9. Skin Scent
Haid adalah masa-masa yang kurang menyenangkan untuk Mutia. Setelah tertidur di tengah-tengah pillow talk dengan Enoch karena terlalu lelang dengan rangkaian akad dan resepsi, jelang dini hari Mutia mulai tidak tenang dalam tidurnya. Mutia terbaring meringkuk dengan meremas selimut, napasnya terdengar berat.
"Ada apa?" tanya Enoch dengan suara seraknya, perasaan bersalah mendatangi Mutia mengetahui bahwa suaminya terbangun karena dirinya. Mengganggu tidur orang lain adalah hal yang paling Mutia hindari, karena dia sendiri tak pernah suka jika tidurnya terganggu.
"Nyeri haid," jawab Mutia pelan, berusaha bernapas lebih baik berharap rasa sakitnya berkurang. "Kamu tidur lagi aja, nggak apa-apa kok." Dengan kalimat itu Enoch kembali tidur, dan Mutia berusaha mengurangi suara dan gerakan agar tak mengganggu tidur suaminya.
Enoch berpikir bahwa Mutia baik-baik saja sampai pria itu selesai salat subuh dan melihat istrinya masih meringkuk. Enoch berlutut di samping ranjang hingga wajahnya sejajar wajah Mutia. Mata wanita itu terpejam kuat, kerutan muncul di antara alisnya, rahangnya tegang, dan Mutia menggigit bagian dalam bibir bawahnya.
"Masih sakit?" Enoch menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Mutia dan hanya dijawab dengan anggukan lemah. "Biasanya diapain biar enakan?"
"Cuma dibawa tidur aja." Mutia menjawab tanpa membuka mata.
Enoch tidak suka dengan kerutan di antara alis Mutia sehingga tanpa sadar jarinya mengusap ruang antar mata istrinya.
"Enak," senyum tipis terukir di bibir Mutia, senyum pertamanya pagi ini, dan rasa hangat menyebar dari rongga dada Enoch.
"Apa?" gerakan jemari Enoch terhenti.
"Don't stop, it feels good." Mutia mengambil tangan Enoch yang berhenti di atas kepala lalu menarik dan meletakkannya di atas dahi.
"Nggak mau minum pain killer?"
Mutia menggeleng atas pertanyaan suaminya. "Kata orang orang yang sudah pernah melahirkan, nyeri haid tak ada apa-apanya dibanding nyeri ketika melahirkan. Kalau seperti ini saja aku minum pain killer bagaimana nanti jika melahirkan? Aku hanya butuh istirahat sebentar."
"Memang bagaimana sih rasanya?" Enoch tahu dia tak bisa mengambil rasa sakit yang Mutia rasakan.
"Ehm ...," Mutia berpikir sejenak. "Rasanya seperti sakit perut diare, tapi tidak hilang hanya dengan pergi ke toilet. It lingers."
##
Tak ada bulan madu bagi mereka, selain karena datang bulan dadakannya Mutia, tapi juga karena dari awal mereka tidak merencanakannya. Mutia telah mempunyai jadwal kerjanya penuh bulan ini sebelum penentuan tanggal pernikahan.
Kontrak kerja terkait desain interior juga agenda dengan beberapa public relation perusahaan kosmetik yang hendak kerja sama. Jadi setelah kembali dari Solo di hari ketiga pernikahan mereka, yang pertama mereka tuju adalah apartemen Mutia. Mereka harus mengangkut barang-barang Mutia. Pindahan.
"Semua kotak itu isinya make up?" Enoch berdiri di tengah apartemen studio Mutia, di sisi dekat pintu tertumpuk beberapa kardus seukuran kardua mie instan yang mempunyai label berbeda. Lipstick, eyeshadow, palette, base, dan lainnya.
"Iya," Mutia membuka kulkas, mencari minuman dingin yang hampir selalu dia sediakan. "Itu untuk disumbangkan."
"Disumbangkan? Siapa yang butuh sumbangan makeup?" Enoch mengambil botol minum dari tangan istrinya lalu meminum dari tempat yang sama.
"Aku punya beberapa adik asuh yang sekolah di SMK jurusan kecantikan, dan mereka dari keluarga menengah bawah." Enoch menatap Mutia yang menjelaskan dengan ringan, terkejut dengan sisi lain istrinya yang baru saja dia ketahui. "Mempersiapkan set make up lengkap untuk praktikum selama sekolah tidaklah murah bagi mereka. Dan yang sudah lulus, tak ada pekerjaan jika mereka tak punya peralatan. Aku hanya memberi kail kepada mereka, dan selama ini mereka memanfaatkan dengan baik. Sebagian besar juga mulai berkembang."
"Sejak kapan mempunyai adik asuh?"
"Sekitar dua tahun," Mutia berusaha mengingat. "Sejak koleksi makeup mulai tak terkendali."
"Lalu di mana makeupmu?"
"Setelah dikurangi kardus-kardus itu, makeup-ku tinggal sedikit," Mutia menghela napas, seperti belum mau melepaskan.
"Mana?"
"Hanya ini dan ini." Mutia menepuk dua kabinet setinggi dada yang masing-masing memiliki empat laci.
"Hanya." ujar Enoch ironis.
##
Malam hari setelah makan malam biasanya Mutia maupun Enoch akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing sebelum tidur. Seperti malam ini, di "meja kerja" Mutia tergeletak beberapa botol kosmetik yang baru dia ambil siang tadi dari kantor pos.
Dia memilih menggunakan jasa sewa loker di kantor pos, PO BOX, sebagai alamat pengiriman terkait pekerjaannya. Dia tak ingin mengambil risiko dengan menyebar alamatnya ke publik. Post di sosial media dia usahakan bebas dari hal-hal pribadi. Bahkan pernikahannya pun tidak diumumkan di sana. Hanya pemberitahuan singkat kapan dia menikah, tapi tempat hingga dengan siapa dia menikah tak ia bocorkan.
Sebenarnya dia bisa menghemat banyak uang untuk resepsinya jika dia mau mencari sponsor. Dengan jumlah follower yang dimiliki, banyak penyedia jasa yang akan meminta untuk endrosement. Tapi endrose berarti menampilkan ke publik, dan itu tak pernah dia inginkan, apalagi Enoch tak pernah nyaman jika berhadapan dengan kamera.
Sementara Enoch malam ini sedang melakukan random sampling bukti transaksi Crunch and Hunch. Dia telah mendelegasikan tugas administrasi kepada manajemen mulai dua bulan lalu. Dia sadar bahwa dia harus mendelegasikan tugas itu karena sekarang sedang mempersiapkan diri untuk membuka cabang. Enoch harus memusatkan perhatiannya untuk cabang baru tapi tak ingin kehilangan kontrol atas cafe pertama, sehingga sesekali dia melakukan uji petik untuk memastikan kinerja manajemen.
"Mas udah selesai?" tanya Mutia ketika melihat Enoch mulai merapikan kertas. Sejak menikah Mutia mulai memanggil suaminya dengan sebutan Mas.
"Iya, kamu masih lama?"
"Masih ada beberapa lagi. Sini sebentar, aku butuh bantuan." Enoch segera bangkit dan berjalan mendekati istrinya. "Aku pakai parfum ini." Mutia memperlihatkan sebuah kotak timah persegi berukuran kecil yang di dalamnya terdapat benda padat berwarna putih.
"Balsam?" tanya Enoch ketika melihat apa isinya dan Mutia langsung memutar matanya.
"Solid perfume, kadang juga disebut perfumed balm." Mutia mendekatkan benda itu ke hidung suaminya.
"Oh iya, wangi. Nggak seperti balsam otot." Komentar Enoch membuat Mutia memijat pelipisnya.
"Aku pake, tercium nggak wanginya dari jarak segini? Aku mau bikin review tentang jangkauan wanginya," Mutia memasang tutup wadah parfum dan meletakkannya di meja. Jarak Mutia dan Enoch kini sekitar satu lengan.
Enoch menghidu, mendekatkan dirinya ke Mutia. "Nggak tercium apapun." Enoch makin mendekat, jarak wajah mereka sekarang hanya sejengkal. Mutia bisa merasakan panas tubuh Enoch, membuat pembuluh darah di sekitar wajahnya melebar. Mutia sebentar lagi memerah. "Nggak ada bau. Kamu pakai di mana?" Alis Enoch naik, terlihat penasaran.
"Ehm ..., di sini." Mutia menunjuk sisi kiri lehernya, dia tadi mengoleskan wewangian padat itu di sana.
Enoch mendekatkan hidungnya di tempat yang Mutia tunjuk, napasnya menyapu permukaan kulit Mutia. Membuatnya meremang.
"Dari sini tercium," ada yang berubah dari cara bicara Enoch meski Mutia tak tahu apa.
##
"Mut," suara kantuk Enoch kembali menarik kesadaran Mutia yang hendak terlelap. Pria itu memeluknya dari belakang.
"Hm?" tenaga Mutia sudah habis bahkan untuk sekedar bersuara.
"Jangan pakai parfum yang lain ya, setelah ini."
"Kenapa?" wanita itu memandang jemari mereka yang terpilin.
"Pakai parfum yang ini saja. Aku suka ...," jeda sejenak sebelum Enoch melanjutkan. "Karena yang bisa cium wanginya cuma aku. Aku nggak mau ada orang lain yang cium wanginya kamu."
##
Dalam proses penerbitan. Beberapa chapter akan di-unpublished secara bertahap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top