Part. 16 - Junk Food

Written by. Sheliu.

Dalam menjalani hidup, Neil cenderung sensitif, kritis, dan serius. Semua dilakukannya karena tidak ingin membiarkan orang lain memegang kendali atas hidupnya. Sekali-kali tidak akan. Oleh karena itu, jika ada yang berusaha mempermainkan atau mencari masalah dengannya, maka Neil akan membalasnya berkali-kali lipat.

Seperti sekarang misalnya. Ayle yang dengan angkuh memberinya perintah untuk mencari makan siang. Cih! Hanya karena sudah menjadi teman dalam berbagi kenikmatan, wanita ular itu berani berulah. Yang benar saja, pikirnya geram.

Jika Ayle masih memiliki sedikit harga diri untuk tidak mau dijadikan pesuruh olehnya, dengan bertingkah sebagai penggoda ulung yang mempermainkan hasratnya dengan cara yang murahan, maka Neil perlu memberi tindakan tegas atas tingkah Ayle yang sudah kelewat batas.

Neil menarik Ayle keluar dari kamar hotelnya dengan menyuruhnya untuk membawa satu bundle dokumen. Mereka melakukan pekerjaan dengan menuju lokasi untuk peninjauan proyek, dan melewatkan jam makan siang. Setelah melakukan survey selama satu jam, mereka kembali ke kota.

Neil mendapatkan rekomendasi dari pihak klien yang membawa mereka hari ini, bahwa ada sebuah kedai yang menyajikan hidangan laut yang cukup terkenal.

Pulau yang memiliki keindahan pantai, identik dengan hidangan lautnya yang segar dan lezat. Neil pun tergoda untuk mencobanya. Dan tentu saja, sesi makan tidak akan berjalan lancar jika Neil tidak berulah.

Dengan sengaja, Neil menyuruh Ayle mengupas kulit udang, membukakan cangkang kepiting, memisahkan daging dan tulang ikan untuk dirinya.

Tentu saja, Ayle tidak rela melakukannya dan memberi ekspresi kesal. Wajah Ayle yang memerah seolah menahan marah sudah memperjelas bahwa wanita itu tidak senang. Jika bukan karena adanya pihak klien yang ikut makan, bisa jadi, Ayle akan menusuk tangan Neil dengan garpu.

Tidak makan siang, tentu saja Neil kelaparan. Dan lagi, hidangan laut yang tersaji memang begitu lezat dan menggugah selera. Hanya Ayle yang tidak bisa menikmati makanan itu, selain memakan nasi dengan tumis kangkung dan sambal kecap.

“Kenapa nggak makan menu yang lain, Bu? Masa cuma makan kangkung?” tanya Pak Kabul, pihak klien yang mendampingi mereka selama berada di sana.

“Alergi, Pak,” jawab Ayle ramah.

Alis Neil terangkat ketika mendengar jawaban Ayle. Tidak percaya jika wanita itu bisa alergi terhadap makanan karena Ayle termasuk pemakan segalanya.

“Wah, sayang sekali. Tahu begitu, saya rekomendasiin makanan lain, Bu. Maaf saya nggak tahu,” ucap Pak Kabul dengan ekspresi menyesal.

Ayle terkekeh dan tampak santai. “Nggak apa-apa kok, Pak. Ketimbang hidup saya, kangkung sama sambel aja udah enak banget, Pak. Woles aja, oke?”

Pak Kabul mengulum senyum geli. “Bu Ayle bisa aja. Emang iya, coba kalau hidup bisa sesederhana kangkung dan sambel yang udah nikmat banget pake nasi panas, pasti nggak bakalan ada rasa pahit yah, Bu.”

“Yang pahit biar kopi tubruk aja, Pak,” balas Ayle sambil memamerkan cengiran lebarnya.

Obrolan ringan itu berlanjut sampai ke topik yang semakin tidak diperlukan. Baik Ayle dan Pak Kabul seperti menganggap Neil tidak ada. Mereka berdua saling melemparkan lelucon yang dinilai Neil sama sekali tidak lucu. Justru, terkesan saling melempar godaan yang membuat Neil mendengus pelan.

Dalam hatinya bertanya, apakah Ayle sering melakukan trik seperti itu untuk menarik minat para kliennya demi memperlancar proyek kerjasama? Sungguh sangat membuat murka sekali jika itu benar terjadi.

Untuk meluapkan kekesalannya, Neil mendorong sepiring kepiting asam pedas, kembali menyuruh Ayle membukakan cangkang dan mengorek daging untuknya. Ayle hanya berdecak tapi tetap melakukan, tidak membantah atau melempar aksi protesnya.

Sebenarnya, Neil sudah kenyang. Hanya saja, dia perlu membuat Ayle menutup mulutnya dengan tidak meneruskan obrolan konyol yang dilakukan oleh klien itu. Beberapa kali, Ayle meringis pelan tapi tetap melanjutkan, karena sepertinya membuka kepiting cukup menyulitkan. Yeah, Neil cukup menikmati kesusahan Ayle di sana.

Sesi makan itu berakhir, dimana Pak Kabul mengantar mereka kembali ke hotel. Saat mereka sudah berada di dalam lift berdua saja, Ayle langsung memukul bahu Neil dengan keras.

“Kenapa kamu pukul saya?” desis Neil sambil mengusap bahunya dan melotot galak pada Ayle.

“Lu pantes dipukul kayak gini!” balas Ayle sambil memukul bahu Neil bertubi-tubi.

Neil segera menangkap dua tangan Ayle dan mendorongnya pelan agar menjauh darinya. “Kenapa kamu pukul saya?”

“Kenapa gue harus pukul lu? Itu masih perlu lu tanya? Lu udah keterlaluan, Neil! Gue udah bilang kalo gue bukan kacung lu! Kalo nggak karena ada Pak Kabul, gue udah pengen sambit lu pake capit kepiting tadi!’ sembur Ayle geram.

“Keterlaluan? Justru harusnya ucapan itu balik ke kamu. Sendiri yang keterlaluan, tapi balikin orang,” sahut Neil tanpa emosi.

Ayle menggeram kesal dan mengentakkan kaki dengan kasar. “Lu tuh jadi manusia paling nggak punya hati! Kesel lama-lama! Udahlah, terserah lu aja! Capek gue ladeninnya.”

Neil hanya menyeringai sinis dan mengangkat bahu dengan santai. “Saya udah bilang kalau jangan cari masalah atau memancing kemarahan saya.”

“Lu pikir gue yang cari masalah dan bikin marah duluan? Lu pernah ngaca gak sih, Neil? Oh, gue lupa! Lu nggak pernah ngaca karena buat perhatiin penampilan lu aja nggak ada! Yang lu peduliin, cuma batangan lu aja! Selain nggak punya hati, lu itu maniak!” sahut Ayle sengit.

“Sekali lagi kamu menghina, maka...”

“Gue bukan menghina, Neil! Gue ngomong apa adanya! Menurut lu, apa yang gue lakuin selalu salah dan dianggap mulai duluan. Tapi, sebenarnya lu duluan yang bikin kesel. Gue balas, itu wajar dong. Namanya juga self defense. Kalo bukan diri sendiri yang bela, siapa yang mau bela gue?” sela Ayle tajam.

“Kamu...”

“Udah, stop!” sela Ayle lagi, kali ini dengan mengarahkan satu tangan ke arahnya. “Gue nggak mau denger apa-apa lagi! Gue yang salah, dan lu yang selalu bener. Kalo lu yang salah, balik lagi ke lu yang selalu bener dan gue yang selalu salah. Puas?”

Ting! Pintu lift berbunyi dan Ayle segera keluar tanpa mempedulikan Neil lagi. Neil ikut keluar dengan perasaan yang membuatnya tidak nyaman. Bukan karena ocehan Ayle barusan, karena bagi Neil, itu bukan masalah.

Yang menjadi masalahnya saat ini adalah telapak tangan Ayle yang tadi terarah padanya. Sebab, dia melihat ada banyak goresan merah di jari-jarinya. Luka kecil yang mungkin didapatinya dari membukakan cangkang kepiting untuknya.

Neil hanya mengawasi Ayle yang semakin menjauh dan menghilang di ujung koridor karena sudah masuk ke dalam kamarnya sendiri. Perasaan bersalah mulai menjalar dan itu membuat Neil tidak nyaman.

Neil kembali ke kamar dan segera membersihkan diri. Dia masih berusaha mencari penyegaran dengan merokok di beranda dan terdiam selama beberapa saat. Bukan membaik, tapi rasa bersalah itu semakin membesar. Neil pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan pergi mencari sesuatu.

Sebuah plang makanan siap saji terlihat dan berada tidak jauh dari posisi hotel. Dengan berjalan kaki, Neil pergi ke sana dan membeli beberapa menu. Entah apa yang dilakukan saat ini, karena setidaknya, dia sudah berusaha.

Setelah mendapatkan pesanannya dalam satu kantong plastik besar, Neil kembali ke hotel tapi tidak menuju ke kamarnya, melainkan ke kamar Ayle.

Mungkin ada sekitar beberapa menit, pintu baru terbuka untuknya, dan tampak Ayle baru saja selesai mandi karena masih memakai jubah mandi dan kepala yang terbungkus handuk di sana. 

“Mau apa lagi? Gue lagi nggak...”

“Saya bawa makanan,” sela Neil cepat, lalu menghambur masuk ke dalam tanpa dipersilakan, hingga membuat Ayle terpaksa mundur untuk memberi jalan.

“Gue nggak laper,” balas Ayle sambil menutup pintu dan Neil menaruh sekantung belanjaannya di meja.

“Tadi cuma makan kangkung, itu sama sekali nggak kenyang,” sahut Neil sambil berbalik dan melihat Ayle sedang melepas handuk yang membungkus rambutnya yang sudah setengah kering.

“Gue udah cukup kenyang sama ocehan dan kelakuan lu yang nyebelin,” ucap Ayle ketus sambil menatapnya sinis.

“Kamu masih marah?” tanya Neil kemudian.

“Gue nggak marah,” jawab Ayle langsung.

“Kamu masih marah,” putus Neil.

“Terserah lu aja. Mau ngapain ke sini? Gue nggak punya tenaga lebih buat adu bacot sama lu,” ucap Ayle sambil melengos dan berjalan melewati Neil, tapi Neil segera mencengkeram lengannya untuk berhenti.

Tanpa berkata apa-apa, Neil menarik Ayle untuk berciuman. Awalnya, ada penolakan dari Ayle, tapi itu tidak berlangsung lama karena hisapan Neil sukses membuat Ayle membalas ciumannya.

Ikatan jubah mandi yang dikenakan Ayle ditarik Neil dan langsung menampilkan tubuh polosnya di sana. Satu tangan Neil sudah bekerja untuk menjamah satu payudara Ayle, meremasnya pelan, dan mencubit kecil putingnya.

“Ah,” desah Ayle pelan.

“Saya minta maaf karena udah ngerjain kamu, tapi saya bisa gitu karena kamu yang mulai lebih dulu tadi siang,” bisik Neil di sela-sela kesibukannya menggigit bibir bawah Ayle.

“Kalo nggak niat minta maaf, mendingan nggak usah,” balas Ayle sambil mendorong Neil untuk melepas ciuman dan sentuhannya. “Gue lebih suka orang yang nggak minta maaf dan emang nunjukkin kalo benci sama gue.”

“Saya nggak benci kamu,” sahut Neil tegas.

Ayle tertawa hambar sambil mengikat kembali jubah mandinya. “Nggak benci tapi terus menghina gue. I see, Neil. Lu nggak perlu nggak enakan sama gue. Hinaan, cacian, dan kebencian udah jadi makanan gue sehari-hari. Apa yang lu lakuin, udah biasa buat gue.”

Ada nada pahit dalam suara Ayle saat mengatakannya. Neil bisa merasakan itu. Dia menatap Ayle dengan seksama, lalu menghela napas dan duduk di satu kursi yang ada di dekatnya.

“Saya kayak gini bukan karena saya benci sama kamu. Jujur aja, saya sama sekali nggak bisa menganggap wanita itu berharga. Selama saya punya yang, apa yang saya mau, bisa saya dapatkan,” ujar Neil dengan suara tertahan.

Ayle tersenyum hambar. “Anak sultan yang tahunya menilai sesuatu dengan uang. Asal lu tahu, gue nggak bisa dibeli dengan kekayaan lu. Apa lu pikir gue pake duit bayaran lu buat foya-foya?”

“Saya tahu kamu nggak kayak gitu,” jawab Neil kalem.

“Kalo lu udah tahu, tapi kenapa masih semena-mena sama gue? Lu anggap gue kayak cewek panggilan yang bisa lu suruh-suruh! Kita sama-sama tahu kalo kita punya aturan, tapi lu selalu melanggar!”

“Saya juga tahu,” balas Neil sambil menghela napas lelah. “Maaf, saya juga nggak tahu gimana caranya perlakuin kamu, selain melihat dari segi keuntungan lewat uang yang udah saya keluarkan.”

“A-Apa?” tanya Ayle kaget. Shock mungkin.

Neil mengusap kepalanya dengan perasaan yang tidak nyaman, juga keringat dingin yang membasahi keningnya. Karena setiap kali membicarakan hal ini, setiap kali itulah rasa jijik itu muncul.

“Wanita yang melahirkan saya adalah wanita yang egois. Dia sama sekali nggak peduli dengan saya. Katanya, gara-gara melahirkan saya, dia jadi terlihat jelek, gemuk, dan merusak bentuk tubuhnya. Jadi, saat itu saya sering ditinggal. Cuma ada suster yang merawat dan memperhatikan saya, selebihnya wanita itu hanya tahu pulang subuh dan tidur hingga siang. Kalau ada ayah saya, dia berlagak jadi ibu yang perhatian demi mendapatkan uang tambahan,” cerita Neil dengan kenangan pahit yang sedang terekam ulang di pikirannya sekarang.

Ayle tertegun dan menatap Neil tidak percaya. Dia tidak membalas, tapi memberi perhatian pada Neil yang tampak berat dalam memberi penjelasan.

“Bahkan, saya pernah melihat dia bermain dengan pria lain dan melakukannya di kamar saya. Itu terjadi saat saya masih SD. Sejak itu, saya pikir semua wanita sama aja. Sama sekali nggak berharga dan bisa dibeli dengan uang dan seks,” lanjut Neil dengan suara mengetat.

“Neil,” panggil Ayle yang langsung duduk di pangkuannya dan memeluk dengan erat. “Jangan dilanjutin, gue udah paham. Please, jangan dilanjutin.”

Neil mengerjap bingung ketika tubuh Ayle terguncang. Dia menoleh dan mendapati Ayle sedang menangis sekarang. “Kenapa kamu nangis? Apa saya ada salah lagi sama kamu?”

“Nggak, lu nggak salah. Gue yang kebawa emosi denger cerita lu. Thanks udah mau jelasin, tapi jangan lanjutin lagi,” balas Ayle sambil terisak.

Neil segera mengusap kedua pipi Ayle yang basah dan memeluknya erat. Keningnya berkerut ketika menyadari bahwa untuk pertama kalinya, dia bisa menceritakan kenangan terburuk dalam hidupnya kepada orang lain.

Orangtuanya bercerai karena mereka begitu egois dalam mementingkan diri mereka sendiri. Ibunya yang tidur dengan pria yang berbeda di setiap malam, dan ayahnya yang memiliki wanita simpanan. Kesemua hal itu, disaksikan oleh Neil dari kecil hingga remaja. Sampai akhirnya, kakeknya mengambil Neil dan mengasuhnya hingga akhir hayat.

Lucunya, kenapa Ayle sampai harus menangis? Neil bahkan tidak memiliki kesedihan itu, melainkan amarah dan dendam. Baginya, cinta dan pernikahan adalah omong kosong.

“Kalau begitu, jangan menangis. Kamu nggak pantas cengeng kayak gini,” ujar Neil sambil mengusap punggung Ayle dengan lembut.

“Makanya jangan bikin baper,” ucap Ayle serak lalu menegakkan tubuh untuk mengusap wajahnya. “Gue jadi tambah jelek karena belum pake serum, krim malam, ditambah nangis kayak gini. Sori aja kalo bikin lu ilfil.”

Neil tersenyum sambil membelai rambut Ayle yang sudah kering dan sedikit kusut. “Kamu tetap menarik.”

Kemudian, Neil meraih satu tangan Ayle, membuka telapak tangannya, lalu menciumnya di sana. Dia mendongak untuk menatap Ayle dengan dalam. "Maaf soal ini. Tangan kamu jadi luka."

"Nggak apa-apa. Luka kayak gini nggak seberapa," balas Ayle dengan suara bergumam.

Tangan besar Neil kini turun untuk membelai paha Ayle dan semakin naik ke atas, dimana mulutnya sudah mengecup ringan di leher Ayle.

“Neil, lu ke sini buat kasih gue makan, kan? Makan aja yuk, gue jadi laper. Lu bawa apa? Ayam goreng?” ucap Ayle sambil berusaha menghindar dari cumbuan Neil dan menarik turun tangan Neil.

Neil tidak membiarkan Ayle beranjak dari pangkuannya dengan menyesap kulit leher dan membelai titik sensitif Ayle dengan berani.

“Ah, Neil,” erang Ayle.

“Sebelum makan ayam yang itu, saya mau makan ayam yang ini dulu.”



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Monmaap, jadinya kentang 🤣
Biar cara menikmati ayam yang itu, si AndienWintarii aja yang kerjain 🙈

Terima kasih sudah bersabar untuk menunggu cerita ini.
Kami berusaha untuk bisa update tepat waktu atau senggaknya sesuai jadwal.

See you next weekend.
I purple you 💜



14.06.2020 (13.07 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top