Part. 3 - Revenge to the Frog
Ayle melangkahkan kaki lebih percaya diri daripada biasanya. Kakinya yang jenjang melangkah anggun dengan suara heels yang syahdu, membuat setiap pasang mata memandangnya takjub. Tidak ada dress yang hampir menunjukkan bokongnya hari ini. Ayle memilih kemeja putih berlengan panjang tembus pandang yang memamerkan bra hitam miliknya dan rok span sebatas lutut membalut tubuh bagian bawahnya secara ketat. Ayle tidak lagi memilih warna merah untuk bibirnya, hari ini dia memilih warna yang lebih gelap untuk menampilkan kesan eksotis.
Mantanya menyipit ketika melangkah ke lantai tempat di mana ruangan Neil berada. Bukan tanpa alasan dia datang ke wilayah laki-laki cupu itu dengan senang hati. Ada hal yang harus Ayle urus demi kepentingan bosnya dan demi kepentingannya sendiri.
Neil belum membayar tagihan lipstik Chanel Rogue Coco yang dia beli secara online sampai batas waktu pembayaran berakhir. Jangan bertanya bagaimana murkanya Ayle saat Neil sama sekali tidak menghiraukan note yang disisipkannya di bagian terdepan berkas-berkas reimbursement yang dikembalikan pada laki-laki itu lagi.
Ayle menggelengkan kepala, enggan mengakui bahwa laki-laki itu memang cukup mahir dalam menyentuh perempuan. Hanya saja, Ayle tidak dapat membayangkan perempuan macam apa yang sudah bermain dengan Neil selama ini sedangkan karakter aslinya lebih mirip seperti kodok berbisa.
Siapa yang akan bercinta dengan si kodok? Perempuan mana yang sudih menghisap kemaluan si kodok? Ah, memangnya kodok punya penis?Apakah ada perempuan yang tahan dengan laki-laki seperti itu, apa dia memang benar-benar mahir didalam bercinta?
Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dalam benak Ayle. Jika membayangkan bagaimana penampilan Neil yang cupu dan tidak fashionable selalu membuat Ayle merinding, geli. Di sisi lain saat membayangkan bagaimana cara Neil menciumnya, menyentuhnya, mengatakan hal-hal yang kasar padanya, tiba-tiba saja celana dalam Ayle basah.
Haruskah Ayle mengakui bahwa permainan singkatnya kemarin di tangga darurat dengan Neil merupakan permainan yang cukup mengasyikan?
Ayle menghela napasnya, jengah. Sambil menggigit bibir, dia membulatkan tekad, hari ini dia perlu bertemu dengan Neil langsung untuk menyelesaikan pekerjaannya dan menyelesaikan dendam terselubung yang dia susun di dalam hati satu persatu, menunggu dengan sabar untuk dibalaskan.
Ayle sama sekali tidak peduli betapa dia menggegerkan seantero penghuni lantai ini karena penampilannya yang seksi. Ayle hanya perlu melangkah sedikit lagi untuk menemukan siluman kodok bernama Neil, tapi sebelum kaki Ayle melangkah lebih jauh, seseorang menghalau jalannya.
“Ada yang bisa dibantu?”
Mata Ayle melihat ujung kaki sampai kepala orang itu, kesimpulan pertama, Ayle belum pernah melihatnya. "Neil ada di ruangannya?”
Laki-laki itu gemulai saat menggerakkan satu tangan menuju pintu ruangan Neil sebagai portal bagi Ayle. “Ada, tapi Pak Ganteng lagi sibuk, enggak mau diganggu sama siapa-siapa,” ucapnya sambil tersenyum.
“Gue butuh ketemu dia, bos gue minta sesuatu yang urgent.”
Laki-laki kemayu itu menggeleng, sambil memainkan satu jarinya di depan wajah. “Eike udah bilang barusan, Pak Ganteng belum bisa diganggu, yey ngerti gak sih?”
Sungguh, Ayle sama sekali tidak mengerti kenapa laki-laki di depannya menyebutkan Neil ganteng, apa matanya katarak? Dan kenapa pula Neil punya karyawan yang sama anehnya seperti dirinya?
“Mending you kembali aja nanti.”
“Lo siapa sih?” tanya Ayle ketus.
“Kenalin, hey, gue Romeo si jali-jali rasanya enak, suaranya merdu sekali. Asistennya Pak Ganteng.” Romeo mengulurkan tangannya seperti seorang puteri kerjaan kepada Ayle, tapi Ayle memilih tidak menanggapi uluran tangan itu.
“Bukannya asisten Neil itu Mba Erika?”
“Ihs, enggak sopan banget sih, lo anak baru ya di sindang?”
“Gue tetep mau ketemu Neil.”
“Pak Ganteng, jangan manggil nama doang. Lo pikir dia calon suami lo apa!”
“Kok lo nyolot sih, gue kan cuma mau ketemu atasan lo.”
Romeo menarik kembali tangannya sendiri yang semula diulurkan kepada Ayle. Dia menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang kuping. “Hey, wanita ular. Jangan-jangan lo yang namanya Ay, Ay itu ya? Yang katanya penggoda kaum adam.”
“Kalau iya, ada masalah apa lo?”
“Oh my God, dosa apa Pak Ganteng mesti ketemu sama lo? Nehi, nehi. Hari ini dia lagi sibuk dan badmood. Mending you kembali lagi nanti atau tomorrow sekalian.”
Ayle hanya memamerkan senyum dan mencoba menghela napas, berusaha sesabar mungkin menghadapi manusia gurita di depannya yang tidak bisa berdiri diam dan bergerak gagah. Seharusnya Romeo mengganti kemeja kerjanya dengan dress, penampilannya yang maskulin berbanding terbalik dengan kelakuannya.
Kalau bukan karena Pak Renald dan sensasi basah yang ditinggalkan Neil untuknya, Ayle yakin bahwa dia tidak punya alasan lain untuk kembali kepada Neil, meski itu hanya berpapasan saja.
Dengan berat hati Ayle memutar arah badannya dan meninggalkan manusia gurita yang sedang menjaga istana siluman kodok dengan senyuman puas karena sudah berhasil mengusirnya menjauh, tapi tidak ada kata kalah di dalam kamus Ayle karena dia yakin Tuhan bersama manusia-manusia berparas rupawan seperti dirinya.
Sebelum Ayle melangkah lebih jauh karena harus mengalah pada Romeo. Orang yang dicarinya tiba-tiba saja keluar dari ruangan.
“Romeo, bisa saya minta dokumen kemarin?”
Ayle yang mendengar suara Neil mendadak langsung membalikkan badannya lagi. Dia tersenyum saat mendapati laki-laki itu sedang menatap ke arahnya juga.
“Neil,” jerit Ayle yang membuat seluruh orang-orang melihat ke arahnya.
“Alemoooong, ngapain pake jejeritan macem kuntilanak sih.” Hardik Romeo sambil menutup kedua kupingnya sendiri.
Ayle hanya melirik sinis, kemudian kembali menatap ke arah Neil penuh rasa syukur. “Gue bisa minta tolong sama lo?”
“Saya sedang sibuk, kembali saja besok.”
“Hmmmmm, apa eike bilangkan. Yey sih gak dengerin.”
Pandangan Neil menatap ke arah Romeo lagi. “Tolong copy dokumen itu menjadi tiga lembar ya.”
“Siap, Pak Ganteng.”
Sebelum Neil kembali menutup pintu ruangannya, Ayle sudah berlari dan menabrak tubuh Neil lebih dulu. Semua yang dia lakukan kini jelas menarik rasa penasaran orang-orang. Membuat Neil merasa canggung dan risih karena kedekatan di antara mereka berdua bisa saja disalah artikan.
“Gue butuh ngomong sama lo, please, please, ini soal Pak Renald.”
“Saya sibuk, Ayle.”
“Please, ya Neil.” Ayle memohon dengan bersungguh-sungguh di hadapan Neil sambil menyatukan kedua tangannya.
Dengan terpaksa Neil mempersilahkan Ayle masuk ke ruang kerjanya dan langsung mendapatkan balasan berupa sentuhan lembut jari-jari tangan gadis itu di bagian terintimnya.
“Lagi lemes ya?” bisik Ayle sambil lalu di hadapan Neil.
Neil menghela napas dan menutup pintu, melihat Ayle yang kini justru memilih duduk bersandar di meja kerjanya. Kepalanya sudah pusing akibat pekerjaan yang menumpuk sejak tadi pagi dan Ayle datang menyentuh miliknya yang sedang dalam keadaan tidur. Membuatnya semakin frustasi.
"Ada apa?" tanya Neil ketus.
"Santai aja dong, buru-buru banget."
"Saya lagi sibuk, kalau enggak ada yang penting silahkan keluar."
"Iya, iya, oke. Pak Renald minta dikirimin voucher hotel di Inggris yang kerja sama dengan perusahaan kita."
"Kok mintanya sama saya. Lagi pula kita enggak pernah pake voucher untuk penginapan sekelas direktur. Kamu bisa langsung memesankan kamar untuk dia dan kasih tagihannya ke bawahan saya."
"Romeo si bencong itu?"
"Ya, dia salah satunya."
Ayle mendengus, dia tidak suka berurusan dengan Romeo.
"Enggak bisa langsung ke lo aja, gitu?"
Neil mengesampirkan kedua tangannya di pinggang dengan gaya bosan melihat kelakuan Ayle. Dia bergerak menuju rak buku yang berada di pojok ruangan, dekat dengan meja kerjanya tanpa memperdulikan Ayle. "Saya harus segera meeting keluar, kalau cuma itu yang kamu ingin sampaikan, kamu bisa langsung urus keperluanmu ke Romeo."
Ayle berjalan mendekati Neil dari belakang, matanya mencermati setiap detail tubuh laki-laki itu. Bagaimana tengkuknya sangat menggairahkan jika dipandang pada posisi ini. Mungkin benar kata Romeo, Neil memang memiliki sisi ganteng yang belum bisa dia lihat dan sengaja disembunyikan oleh laki-laki itu.
Neil yang merasa sedang diperhatikan, kini berbalik arah dan menatap wajah Ayle. "Pintu keluarnya di sana. Kenapa masih menunggu?"
Tidak ada jawaban dari gadis itu sampai dia bergerak mendekat dan melepaskan kaca mata Neil dengan lancang.
"Ini bagian terburuknya, dan ini," ucap Ayle sambil menggerakkan tangannya lagi, sengaja mengacak rambut Neil yang tersisir rapi.
Ayle mengulang memperhatikan Neil lebih cermat. "Ah, ini juga yang terburuk."
Ketika Ayle bergerak hendak menyentuh kerah kemejanya, Neil sudah lebih dulu menangkap tangan gadis itu dengan cepat. "Jangan memancing kemarahan saya, Ayle."
Ayle yang mendapatkan ancaman hanya menggerakkan kedua bahunya, tidak peduli. Dia menaruh kaca mata Neil di meja kerja laki-laki itu dan kembali ke hadapan Neil untuk mencondongkan tubuh. "Lo enggak kaya Romeo, kan? Jangan bilang lo biseksual, Neil?"
Neil bergerak, memiringkan kepalanya. "Hanya itu yang ada di otakmu?"
"Jawab aja, gue yakin banget kalau lo enggak homo, ya berarti lo biseksual." Ayle tertawa dan bertepuk tangan. Merasa menang karena telah berhasil membokar kedok Neil, manusia setengah siluman kodok.
"Kenapa kamu bisa ngomong begitu?"
Ayle tertawa, dia sengaja mendekatkan diri lebih lagi ke pada Neil. Kini tidak ada jarak di antara mereka berdua. Kedua tangan Ayle kini membelai wajah Neil yang tidak berhias kaca mata. Harus diakui Ayle, Neil memang lebih menarik seperti ini.
Hidungnya meruncing, bibirnya penuh, bulu matanya tebal dan lentik. Rahang Neil tegas dan ditumbuhi rambut tipis, dia mungkin lupa bercukur hari ini, tapi tidak masalah. Ayle meyakinkan diri, dia hanya ingin membalaskan dendamnya pada Neil yang semena-mena kemarin. Bukan untuk merasa takjub melihat perubahan yang signifikan pada wajah laki-laki itu. Neil tidak lebih dari siluman kodok baginya.
"Cuma laki-laki homo yang gak suka sama gue, tapi berhubung lo udah buktiin ternyata lo enggak secupu penampilan lo. Ya, berarti pilihan kedua yang bener."
Bibir Neil tertarik ke samping. Dia tersenyum, mengejek pola pikir Ayle yang dangkal.
"Kok lo senyum? Berarti bener dong kesimpulan gue."
"Saya enggak ngerti kenapa Pak Renald milih kamu sebagai sekertarisnya. Secara penampilan kamu emang oke, tapi ternyata otakmu enggak lebih kecil dari otak ayam."
Badan Ayle membeku, kedua tangannya yang semula menyentuh wajah Neil lembut, tiba-tiba berhenti. Untuk sesaat Neil berhasil menampar harga dirinya, tapi bukan Ayle jika dia menyerah begitu saja pada penghakiman orang lain atas dirinya sendiri.
Digerakkan kedua tangannya sampai turun ke arah dada Neil. Mata Ayle yang semula terlihat marah, kini melembutkan pandangannya. Ayle tersenyum tulus pada Neil seperti laki-laki itu telah bersikap baik terhadapnya dengan menyadarkan diri bahwa dia memang tidak lebih pintar dari ayam atau bahkan si kodok yang berdiri di hadapannya.
"Neil, sayang. Lo tau gak, kalau punya penis yang besar bukan jaminan bagi laki-laki jago di ranjang." Tanpa berpikir ulang, Ayle langsung mengayunkan satu kakinya sampai berhasil menendang aset milik Neil itu.
Neil melenguh kencang, dia berteriak, mengaduh dan Ayle hanya mundur beberapa langkah untuk melihat hasil kerjanya. "Ups, satu sama," ucap Ayle sambil menutup mulut, mendramatisir cara bicaranya.
"Bye, frog." Sebelum keluar ruangan Neil, Ayle memberikan kiss bye pada laki-laki itu yang dibalas dengan tatapan membunuh.
Siapa peduli, pikir Ayle. Neil yang memulai semuanya. Jadi dia juga harus menerima akibatnya. Kehilangan kemampuan untuk menegang beberapa hari adalah pembalasan yang setimpal.
Ketika Ayle bertemu Romeo yang hendak masuk ke dalam ruangan Neil, dia mengibaskan rambutnya sampai mengenai wajah Romeo.
"Aaaaaa, aposee yey, hah."
"Urus tuh aset bos lo."
Romeo tidak mengerti sebelum akhirnya mendengar jeritan Neil dari dalam dan Ayle yang tersenyum puas, melangkah menjauhinya.
"Pasti ada apa-apanya indang. Aduuuhh.." ucapnya histeris.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Ngilu banget keknya yah, Neil 🤣
18.04.2020 (15.04 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top