KA - 8

Kamu terlalu sibuk mengejarnya, hingga kamu tak sadar, di belakangmu ada aku yang setia menjagamu, agar kamu tak terjatuh.

****

Mungkin jika Arunika gadis lain, dia akan marah saat melihat kekasihnya menggendong teman dekatnya sendiri. Tapi Arunika hanya dia bahkan tak berniat untuk protes.

Bukan tak mau, dia hanya merasa percuma saja, karena apa yang dia katakan tak pernah diindahkan dengan Candra. Banyak pasang mata menatapnya iba, sebagian dari mereka ada yang menatap Aru dengan mencibir. Dan Aru seakan tak melihat apa yang baru saja dia lihat.

"Andin jatuh, Ru." Ando datang dan duduk di samping Aru. Aru mendongak sesaat kemudian fokus kembali pada buku paket di tangannya, ada ulangan harian Matematika, dia tak mau merasakan kesulitan nanti saat ulangan. Karena dia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri.

"Dia di UKS sekarang," sambung Ando menambah informasi untuk Aru.

"Udah di UKS, kan?" tanya Aru dengan ekspresi tak acuh.

Ando mengernyit kecil. "Lo pasti marah sama Candra."

"Gue udah gak peduli, Ndo. Seharusnya lo yang bukan siapa-siapa mereka juga gak harus peduli, kan?"

Ando menghela nafas. "Lo lagi baca apa?" tanya Ando akhirnya mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Paket matematika, udah lo jangan ajak gue ngobrol terus. Gue gak konsen hafalinnya."

Ando tersenyum lebar. "Sorry, sorry. Ya udah gue ke kelas dulu ya." Ando berlalu.

Sepeninggalnya Ando, Aru menutup buku paketnya, rumus-rumus yang sudah dia hafal tadi buyar langsung.
Cemburu? Tentu saja Aru merasakan hal itu, tapi memangnya apa yang bisa Aru perbuat? Menangis di depan Candra, meminta lelaki itu menjauhi Andin? Sangat mustahil bila Candra mengikuti kemauannya. Pada akhirnya, Aru hanya bisa menahan semuanya sendiri.

***

Willy dan Daru berlarian memasuki ruang UKS, tadi mereka ada di kantin sedang membeli minum setelah pelajaran olahraga, dan baru mendengar kabar bahwa Andin jatuh karena terkena lemparan bola basket.

"Gimana keadaan Andin?" tanya Willy mengalihkan tatapan Candra dan Andin yang baru saja sadar.

"Dia udah baikan, kok," sahut Candra.

"Lo, kok, bisa kena bola sih, Din? Emang lagi apa?" tanya Daru sembari duduk di sebelah Candra.

Andin terdiam sesaat. "Tadi, bola itu mau kena ke Arunika, untungnya gue liat, jadi gue bisa halangi bola itu."

"Apa?!" pekik Candra, pria itu geleng-geleng kepala. "Kok, lo bego amat sih? Buat apa lo korbankan diri lo? Lo tau, kan, tubuh lo itu lemah banget. Masih untung lo gak mimisan lagi kayak waktu itu."

"Gue cuma gak tega kalau Arunika sampai kena bola, dia lagi semangat banget hafalkan rumus."

Willy berdecak. "Din, dengar ya, Aru itu cewek tahan banting, gak akan mati hanya karena kena bola doang."

Andin termenung. Candra, Willy dan Daru jadi tak enak hati. Sepertinya mereka sudah berlebihan dalam bicara, sehingga membuat Andin sedih.

"Lain kali, lo jangan gitu lagi, ya. Gue cuma gak mau lo kenapa-kenapa, gue itu sayang dan peduli sama lo," ujar Candra lembut. Andin menatap Candra, lalu mengangguk.

Di luar, Arunika bisa mendengar semua pembicaraan mereka. Dia merasakan sesak, bahkan untuk menghela nafas saja terasa sulit. Akhirnya, Arunika mengurungkan niatnya yang ingin melihat Andin.

Arunika berbalik badan, belum sempat dia pergi, pintu UKS terbuka. Tampak Daru dan Willy baru saja keluar dari sana.

"Ngapain lo?" tanya Daru sinis. Arunika malas untuk meladeni kedua jongos Andin, makanya dia memilih pergi saja dari sana. Tapi lagi-lagi, niatnya gagal karena ucapan Willy selanjutnya membuat dia ingin segera menghajar wajah cowok itu.

"Sebenarnya, apa yang Candra pandang dari lo sih? Lo gak ada cantik-cantiknya jadi cewek. Bahkan orang buta aja ogah menghirup oksigen yang sama dengan lo."

Arunika berbalik badan, dia menatap Willy tajam, tapi yang di tatap justru tersenyum mengejek.

Arunika melangkah mengikis jarak dengan Willy. "Gue kira tampang lo aja yang pas-pasan, ternyata attitude lo juga jauh di bawah standar," celetuk Arunika telak. Setelahnya ia berlalu pergi. Sementara Willy mengeraskan rahangnya.

"Sialan!"

Daru terkekeh. "Gue kira tampang lo aja yang pas-pasan, ternyata attitude lo juga jauh di bawah standar," kata Daru meniru ucapan Arunika. "Harga diri lo udah jatuh dan di injak-injak dengan cewek lusuh macam Arunika."

"Sialan, makin bertingkah aja tuh cewek." Daru tergelak.

***

Arunika baru saja sampai di rumahnya, pikiran dan perasaannya sangat kacau. Pelajaran hari ini tak dapat dia tangkap dengan baik. Ulangan harian saja tak dapat dia kerjakan, hari ini benar-benar buruk. Semuanya karena Candra dan Andin.

Andai saja Candra mau melepaskannya, mungkin Arunika akan berusaha melupakan cowok itu, dan akan bersikap biasa-biasa saja. Tapi nyatanya, Arunika tidak bisa seperti itu, mengingat status hubungannya dengan Candra tak jelas. Antara masih terjalin, atau sudah putus.

Arunika tidak habis pikir dengan Candra yang seakan tidak ingin memutuskannya, tapi tak juga menjaga jarak dengan Andin. Sebenarnya apa yang cowok itu inginkan?

Drtt! Drtt!

Ponselnya bergetar, Arunika merogoh saku roknya, sebuah nomor asing.

+6288999988xxxx
Hai!

Arunika
?

+6288999988xxxx
Kevin, nomor baru aku. Save ya.

Arunika.
Oh, lo. Gue kira siapa. Oke deh, gue save.

Kevin New
Aru, lagi apa? Sibuk enggak?

Arunika
Enggak, ada apa?

Kevin New.
Mau antar aku enggak? Aku mau beli buku.

Arunika.
Oh, oke, kebetulan gue juga mau beli sesuatu. Ketemuan di toko bukunya ya.

Kevin New.
Oke. Aku tunggu jam 3 ya.

Arunika.
👌👌

Setelahnya Arunika meletakkan ponselnya di meja belajar, dia akan mengganti pakaiannya terlebih dahulu, membuat makanan untuk makan siangnya. Lalu membersihkan dirinya dan pergi lagi bersama Kevin. Itulah rencananya hari ini.

Sebelum akhirnya ponselnya bergetar lagi. Arunika mengurungkan niatnya untuk berganti pakaian. Kemudian kembali meraih ponselnya.

Kak Arina calling...

Dengan senyum lebar, Arunika menjawab panggilan tersebut.

"Kakak!" seru Arunika.

(Kecilkan suara lo, Arunika.) Protes Arina dari seberang sana.

"Kakak kapan pulang? Aru kangen."

(Gue gak tau kapan pulang, malas aja gue balik. Nenek sihir ada di rumah gak?)

Arunika mengerucutkan bibirnya. "Enggak, mamah gak ada di rumah."

(Oh, ke mana? Habiskan harta warisan ayah?)

Arunika mengedikan bahunya. "Mana aku tau. Kakak aku kangen," rengek Arunika manja.

(Sama, gue juga. Tapi gue banyak kerjaan di sini.)

Arunika terlihat sedih. "Iya deh, gak apa-apa, aku harus mengerti, Kakak jaga kesehatan di sana."

(Iya, lo juga. Jangan telat makan ya. Ingat, lo kan gak boleh kecapean.)

"Siap."

(Ya udah gue tutup dulu, ya. Nanti biar gue suruh Arya kirim uang buat lo, bulan ini dia belum transfer, kan?)

"Iya, belum. Tapi uang dari Kakak masih cukup, kok."

(Tetap aja, lo harus ada uang simpanan. Ya udah gue tutup ya. Jaga diri lo.)

"Iya, Kak."

Panggilan berakhir. Arunika menghela nafasnya panjang. Ingin sekali rasanya dia pindah bersama dengan Arina dan Arya di sana. Tapi apa dia bisa melepaskan semua kenangan manis bersama mendiang ayah dan bundanya? Sepertinya Arunika tak kuasa. Walaupun rumah ini terkesan sepi, tapi begitu banyak kenangan indah yang masih dapat ia ingat, walaupun Arunika tau kenangan itu tak mungkin dapat kembali lagi.

***Bersambung***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top