Bab 10. How To Handle Over-Protective Mom

Beneran dah! Gue kagak ngerti harus bahagia atau merana dengan 'kecerdasan' murid gue. Sekarang gue lagi koreksi lembar ulangan Bahasa Inggris mereka, dan ada satu set lembar soal yang dijawab benar semua tanpa ada yang salah. Yang jadi masalah, seharusnya ada sepuluh soal uraian, tapi dia cuma ngerjain lima. Lima yang lain? Dia timpa pake tipe-X!

"Ambil napas banyak, buang pelan-pelan, Siti," kata gue di dalam hati sebelum gue coret-coret tu lembar ulangan.

"Masalah itu untuk selesaikan. Bukan dihapuskan!!!" tulis gue gede-gede pake tinta merah.

Belum ilang kesel gue, tiba-tiba pintu ruang guru yang sunyi ini njebret kebuka dengan dorongan energi luar biasa. Bikin gue yang masih deg-degan gara-gara si murid 'cerdas' makin ngos-ngosan. Dari celah pintu yang bikin gue memicing muncul makhluk yang bikin mata sipit gue makin segaris dan pengen nyamber kacamata item tukang pijet.

Kalian pernah lihat burung merak, 'kan? Nah, sekarang yang lagi berjalan anggun ke arah gue, adalah sesosok wanita yang tampilannya kayak burung merak yang kesiram glitter dan gue curiga dia tanam lampu ratusan watt di dalam kepalanya, soalnya wajahnya silau banget, man.

"Kamu Siti, ya? Wali kelas anak kesayangan saya, Javier Oman Junaidi Oliver."

Gue cuma bengong, sambil mutar otak, dan lirik-lirik daftar absen. Gue cuma hapal nama panggilan murid gue, jarang ingat nama lengkap yang kadang panjangnya ga cukup buat ditulis di LJK.

"JOJO!" lanjut perempuan di depan gue nggak sabar tepat sebelum gue buka mulut buat nyebut nama yang sama.

"Iya, ada yang bisa dibantu?" tanya gue sok profesional, meski pun sekarang gue cuma pake sandal jepit, gara-gara sepatu pantofel kesayangan gue kesiram pipis kucing yang mikir gue adalah batas wilayah kekuasaannya. Dasar kucing yang nggak pernah makan bangku sekolah! Masak dia nggak bisa bedain tiang listrik, ama perempuan eksotis macam gue.

"Saya mau menuntut kamu dan seluruh sekolah!" kata Mami Jojo yang angkat dagunya tinggi-tinggi.

"Duh Ibu, harusnya Ibu nunduk, saya 'kan imut-imut kayak kurcaci, kalau Ibu angkat dagu tapi tetap ingin memberi saya tatapan mengintimidasi, otot mata Ibu sendiri yang capek karena harus jejulingan ngeliatin saya yang jauh di bawah hidung mancung Ibu yang lubangnya kembang-kempis." Sayangnya gue nggak ngomong itu langsung, bagaimana pun gue guru beretika.

"Ada persoalan apa ya, Bu?"

"Kamu dan seluruh sekolah sudah membahayakan keselamatan Jojo!"

Oke, sekarang gue beneran bengong. Pikiran gue langsung liar, jangan-jangan Aldo tawuran lagi? Bukannya dia udah taubatan nashuha? Apa perlu gue ruwat biar ga kumat?

"Bisa diperjelas, maksud ibu apa?" tanya gue hati-hati.

Baru aja bibir bergincu ungu metalik itu membuka, muncul sosok lain di sebelahnya. Si objek pembicaraan, Jojo.

"Mami, ngapain Mami ke sini?" Wajah cowok dengan gaya rambut poni mangkok itu kelipet-lipet. Kelihatan bingung, antara pengen ngumpetin diri sendiri, atau ngumpetin ibunya ke dalam lemari.

"Oh Jojo. Anak Mami yang paling lembut, baik, penyayang," ucap si ibu dengan suara lembut, empuk, manis, kayak rambut nenek yang dijual di depan SD. Duh, kok gue jadi ngiler yak? Tapi, begitu pandangannya beralih ke gue, suara tinggi melengking ala Mak Lampir yang keluar. "Apa kamu tega, menyuruh anak selembut ini manjat-manjat dinding, membahayakan diri sendiri?"

"Lembut?" Mau ga mau kata itu meluncur dari bibir penuh ala Kylie Jenner gue. Di antara sekian kata buat deskripsiin Jojo, lembut adalah kata yang paling jauh dari kenyataan. Apa si Mami ini nggak lihat kalau bisep anaknya bersaing ama tukang bangunan?

"Jojo nggak akan ikut lomba panjat tebing! Dan sampai tanggal pelaksanaan lomba, Jojo nggak akan masuk sekolah!"

"Mami!" seru Jojo tak setuju, "Jojo yang mengajukan diri untuk ikut lomba, Mi."

"No, no, no," jawab Mami sambil jarinya goyang kiri-kanan kayak whipper mobil di musim hujan. "Kamu nggak perlu belain guru-gurumu. Sekarang nurut Mami. Pulang! Kamu udah bau keringat."

Gue masih terlalu lemot untuk mengolah semua adegan yang ada di depan gue, sehingga gue nggak lakuin apa pun ketika Jojo diseret keluar ama ibunya. Begitu mereka hilang di balik pintu kantor guru, giliran kepala Aldo yang maju mundur di pintu, mirip undur-undur yang suka dicari ponakan gue.

"Ada yang mau kamu sampaikan?" tanya gue setelah ngumpulin wibawa.

"Jojo diem-diem daftar lomba panjat tebing, Bu. Buat wakilin sekolah. Tapi kayaknya ketahuan ama Mami. Maminya 'tu overprotective banget, apa-apa nggak boleh. Jadi Jojo sering keluar diam-diam buat main ama kami. Kasihan banget sih dia. Masih diperlakukan kayak bayi. Kemarin-kemarin kami sering ledekin dia anak Mami, tapi kayaknya dia juga tersiksa ama Maminya."

"Jojo bisa panjat tebing?" tanya gue meyakinkan.

"Iya, Bu. Kalau nggak percaya tanya aja ke Pak Saepul. Pak Saepul 'kan guru olahraga, kemarin juga pas daftar lomba pakai rekomendasi dari Pak Saepul."

***

"Eh, ada Dik Siti." Suara Saepul diempuk-empukin, sayangnya tetap aja kerasa kayak naik oplet di jalanan setelah banjir: perut gue keaduk-aduk. "Ada yang bisa Abang bantu?"

"Saya mau tanya tentang Jojo," gue bilang dengan nada yang diseriusin, gue lagi empet nanggepin laki kecentilan satu ini. "Bapak yang ngasih rekomendasi dia, buat ikutan lomba panjat tebing?" Tampang dia langsung serius, kalau udah bahas soal murid si Saepul ini emang bisa diandalkan.

"Iya, saya yang minta dia nyoba ikut lomba. Dia punya kemampuan dalam panjat tebing, sayang kalau hanya dimanfaatkan untuk panjat pager sekolah atau pun tembok rumah tiap kali mau kabur."

"Dia sering kabur dari sekolah dan rumah?" Mau nggak mau gue kaget, karena secara tampang Jojo terlalu cari aman, kecuali....

"Dulu sering, sebelum Dik Siti masuk ke sini. Biasanya dia kabur bareng Aldo. Tapi karena sekarang Aldo jarang kabur, Jojo juga udah nggak perlu kabur. Saya menemukan bakatnya ketika dia mau bolos lewat pager belakang, dia lebih lincah dari monyet abah saya yang biasa disuruh manjat pohon kelapa."

Gue cuma ber'O' dengar penjelasan dia. Untung bibir gue nutup tepat waktu, kalau nggak mungkin nyamuk yang lagi berterbangan di sekitar kepala Saepul mikir mulut gue garasi dan mendarat di mulut gue.

"Bapak bisa temani saya?" tanya gue dan untuk sekilas gue merasa baru saja mencet tombol lampu di kepala dia, mukanya langsung cerah, senyumnya sumringah, bikin gue langsung gerah dan jengah.

"Ke mana, Dik? Menemani hari tua Dik Siti? Ayok, 'lah. Abang siap."

"Ke rumah Jojo! Buat ngomong ama Kanjeng Mami," jawab gue judes pedes.

***

"Kalian mau apa?" sapa Kanjeng Mami 'ramah' banget, sampai-sampai rasanya gue pengen langsung cabut.

"Kami datang ingin membicarakan tentang Jojo," ucap gue seramah mungkin, siapa bilang guru cuma harus menjaga bicara waktu berhadapan dengan murid aja? Politik seorang guru juga melibatkan wali murid. Apalagi kalau mereka lebih ajaib dari anaknya. "Dan ini, Pak Saepul, guru olahraga di sekolah."

"Laurensia Oman Laili Olivia. Panggil saja Mami Lolo." Mami Lolo berdiri anggun di tengah ruang tamunya. Sama sekali nggak ada tanda-tanda buat mempersilakan kami duduk. "Jadi kalian yang telah berkonspirasi membahayakan keselamatan anak kesayangan saya?" Duh, mulai lagi dramanya.

"Kami kemari ingin memberitahu, bahwa sudah saatnya Mami Lolo memberikan kepercayaan kepada Jojo untuk tumbuh dan mengambil risiko." Saepul bicara to the point, nggak pake tedeng aling-aling, pemanis sakarin, apalagi penyedap micin.

"Sebagai orang tua, pasti tak ingin Jojo terluka. Tapi kalau terlalu overprotective, bagaimana Jojo bisa belajar melindungi dirinya sendiri. Mami 'kan nggak bisa terus-terusan melindungi dia." Gue berusaha ngomong sehalus mungkin, tapi sayangnya lidah gue bukan dari sutra, hati gue bukan dari beledu. Jadi tetap aja geradakan nggak karuan kayak belacu.

"Dan larangan yang Mami Lolo berikan, bisa jadi tantangan buat Jojo yang ingin dia taklukkan," sambung Saepul, gue ngelirik dia, nggak nyangka kami bisa jadi tim yang kompak.

"Jangan sembarangan ngomong ya! Jojo nggak mungkin kayak gitu!" Sanggul Mami Lolo bergoyang mengikuti irama gerakan kepalanya.

"Kalau nggak percaya, silahkan lihat ke belakang Mami Lolo," ucap Saepul santai sambil tersenyum hampir nyengir.

"JOOOOJOOOO!" Suara si ibu naik delapan oktaf, melengking lebih tinggi dari ultrasound-nya ikan dugong. Hilang semua keanggunan waktu wanita itu sprint dari ruang tamu, lompatin bangku di ruang tengah, menerjang meja makan, hingga akhirnya mendarat di halaman belakang. Gue lari tergopoh-gopoh bawa badan gue yang imut tapi butuh diet, sementara si Saepul lari santai aja, dasar guru olahraga!

Dengan menyingsingkan kain jarik ber-glitter, melempar sepatu hak tinggi warna merah berkilau milik Dorothy, Mami Lolo menyusul anaknya memanjat tembok. Seketika otot rahang gue lupa berkerja, gue melongo, melihat pemandangan dua orang dewasa nemplok di dinding mirip cicak yang lagi nungguin nyamuk.

"Kamu ngapain? 'Gimana bisa di sini?" tanya si Mami pada Jojo yang lagi nggantung ganteng di sebelahnya.

"Jojo lagi latihan panjat dinding, karena Mami nggak ngizinin Jojo pergi latihan di sekolah, Jojo latihan di sini aja," jawab anak itu melangkah ke atas lagi, tangannya lihai nyari pegangan di sela-sela batu bata yang belum sempat ditutup adonan semen.

"Kamu bisa jatuh!" seru Lolo panik, tapi juga ikut manjat lebih tinggi.

"Terus Mami sendiri nggak takut?" tanya Jojo iseng, seketika itu juga wajah Mami Lolo langsung pucat. Teriakan dugong kembali terdengar, menggetarkan kaca-kaca jendela.

"Bantu Mami turun!!"

Jadi dia nggak sadar ketika tadi memanjat ala cicak? The power of emak-emak panik lah ya!

"Pilih mana? Jojo latihan panjat tebing bersama teman-temannya dengan peralatan lengkap dan pengawasan dari orang-orang ahli, atau diam-diam seperti ini? Tanpa pengaman, tanpa pengawasan?" tantang Saepul, di saat yang sama Jojo mulai nyengir nggak karuan, kayak kuda yang menang balapan. Kayaknya mereka memang sudah rencanain semua ini.

"Mami izinin, Mami izinin!" tangan Mimi mulai bergetar, keringat segede kedelai mulai menghiasi dahi, kilaunya ngalahin kristal swarovski yang jadi tusuk konde si Mami. "Tapi bantu Mami turun!"

*** 

Part bontot mampir ke lapak Desimala ya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top