L a y e r s
Disclaimer:
Unsur kebudayaan di dalam cerita ini tidak sepenuhnya benar karena penulis masih kurang dalam riset.
*
*
*
"Jadi, kau yang namanya Hendra?"
Laki-laki itu mengangguk. "Betul, Mbak."
Pria itu bisa merasakan tatapan sang wanita muda sedang menilai penampilannya. Dari atas ke bawah, lalu kembali ke depan di mana mereka berdua akhirnya bertatapan.
"Aku sudah dengan dari temanku tentang masalahmu. Tapi aku butuh penjelasan langsung darimu. Tidak keberatan?"
Hendra mengangguk lagi. "Tidak apa-apa."
Mulailah pria itu menuturkan masalah yang ia alami. Hendra adalah seorang pria yang bekerja di salah satu perusahaan besar dan belum lama ini telah menikah dengan seorang wanita yang ia cintai. Mereka telah lama mengenal satu sama lain dan bertunangan sebelumnya. Sehingga Hendra sangat percaya pada istrinya itu.
Namun keanehan mulai mengganggu rumah tangga mereka. Hendra kerap kali merasa tidak nyaman di sekitar istrinya. Ia merasa seperti ada yang menghalanginya dekat-dekat dengan istrinya. Ia juga sangat sering merasa curiga tanpa sebab kepada istrinya itu. Ia merasa ada yang tidak beres dan telah disembunyikan oleh istrinya. Namun ia sendiri tidak tahu apa itu. Padahal selama pacaran dan tunangan sebelumnya, Hendra tidak merasakan perasaan negatif apapun dari istrinya.
Hendra pernah menanyakan langsung kepada istrinya, tentang hal yang ia sembunyikan. Namun reaksi wanita itu malah terheran dan berbalik khawatir padanya. Seolah ia selama ini telah memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Sudah coba ke psikolog atau psikiater?" tanya wanita muda itu, Maya.
"Tentu saja. Karena perasaan dan pikiranku ini sudah mengganggu kehidupanku, saya segera periksa ke psikiater langsung. Saya bahkan sempat berpikir kalau saya sudah menunjukkan gejala-gejala skizofrenia."
"Lalu, hasilnya?"
"Katanya saya kemungkinan punya kecenderungan skizofrenia, tapi masih belum cukup kuat. Saya perlu beberapa kali pemeriksaan."
Wanita muda itu mengangguk pelan. "Tidak ke dukun?"
"Maksudnya... saya kena guna-guna?" tanya pria itu terdengar khawatir.
"Aku cuma tanya saja, sih. Kebanyakan orang kalau bukan konsultasi ke ahli seperti psikiater, ya larinya ke dukun."
"Menurut Mbak sendiri, saya kena guna-guna?"
"Kenapa jadi tanya aku? Saya bukan dukun."
"Jadi... Mbak bukan dukun?"
Maya yang sedaritadi duduk tegak kini bersandar. "Jadi selama ini aku dikira dukun?"
"Ma-maaf, Mbak! Bukan begitu. Ma-maksud saya---"
"Sudah. Kembali ke topik awal permasalahan." Wanita itu tampak berpikir sejenak dengan jemari tangan memegang kepala. "Kau tadi bilang lama kenal kan dengan istrimu? Sampai pacaran dan tunangan?"
"Iya. "
"Kalian menikah pakai adat apa?"
"Bugis. Karena dia dari keluarga bangsawan."
"Bugis, ya. Tingkat ke berapa?"
"Tingkat 3."
Wanita muda itu mengerjap. "Kau yakin? "
"Saya dengarnya begitu sih dari istri saya."
"Bangsawan Bugis, ya. Kalian pasang itu kan pas menikah?"
"Pasang apa?"
"Walasuji. Ballasuji. Apalah namanya. Rumah pengantin. Itu loh yang bentukannya sarapo, kayak gapura atau gerbang tapi dari anyaman bambu. Terus ada juga yang bentuk keranjang gitu."
"Yang... erang-erang?"
"Ya, itu. Katanya itu buat diisi buah. Kalian pasang walasuji kan pas nikah?"
"Iya. Memangnya kenapa?"
"Walasuji yang kalian pakai itu masih ada?"
"Ada."
"Kau periksa berapa lapis anyaman bambu yang dipakai?"
Pria itu terdiam beberapa saat. "Tidak."
"Kalau begitu, sebaiknya kau pulang ke rumah dan tanyakan lagi istrimu. Periksa juga berapa lapisan anyaman bambu yang dipakai di walasuji."
***
Sampai di rumah, pria itu mencoba mencari keberadaan istrinya itu. Ia memasuki area dapur dan mendapati sang istri tengah memasak. Dengan sikap setenang mungkin, Hendra mencoba menghampiri istrinya. Menyapa dan menanyakan kabar seperti biasa sebagai awalan pembicaraan.
"Alina," panggil Hendra. "Saya mau bertanya."
"Tanya apa?"
"Soal gelarmu bangsawan."
Hening beberapa saat. "Kenapa?"
"Saya tadi baca-baca soal adat nikah Bugis. Terus katanya anyaman di walasuji itu pakai kasta bangsawan. Saya penasaran, lapisan di buat gelar bangsawan keluargamu berapa lapis?" Hendra sengaja bohong agar tidak terlihat mencurigai istrinya.
"Kamu bohong. Kamu abis ketemuan sama cewek kan? Selingkuhanmu?"
Hendra terkejut dan panik. "Enggak. Saya nggak selingkuh. Saya nggak ketemu siapa-siapa tadi. "
"Jangan bohong kamu! Aku lihat sendiri dengan mata kepalaku. Kamu ketemu cewek, dan pegang-pegang dia. Ngaku kamu!"
Hendra semakin bingung. Memang benar tadi dia bertemu dengan seorang wanita muda yang tampak bisa membantunya. Tapi dia sama sekali tidak menyentuh perempuan itu. Ada yang tidak beres.
"Sayang, Alina, kamu kayaknya ngelihat hal-hal aneh. Saya sama sekali nggak pegang-pegang perempuan lain."
"Kamu bohong!" Istrinya mendadak mengarahkan pisau ditangannya ke arah Hendra.
Hendra segera menjaga jarak sejauh mungkin dari Alina. Sambil berusaha berjalan cepat menjauh, tangan kanannya menekan-nekan nomor di ponsel. Ia segera meminta semua orang yang ia telepon untuk datang membantunya. Termasuk nomor dari wanita muda tadi.
"Tolong, istri saya mau bunuh saya! Dia sekarang pegang pisau dan ngejar saya."
"Gawat. Sudah parah. Aku ke sana bawa bantuan."
Hendra lekas berlari menuju kamar. Ia sempat dihadang oleh Alina, tapi ia lekas menendangnya hingga terjatuh. Hendra sempat terdiam dan ingin membantu, tetapi segera teringat bahwa nyawanya terancam. Ia segera masuk ke kamar dan menguncinya. Berlari ke bawah kasur untuk bersembunyi.
Ia diam di sana selama beberapa menit sambil berdoa untuk mendapat pertolongan dan perlindungan. Ponselnya berdering, dan segera ia angkat.
"Kau sudah sembunyi?" tanya wanita muda itu.
"Iya, Mbak. Tolong, Mbak. Kayaknya istri saya kenapa-napa. Dia tiba-tiba mau bunuh saya dan nuduh saya selingkuh."
"Pokoknya tetap sembunyi di tempat. Aku sama temanju dikit lagi nyampe ke tempatmu. Untung saja dia kenal kamu."
"Iya, Mbak. Makasih. Tolong cepat."
"Cuma kau kan di rumah? Gak ada orang lain?"
"Saya... saya tadi minta tolong ke keluarga... buat datang."
"Oke, kami ngebut. Jangan keluar dari tempat kalau belum kami kasih tahu." Panggilan dimatikan.
Selama waktu menunggu, Hendra hanya bisa berdoa agar dirinya dan Alina akan baik-baik saja. Ia sungguh tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya merasa aneh pada istrinya, lalu memutuskan untuk mencari tahu alasannya. Dan sekarang Alina berniat membunuhnya akibat perselingkuhan yang sama sekali tidak ia lakukan.
Suara teriakan dan tangis Alina dari luar mengusik hati Hendra. Bersamaan dengan suara pecahan dari perabotan dalam rumah, lalu disusul rintihan kesakitan Alina. Ia sangat ingin menghampiri istrinya itu dan memeluknya, memastikan semuanya akan baik-baik saja. Seperti ketika keraguan dan masalah yang telah mereka alami sejak dulu.
***
Setelah melalui menit-menit panjang dengan suara teror dari luar kamar. Suara-suara itu semakin lama semakin berkurang hingga tidak terdengar. Hendra ingin keluar kamar dan sm meriksa kondisi, tetapi ia khawatir jika Alina tiba-tiba muncul dan melompat sambil menusuknya.
Setelah menunggu lama di bawah kolong tempat tidur, ketukan kencang di pintu kamar membuatnya semakin waspada.
"Pak Hendra! Ini saya. Mbak dukun tadi sore! Sudah aman, boleh keluar sekarang!"
Oh, rupanya Maya. Hendra jadi semakin tidak enak pernah mengira dia dukun.
Segera ia keluar dari bawah kolong tempat tidur. Ia sekarang penuh debu halus dan keringat. Lekas ia membuka perlahan pintu kamar. Ia disambut temannya dan si wanita muda yang menghela napas bersamaan.
"Syukurkah kamu selamat. Tadi saya khawatir dengar kamu mau dibunuh istri sendiri." Temannya penuh kekhawatiran.
"Alina mana?"
Temannya itu dan Maya menunjuk arah di mana orang-orang berkumpul. Hendra perlahan melangkah keluar kamar dan berjalan mendekati kerumunan itu. Ia terkejut melihat istrinya menangis dengan tubuh diikat. Tidak terlihat memegang pisau lagi.
Orang-orang yang berkumpul adalah keluarganya berserakan keluarga dari Alina, serta beberapa orang tetangga dan RT setempat. Keluarga dari Alina hanya menunduk dengan wajah penyesalan.
"Ada apa ini sebenarnya?" tanya Hendra mengharapkan penjelasan atas semua ini.
"Kamu sebenarnya telah dibohongi, Hendra." Pak RT mencoba menjelaskan.
"Apa maksudnya, Pak?"
"Mereka sebenarnya bukan bangsawan. Alina dan keluarganya hanya rakyat biasa."
"Walasuji yang ada di depan rumahmu saja bahkan punya lapisan yang banyak. Seperti bangsawan tingkat tinggi." tambah Maya.
Hendra lalu dijelaskan mengenai makna dan nilai-nilai dari walasuji. Ada lima nilai yang terkandung dalam walasuji. Salah satunya adalah nilai kejujuran. Nilai ini memaksudkan bahwa pengantin harus jujur dengan gelar yang ia dapatkan. Dan Alina telah melanggar nilai walasuji itu. Itu membuat pernikahan mereka tidak mendapat berkah dari Dewa atau Tuhan.
"Apakah karena orang tuaku yang ingin aku menikah dengan ningrat atau bangsawan."
Tidak ada jawaban. Tapi Hendra cukup yakin bahwa itulah salah satu penyebabnya.
"Hendra, apa kau mau menyalahkan kami, orang tuamu, atas kejadian ini?" tanya ayahnya dengan tegas. Sementara ibunya menatap sedih ke arahnya.
Hendra hanya duduk di sofa. Beristirahat dari teror yang mengancam nyawanya dan dari konflik pernikahannya yang semakin rumit.
Pak RT mencoba melakukan diskusi dengan para pihak terlibat agar masalah dapat segera diselesaikan. Daripada terlibat dalam diskusi, Maya izin untuk pergi keluar bersama teman dari Hendra.
"Sekarang bagaimana?" tanya Ridho, teman Hendra.
"Sekarang terserah Pak Hendra. Masalaha utamanya sudah selesai. Apapun pilihan dan yang akan terjadi berikutnya, maka begitulah.
"Aku cuma berharap agar Alina bisa lebih menerima dirinya."
"Kenapa?"
"Kau tidak bisa mencintai orang lain jika kau sendiri tidak bisa menerima segala kekurangan dan kekuatanmu," tutup Maya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top