05 | Headquarters

Total keseluruhan keluarga yang tergabung dalam trip wisata laut tersebut ada 15 orang, termasuk Mees dan Kareela. Anak kecil atau bayi, serta orang lanjut usia memilih untuk bersantai di vila saja sembari menunggu anak-anak mereka pulang. Kebanyakan yang ikut itu para orang tua okem (contohnya Mees) dan juga anak-anaknya. Mereka menyewa jasa guide sekaligus kapal yang tersedia di pulau Siladen, tempat vila mereka berada untuk menuju ke beberapa spot menyelam terbaik di laut Bunaken.

Lagi-lagi ini pengalaman pertama Kareela mencoba wisata bawah laut. Dia sudah berganti baju, mengenakan swimsuit bewarna hitam. Selagi kapal mulai melaju, dirinya sibuk mengoleskan sunblock di kulitnya yang terekspos, seperti; kaki, tangan dan wajah. Sedangkan Mees sibuk menyisir rambut panjang gadis itu, mengepangnya agar tidak acak-acakan.

Beberapa saudara dan keponakan yang melihat seorang Mees—si preman serampangan—tiba-tiba berubah jadi Papa yang baik dan siaga, cukup membuat mereka keheranan, sekaligus takjub. Lantaran pria itu bisa tobat sedikit, dan bisa lebih bertanggung jawab dengan hidupnya.

“Tch, tch, tch! Yang udah jadi Papah siaga emang beda! Kapan tuh, istrinya nyusul?” celetuk Tante Dina. Tak lama disusul oleh tawa beberapa orang.

Kareela cuma tersenyum malu, sedangkan Mees tidak begitu mengacuhkannya. Tapi tak lama pria itu membalas, bersamaan dengan dirinya yang selesai mengikat kepangan di rambut Kareela. “Kapan-kapan!”

Suara gelak tawa pun kembali terdengar.

Selama perjalanan, mereka sibuk merekam jernihnya air laut di bawah sana, atau langit cerah yang terdapat beberapa segerombolan burung camar muncul terbang beriringan dengan kapal yang melaju. Kareela sendiri sibuk mengambil foto dan video dari ponsel maupun kamera digital pemberian ayahnya. Sesekali foto bersama dengan Lenora atau sepupu-sepupunya yang lain. Hingga kemudian mereka sampai di salah satu spot menyelam.

Kapal akhirnya benar-benar berhenti, dan menurunkan jangkar di lokasi yang aman. Di bawah sana terlihat begitu jernih, air laut yang biru transparan menampilkan deretan terumbu karang, yang lagi-lagi ini pertama kalinya Kareela melihat seperti ini secara langsung. Dulu dia hanya bisa melihat orang naik perahu, berenang di pantai yang bagus, sampai menyelam di dasar laut melihat keindahan terumbu karang serta ikan-ikan cantik sebatas melalui layar ponselnya saja. Tapi sekarang dia merasakannya langsung. Saking antusias dan merasa tidak percaya, gadis itu sampai tidak memperdulikan guide yang sedang menjelaskan bagaimana cara menggunakan pelampung, kaki katak, kacamata, serta selang snorkel. Alih-alih dia justru sibuk menyentuh dan memainkan air laut di pinggir perahu.

Alhasil ketika sesi menyelam dimulai, dia kesulitan untuk memakai alat tersebut. Beruntung Mees sigap membantu memakaikannya.

“Gak usah pake pelampung, lah! Cetek, palingan cuma 6 meter!” komen Mees. Melempar pelampung yang hendak dikenakan Kareela.

Gadis itu melotot. “Om—Pah! Aku gak bisa berenang!”

“Gak akan tenggelam Ela, pasti bakal ngapung! Nanti Papa pegangin!”

Tadinya Kareela mau protes, tapi batal saat orang-orang sudah lebih dulu melompat dari kapal, menyelam dengan luwes dan menikmati keindahan alam di bawah laut sana. Sebenarnya, Kareela bisa berenang. Bahkan nilai berenangnya saat ujian praktek saat SMP dulu nomor 3 paling teratas. Tapi lagi-lagi, ini pertama kalinya Kareela berenang di laut lepas, dia takut ini akan berbeda dengan di kolam renang yang maksimal kedalamannya hanya 3 meter.

Tapi karena melihat Lenora dan sepupu lainnya terlihat santai melompat, Kareela akhirnya meraih tangan Mees dan terjun ke dalam air. Gadis itu refleks menggerakkan kakinya, melakukan water trap. Sejenak dia merasa ini lebih mudah dari yang dia bayangkan. Mungkin karena bantuan kaki katak yang dia kenakan.

“Itu kamu bisa berenang!” kata Mees.

“Tapi aku gak pernah berenang langsung di laut, Pah!”

“Sama aja! Malah lebih enak berenang di laut langsung!” balas Mees. “Turunin kacamatanya, pake selangnya!” Mees mengeratkan kacamata gadis itu. Lalu setelahnya menarik tangannya untuk mulai menyelam, membawa tubuh gadis itu sedikit tenggelam di bawah air untuk melihat apa yang ada di bawah sana.

Dan itu benar-benar menakjubkan. Kareela dibuat terpana selama beberapa detik. Inikah yang namanya terumbu karang?

Saking terpesonanya, gadis itu sampai lupa mengambil napas dari selang di mulutnya. Dirinya terus bergerak, mengikuti Om-nya yang menarik tangannya ke tengah. Ke lokasi yang lebih sepi dan padat akan hamparan terumbu karang serta ikan-ikan kecil di bawah sana.

Kareela senang sekali. Ini salah satu pengalaman menakjubkan dalam hidupnya. Tapi sayangnya, kenapa justru dadanya terasa sedikit sakit saat melihat keindahan tersebut. Ada apa ini?

* * *

Disukai oleh Sanialazzl dan 27 lainnya

Luv.ella 🌊🌅

Komentar dinonaktifkan

Liburan terus berlanjut hingga 2 hari ke depan. Bertepatan di hari Minggu, tepatnya di siang hari, anggota keluarga besar Sombaya kembali ke kota tempat tinggal mereka masing-masing. Ada yang ke Jakarta, Denpasar, Surabaya, Singapura,  Sydney dah yang paling jauh itu di Abu Dhabi. Mereka berpisah di Bandara, karena memang memakai maskapai yang berbeda. Khusus untuk Mees, Kareela dan keluarga Om Thomas, mereka pulang ke Bogor.

Tubuh Kareela terasa lelah. Tapi pikirannya cukup fresh karena sudah kenyang liburan 3 hari di pulau Siladen dan juga kota Manado. Sampai-sampai dia lupa ada tugas yang harus dia susul akibat tidak masuk di hari Jumat, dan dia juga lupa kalau ada ulangan bahasa Sunda di hari Senin.

Jujur, bahasa Sunda Kareela sangat payah. Dia bukan orang Sunda, dia juga besar di budaya Betawi. Itu sebabnya, tiap ada pelajaran tersebut, dia persis seperti orang tolol yang tidak bisa membedakan apa itu kecap dan kécap. Bahkan nilai tengah semester di pelajaran tersebut hanya menyentuh angka 50, di saat pelajaran lain di atas 85. Mees yang melihat nilainya yang begitu jomplang bersungut-sungut. Beruntung pria itu paham kalau Kareela bukan asli gadis Priangan.

Makanya Kareela mau menangis saat melihat soal ulangan harian di hari Senin pagi itu. Jumlahnya 10 soal, tapi essay. Kalau begini jadinya, lebih Kareela ngerjain 30 soal persamaan logaritma dan trigonometri!

Alhasil setelah bel berbunyi menunjukkan jam istirahat pertama, Kareela terduduk lemas di kursinya. Dia tidak tahu apa yang dia tulis, semoga saja Pak Heru memaklumi bocah bule ini yang tidak bisa bahasa daerah.

Coba kalian kasih tahu Kareela tips caranya cepat belajar bahasa Sunda! Om-nya sih, bisa bahasa tersebut. Tapi kata Kak Justin, Kak Ivar dan Kak Rizky jenis bahasa yang digunakan Om-nya itu sangat kasar, tipikal bahasa yang biasa digunakan oleh orang-orang pasar dan terminal.

“Udah, La. Lupain aja. Palingan remedial! Nanti kita bakal disuruh bikin tugas makalah. Selesai!” Sania berceletuk, sembari merapihkan mejanya.

Gampang sih ngomongnya. Tapi Kareela ini sedikit strict soal nilai. Rasanya gregetan kalau ada angka di bawah 80 di rapotnya.

“Eh iya, lu abis liburan yak kemarin?” Sania menoel bahunya.

“Acara keluarga,” koreksinya. Tiba-tiba teringat kalau dia membawa banyak oleh-oleh untuk teman-teman sekelasnya.

Gadis itu mengeluarkan tote bag berisi puluhan bungkus klappertaart ke atas meja, kemudian memanggil teman-temannya. “Guys, mau klappertaart, gak?”

Tak lama, teman-temannya kompak mendatangi mejanya. Mengambil masing-masing satu dan tak lupa mengucapkan terima kasih. Bahkan tak sedikit banyak yang basa-basi seperti; “Abis dari mana, La?”

“Abis dari rumah Kakek buyut, di Manado,” jawab Kareela ramah.

Tapi tiba-tiba salah seorang siswi muncul sembari berceletuk, “Oh? Ke Manado doang?”

Itu Clea. Siswi yang duduk dua banjar dari mejanya. Gadis itu menghampirinya bersama teman sebangkunya. Kareela hanya tersenyum sembari menyodorkan klappertaart padanya.

“Gue kira lu liburan ke Lombok, Bali, atau Banda Neira?”

Kareela menggeleng. “Gue gak liburan. Ada acara keluarga besar di Manado. Kebetulan kakek punya rumah di deket pantai.”

“Yee, nuduh aje lu!” Kevin muncul, lalu duduk di meja Kareela sembari memakan klappertaart-nya. “Bilang aja iri, kagak punya keluarga jauh kayak Ella!” lanjutnya. Kevin ini selain nyaris jadi boti, dia juga kemusuhan sama Clea. Soalnya gadis itu nyebelin, suka centil sana-sini, dan menurut Kevin itu annoying. Mungkin karena dia (nyaris) boti, jadi merasa tersaing.

“Gue kan, cuma nanya. Lagian gue liat story-lu isinya pantai semua. Kalau beneran liburan, gue ganti keterangan izin lu di hari Jumat.”

Kareela mengernyit. Apa gadis itu sedang memojokkannya? Kevin, Sania, dan Silvi yang mendengar hal tersebut tidak terima, hendak protes, namun beruntung langsung ditahan oleh Kareela. Gadis itu punya banyak pengalaman di kondisi seperti ini. Dia sudah sering dirundung, dan hebatnya masih bisa bertahan hingga sekarang. Jadi baginya, ini masalah yang sepele. Tidak perlu pakai urat.

“Beneran acara keluarga kok, Clea. Kalau gak percaya, ya udah. Di-alfa-in aja. Gak apa-apa kok, sekali-kali.” Gadis itu tersenyum.

Sialnya, itu malah membuat Clea tersinggung. Alhasil gadis itu melengos, menarik Rina—temen sebangkunya—keluar kelas. Tidak menghiraukan klappertaart yang sudah Kareela sodorkan untuknya.

“Dih, gak jelas! Buat gue aja sini kuenya!” Kevin merebut kue tersebut. “Btw, nonton Santet Segoro Pitu, yuk!”

* * *

Tidak. Kareela menolak ajakan Kevin.

Bukan karena dia tidak suka film horor, juga bukan karena dia penakut. Tapi Kareela ada janji sama Kak Justin untuk pergi ke markas utama Neoptolemus.

Lokasinya masih di Sentul. Di suatu tempat bernama Plaza Amsterdam, berupa deretan ruko dengan arsitektur khas serta warna-warna bangunan yang beragam, seperti bangunan iconic yang ada di ibu kota negara kincir angin tersebut. Setelah mobil Justin terparkir di depan sebuah studio tato, Kareela langsung masuk begitu saja menyapa kasir dan tattoo artist yang sedang melayani pelanggan.

“Sore, Mbak Santi!”

Si kasir, Mbak Santi, terkejut dengan kehadirannya. “Eh, Ella? Kamu mau ke mana?”

Kareela tidak menghentikan langkahnya, justru dia main masuk saja ke dalam ruangan yang sebenarnya adalah lift menuju lantai bawah tanah. Kata Kak Justin dia tunggu di bawah saja, karburator mobilnya sepertinya bermasalah. Pria itu ingin mengeceknya dahulu.

“Mau ke bawah, Mbak.”

“Eh, tapi Pak Mees—”

Telat. Kareela sudah lebih dulu masuk ke dalam lift, dan turun ke lantai bawah tanah, letak lokasi markas utama Neoptolemus berada. Luasnya nyaris 1000 meter persegi yang terdiri dari beberapa sekat ruangan para staf-staf yang bekerja di bidang-bidang mereka masing-masing. Yang Kareela tahu secara garis besar, sindikat ilegal milik Papa angkatnya itu ada banyak jenisnya. Ada pembuatan dokumen aspal, jasa tentara bayaran, jual beli senjata ilegal, hingga yang terakhir Kareela tahu adalah usaha judi dan pinjaman online yang akhir-akhir ini sedang marak terjadi.

Gadis itu tahu, semua yang dia sebutan barusan tidak ada yang bisa Kareela ambil pelajaran baiknya. Semua itu adalah hal yang ilegal, ditentang oleh hukum, dibenci oleh orang-orang baik. Tapi percayalah, semakin kamu tahu, semakin kamu paham bahwa terkadang yang melindungi hukum lebih sampah dibandingkan sampah itu sendiri. Kareela tidak akan pernah mau bilang Om-nya adalah pria yang bersih dari tindak kejahatan. Tapi berkat Om-nya lah, tenaga lapangan untuk rakyat proletar terbuka. Pria itu merekrut banyak orang yang merupakan korban dari bobroknya sistem pemerintah. Mereka berdiri, dan setia bersama Neoptolemus untuk mensejahterakan kehidupannya yang sayangnya pemerintah tidak becus untuk mewujudkannya.

Kareela tahu, tidak seharusnya paham-paham anarkis ini dia tanamkan dalam dirinya, di saat sekolah dan guru Pendidikan Pancasila jor-joran menyampaikan pelajaran mengenai paham ideologi negara, yang nyatanya di lapangan, mereka—orang-orang di balik dapur pemerintah—justru adalah pelaku yang merusak ideologi itu sendiri.

Pertanyaannya, siapa yang harus disalahkan? 

“Loh Ela?”

Tak sengaja, Kareela bertemu Om Ragnar yang sedang bikin kopi di dapur.

Kebetulan isi botol minum Kareela sudah habis, dia ingin isi ulang di dispenser yang ada di dapur terlebih dahulu. “Halo, Om.”

“Mau ketemu Papa, bukan?” tanya pria itu sembari mengaduk gelas kopinya.

“Enggak, Om. Aku mau ke latihan boxing sama Kak Justin.”

“Wuidiiih, keren tuh! Mau coba latihan nembak juga, gak?“ Tiba-tiba pria itu menawarkan. “Kebetulan shooting range lagi sering kosong, tuh. Jarang ada yang make.”

Terdengar menarik, sih. Tapi kayaknya tidak dulu deh. Kareela masih sedikit trauma megang pistol sejak kejadian di Nivartana. Apa lagi itu bertepatan dengan kematian ayahnya.

Gadis itu menggeleng. “Gak dulu deh, Om. Nanti aja.”

Ragnar mengangguk-angguk. “Oke. Kalau mau latihan, kabarin Om aja ya. Nanti Om kasih kelas menembak khusus buat kamu.”

“Hehe. Makasih, Om.”

Percakapan itu tersudahi ketika botol minum Kareela akhirnya terisi kembali. Gadis itu pun pamit dan lanjut menuju boxing studio.

Sesampainya di sana, dia cukup terkejut ketika melihat ada beberapa orang di dalam (sekitar 4 orang), yang di mana salah satunya ada Om Mandra. Pria itu hanya mengenakan celana boxing dan bertelanjang dada. Kedua tangannya ditutupi oleh sarung tangan boxing bewarna hitam. Peluh membasahi seluruh tubuhnya yang tengah memukul dan menendang samsak di hadapannya dengan menggebu-gebu.

Kareela dibuat terdiam. Atensinya bukannya tertuju pada Papa angkatnya—yang kalau kata Kevin adalah tipikal Papa hot masa kini—melainkan tertuju pada lantai yang terdapat genangan darah yang mengucur dari samsak yang sedang Om-nya pukul. Merasa ada seseorang yang datang, Mees segera menghentikan aktivitasnya dan mengernyit ketika mendapati Kareela ada di sana.

Kenapa gadis itu bisa ada di sini? Bukankah dia sudah bilang ke Santi untuk mengatakan dia sedang tidak bisa diganggu oleh siapapun, meskipun itu adalah putrinya.

“Bos!”

Belum sempat Mees bertanya, Justin muncul dan ikut terkejut melihat kondisi yang ada di dalam.

Mees mendengkus sembari memutar bola matanya jengah. “Gue bilang, jemput anak gue pulang ke apartemen! Bukan ngajak dia ke sini!”

“So—sori, Bos! Gue bisa jelasin!” Justin tahu betul, suasana hati pria itu sedang tidak baik-baik saja. “Tadi itu—”

Kalimat Justin terpotong ketika Mees mengangkat tangannya. Memintanya untuk berhenti berbicara. Setelahnya dia menoleh ke arah 3 orang yang berdiri di pinggir untuk mengangkut samsak tersebut.

Kareela sendiri masih terdiam. Dia masih memperhatikan samsak tersebut yang terus meneteskan darah. Saat benda itu diturunkan, tidak sengaja resleting busanya terbuka, dan sebuah tangan muncul dari dalam. Gadis itu tersentak, menahan napas, dan cepat-cepat menunduk sembari meremas samping roknya.

Mees tahu gadis itu melihat-nya. Ini adalah salah satu proses eksekusi para musuh atau pengkhianat yang biasa Mees lakukan. Barusan, tubuh Dimas yang sekarat dipaksakan untuk masuk ke dalam samsak, yang nantinya akan pria itu  pukul, berkali-kali, tentunya dengan kencang, hingga orang di dalamnya tidak sadarkan diri—atau mungkin bisa juga langsung mati.

Pria itu menghela napas kasar, akhirnya melepas sarung tangan boxing-nya, meraih handuk, dan mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat. “Bawa keluar!” perintahnya pada 3 orang tersebut.

Lalu kemudian dia menunjuk Justin. “Dan lu, Tin! Bersihin lantainya!”

Tidak ada yang membantah. Sekalipun Justin yang bermulut lemes pun akan tunduk ketika Mees sedang dalam mode alpha. Pria itu menarik Kareela untuk melipir ke ruangan sebelah.

“Kamu ngapain ke sini?! Om kan udah bilang langsung pulang! Jangan mampir ke sini dulu, soalnya orang-orang lagi pada sibuk!”

Gadis itu akhirnya tersadar, mendongak menatap Mees. “Maaf, Om ... Aku tadi niatnya mau coba latihan boxing.”

“Buat apa?!” tanya Mees spontan.

Kareela bingung ingin jawab apa. Dia juga tidak tahu kenapa?

Mees terdiam. Tiba-tiba tersadar barusan nada kalimatnya sedikit meninggi. Alhasil buru-buru dia mengatur kembali ekspresinya. “Oke ... Gak masalah kamu mau latihan boxing atau apalah itu. Tapi kenapa gak ngomong dulu sama, Om?”

Ragu-ragu Kareela menjawab, “Om-nya gak nawarin. Kebetulan tadi kak Justin yang tiba-tiba nawarin. Yaudah aku iyain!”

Dasar Si Kucrut!

Bisa-bisanya nyari kesempatan dalam kesempitan sama anaknya!

“Om aja yang ajarin!” putusnya. “Sana, minta baju ganti sama Santi. Om tunggu di sini.”

“Boleh, Om?!”

“Boleh, asal sama Om!”

* * *

Tubuh Kareela terasa sakit semua. Terutama di bagian kaki dan lengan. Padahal latihan perdananya barusan hanya sekedar latihan fisik. Namun bagi dirinya yang hanya melakukan olahraga setiap pelajaran olahraga saja, tentu otot-ototnya merasa syok.

Sore itu, sehabis adzan magrib, mereka sampai di apartemen. Dengan langkah yang sedikit gontai, Kareela menyeret kakinya menuju kamarnya.

“Langsung mandi, Ela. Jangan entar-entar!” kata Mees.

“Iyaaa.”

Kareela menjawabnya sembari menutup pintu kamarnya. Gadis itu menaruh tasnya sembarangan. Tanpa pria itu kasih tahu, dia sudah akan segera mandi. Tubuhnya kucel, lengket, kalau tidak dia semprotkan parfum di sekujur tubuhnya, mungkin dia sudah bau keringat. Alhasil tak lama dia melucuti seluruh pakaiannya dan masuk ke kamar mandi.

30 menit kemudian akhirnya dia selesai. Sejenak setelah berpakaian, dia merapihkan dahulu ranjang dan barang-barang yang berserakan di lantai, sebelum akhirnya dia dipanggil Mees untuk makan malam.

Salah satu hal yang tidak pernah Kareela duga adalah, kalau Om-nya itu pandai memasak. Sesuatu yang tidak sinkron dengan penampilannya yang identik dengan pria yang sering menghabiskan waktu di lapangan, alih-alih justru lihai dalam memotong sayuran, menumis bumbu, hingga menyiapkan menu bekal sekolahnya tiap hari.

Kata pria itu, memasak adalah basic skill dalam hidup. Siapapun (perempuan ataupun laki-laki) harus bisa masak walau hanya membuat masakan yang simpel.

“Oleh-olehnya habis?” tanya Mees, membuka pembicaraan mereka di meja makan.

Kareela mengangguk sembari menyendoki makanannya. Klappertaart yang dia bawa ke sekolah sudah ludes dia berikan kepada teman-temannya. 

“Om dapet laporan dari Ivar, katanya kamu buat akun Instagram. Bener begitu?” tanyanya.

Gadis itu terdiam sejenak. Sebelum akhirnya mengangguk. Semenjak dirinya resmi menjadi Arabella, semua jejak digital tentangnya juga dihapus tanpa sisa. Beruntung Kareela bukan tipikal orang yang terlalu eksis di dunia maya, sehingga tidak sulit baginya untuk lenyap tanpa disadari. “Iya, Om.”

“Kamu tahu kan, hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam penggunaan media sosial?”

Mendengarnya, Kareela mengangguk. “Tahu, Om,” jawabnya. “Gak boleh posting yang bersifat pribadi. Kayak keluarga, lokasi, dan juga wajah. Terus akunnya juga kudu di-privasi”

Good.” Mees menganggukkan kepalanya. “Siapa aja yang berteman sama kamu?”

“Cuma ada 40 followers, Om. Semuanya temen deket aku di kelas, sama sepupu-sepupu dari keluarga Om.” Kareela kembali menyuapkan makanannya, mengunyahnya dan menelannya sejenak. “Sisanya aku follow banyak akun artis sama selebgram.”

“Hm. Hati-hati juga dalam berinteraksi, Ela! Jangan asal komen di postingan orang yang gak kamu kenal. Medsos itu sarangnya kejahatan, kamu harus hati-hati!” pesan Mees.

“Iya, Om.”

Mees meneguk air putih di gelasnya. “Hari Sabtu, ada undangan makan malam dari keluarga Lokapala. Kamu mau ikut?” Lagi, pria itu mengganti topik pembicaraan.

Kareela mengernyit. Lokapala? Bukankah itu salah satu keluarga Sembilan Naga?

“Dalam rangka apa, Om?”

“Hanya makan malam biasa. Sombaya dan Lokapala punya hubungan yang harmonis sejak dulu.”

Cukup lama Kareela memikirkannya. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya gadis itu mendengar tentang keluarga Sembilan Naga. Tapi membayangkan akan satu ruangan dengan salah satu dari mereka, cukup membuatnya takut. Pengalamannya berhadapan dengan dua  dari sembilan anggota keluarga konglomerat tersebut berakhir buruk. Mereka itu bukan sembarang orang. Walau dia cukup yakin Om-nya bisa dikatakan bukan sembarang orang juga, tapi gadis itu sadar diri kalau dia belum yakin punya nyali untuk berdiri di samping Papa angkatnya dengan menyandang nama Leander maupun Sombaya.

Alhasil, Kareela menolak. “Gak deh, Om. Aku gak terbiasa makan malam mewah kayak begitu.”

Untungnya Mees cukup paham. Pria itu tidak memaksa. Tapi tak lama dia kembali menawarkan, “Kalo hari Minggu, mau ikut Om ke Surya Kencana, gak? Om mau ketemu orang sekalian belanja.”

Baiklah. Kalau itu, baru Kareela mau.

*

Pukul 11 malam. Kamarnya sudah gelap total. Hanya menyisakan cahaya dari layar laptopnya. Gadis itu duduk bersandar di headboard ranjang. Selimut menutupi seluruh kakinya, dan tangannya sibuk mengetik sesuatu di badan email yang bertujuan pada email berantas namakan; ‘[email protected]

Dear, Mr. Linthorst.

This is Marianne, your cousin’s daughter. I sincerely apologize for taking so long to reach out to you. It has been really difficult trying to discover more about my father, especially his family—I had no clue where to start. But since I found this bunch of mails, I decided to contact you.

Shiloh passed away two months ago. I just wanted to let you know, even though you haven’t sent any emails in over ten years. I hope this email is still active because I believe you might have changed your number.

I really hope you read this message. Thank you.

Best regards,
Marianne Pattynama

Merasa sudah yakin dengan ketikannya, serta mengecek ulang grammar-nya, akhirnya gadis itu menekan enter.

Sending ...

Sent.

* * *

Note:

Fyi, ya. 9 Naga Iyu sebenarnya orang-orang keturunan Chinese semua. Gue improvisasi aja gitu di sini, biar keliatan Nusantara banget wkwkwk.

Lumayan gacor dikit nih, gue ngetiknya. Kemaren malem beres nyaris setengah.

Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sincerely, Nanda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top