Part. 4 - A Glass of Coffee
Written by. Sheliu.
Segelas kopi berlogo Starbucks terulur ketika Neil baru saja memasuki lobby, yang sukses menghentikan langkahnya untuk melihat seseorang yang sudah berdiri di depannya. Tampak Ayle tersenyum manis dan begitu ceria, sama sekali tidak mengindahkan ekspresi dingin yang dilemparkan Neil.
Suasana hatinya memburuk ketika paginya diawali dengan kehadiran wanita ular seperti Ayle. Masih segar dalam ingatan bagaimana Ayle yang sudah begitu lancang menendang tepat di kedua testisnya tiga hari yang lalu. Bahkan, Neil sempat tidak mampu berdiri selama dua jam dan merasakan nyeri di sepanjang hari itu.
Salah satu asistennya, yaitu Romeo, langsung melapor pada kepala HRD atas tindakan Ayle yang dinilai tidak tahu aturan dan perbuatan tidak menyenangkan. Tidak hanya itu, Romeo bahkan menunjuk office boy dan dua orang staff admin yang ada di tempat yang sama untuk memberi kesaksian, tentang Ayle yang memaksa untuk masuk ke dalam ruangan meski sudah mendapat penolakan. Alhasil, wanita itu mendapat sanksi berupa surat peringatan pertama agar dirinya menjaga sikap, juga beberapa poin yang harus dituruti olehnya jika tidak ingin dipecat.
"Ini apa?" tanya Neil datar.
"Buat lu, eh, kamu," jawab Ayle dengan penuh percaya diri.
Satu alis Neil terangkat, tampak tidak terkesan dengan apa yang ingin dilakukan Ayle sekarang. "Untuk?"
"Yaelahh, terima aja sih? Ribet banget pake nanya-nanya! Niat baik nggak boleh dicurigain. Orang baik juga nggak boleh dicuekin," sewot Ayle.
Tanpa berkata apa-apa, Neil melanjutkan langkahnya dan melewati Ayle, enggan untuk melanjutkan obrolan yang tidak ada gunanya selain membuang waktu dan menjadi pusat perhatian di lobby karena sudah ada banyak karyawan yang tiba.
"Eh, tunggu dulu, jangan pergi dulu," seru Ayle dari belakang.
Sambil mendengus kesal, Neil mempercepat langkah agar Ayle tidak bisa mengejarnya. Senyum sinisnya mengembang ketika bisa mendengar keluhan Ayle dari belakang, tentang stiletto yang dikenakan, yang sepertinya susah payah dalam menyusulnya.
Neil tidak menggunakan lift umum yang biasa digunakan para karyawan untuk menuju lantai ruangan mereka. Dalam gedung itu, terdapat lift khusus yang hanya diperuntukkan bagi para petinggi perusahaan. Sebagai salah satu kepala divisi, Neil memiliki akses untuk menggunakan lift khusus yang terletak di sayap kanan gedung.
Tidak ada antrian, justru begitu lengang dan menenangkan bagi Neil yang benci dengan keramaian atau kegaduhan. Mengeluarkan tanda pengenal dari saku jas, Neil menempelkan kartu pada sisi lift untuk membuka akses pintu.
Baru sempat masuk ke dalam lift, dirinya dikejutkan dengan Ayle yang memburu masuk tanpa permisi. Mata Neil terbelalak melihat Ayle yang bernapas terengah-engah dan bertelanjang kaki. Sepasang stiletto ditenteng di tangan kiri, segelas kopi masih di tangan kanan, dan tas tangan yang terkait di siku. Wanita itu benar-benar serampangan.
"Budeg atau apa sih? Dipanggil daritadi nggak nyahutin? Kaki gue sakit nih! Ck!" sewot Ayle sambil merengut cemberut dan kembali menyodorkan kopi itu. "Ini tolong diambil!"
"Saya nggak mau!" ucap Neil sambil menekan lantai ruangannya dan pintu lift pun tertutup.
"Apa susahnya sih terima segelas kopi dari gu...," ucapan Ayle terhenti, seperti teringat sesuatu lalu menggelengkan kepalanya. "Terima segelas kopi dari saya, N-, eh, Pak!"
Neil menoleh pada Ayle dengan tatapan malas. "Saya. Nggak. Mau!"
"Ck! Belum cobain kopi pesenan Ayle, jangan langsung nolak gitu. Pamali! Ini tuh Asian Dolce Latte, less milk, less ice, one and half pumps syrup, venti, and extra shot espresso! Dari pesenan aja, udah kedengeran ribet, kan? Rasanya? Nggak usah ditanya. Perfecto!" jelas Ayle antusias.
"Saya tetap nggak mau," balas Neil sambil menatap lampu angka yang entah kenapa hari ini merambat begitu pelan.
"Tenang aja, Pak. Nggak bakalan ada sianida, kok! Saya mah anak baik-baik, suka belanja dan foya-foya, nggak lupa juga buat nabung, biar bisa beli tas LV keluaran terbaru yang bakalan launching bulan depan," sahut Ayle yang semakin membuat Neil gerah.
Sambil menggertakkan gigi, Neil mengubah posisi berdiri untuk berhadapan dengan Ayle. Tanpa stiletto-nya, wanita itu begitu kerdil di hadapannya, membuat tatapan Neil semakin rendah tanpa bermaksud untuk merendahkan.
"Dengerin saya baik-baik," ujar Neil dingin.
"Iya, ini didengerin," balas Ayle cepat.
"Dua hari lalu, saya udah balikin sandwich yang kamu main taruh di ruangan saya. Kemarin, saya udah buang bekal kamu ke tempat sampah! Jangan sampai kopi itu, saya siram ke muka kamu! Biar kamu tahu diri dan tahu malu," tukas Neil sinis.
"Kenapa harus disiram? Kenapa nggak diminum aja? Kopi ini enak lho," sahut Ayle yang sukses membuat Neil mendesis geram.
"Kalo gitu, kamu yang minum aja," ucap Neil sambil membuang muka ke atas dan mendengus ketika lantai ruangannya masih begitu jauh.
Ayle menghela napas dan berdecak kesal di sampingnya. "Kenapa sih jadi orang harus kayak gitu? Nggak tahu apa susahnya jadi gue?"
"Saya nggak tahu dan nggak mau tahu."
"Ya udah, gini aja. Kalo boleh jujur, ini juga terpaksa. Pak Suyana itu killer banget jadi kepala HRD! Dia minta gue untuk ubah sikap dan minta maaf sama lu. Damnit! Kebiasaan ngomong pake lu-gue ini tuh susah, apalagi mesti pake saya, ewww, jijik!"
"Saya nggak peduli."
Ayle berdecak lagi, kali ini sambil menatap sinis. "Terima ajalah kopi ini. Ya? Ya? Ya? Sebagai bukti permintaan maaf."
"Nggak!"
"Gue, eh, saya minta maaf, Pak."
"Saya nggak perlu maafin kamu. Lagian, saya udah bilang untuk jangan muncul di hadapan saya lagi!"
"Astaga dragon, Bapak Kodok! Emangnya kurang cantik apa cewek stunning kayak gini? Semua juga udah mengakui kalo..."
BRAK! Sebuah hentakan kasar dilakukan Neil pada dinding lift, membuat Ayle tersentak dan menatapnya dengan mata terbelalak, spontan mundur selangkah.
"Kamu tahu debu itu apa?" tanya Neil dengan alis terangkat tinggi-tinggi.
Ayle mengangguk sebagai jawaban.
"Bagus! Ibarat debu, seperti itu kamu di mata saya. Nggak berguna, tapi justru nyakitin mata. Setiap kali kamu banggain diri kamu, setiap kali itu saya ngerasa jijik," ucap Neil dengan penuh penekanan.
Ekspresi wajah Ayle memerah dan tampak tersinggung. "Ngomong jijik, tapi sendirinya juga nggak tahan pengen cium gue kayak waktu itu! Gue bisa laporin karena lu udah ngelakuin pelecehan!"
Neil menyeringai sinis dan tampak tidak menggubris ancaman itu. "Go ahead, I don't even care. Semua orang tahu cewek seperti apa kamu itu. Tadinya, saya heran kenapa Pak Renald mau pake kamu jadi asisten, tapi setelah tahu kalo kamu masih kerabat istrinya, saya maklum aja. Grade pas-pasan yang kamu punya, udah jelas nggak bakal diterima di perusahaan ini."
"Maksudnya, Bapak mau bilang saya bego, gitu?" balas Ayle ketus.
Neil mendengus kasar dan merasa sudah membuang waktu dengan percuma, lalu mengumpat pelan ketika lantai ruangan sialannya itu tak kunjung sampai. Berdua saja dengan Ayle di dalam lift sudah menjadi pertanda akan ada kesialan yang datang menghampirinya hari ini. Ralat. Semenjak berhadapan dengan wanita ular itu, ketenangan Neil sudah merasa terganggu.
"Emang apa susahnya sih cuma terima kopi kayak begini doang? Ah elahh," kembali Ayle menyeletuk dengan cuek.
Neil tidak menjawab dan mengabaikan Ayle yang sepertinya sedang sibuk untuk memakai stiletto-nya kembali sambil menggerutu sendirian di sana. Cukup heran dengan sikap santainya yang biasa saja, ketika Neil sudah menaikkan suara hingga menghentak dinding, karena biasanya semua orang akan menciut jika melihatnya sudah naik pitam seperti itu.
"Jadi beneran nggak mau terima kopi ini?" tanya Ayle yang sudah berdiri menghadap Neil.
Sudah memakai stiletto-nya, Neil masih lebih tinggi satu kepala dari Ayle. Berhadapan dalam jarak yang cukup dekat, Neil baru mendapati ada yang berbeda dari penampilan wanita itu. Pakaian kerja yang ketat, kini sudah berganti menjadi casual style yang modis. Mengusung tema hitam putih dalam skinny pants hitam yang membalut pas di kaki jenjang, stiletto dengan warna senada, atasan v-line berwarna putih, disempurnakan dengan blazer hitam yang ditekuk hingga batas siku. Terlihat berkelas, tapi sayangnya tidak cukup cerdas dan pintar bagi Neil.
"Saya nggak suka sama orang yang minta maaf dengan kasih sesuatu," cetus Neil datar.
"Emangnya lu pikir kopi ini tuh apa?" balas Ayle heran.
"It's a bribe," sahut Neil langsung.
"Excuse me?"
Ting! Pintu lift berbunyi, dan Neil langsung menghela napas lega ketika tanda keselamatan yang sejak daritadi ditunggunya sudah terdengar. Segera melangkah tanpa ragu ketika pintu sudah terbuka, Neil berjalan dengan cepat untuk meninggalkan Ayle di belakang.
"Good morning, Pak Ganteng. Aing udah... heh? Ngapain si Cewek Barbar ke sini?" pekik Romeo dengan mata menyipit tajam ke arah belakang Neil.
Shit! Umpatnya dalam hati. Terlalu pagi untuk mendengar keributan yang tidak berarti, kepala Neil pening seketika. Melihat jika Romeo dan Ayle akan kembali bertengkar seperti waktu itu, Neil mempercepat langkah untuk menuju ke ruangannya.
"Stop! Stop! Stop! You dilarang ke sini lagi! Nggak kapok apa kalo udah dilaporin ke HRD? Mau banget dilaporin lagi, sampe you bener-bener dapet kartu merah?"
Omelan Romeo masih terdengar ketika Neil sudah hampir mencapai pintu ruangan. Tapi, cekalan kencang di pergelangan tangan sukses menahan langkahnya, hingga membuatnya segera menoleh dan mendapati Ayle yang melakukan itu.
"Kamu..."
Ayle mendengus kesal sambil memaksakan segelas kopi pada tangan Neil dan mau tidak mau, Neil mencengkeram gelas itu karena Ayle sudah melepasnya begitu saja.
"Kalo lu pikir cara gue minta maaf dengan kasih sesuatu adalah suap, you might get it wrong! Gua minta maaf itu pake niat dan usaha, salah satunya adalah kasih kopi yang katanya lu suka kopi! Kalo nggak karena ada poin wajib yang diminta sama HRD untuk dapetin maaf lu, gue nggak bakalan mau kayak cewek gila yang ngejer-ngejer kayak gini. Ganteng juga nggak, belagu malah iya!" ucap Ayle berang.
Dengan amarah yang sepertinya sudah menumpuk, Ayle menatap Neil dengan wajahnya yang memerah sambil mengepalkan dua tangan di sisi tubuh. Lucu, pikir Neil. Sepertinya dalam hidup wanita itu tidak pernah mendapatkan penolakan. Mungkin saja ini adalah pertama kalinya dan Neil sangat menikmati kemarahan yang dilemparkan wanita itu sekarang.
"Jadi, pemaksaan itu selalu ada dalam kamus hidup kamu?" tanya Neil kalem dan memberikan ekspresi yang semakin membuat Ayle mendidih.
"Bukan pemaksaan, tapi semangat! Sayangnya, semangat gue nggak ada gunanya buat lu," jawab Ayle sambil menaruh tas di bahu dan mendesis sinis pada Romeo. "Eh, Bencong! Lu diem aja, gue juga udah mau pergi dari sini."
Neil menyodorkan segelas kopi yang masih berada di genggamannya pada Ayle. "Ambil kopi ini dan pergi."
Ayle menggelengkan kepala sambil menatapnya sengit. "Terserah mau lu apain tuh kopi. Mau lu buang kayak kemarin, juga silakan. Gue nggak peduli."
"Hush, sana pergi!" usir Romeo tiba-tiba sambil menyemprotkan dinsifektan spray ke arah Ayle yang langsung menjerit histeris.
"Gila lu, Bencong! Lu kira gue covid apa?" sembur Ayle sambil mundur teratur untuk menghindari semprotan Romeo padanya.
"Yey lebih racun daripada covid!" balas Romeo yang masih terus menyemprot agar Ayle semakin menjauh.
Neil membiarkan Romeo mengatasi Ayle untuk keluar dari sana dan kembali pada tujuan utamanya, yaitu ruang kerjanya. Tidak lupa untuk segera mengunci karena tidak ingin ada yang menerobos masuk tiba-tiba. Cari aman, pikirnya.
Tidak sadar sudah menaruh segelas kopi pemberian Ayle di meja kerja, Neil segera duduk di kursi kebesaran, membuka dan menyalakan laptop, memulai untuk berkonsentrasi pada pekerjaan yang harus dikerjakannya di hari itu. Ada beberapa laporan yang harus diperiksa, juga dokumen yang membutuhkan tanda tangan untuk approval pengeluaran, dan pertemuan dengan relasi di jam makan siang nanti.
Saat dirinya sedang berkonsentrasi, tangannya spontan meraih sesuatu untuk diteguknya. Tanpa melihat apa yang diambil, Neil menyesap pelan dan matanya melebar ketika merasakan sesuatu yang tidak biasa. Dilihatnya apa yang ada di tangan, yang ternyata adalah segelas kopi pemberian Ayle. Damn!
"Boleh juga," gumamnya pelan.
Dia meneguk kembali, kali ini meneguk lebih banyak untuk menikmati aroma kopi yang selalu berhasil mengembalikan suasana hati, juga rasa pahit yang menyenangkan di lidah. Sedikit rasa manis hanya sekedar penambah, tidak terlalu berarti tapi cukup membuatnya ketagihan. Tidak terasa, segelas kopi itu habis karena Neil sibuk menikmatinya.
Dilihatnya sisi gelas yang terdapat checklist pengingat sesuai permintaan pelanggan dan mengingatnya dalam hati. Setidaknya, usaha Ayle dalam memberi sesuatu kali ini tidak terlalu mengecewakan ketimbang sandwich gosong sekitar dua hari lalu, atau bekal berupa nasi goreng yang pantas disebut sampah kemarin.
Ponselnya berbunyi saat Neil membuang gelas kopi dan segera mengambilnya untuk melihat penelepon dari layar ponsel. Renald Harjadi. Hmmm...
"Pagi," ucap Neil sebagai pembuka.
"Hey, Neil. Thought that you'll be very busy today, but guess what? I have something for ya," seru Renald di sebrang sana, yang selalu berbicara santai padanya dan tidak mempedulikan sikap kaku nan formal Neil.
"Straight to the point, Sir. I'm running of time," balas Neil datar.
Jika tadi pagi asistennya berulah, kali ini adalah atasannya yang selalu tidak tahu aturan kerja. Sebagai direktur pemasaran, sudah menjadi tugas bagi Renald untuk menarik pelanggan baru dalam caranya yang menjengkelkan. Entahlah. Jarang masuk kantor, tapi selalu berhasil mendapatkan klien baru dengan nilai kontrak besar. Tapi, pengeluaran yang dikeluarkan juga tidak kalah besarnya.
"Don't sir me, Neil. How long have we known each other, huh?" tukas Renald santai.
"Straight to the point, Sir!" tegas Neil.
Dia bisa mendengar Renald berdecak di sebrang sana. Meski orang itu terus berusaha untuk menjadi akrab dengannya, tapi itu tidak membuat Neil membuka pertemanan kepada orang yang semaunya dalam bekerja dan tidak disiplin seperti Renald.
"Gue berhasil dapetin kontrak Brintons, Man," ujar Renald bangga. "Dia akan jadi customer dengan pembelian terbesar di Sinergindo."
Tangan Neil otomatis bergerak pada mouse untuk segera mencari data yang disebutkan Renald. "Untuk project PLTU atau PLTA?"
"Dua-duanya!"
Alis Neil terangkat takjub, tidak mengerti tentang bagaimana cara Renald berhasil menggaet perusahaan besar sekelas Brintons yang sudah menjadi incaran mereka sejak setahun terakhir. "Both of them? Atau ada pembagian untuk kompetitor lainnya?"
"We're doing solo, Man."
"Are you fucking serious with me right now?"
"Are you fucking doubting me? Don't play nerd silly finance, Neil. Intinya, gue mau lu datengin principle Brintons yang udah landing dari semalem. Janji temu di TWG boutique, yang ada di Pacific Place. Mereka mau afternoon tea di sana, sekalian bahas kontrak sama lu."
"Kenapa harus gue?"
"Lu kan CFO-nya Sinergindo."
"Dan lu baru kasih tahu gue sekarang?"
"Gue capek karena baru landing juga semalem dan lupa ngabarin. Lu kirain gue main-main di UK selama seminggu? Bisa ajak principle Brintons untuk ikut balik Jakarta semalem aja, udah big effort banget."
"Tapi tetep harus ada pihak marketing untuk pelajari isi kontrak tentang mobilisasi, konstruksi, dan..,"
"Soal itu tenang aja, ada asisten gue," sela Renald cepat. "Gue udah kirim draft kontrak dari kemarin, dan dia udah tahu harus ngapain. Pokoknya, lu tinggal cek nilai kontrak, selebihnya biar dia yang urus."
"Tunggu! Yang lu maksud soal asisten lu itu...,"
"Ah, lu belum kenal asisten gue? Cakep, kan? Lumayan buat penyegaran. Bisa tembus ke Brintons, itu juga berkat dia," sela Renald lagi.
"What? Kontribusi macam apa yang bisa dia kasih sampe bisa tembus ke sana?" tanya Neil tidak percaya.
"Thanks to G-Meet yang kita lakuin tiga hari lalu bareng pihak Brintons. Ayle yang gue suruh ikutan, berhasil narik perhatian CEO-nya. And guess what? Itu bule naksir sama Ayle dan ngebet mau ketemuan nanti sore. Makanya lu cukup wakilin pihak direksi untuk tanda tangan kontrak, selebihnya biar Ayle yang urus aja."
Holy fucking shit! Neil langsung memutuskan telepon dan mendengus kasar ketika mengetahui alasan dibalik semua kemudahan yang terjadi. Selain karena masih ada hubungan relasi, ada satu alasan utama yang didapati Neil setelah perbincangan tadi. Bahwa Renald mempekerjakan Ayle untuk memanfaatkan kelebihan visual yang dimiliki wanita itu, demi menarik calon pelanggan dengan caranya yang kotor.
Apa bedanya gue kayak mucikari kalo nanti pergi meeting sama cewek ular itu? Maki Neil dalam hati.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Buat kamu pecinta kopi, boleh banget dicoba pesenan Ayle yg di atas.
Yes! Itu adalah pesenan minuman favorit aku yang kata suamiku itu ribet 🤣
Tapi kalo yang maag, jangan extra shot yah, coz kopinya udah cukup setrong 🤣
Alright, see you next week from
Ayle & Neil.
Tes ombak, apakah cerita ini cukup menghibur dan panas? 🤣
Next part goes to AndienWintarii
19.04.2020 (12.14 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top