09. Derita

Salah satu duka terdalam bagi pecinta adalah derita kerinduan yang tertawan dalam jiwa.

🌼🌼🌼


Berdiam diri di kamar adalah salah satu rutinitas Yara setelah mengikuti serangkaian kegiatan pesantren. Bukan Yara tidak ingin meluangkan waktu untuk bercengkerama dengan para santri yang lain, ia hanya sedang meredam duka yang terkadang tanpa sengaja berkeliaran di kepala.

"Mbak, ada titipan lagi nih," ucap Hasna begitu memasuki kamar.

Tanpa bertanya pun Yara sudah paham siapa pengirimnya. Sudah dua minggu di sini, Yara sering mendapatkan kejutan-kejutan kecil itu. Bahkan, setiap minggu pun orang itu selalu datang. Namun, sekadar menyapa pun, Yara masih enggan.

Sebenarnya, Yara ingin langsung membuka bingkisan tersebut. Namun, ia tahan. Ia tidak ingin matanya seketika memanas ketika menemukan sepucuk surat di dalamnya, yang Yara yakini isinya akan membuat hatinya semakin nyeri.

Semenjak menginjakkan kaki di tempat ini, Yara sudah bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya akan tetap baik-baik saja meski tanpa kehadiran lelaki itu di sisi. Namun.... Ah, Yara langsung menggeleng pelan. Ia tidak ingin membayangkan skenario terburuk yang akan ia hadapi di masa mendatang.

"Nggak langsung dibuka, Mbak? Mungkin, ada yang penting," seru Hasna membuat Yara goyah.

"Kalau isinya makanan ambil aja, Mbak! Lumayan bisa buat nyemil," ujar Yara pada Hasna. Namun, gadis itu menolak.

"Nggak mau ah. 'Kan, lagi puasa, Mbak," sungut Hasna yang sontak membuat tawa Yara menyembur. Nada bicara Hasna sungguh menggelikan. Padahal, jika sedang mendapat jatah mengontrol santri, garangnya tidak terkendali.

"Buat buka puasa nanti, Mbak," kata Yara yang langsung mendapatkan anggukan dari Hasna. Bagi santri, setumpuk makanan itu bisa menjadi amunisi. Agendanya yang seabrek itu membutuhkan asupan yang pas untuk menambah energi.

"Ya udah. Boleh deh kalau Mbak Yara maksa," ucap Hasna sambil tertawa.

"Mbak, aku mau tidur bentar ya. Nanti bangunin pas Zuhur."

Setelah mengucapkan itu, Hasna langsung menuju kasur lantai di bagian ujung. Gadis itu tampak lelah. Yara menyadari bahwa tidak mudah menjadi anggota pengurus di pesantren. Selain harus ikut serta mengurus santri, ia juga harus siap sedia kalau sewaktu-waktu keluarga ndalem membutuhkan uluran tangan.

"Semoga lelahnya dibalas dengan keberkahan oleh Allah ya, Mbak," lirih Yara sembari menepi ke dekat pintu. Ia tidak ingin mengganggu waktu lelap Hasna jika jarak keduanya terlalu dekat.

Sesampainya di tempat yang dituju, Yara membuka buku catatannya. Ia kembali berkutat pada aktivitas yang tertunda sebelum Hasna datang ke kamar ini.

Ada banyak hikmah yang Yara tangkap sewaktu mengaji tadi pagi, yaitu pemahaman tentang zikir sirri atau zikir filqolbi. Adalah, ucapan zikir yang dilafalkan dalam hati.

Berhubung Yara ikut mengaji ibu-ibu jamaah tarekat, pembahasannya tidak jauh dari lafal zikir yang harus dilakukan secara konsisten. Yara tertarik ketika mendengar tentang zikir tersembunyi tersebut. Jika bisa diterapkan dengan baik, maka dapat menjadi lantaran ketenangan hati.

Menyerukan zikir di dalam hati itu sangat bagus untuk kebaikan jiwa. Bagi Yara, tidak ada yang lebih indah selain ketika seseorang mampu menghadirkan Allah dalam hatinya. Sebab, tak jarang orang melakukan ritual ibadah, tetapi tidak menyertakan hati dalam gerak-geriknya. Alhasil, meski ibadahnya tak pernah alpa, hatinya tetap saja terasa kosong tanpa makna.

Salah satu duka terdalam bagi pecinta adalah derita kerinduan yang tertawan dalam jiwa. Begitulah yang dialami oleh Yara. Rindunya pada Allah masih tertahan dalam sukma. Sebab, cinta yang ia punya masih kerap melebihi cinta pada makhlukNya.

"Astaghfirullah," rapal Yara pelan. Ia menangis lagi. Selama di sini, banjir air mata sudah sering ia lalui.

Kemudian, Yara membaca berulang sederet kalimat yang ia catat tadi. Ada penjelasan mengenai tata cara zikir sirri secara runtut. Yara ragu antara mau mengikuti serangkaian langkah tersebut atau tidak. Ia khawatir tidak mampu melakukannya secara rutin. Namun, sisi hatinya merasa mantap. Yara berpikir, barangkali kekosongan hatinya akan terisi jika ia mampu istiqomah dalam berzikir. Toh, menyebut nama Allah berkali-kali itu adalah hal baik.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, Yara segera membangunkan Hasna dengan pelan. Setelah memastikan gadis itu bangun, ia langsung beranjak ke kamar mandi untuk berwudu. Setelah itu, Yara melangkahkan kakinya menuju Musala puteri untuk melaksanakan salat Zuhur berjamaah.

Para santri berbondong-bondong datang ke Musala. Sebelum mata elang Hasna, selaku ketua keamanan, menusuk bola mata mereka, rombongan santri itu sudah berbaris rapi di tempat salat yang berada di salah satu sisi bangunan paling depan pondok puteri.

"Takut kok sama manusia," seru Hasna kuat. Suara gadis itu menggelegar, membuat para santri semakin ketakutan.

"Kalau saja mereka tahu watak asli Hasna. Pasti mereka tidak akan setakut itu. Wibawa Hasna bisa langsung anjlok," batin Yara sembari tersenyum senang.

Selang sepuluh menit, salat Zuhur dimulai. Kali ini, Mbak Rahma yang bertugas sebagai imam. Yara mencoba menunaikan kewajibannya kali ini dengan tenang.

Selepas salat dan berdoa, Yara kembali ke kamarnya yang berada tepat di samping Musala. Kamar pengurus memang berada di area depan. Sehingga, sangat mudah jika ada tamu atau keluarga ndalem yang butuh bantuan.

"Mbak Yara mau langsung ke dapur?" tanya seseorang yang tiba-tiba menyamai langkahnya. Ternyata, orang itu adalah Hikmah atau para santri biasa memanggilnya Bu Lurah, karena ia memang lurah atau ketua pondok puteri ini.

Selain ikut mengaji, Yara juga membantu tugas memasak. Memang tidak ada yang memaksa. Hanya saja, mengolah makanan memang sudah menjadi sebuah kesenangan bagi Yara. Maka dari itu, ia dengan senang hati bergelut dengan urusan dapur.

"Duduk sebentar, Mbak. Nanti jam satu ke dapur," jawab Yara sambil tersenyum.

"Nanti panggil aku ya, Mbak!" ucap Hikmah sambil berlalu. Yara pun hanya manggut-manggut saja.

Kamar Yara berada di samping Kamar Satu, yang penghuninya merupakan pengurus inti. Ada ketua, wakil, sekretaris, dan bendahara. Maka dari itu, Yara menyanggupi ketika Hikmah memintanya untuk berangkat bareng sewaktu hendak pergi ke dapur. Sebab, hanya dengan lima langkah saja, kamar Hikmah sudah terlihat.

Yara segera memasuki kamar untuk sekadar mengistirahatkan badan sejenak. Meski tak seluas kamarnya, tetapi Yara sangat menikmati bermukim di sini.

Dari cerita Hasna, awalnya, kamar yang ditempati Yara saat ini adalah koperasi pondok. Tentu saja, sebelum berpindah tempat. Lalu, koperasi yang dulunya kecil mungil, kini sudah berubah menjadi mini market yang isinya lumayan lengkap. Lokasinya tepat di depan gerbang pesantren yang sangat memudahkan para santri untuk melengkapi kebutuhan harian.

Saat itu, Yara mendengarkan penjelasan tersebut dengan serius.

"Tak terasa sudah dua minggu ya berada di tempat ini," ucap Yara pelan.

Ketika sedang sendiri seperti saat ini, Yara teringat sang suami. Bukan bermaksud balas dendam, Yara hanya tidak ingin menanggung derita sendirian. Maka dari itu, Yara selalu saja menolak secara halus ketika suaminya itu meminta bertemu.

"Untuk sementara, Yara nggak mau ketemu dulu dengan Mas Rafif, Mbak. Nanti malah rasa rindunya semakin menumpuk. Yara nggak mau tiba-tiba ngajakin pulang padahal ada tanggung jawab yang harus diemban."

Itulah kalimat andalan Yara ketika Rafif mengunjunginya. Ia selalu berpesan begitu pada Mbak Rahma sebagai sebuah simbol penolakan.

"Mbak Yara, anterin ke mini market depan, yuk! Bentar aja. Darurat, Mbak. Tamu tak diundang tiba-tiba datang," ucap Hasna secara tiba-tiba. Muka cantik yang selalu dicap sangar itu tampak memelas. Yara pun pasrah. Ia sungguh tak tega.

"Ya udah. Berangkat sekarang, yuk! Keburu tak tinggal ke dapur," timpal Yara serius. Yara heran dengan Hasna. Sisi galaknya tiba-tiba lenyap ketika berada di luar. Yara selalu menyebutnya jago kandang. Apalagi, jika sudah berpapasan langsung dengan pengurus pondok putera, Hasna langsung menunduk tanpa diduga. Sehingga, Yara geli sendiri menyaksikannya.

Setelah melipat mukena dan memakai bergo, Yara dan Hasna berjalan beriringan menuju koperasi. Sesampainya di gerbang pondok puteri matanya menyipit begitu mendapati sosok tidak asing berdiri tegak tidak jauh dari tempatnya berada saat ini. Yara memastikan sekali lagi. Ternyata, pandangannya tidak keliru. Lelaki itu memang benar-benar di sini.

"Viren?" gumam Yara lirih. Langkah Yara terasa berat. Sungguh, Yara tidak menyangka jika ia akan bertemu lelaki itu di sini. Di tempat yang tidak pernah ia prediksi. Akankah derita Yara bertambah setelah ini? Pikiran Yara berkecamuk tiada henti.

___________________

To be continued.

Semangat Senin. ✊

Gimana ibadah puasanya? Masih aman?

Semoga yaaa.. 🤭

Sebelum mulai bergelut di dapur, boleh nih bercengkerama dulu dengan Yara.

Selamat membaca.🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top