L.I.F.E (12)
Ali menuruni anak tangga dengan dandanan rapi ala mafia, lengkap dengan dasi kupu-kupu dan jas hitam, rambut klimis licin dan bersih. Selvi yang menunggu di bawah sudah rapi dengan dandanan seksi, gaun hitam panjang, belahan tinggi mengekspose paha putih dan mulusnya, bagian perut longgar menyamarkan perutnya yang mulai terlihat membuncit, bagian dada dengan belahan rendah, tanpa lengan, siap untuk pergi ke pesta pernikahan.
"Mbak Bie, ayo!" teriak Selvi memanggil Ebie.
Ali memutar bola matanya karena dalam situasi apa pun Selvi tidak pernah meninggalkan pelayan seksi itu. Walau Ebie sangat pintar berdandan menyesuaikan tempat yang akan dikunjungi, bagi Ali, dia sangat mengganggu. Bayangkan saja, Ebie selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan saat di tempat umum dengan lancang menggandeng tangan Ali, sehingga Ali tidak bisa menggoda wanita-wanita cantik dan seksi karena mereka berpikir Ebie adalah kekasih Ali.
Berbeda dengan Ali, Selvi justru suka dengan sikap Ebie yang seperti itu. Berarti Ali tidak bisa sembarangan memilih wanita-wanita sesuka hatinya. Selvi selalu over protektif kepada kakak satu-satunya itu. Dia tidak ingin Ali mendapat wanita yang salah. Selvi ingin yang terbaik untuk kakaknya.
"I'm coming, Non." Ebie berlari kecil menghampiri Ali dan Selvi yang sudah menunggunya.
Kali ini Ebie mengenakan mini dress hitam mengkilat terlihat elegan berbahan satin dengan rok bertingkat dan panjang dibagian belakangnya. Saat berdandan seperti ini, Ebie tidak terlihat seperti pelayan. Setelah Ebie siap, mereka berangkat untuk ke pesta itu.
***
Prilly duduk di depan meja rias, menatap wajahnya yang sudah cantik dengan make up. Dalam hatinya, dia menahan sakit yang luar biasa. Ingatannya selalu tertuju kepada Ali. Sudah berhari-hari sejak kejadian di taman itu Ali dan Prilly lost contact. Prilly sebenarnya sangat tersiksa dengan keadaan ini. Entah sejak kapan rasa cintanya kepada Wisnu memudar. Kenyamanan saat di samping Wisnu kini sudah tidak dirasakan Prilly lagi. Widya masuk ke kamar.
"Sayang, sudah siap? Wisnu sudah menunggu di bawah." Widya menghampiri Prilly, memegang kedua bahunya menatap pantulan wajah putrinya di cermin. "Jangan pernah sesali apa yang sudah kamu putuskan. Kamu memilih meninggalkan pria itu dan memilih untuk bersama Wisnu."
"Ali, Ma, nama pria itu Ali. Dia punya nama, Ma," protes Prilly yang tidak terima jika Widya selalu menyebut Ali hanya dengan panggilan 'pria itu'.
"Terserah kamu. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu."
"Terbaik untuk Mama bukan berarti terbaik untuk Ily," sahut Prilly membalikan badan dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya.
"Kamu menyesal memilih Wisnu? Kamu yang memutuskan ..."
"Tapi Mama yang memintaku meninggalkan Ali."
"Karena Mama tidak mau menanggung malu. Kamu sudah lama menjalin hubungan dengan Wisnu, jika Mama sama Papa tidak segera menikahkan kalian, Mama takut kalian akan berbuat di luar batas orang pacaran!"
Prilly terdiam, memegangi dadanya yang terasa sesak. Dia mengingat apa yang sudah dilakukan bersama Ali, tetapi tidak pernah dia lakukan bersama Wisnu. Menemani Wisnu tidur saja tidak pernah, tapi apa yang dia lakukan saat bersama Ali. Dia rela Ali mencumbunya, dia bersedia menemani Ali tidur walau tanpa melakukan hal yang di luar batas.
"Sudahlah, jangan bahas pria itu lagi. Pusing kepala Mama kalau kita berdebat soal pria itu, tidak akan ada habisnya. Karena kamu selalu membelanya." Widya membantu Prilly berdiri.
Prilly menatap kosong ke bawah, melihat lantai kamarnya yang terbuat dari keramik marmer. Widya mendongakan wajah Prilly lalu menghapus air matanya.
"Jangan buang air matamu untuk pria yang tidak jelas!" Widya membenahi make up Prilly yang tadi luntur karena air mata.
"Dia pria yang jelas, Ma." Masih saja Prilly menjawab dan membela Ali.
Widya menghela napas dalam, berpura-pura tidak mendengar perkataan Prilly. Setelah siap, Widya menggandeng Prilly keluar dari kamar.
"Pasang senyum," bisik Widya pelan saat mereka menjadi pusat perhatian banyak tamu undangan.
Wisnu tersenyum manis melihat Prilly cantik dengan gaun mini-midi. Model gaun dengan potongan yang manis dan simpel. Model gaun dengan rok bawah mengembang dan bertingkat. Gaun mini yang hanya sepanjang paha, melihatkan kulit putih dan kaki jenjang pramugari primadona di maskapai itu.
Prilly memasang senyum palsu agar tidak mengecewakan Wisnu dan para tamu undangan. Dia perlahan menuruni tangga, berjalan anggun dan disambut Wisnu dengan senyuman menawan, sayang tidak membuat hati Prilly bergetar lagi. Wisnu mencium tangan Prilly lembut, justru rasanya Prilly ingin menangis. Kepalanya lagi-lagi teringat dengan Ali.
"Kamu sangat cantik, Lovely," puji Wisnu hanya dibalas senyum oleh Prilly. Senyum yang menyimpan luka.
***
Di dalam pesta yang sangat meriah dan mewah Ali selalu diawasi Ebie dan Selvi. Mata mereka tidak pernah berpaling dari Ali, membuat pergerakan Ali sangat terbatas. Ali tersenyum saat melihat wanita seksi berjalan anggun seperti model yang sedang beraksi di catwalk, mengenakan gaun hitam panjang, dengan belahan tinggi hingga bagian pahanya, dadanya menyembul montok memamerkan buah dadanya yang besar. Pantatnya yang semok menungging, lengkuk tubuhnya seperti gitar Spanyol. Wanita itu berjalan tersenyum miring menggoda Ali.
"Halo, Babè," sapa wanita itu dengan suara seksi, yang langsung mendesak di tubuh kekar Ali.
Tanpa menunggu lama sifat don juan Ali pun muncul, membuat Selvi dan Ebie bosan. Ali merengkuh pinggang wanita itu hingga bagian depan tubuh mereka menempel. Ali melihat dengan jelas belahan dada wanita itu.
"Kamu terlihat cantik dan seksi malam ini, Sayang," puji Ali yang mulai mengeluarkan jurus manisnya.
"Jangan menggodaku, Kapten Ali. Aku tidak ingin terperangkap dengan mulut berbisamu itu." Ali terkekeh mendengar perkataan wanita itu.
"Bagaimana kabarmu?" Wanita itu memainkan kerah kemeja Ali, terlihat sangat liar.
"Jangan menanyakan kabar. Aku sedang butuh teman," jawab Ali membuat wanita itu tersenyum penuh arti.
"Datanglah ke apartemenku nanti malam. Aku akan menemanimu." Wanita itu melepaskan diri dari Ali lalu mundur selangkah.
Saat wanita itu berniat membalikan badan, Ali mencegahnya.
"Ira!" Ali menahan tangan wanita yang dia panggil Ira tadi.
"Yes, Babè?" Ira menoleh.
"Tengah malam aku akan datang ke apartemenmu."
Ira tersenyum manis dan mengedipkan mata kanannya tanda menyetujui ucapan Ali. Ira berjalan ke arah Selvi dan Ebie.
"Halo, Selvi, mantan calon adik ipar," sapa Ira membuat Selvi memasang wajah malas.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Selvi berusaha bersikap biasa dengan mantan kekasih Ali itu.
"I'm fun, Babè. Maaf aku tidak bisa datang saat suamimu meninggal. Aku ada jadwal penerbangan."
"Sudah hal biasa bagiku jika kamu seperti itu," sahut Selvi sebenarnya sangat malas berhadapan dengan Ira.
"Masih saja dedam kamu denganku, Selvi? Kakakmu saja sudah bisa menerima kenyataan itu."
"Aku berbeda dengan Prince."
"Ya sudahlah, terserah kamu." Ira mengibaskan tangannya tanda tak memedulikan Selvi lagi.
Ali menghampiri ketiga wanita yang sedang mengobrol itu. Dia merengkuh pinggang Ira posesif. Selvi yang tidak suka melihat hal itu lalu menarik Ebie yang tidak tahu-menahu masa lalu mereka. Ebie kali ini hanya diam karena melihat raut wajah Selvi sedang kesal. Ali melihat Selvi dan Ebie pergi dari hadapannya bisa bernapas lega. Dia melancarkan aksinya tanpa ada pengganggu.
"Apa yang ingin kamu bicarakan denganku, Li?" tanya Ira setelah Selvi sedikit menjauh dari mereka.
"Kita bicara di apartemen kamu saja, ya?" jawab Ali lesu.
Ira adalah mantan kekasih Ali yang dulu juga sempat hampir bertunangan sebelum orang tua mereka kecelakaan bersama dalam satu pesawat. Itu juga salah satu alasan Ira yang kini menjadi copilot di maskapai kepala singa. Ali dan Ira pernah berjuang bersama saat mereka duduk di pelatihan yang super ketat dan sulitnya untuk menjadi pilot.
Hubungan mereka kandas saat Selvi memergoki Ira sedang bermesraan dengan pria selain kakaknya. Tanpa sepengetahuan Selvi, ternyata Ali dan Ira sudah terlebih dulu memutuskan hubungan mereka. Dengan alasan keduanya sudah memiliki kekasih yang lain. Mereka menghargai kejujuran dan keterbukaan, hingga kini hubungan mereka tetap terjalin baik walau hanya sebatas mantan pacar, tapi Ali sudah menganggap Ira sebagai saudaranya.
Ali juga menjaga Ira seperti dia menjaga Selvi. Namun karena kesalahpahaman Selvi kepada Ira membuat hubungan mereka tidak baik. Selvi berpikir Ira sudah menghianati kakaknya.
Setelah Ali mengantar Selvi dan Ebie pulang, dia langsung melajukan mobil untuk ke apartemen Ira. Saat ini Ali sedang duduk di mini bar apartemen Ira.
"Kamu mau bicara apa sih, Li? Sepertinya serius banget." Ira berjalan membawakan minuman dingin untuk Ali.
"Aku sedang jatuh cinta sekaligus patah hati."
Ira yang mendengar itu tertawa terbahak. Bagi Ira itu adalah lelucon, karena selama dia mengenal Ali, baru kali ini dia membicarakan soal cinta.
"Sejak kapan pilot don juan sepertimu jatuh cinta, Li? Oh, sepertinya dunia sebentar lagi akan kiamat. Makanya kamu tobat." Ira tertawa terbahak, Ali hanya tersenyum miring.
"Aku serius," sahut Ali terdengar bersungguh-sungguh. Ira berhenti tertawa lalu menarik kursi di samping Ali.
"Oke, aku mau dengar curahan hati kamu." Ira mulai mendengarkan cerita Ali dari awal dia melihat Prilly hingga terakhir saat kejadian di taman yang membuat mereka lost contact.
"Yaelah, baru ditinggal tunangan sudah menderita dan galau berlarut-larut. Sebelum janur melengkung, masih bisa diusahakan. Tenang saja, aku akan membantumu."
"Dengan cara?"
Ira merencanakan sesuatu dengan Ali, setelah mereka menemukan titik terang, akhirnya mereka ber-five high dan tertawa puas.
"Aku tunggu hasilnya. Enggak sia-sia aku pelihara kamu sampai secerdas ini," kata Ali sambil mengacak rambut Ira.
"Enak saja! Kamu pikir aku hewan peliharaanmu!" sangkal Ira sebal sambil merapikan rambut yang Ali acak tadi. Ali tertawa mendengar protesan Ira.
"Sudah jam tiga, aku ada flight ke Batam. Kalau ada informasi tentang dia segera hubungi aku."
Ira mengacungkan kedua jempol kepada Ali lalu mengantar Ali sampai di depan pintu. Ali bisa sedikit bernapas lega. Mungkin jika ini permainan, Ali sedikit bermain curang demi memenangkan permainannya. Tapi ini kenyataan hidup yang harus dia jalani.
Setelah Ali sampai rumah, dia langsung naik ke kamarnya. Ali segera berkemas memasukan baju ganti yang akan dibawa flight. Saat Ali sedang bersiap, Ebie masuk ke kamar untuk membantu Ali. Itu adalah salah satu tugas dia sebagai pelayan di rumah itu.
"Mas Prince, hari ini flight ke mana?" tanya Ebie membantu Ali memasukan pakaiannya ke koper.
"Ke Batam, Mbak Bie, kenapa?" Ali mengambil handuk di lemari.
"Enggak apa-apa, cuma tanya."
"Mbak Bie jangan coba menyembunyikan sesuatu dari saya. Bicara saja, daripada membuat saya kepikiran, nanti mengganggu pekerjaan saya," desak Ali karena melihat Ebie yang sepertinya menyembunyikan sesuatu.
"Tadi Mbak Selvi marah-marah saat Mas Prince pergi ke apartemen Nona Semangka," ujar Ebie membuat Ali langsung menoleh dan mengernyitkan dahinya.
"Nona Semangaka?"
"Iya, orang yang tadi ketemu di pesta. Habis, buah dadanya besar sampe menyembul mau jatuh. Sama melon Ebie saja kalah." Ali tertawa terbahak mendengar perkataan Ebie.
"Mbak Bie ada-ada aja."
"Di Global TV, Mas," sahut Ebie cepat.
"Apanya?" tanya Ali heran.
"Tadi katanya 'ada-ada aja'. Itu kan, acara di Global TV," jelas Ebie yang dibuat sok bloon membuat Ali semakin tertawa.
"Mbak Bie lama-lama saya cipok habis, biar enggak bicara sembarangan lagi." Ali masih saja tertawa.
"Mau dong, Mas Prince," ujar Ebie yang menggoda Ali.
"Yeee! Ngarep banget deh Mbak Bie nih. Ira itu mantan pacar saya, Mbak Bie. Dia juga salah satu orang yang harus saya jaga selain Selvi. Saya sedang ada rencana sama dia."
"Rencana apa, Mas Prince?" tanya Ebie penasaran lalu mendekati Ali yang sedang memasang atribut di seragamnya.
"Menikah," jawab Ali santai.
"Apa!" pekik Ebie lebay hingga membuat Ali terkejut.
"Apaan sih, Mbak Bie nih, telinga saya sakit tahu!" omel Ali mendengus kepada Ebie.
"Oh, Mas Prince, hati saya seketika potel. Kurang apa coba saya ini. Ebie selalu setia ngasih Mas Prince susu, nyiapin makan, selalu ada buat Mas Prince saat suka maupun duka, menunggu Mas Prince pulang kerja, mendoakan kala Mas Prince sedang bertugas. Sakit hati hayati, Mas Prince," ujar Ebie memegang dadanya dan memasang wajah sok melas, Ali justru tertawa terbahak.
"Nanti saya belikan lem alteco buat nyambung hati Mbak Bie yang potel," timpal Ali.
"Tapi, Mas Prince, serius mau nikah sama Nona Semangka itu? Terus Nona Pepaya bagaimana?" tanya Ebie sangat penasaran menghampiri Ali lalu duduk di sampingnya yang sedang menyemir sepatu.
"Ngapain menunggu sesuatu yang tidak pasti jika yang pasti sudah ada di depan mata, Mbak Bie. Buat apa saya memertahankan orang yang kini sudah jadi milik orang lain," jawab Ali berusaha menahan sakit di dadanya.
"Tapi Ebie enggak suka sama Nona Semangka. Sepertinya dia orang yang angkuh dan sombong. Berbeda sama Nona Pepaya, dari wajahnya saja kelihatan manis, sopan, anggun, baik dan ..."
"Pembohong sekaligus penghianat?" sambung Ali cepat sebelum Ebie menyelesaikan kata-katanya.
"Ih, Mas Prince, enggak boleh bilang begitu. Emang Mas Prince tahu bagaimana sebenarnya isi hati Nona Pepaya?"
"Udahlah, Mbak Bie, jangan membela yang Mbak Bie belum tahu bagaimana sebenarnya orang itu. Saya yang lebih tahu. Jika dia tidak pembohong, harusnya dari awal jujur agar cinta saya tidak berlarut mengakar di dalam hati. Kalau sudah begini kan, susah mau nyabut akar itu."
"Terserah, Mas Prince, tapi jangan menyesal kalau pilihan Mas Prince tidak sesuai dengan keinginan Non Selvi. Ebie yakin kalau Mas Prince tetap nikahi Nona Semangka, Nona Selvi bakalan marah besar. Bisa-bisa taring dan tanduknya keluar." Ebie berdiri dari dan melanjutkan pekerjaan, membantu Ali merapikan keperluannya ke koper.
Ali terdiam memikirkan kata-kara Ebie tadi. Ada benarnya juga apa yang dikatakan Ebie. Jika Ali sembarangan menikahi wanita, apalagi sudah jelas jika adiknya tidak menyukainya, pasti hubungannya dengan Selvi akan renggang dan Ali tidak menginginkan itu terjadi. Ali menghela napas dalam.
"Kenapa aku harus dipertemukan denganya jika akhirnya harus terpisah begini sih, Mbak Bie?" pekik Ali mengusap wajahnya kasar.
"Tuhan itu mempertemukan seseorang pasti ada alasan, Mas Prince. Jika Mas Prince tidak berjodoh sama Nona Pepaya, setidaknya Mas Prince sudah pernah merasakan cinta sekaligus sakit hati. Sudah satu paket," jawab Ebie yang sudah selesai merapikan pakaian Ali.
"Sudahlah, Mbak Bie, jangan bahas dia lagi. Semakin sakit hati saya."
"Kalau sakit, ya, diobati dong, Mas Prince."
"Ya deh, entar kalau sudah sampai Batam mau cari obatnya."
"Emang caranya gimana, Mas?"
"Kawin!" jawab Ali tertawa keras, langsung masuk ke kamar mandi.
"Aku doakan semoga sosis Mas Prince enggak dioseng-oseng sama orang tua yang Mas Prince kawini!" teriak Ebie asal menjawab perkataan Ali tadi.
Ebie tersenyum puas karena dia bisa menghibur majikannya yang sedang galau dan selalu menahan sakit di hatinya.
"Ebie berdoa, semoga Mas Prince mendapatkan wanita yang baik-baik karena pada dasarnya Mas Prince orang baik," ucap Ebie sebelum keluar dari kamar Ali.
Makasih, Mbak Bie, karena adanya Mbak Bie aku sedikit bisa melupakan rasa sakit hatiku. Walau terkadang kamu nyebelin, tapi Mbak Bie selalu saja bisa membuatku tertawa dengan tingkah konyol Mbak Bie, batin Ali lalu menyalakan shower dan mengguyur tubuhnya yang sudah naked.
#############
Wkwkwkwkwkkwkwkwkwkwk
Ira irastories_ menang banyak bisa nempel-nempel Mas Prince.
Ebie biiestory selalu bisa deh buat Mas Prince tertawa bahagia.
Selvi Selviastories jangan over protektif begitu, kasihan kakakmu. Jangan terlalu benci sama Ira, inget lagi bunting kamu. Entar anaknya nurun sifat Ira gimana?
Momsky Widya widy4HS belum kenal sih sama pangeran burung besinya Prilly, entar kalau udah kenal paling juga langsung nyodorin dengan suka rela lahir batin. Kwkwkwkwkwkwkwk
Makasih vote dan komenya.
Lama-lama di cerita ini jualan buah deh? Gara-gara Ebie centil dan bohay. Hahahahahaha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top