|nom yen|
Sosok yang telentang dengan guling berbentuk ayam goreng masih bergeming memandang langit-langit kamar. Lampu yang belum dimatikan tak ia indahkan, meski jaraknya dengan saklar tidak lebih dari lima jengkal. Kris bahkan tidak beranjak untuk membuka gorden dan melihat dunia.
Selimut yang semalaman membalut tubuhnya telah teronggok di lantai. Tidur di ranjang susun bagian atas membuat rasa malasnya meningkat lima kali lipat. Sadar dengan kejadian kemarin sore, anak itu kembali merengek dan menendang angin secara brutal.
"Argh! Ponselku!"
Pan yang baru keluar dari kamar mandi sontak terperanjat. Ia kembali mengelus dada saat Kris lagi-lagi mengeluh. Walau ponselnya tengah diperbaiki di tempat servis dekat sekolah, anak itu tetap uring-uringan dan meracau.
"Bangun, Kris. Cepat mandi dan ayo sekolah," ucapnya seraya mematikan lampu, lalu membuka gorden dan jendela. Pan refleks memejamkan mata saat menghirup udara yang masuk.
"Kamu saja. Bilang ke wali kelas kalau aku gak enak badan."
"Hah?" Pan lekas mendekati Kris. Kemudian berkali-kali menarik kaus teman sekamarnya sejak hari pertama di asrama tersebut, "jangan becanda, kamu gak sakit."
"Siapa bilang?" Kris lekas duduk dan menoleh, menatap Pan tajam hingga lubang hidungnya melebar, "aku sakit, Pan. Nih, badanku panas-dingin. Tanganku juga gemetaran karena belum selfie dan update instastory."
Kris terus-menerus menunjuk titik lemahnya. Mulai dari kening yang pening, leher yang basah dipenuhi keringat hingga pergelangan tangan yang tampak bergetar. Anak beralis tebal itu masih mengerucutkan bibirnya, kesal dengan musibah kuah tom yum goong.
"Maeng euy."
Pan menepuk jidat. Ia terus menggeleng saat Kris kembali meraih guling dan memeluk erat. Ia lantas melempar handuk ke wajah Kris sampai sahabatnya mengumpat bahkan berbaring lagi.
Namun, sebagai teman, Pan tentu tidak tega membiarkan Kris tetap bergulung-gulung hingga matanya sembap dan berkantung. Setelah selesai memakai seragam, ia kembali mengusik Kris dengan memukul betis anak itu.
"Ai'Kris, cepat turun dan mandi atau kuseret kakimu!"
"Gak mau! Sudahlah, berangkat sana! Upacara sebentar lagi dimulai, kamu bisa terlambat. Aku mau tidur lagi dan bangun kalau ponselku sudah selesai diperbaiki."
"Kalau cuma update, kamu bisa pakai ponselku."
Kris yang semula menghadap dinding lekas berbalik dan menatap Pan. "Ponselmu terlalu jadul. Kameranya gak secantik ponselku. Pengikutku bisa syok nanti."
"Sat, Kris."
"Benar, 'kan? Kalau saja dulu kamu menuruti saranku untuk meminta ponsel baru ke Lung Phram, pasti kamu bisa menolongku sekarang."
Kening Pan berkerut. Sungguh, sejak semalam, Kris sudah tiga kali membahas hal ini. Ayahnya memang bekerja di perusahaan telepon genggam, tetapi bukan berarti ia berhak meminta. Kalaupun bisa, ia tidak mau membuang nilai untuk keperluan yang tidak mendesak. Ponselnya masih bisa digunakan, itulah poinnya.
Berbeda dengan Kris. Setiap ada keluaran anyar dengan kamera fantastis dan memori internal lebih besar, ia akan menjual ponsel lamanya lalu meminta tambahan uang saku untuk membeli yang baru. Terhitung sudah empat kali anak itu berganti model, tepatnya sejak Instagram masuk ke kehidupannya tahun kemarin.
Lama terdiam, Kris pun mendengkus dan mendorong Pan menjauh. "Sudahlah, sana pergi! Jangan lupa bawa catatanku dan salin tugas hari ini di sana."
Pan menurut. Ia menyerah. Benar kata Kris, ia bisa terlambat.
"Ok, jangan lupa sarapan dan makan siang."
Ocehan Pan tak lagi Kris dengar. Ia sudah menenggelamkan wajahnya di balik bantal. Tubuh yang meringkuk itu kian mendekati tembok, seperti anak ayam yang terpisah dari induknya dan menggigil kedinginan.
Suara pintu yang dikunci dari luar tak membuat Kris berkutik. Ia hanya menggumamkan lirik 'Lop Mai Dai Chuay Hai Leum' dari Ink Waruntron, lagu favoritnya saat siaran langsung. Otak sebesar udang miliknya seketika dipenuhi pertanyaan bodoh.
Kapan ponselnya selesai diperbaiki?
Apakah setelahnya bisa digunakan seperti biasa?
Berapa besar biaya yang harus ia bayar?
Anak itu mengacak rambut frustrasi. Alam pikirnya bertanya bertubi-tubi. Lelah, Kris pun benar-benar menutup mata dan kembali tidur.
}{
"Dai mai khab?"
Pan memiringkan kepala, mengapit ponselnya dengan pundak. Tangan kanannya penuh membawa kresek, sedangkan ia harus membuka kunci dan memutar kenop. Ia menyerah sebab mengetuk pintu seratus kali pun tidak membuahkan hasil. Kamarnya sunyi senyap bak tiada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
"Khab, terima kasih, Pho."
Meski sang ayah tidak dapat melihatnya, Pan tetap tersenyum. Ia segera masuk dan meletakkan sebungkus makanan dan dua gelas nom yen di meja belajar.
"Ai'sat, Kris. Kamu masih tidur?"
Mata Pan seketika terbelalak saat lelaki yang belum bangkit dari kasur tengah bertelengkup. Ia langsung mendekat dan menendang bokong Kris. Akan tetapi, sahabatnya hanya mengaduh dan menggeliat. Tidak sedikit pun ia beranjak, malah menutup mata lagi.
"Dari tadi kamu masih tidur-tiduran seperti ini?"
"Er, jangan ganggu aku."
"Kamu sudah makan?" tanya Pan yang hanya dibalas dengan gelengan. "Dari pagi?"
"Aku gak nafsu."
Pan menampar pipinya sendiri. Ia mendengkus panjang sambil menjambak rambut. Secepat kilat ia meraih minuman merah muda dari susu dan sirup sala kesukaan Kris.
"Nih, nom yen, biar mood-mu naik lagi," ucapnya seraya menyodorkan minuman itu.
Aroma memikat dari kental manis membuat Kris bangkit. Ia lekas duduk lalu turun dari kasur. Seketika Pan bercahaya melihat umpannya berhasil. Anak itu segera menyerahkan mood booster kesayangan sahabatnya.
Kris lekas duduk di kursi belajar dekat jendela. Namun, bukannya lekas meminum, ia malah menatap gelas plastik seukuran telapak tangan tersebut. Lekat, raut wajahnya mulai menekuk.
"Ada apa lagi?"
"Gak mau minum ini," Kris menyerahkan nom yen itu ke Pan, "gak bisa di-upload ke Instagram."
"Astaga! Kalau begini terus--"
Dering ponsel yang cukup keras memotong kalimat Pan. Kesal, sang pemilik buru-buru mengambilnya. Namun, kerut pada keningnya sontak berkurang saat membaca nama penelepon pada layar.
"Ai'Kris, kamu belum memberi kabar ke ibumu?"
"Ya belum, lah. Mau pakai apa?"
"Ini," Pan memberikan ponselnya, "bicaralah."
Kris segera mengangkat panggilan ketika membaca nama ibunya, "Halo, Mae? Ini Kris."
"Kamu gak apa-apa? Kenapa gak bisa ditelpon?"
"Ponsel Kris rusak, Mae. Lagi diservis."
Pan pun menyingkir. Ia membiarkan Kris berceloteh tentang insiden ponselnya yang jatuh dan berenang di kuah panas nan asam dan pedas. Tidak ingin ikut campur, ia lantas mencari baju ganti di lemari lalu bergegas ke kamar mandi.
Setelah dua puluh menit terlewati, Kris masih saja merengek pada ibunya. Si segar Pan mendengar kalimat yang sama pun kembali menggeleng saat menggantung handuk pada kapstok. Tanpa bersuara, ia menarik kursi dan duduk di samping Kris.
"Ayolah, Mae."
"Belum ada uang, Luk. Nanti Mae kirim saku buat servisnya, ya. Kamu jaga diri baik-baik."
"Tapi, Mae--"
Belum selesai mengemis, ibu Kris telah memutuskan telepon. Anak itu sontak mengangkat ponsel Pan tinggi-tinggi seakan ingin membantingnya. Untung saja si empunya refleks mengambil benda itu dan menjauhkannya dari Kris.
"Sabar, Kris."
"Gak semudah itu bilang sabar, Pan. Kamu enak, bisa minta ponsel kapan saja ke ayahmu. Gak kayak aku."
Kris menyandarkan kepalanya pada jendela. Ia memandang ranjang susun mereka dengan kosong. Pan yang melihat itu mulai sendu--prihatin dan merasa bersalah. Bagaimanapun, ia-lah penyebab ponsel Kris berakhir mengenaskan.
Sekesal-kesalnya Pan saat maniak Kris kumat, ia lebih memilih kawannya bersikap demikian dibanding lesu tanpa nyawa seperti ini. Tanpa makan, tanpa minum, hanya berbaring dari pagi hingga petang.
"Ok," serunya tiba-tiba sambil menepuk paha dan bangkit.
"Ok, apa?" Kris menatap bingung.
Pan berjalan menuju nakas tempat buku-buku dan perlengkapan P3K. Ia berjongkok, mencari kotak yang diberikan ayahnya bulan lalu. Beberapa detik kemudian, ia kembali menghampiri Kris dan menyerahkannya.
"Ini ponsel dari perusahaan Ayah. Masih uji coba dan belum dirilis, jadi sampelnya dikasih ke aku. Kamu bisa memakainya."
Kris membuka mata lebar saat Pan memberinya tipe ponsel yang belum pernah ia lihat. "Jangan becanda."
Pan menggeleng yakin, "Enggak. Beneran, kamu bisa memakainya, Kris. Aku sudah izin Ayah."
Raut yang kuyu itu memerah saat Pan menaikkan kedua alisnya. Kris mengulum bibir, tak percaya dengan yang ia dengar. Tanpa basa-basi lagi, ia mengambil ponsel tersebut dan memeluk Pan erat.
"Khob jai na meung."
Pan mengangguk. Setitik rasa bersalahnya sirna saat Kris membuka kotak tersebut. Dengan senyum yang merekah, ia menjajal benda baru yang belum pernah ia sentuh. Anak itu dengan antusias menyalakan ponsel tersebut.
Kris lekas mencari fitur kamera. Mulutnya menganga saat ketampanan wajahnya meningkat dua kali lipat, meski belum mandi sejak kemarin. Cerah dengan detail real yang mengagumkan membuatnya tak sabar untuk mencoba.
"Kupakai selfie, ya."
Lagi-lagi Pan mengiakan. Ia tidak ingin ikut serta. Mengambil foto diri sendiri bukanlah style-nya dan Kris pun tidak ingin memaksa.
Tampak berantakan, anak itu sedikit merapikan rambutnya sebelum memiringkan wajah. Angle kiri merupakan sudut terbaik Kris. Ia pun tersenyum sebelum menekan layar.
Cahaya terang seperti flash yang muncul dari lubang kecil dekat kamera depan membuat Kris mengernyit. Ia refleks memejamkan mata saat bayangan hitam memenuhi pandangan. Telinganya pun berdengung konstan hingga mendatangkan pening.
Sadar akan gelagat aneh sahabatnya, Pan lantas menepuk pundak Kris. "Kamu gak apa-apa?"
Kris menggeleng dan mencoba membuka mata. Namun, seketika tubuh dan kepalanya lunglai. Ia pun limbung dan tersungkur, menghantam dinginnya lantai.
"Ai'Kris!"
DAY 2
5 April 2021
'footnote
Maeng: umpatan kesal
Sat: umpatan marah
Lung: paman
Lop mai dai chuay hai leum: menghapus (ingatan) tidak membuatmu lupa
Dai mai (?): boleh tidak (?)
Pho: ayah
Mae: ibu
Luk: panggilan 'Nak'
Er; dibaca e (e-nya emas): iya (non formal)
Khob jai: terima kasih (untuk seumuran / ke lebih muda)
Meung: kamu (non formal)
Panas, hawanya pengin nendang orang ∪ˍ∪
Dedek mager ◑ˍ◐
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top