Part. 11 - The sadden girl

Written by. AndienWintarii

Ayle menatap seluruh bagian apartemen milik Neil. Laki-laki itu punya segala yang dia tidak punya. Persis seperti dugaan Ayle sebelum ini, bahwa Neil sengaja menyembunyikan siapa jati dirinya. Ayle tidak berharap suatu hari dia akan menemukan alasan di balik tindakan Neil. Baginya, semua orang yang memiliki uang lebih, di dalam kantong mereka adalah hal yang paling utama. Ayle tidak ingin repot-repot mengenal mereka lebih jauh. Membangun perasaan yang akan melukainya sendiri.

Orang-orang beruang itu tidak akan peduli pada apa yang tidak membuat mereka tertarik, begitu juga Ayle. Dia meyakini tubuhnya mampu memikat Neil secara keseluruhan. Laki-laki itu sama seperti laki-laki pada umumnya yang pernah dia layani. Berkantong tebal, membutuhkan sex, membutuhkan sex, membutuhkan sex dan membutuhkan sex.

Untung baginya sebelum ini sudah meminum pil yang membuatnya akan terus aman bekerja tanpa resiko. Dia tidak bisa mempercayai laki-laki. Dia tidak akan mau mempercayai mereka masih punya hati untuk perempuan seperti dirinya. Jika sudah terjun bebas dalam dunia protitusi tidak akan seorang pun yang mau menjamin masa depannya selain diri Ayle sendiri.

Ayle meringis ngilu ketika dia meraba sudut bibir. Pikirannya kembali mengawang pada penolakan Neil saat dia memeluk laki-laki itu dari arah belakang. Padahal dia hanya ingin berterimakasih, atau sekedar memiliki satu detik keakraban yang nyata di dalam hubungan mereka.

"Dasar kodok," ucapnya lirih sebelum berjalan menuju sofa di ruang tv dalam keadaan lunglai.

Membaringkan tubuh, meluruskan kaki, menaruh satu lengannya di kening, merasakan betapa terasa hancur tubuhnya sekarang dan matanya menatap langit-langit ruangan yang seakan jauh dari jangkauan, lalu dia memejamkan mata. Sofa tempatnya berbaring memberikan kenyamanan lebih. Ayle meringis lagi, kali ini karena hawa panas yang tiba-tiba memenuhi matanya, membuat kepalanya pening, pusing. Sial, dia seharusnya tidak selemah ini. Untuk apa dia menangis, Ayle meruntuk dalam hati.

Kehidupan tidak pernah berpihak pada orang-orang seperti dirinya. Kotor, berdosa, miskin, dan kesepian. Dia sudah menjadi jalang, menaruh tubuhnya persis di atas atau di bawah tubuh laki-laki yang mampu membayar, memberikan alasan untuk perutnya merasa kenyang, jika sedikit beruntung, kesenangannya dalam mengoleksi barang-barang branded akan terpenuhi.

Tetapi rasanya tetap melelahkan terus menerus seperti ini.

Ayle melepas seluruh air matanya yang semula dia tahan semenjak kedatangan ayahnya ke kantor. Dia rindu ibunya, rindu berada pada situasi yang membuatnya merasa aman dan tenang tanpa rasa khawatir. Kini dia sendiri, tidak ada lagi Neil yang akan menganggu. Menatapnya dengan dingin dan tidak peduli pada apa yang dia rasakan. Laki-laki itu sudah pergi lagi ke kantor. Neil hanya peduli tentang kesenangan yang dapat dia terima. Tentang bagaimana seharusnya dia dilayani, dipuja, diberikan kebebasan semaunya untuk menerjang masuk dalam desir gairah yang menenggelamkan mereka berdua.

"Ah, brengsek, kenapa harus mikir ke arah Neil, sih." Ayle menghapus air matanya yang berduyung-duyung jatuh ke pipi.

"Kenapa dengan saya?"

Ayle terlonjak dari posisi berbaringnya, terkejut. "Fuck." Dia memaki kencang ketika melihat Neil berdiri di dekat kakinya. Darimana datangnya laki-laki itu. Bahkan derap langkah kakinya saja tidak didengar Ayle.

Sedangkan Neil kemudian melempar sesuatu pada gadis itu. "Pakai baju ini, saya berubah pikiran, saya perlu istirahat."

"Fuck you." Ayle mengatai Neil tanpa bersuara, tapi jauh di dalam hatinya merasa puas laki-laki itu paham apa yang dia ucapkan.

Tangan Neil mengendurkan dasinya, lalu menatap ke arah Ayle setengah hati. "Kamu sudah pastikan minum pil agar tidak hamil?"

"Omo, belum," jawabnya santai dengan wajah terkejut yang dibuat-buat.

"Ayle."

"What's up, bro?"

"Saya serius."

"Gue juga serius. Kenapa lo mesti worry sekarang, sedangkan tadi enggak," ucap Ayle sambil melepas pakaiannya sendiri yang sudah kusut dan menggantikannya dengan pakaian pemberian Neil.

"Kamu harus minum pil itu terus, saya nggak mau repot-repot pakai kondom."

Ayle melirik Neil sinis. "Tapi lo mau repot-repot bawa gue ke sini buat ngewe. Uluh-uluh, sangat berdedikasi tinggi ya anda dengan integritas dalam perlendiran."

"Kamu juga menikmatinya."

"Ha ha ha, ya, of course, frog. Kalau gue bilang nggak menikmati, nggak mungkin lo bayar gue."

"Jangan munafik, Ayle. Saya tau, baru kali ini kamu merasa fun saat melayani pelangganmu. Biasanya mungkin kamu akan pura-pura merasa terpuaskan untuk dapat tip lebih."

Bibir Ayle terkatup rapat, dia membenarkan letak bajunya tanpa menimpali perkataan Neil yang mencubit relung hati. Kemudian dia berdiri dan menatap laki-laki itu sesaat. Tinggi badannya hanya sebatas dagu Neil, butuh waktu bagi Ayle menaikan pandangan sampai menemukan kedua manik mata Neil yang selalu membuatnya kesal.

"Lo cuma laki-laki kaya yang mau gampang dapetin kepuasan seksual. Lo emang bisa bayar badan gue, Neil. Tapi lo nggak berhak ngungkit tentang kehidupan gue atau gimana caranya gue dapet uang, bahkan kalau dengan menjilat penis menjadi salah satunya. Sama persis seperti keinginan lo untuk membuat gue tetap menjaga rahasia lo, jadi tolong sadar dengan batasan privasi di antara kita. Nggak semua omong ko ...."

Neil menarik tubuh Ayle sampai badan mereka saling bertabrakan. Bibirnya mencium bibir gadis itu sebelum kalimat yang diucapkan Ayle selesai. Kecupannya dalam, menuntut dan bergairah. Sedangkan Ayle berusaha menjauhkan diri tanpa membalas ciuman Neil yang membabi-buta kepadanya, tapi Neil tidak peduli dengan usaha Ayle yang menggeliat menolak perlakuan kasar darinya.

Neil dengan mudah mengunci tubuh Ayle hingga gadis itu tidak berkutik. Lidah Neil bergerak memaksa Ayle membalas ciumannya, sadar tidak ditemukan balasan dari Ayle. Ciuman Neil turun ke leher jenjang gadis itu, menjilatinya, mengecupnya dengan kasar, mengigit sedikit kulitnya, terus mendesak Ayle agar bersuara merintih atau memohon dengan mendamba.

"Le ... Le ... Neil!"

Akhirnya Ayle mampu mengeluarkan suaranya di sela-sela ciuman Neil yang membuatnya mati kutu. Neil yang mendengar namanya disebut, tidak berusaha berhenti atau meringankan sentuhannya pada tubuh Ayle. Telapak tangannya justru menangkup payudara Ayle sambil meremasnya, membuat Ayle menarik napas, menahan gejolak di dada.

"Lepasin gue, nggak, Neil!" teriaknya pada Neil.

"Saya nggak mau."

"Gue hitung sampai tiga, atau lo bakal nyesel."

Neil berhenti, dia menatap mata Ayle, mereka bertatapan dalam sengit. Tidak ada yang mau mengalah atau terlihat lemah.

"Kamu mau nendang saya lagi?"

"Lebih dari itu, jadi, lepasin gue sekarang. Gue udah sel ...."

Neil tertawa ketika melihat wajah Ayle lebih lama. Kemudian melepaskan cengkraman tangannya di tubuh gadis itu. Mengurangi kedekatan yang intim di antara mereka.

Sambil tidak percaya, Ayle hanya mampu berdiri dan melihat Neil menggelengkan kepala. Wajahnya menampilkan kesan geli sekaligus tidak percaya. Entah apa yang menggelitik pikiran laki-laki itu, tapi jelas ekspresinya mampu menyulut kemarahan Ayle.

"Kenapa lo ketawa?!" bentak Ayle.

Neil hanya menggeleng saja sambil berjalan ke dapur, mengambil gelas dan air putih. Tidak berusaha menjawab pertanyaan Ayle.

"Gue tanya, kenapa lo ketawa?"

Sebelum menjawab pertanyaan Ayle, Neil menaruh gelasnya dan menatap gadis itu sesaat dari kejauhan. "Kamu terlalu naif, Ayle."

"Peduli apa lo kalau gue naif?" Ayle masih saja sewot mendengar ucapan Neil, padahal dia sendiri yang ingin Neil menjawab pertanyaannya.

"Kamu berlaga seperti perawan. Suci, rapuh, mudah tergoda, tapi menolak buat bilang iya."

"Asal lo tau aja, gue juga pernah perawan."

Bibir Neil menukik ke bawah. "Pasti, dan sayangnya kamu terlalu bodoh buat memberikannya pada orang lain."

Ayle menghentikan usahanya memperbaiki penampilan. Dia tau, tidak akan ada kata sudah di setiap pertengkarannya dengan Neil. Tetapi Ayle masih saja terkejut bahwa perkataan Neil lebih dari sekedar mampu menyakiti hatinya, tapi yang lebih tidak Ayle percaya. Dia justru tidak pernah ingin menyudahi pertengkaran mereka.

"Lo nggak tau apa-apa, frog. Jadi ingat tentang privasi di antara kita. Gue nggak akan ganggu kehidupan pribadi lo, lo juga seharusnya nggak ganggu kehidupan pribadi gue."

"Deal. Jadi umur berapa kamu mulai jual diri?"

Ayle mendesah, kesal. Dia mengambil tas'nya dan memakai sepatu heels'nya. "Gue mau pulang, thank you for everything, frog. See you."

"Satu langkah lagi kamu jalan, saya bisa bongkar rahasia kamu di kantor."

Perkataan Neil jelas membuat Ayle geram. Dia berhenti dan tidak mengambil langkah lagi. Padahal laki-laki itu mengatakan kalimatnya dengan santai dan tidak terdengar seperti mengancam.

"Jadi, mulai umur berapa kamu menjual diri?" tanya ulang Neil.

Ayle membalikan badan untuk bisa menatap laki-laki itu. Neil masih menampilkan kesan culunnya, tapi jauh di dalam diri Neil, Ayle yakin ada iblis yang bersemayam bukan hanya sekedar siluman. Sedikit perasaan menyesal merayapi hati Ayle karena menerima tawarannya. Jika bukan karena keadaan yang mendesak, sudah pasti dia akan menolak tawaran itu.

"Limabelas tahun." Ayle menggenggam erat tas tangannya untuk menyalurkan rasa marah atau rasa malunya.

"Laki-laki yang memukulmu itu, ayahmu?"

"Ya."

Neil berjalan mendekati Ayle yang masih berdiri diam. Mata mereka terpaku satu sama lain tanpa suara. Sampai Neil berhenti di depan Ayle, tangan laki-laki itu kembali memainkan anak-anak rambut Ayle dengan gerakan santai. Seolah-olah dengan begitu kemarahan Ayle padanya akan mereda, tapi Neil tidak peduli jika Ayle bahkan sekarang marah padanya atau akan memakannya mentah-mentah.

"Limabelas tahun. Terlalu dini, Ayle."

"Mau lo sebenernya apa sih?"

"Saya hanya memastikan saja, tidak membeli kucing dalam karung."

"Lo punya uang, lo tinggal cari orang buat cari tau tentang seluruh hidup gue. Kalau lo mau, lo bisa ngelakuin itu, Neil. Lo bisa kan nggak perlu memojokan gue kaya gini."

"Kamu merasa terpojok? Kenapa?"

Ayle menelan ludah ketika mendapati tatapan Neil tidak menunjukan emosi. Laki-laki itu pandai memainkan perannya. "Udahlah, gue mau pulang."

"Kamu tetap di sini, sampai saya yang nyuruh kamu pulang."

"Neil, gue bukan kacung lo," ucap Ayle sambil menepis tangan Neil.

"Pastikan ayahmu tidak tau mengenai hubungan kita."

"Tanpa lo suruh, gue juga udah lakuin. Nggak usah takut, gue nggak sebodoh itu. Jadi gue boleh pulang?"

"Belum."

"Neil, perjanjian kita cuma dua jam kerja."

"Sekali sesi, right?"

Ayle menghela napas, dia tidak lagi menganggap ini semua lucu. Rasa tidak nyaman di dekat Neil semakin menguat jika laki-laki itu menatapnya dengan intens dan serius. Seolah-olah dirinya sedang diadili, tapi siapa Neil? Dia bahkan belum mengenalnya lebih dari sebulan.

"Saya mau tau lebih tentang diri kamu."

"Buat apa? Buat memastikan gue bukan kucing garong? Udahlah Neil. Gue nggak akan minta lebih dari perjanjian kita. Gue juga bukan cewe bermulut ember yang akan ngumbar rahasia lo. Hidup kita nggak perlu tercampur meski kita saling berbagi kasur. Oke? Gue mau pulang."

"Apa perlu saya pakai kekerasan untuk membuat kamu menurut?"

"Apa perlu gue bilang kalau apa pun yang lo lakuin, gue tetep nggak peduli. Minggir!"

Saat Ayle melangkah, Neil menarik kerah bajunya. Membuat gadis itu kembali ke tempat semula dia berdiri. "Saya lapar, belum makan siang, kamu buatkan saya makanan."

"Si kampret, gue tuh bukan kacung lo."

"Ayle."

"Apa manggil-manggil?!"

"Sekarang."

Ayle bergerak menjauhkan diri dari Neil. Dia mengangkat kedua tangan ke atas sebagai tanda menyerah. Lalu bergegas ke dapur, lebih cepat lebih baik pikirnya. Percuma berdebat dengan Neil. Seluruh uang yang dipunya laki-laki itu jelas telah berbicara lebih kencang daripada mulutnya.

Tetapi belum sempat Ayle berpikir untuk membuatkan makan siang apa untuk Neil, suara Neil kembali terdengar.

"Lepas baju kamu."

Ayle berputar arah. "Neil, lo belum pernah dilempar pake wajan ya?"

"Saya mau lihat kamu masak pake bra saja."

"Aaaaaaaa lama-lama gue sunatin juga lo."

"Saya sudah sunat, memangnya kamu nggak bisa lihat bedanya?"

"Perlu banget diperjelas? Ih, kenapa sih gue bisa nerima tawaran lo."

"Jangan tanya ke saya, itu kan keputusanmu sendiri," jawab Neil menahan tawanya.

Dengan terpaksa Ayle melepas baju yang dia pakai. Membiarkan kedua payudaranya terekspost, bra hitam yang Ayle kenakan jelas membuat Neil tersenyum puas mendapatkan tontonan yang mengasyikan di tengah jeda jam kerja. Perubahan pikiran yang dia lakukan sebelumnya memang tidak salah langkah.

Neil tidak pernah ingin mencampuri urusan orang lain. Tetapi di dalam diri Ayle yang menyebalkan, gadis itu seperti rerumputan yang menolak untuk mati ketika sudah diinjak. Menyimpan banyak sekali rahasia yang menarik. Neil tidak memikirkan sebelumnya bahwa Ayle menyimpan sesuatu yang membuatnya terlihat luar biasa lebih dari apa yang tubuhnya bisa tampilkan.

Jadi di sinilah Neil, memilih duduk di bar kecil yang tersedia pada apartemennya. Mengamati Ayle yang sibuk membuatkan sesuatu, meski Neil tidak yakin bahwa Ayle bisa memasak, tapi melihat gadis itu berdiri di dapur miliknya hanya mengenakan bra hitam dan rok span ketat yang berwarna senada. Sudah berhasil meluluskan salah satu fantasi terliarnya.

Luka-luka yang ada di wajah Ayle sama sekali tidak melunturkan kecantikannya. Neil berpikir untuk membuat Ayle tinggal di sini sampai besok, tapi belum dia sempat memikirkan hal lebih. Ayle berteriak dan menjatuhkan pisau yang dia pegang.

"Ah, sialan."

Neil buru-buru turun dari kursi tinggi yang menopang tubuhnya. Mendekati Ayle yang berlompat-lompat seperti anak kecil sambil memegang salah satu jari tangannya, meringis, menahan sakit.

"Awww, jangan pegang-pegang."

Ayle berusaha merebut kembali tangannya yang direbut paksa oleh Neil. Laki-laki itu tidak mengalah, tapi malah justru memasukan jari Ayle ke dalam mulutnya sendiri. Ayle hanya mampu melebarkan mata ketika menatap apa yang sedang dilakukan Neil. Laki-laki itu menghisap darahnya.

Mata Neil melirik ke arah Ayle yang menatapnya balik. Neil hanya menarik senyumnya dan tetap menghisap habis darah Ayle sampai yakin bahwa luka gadis itu tidak akan mengeluarkan darah lagi.

"Lain kali hati-hati."

Ayle menarik tangannya cepat. "Jangan seenaknya ngisep-ngisep jari orang."

"Saya cuma berniat membantu."

"Kalau lo yang nolongin gue, gue bawaannya curiga."

"Kenapa perlu curiga?"

"Udahlah, Neil. Sana pergi, ngapain kek. Jauh-jauh sana."

Neil hanya tersenyum melihat wajah frustasi Ayle. Dia tau hari ini menjadi hari yang berat bagi gadis itu, tapi tidak masalah. Masih banyak waktu bagi Neil untuk menambah beban pikiran Ayle. Dia masih memiliki daftar panjang untuk bisa menyiksa Ayle.

"Ayle."

"Apa lagi, Neil?" tanya Ayle lelah.

"Dari mana kamu dapat bekas luka di dadamu itu?"

Ayle menatap Neil, pertanyaan laki-laki itu berhasil sudah membuatnya kalah.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Nggak ngerti apa yang dipikirkan Andiean untuk tulis sesedih ini 😢
Aku kan jadi nggak tega.

See you tomorrow with Neil 😊


16.05.2020 (20.09 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top