. Dia tidak akan memberikan Neil kesempatan untuk mengejeknya. Walau laki-laki itu tampan, meski laki-laki itu kaya dan mampu memberikan segalanya yang dia butuhkan.
Neil tetaplah Neil.
Ayle melayang di udara sambil berputar-putar perlahan dengan bantuan tiang. Melilitkan diri dan jiwanya, sepenuhnya dalam kobaran gairah yang mulai dia patik sendiri.
Neil yang puas melihat Ayle tersiksa atas pilihannya, kini melunturkan senyum yang semula menghiasi wajahnya. Matanya tidak berkedip saat melihat Ayle menari. Neil bahkan bisa melihat daerah terintim milik Ayle ketika gadis itu merenggangkan kedua kakinya ke udara. Ayle sepenuhnya berubah menjadi sesuatu yang menggiurkan. Neil melupakan sejenak kekesalan dan gambaran diri Ayle yang menyebalkan. Ayle berhasil membuat semuanya kesan itu hilang, digantikan dengan kesan yang lain.
Ketika gadis itu turun dari tiang, dia bergerak mendekati Neil. Neil terikat pada pesona Ayle malam ini dan Ayle mengerti bahwa Neil mulai merasa tergoda. Dia duduk di pangkuan laki-laki itu dengan menekuk lututnya di sofa, mengangkangi Neil. Ayle sengaja bergerak menyatukan miliknya dan milik Neil dengan gerakkan yang lambat, teratur dan tidak terburu-buru. Mereka butuh waktu untuk saling mengenal lagi.
Kedua tangan Ayle menyentuh wajah Neil, hidungnya menghirup aroma alkohol dari mulut laki-laki itu. Ayle menjilati bibir Neil, menggodanya. Saat tidak mendapatkan respon apa-apa, Ayle mulai mengigit bibir bawah Neil yang langsung berhasil membuat Neil bergerak menangkup bokongnya gemas.
Neil yang sudah mendapati ketegangnya berpacu setiap waktu saat melihat Ayle bergerak, tangannya meremas bokong gadis itu, membuang Ayle bergerak lebih kencang saat miliknya sudah teramat tegang.
Dia tidak membiarkan Ayle mengambil alih keadaan, dengan kasar Neil menjambak rambut Ayle. Menciumi lehernya, meremas payudaranya dan membiarkan lolongan gairah lolos dari mulut Ayle.
Ciuman Neil turun sampai batas kedua payudara Ayle dan kembali mengarah ke atas, ke kuping Ayle. Neil menjilatinya, menggigitnya, membisikkan kata-kata kotor yang anehnya membuat Ayle semakin tenggelam dalam gairahnya sendiri.
Dia menggeliat di atas Neil. Berkali-kali menggesekkan miliknya pada milik Neil yang menegang. Ayle bisa merasakan cairan keluar dari dalam dirinya, membasahi thong-nya bahkan sebelum Neil melakukan lebih jauh lagi .
"Aaarg, Neil, Neil, stop, stop."
Ayle menghalau sentuhan Neil yang lain. Napasnya memburu dan pandangannya tidak fokus. Ayle tidak pernah merasakan sebergairah ini sebelumnya. Tidak pada siapa pun yang pernah bercinta dengannya atau pada seseorang yang pernah dia sentuh secara cuma-cuma.
Ayle menatap Neil yang memandangnya tanpa ekspresi sedangkan dia sendiri mati-matian menutupi ekspresi kewalahannya.
Ayle turun dari pangkuan Neil, dia mengambil botol alkohol dan menuangkan isinya pada gelas. Meneguknya dan melakukannya lagi sampai merasa cukup. Sedangkan Neil hanya memandangi bokong Ayle yang belum pernah sebelumnya dia lihat tanpa peduli berapa banyak gelas alkohol yang diminum gadis itu untuk menghilangkan kewarasannya sendiri.
"Oke, Neil." Ayle akhirnya berbalik, menghadap Neil yang masih duduk.
"Apapun yang terjadi di ruangan ini, cukup lo ingat hari ini. Besok, dan seterusnya enggak ada lagi yang terjadi di antara kita berdua. Hubungan kita sebatas transaksi seperti yang biasa lo lakuin."
Pandangan Neil mengarah ke atas, ke payudara Ayle yang bergerak ketika gadis itu berbicara. Kemudian kelopak matanya menutup dan terbuka dengan lambat. Neil membuang pandangan ke arah Ayle. Memberikan sepenuhnya perhatiannya kepada gadis itu yang kini tengah berdiri terengah-engah sambil melipat kedua tangannya di pinggang.
"Ayle."
"Ya."
"Kamu nervous?"
Ayle merenggangkan kedua tangannya, berusaha berdiri lebih percaya diri. "Jangan bercanda."
"Kamu nervous, Ayle."
"Diem, Neil!"
"Bukannya kamu sudah sering melakukan ini?"
Ayle menenggak ludahnya sendiri, rasa alkohol masih mendominasi di tenggorokkannya. Dia mual dan pusing sekarang, tapi berusaha menyembunyikannya dari pandangan Neil.
Ayle mulai melepaskan kaitan pada korsetnya, membuang korset itu sembarang arah. Ayle menunduk dan kembali berusaha melepaskan kaitan stocking-nya, lalu bergerak melepaskan heels-nya, dan terakhir dia melepaskan thong yang menutupi kemaluannya.
Kini dihadapan Neil, Ayle berdiri telanjang dengan sisa-sisa keberanian yang dimiliki gadis itu.
Neil berhasil membuat jantung Ayle berpacu dalam ritme yang tidak teratur. Ayle tidak mengerti kenapa dia harus begitu. Mungkin karena penampilan Neil yang baru, mungkin karena permainan mahir laki-laki itu, mungkin karena dirinya sendiri belum pernah mendapati diri merasa terdominasi.
Neil, berhasil melakukannya dan Ayle terlalu takut mengakuinya.
"Let's do it, frog."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Selamat berbuka.
Monmaap, kasih bukaan macam gini.
Mudah2an, stok teh botolnya masih ada, karena kamu pasti kehausan 😅
See you tomorrow in Neil's part.
02.05.2020 (17.40 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top