»K-8«
"Kak ...."
Mungkin membiarkan mereka masuk adalah keputusan yang salah. Baru mendengar suara Toni saja, sudah membuat bulu kuduk gue meremang. Dengan gampangnya kenangan tentang hari itu terpampang di pelupuk mata. Lalu bagaimana caranya gue bisa menatap ketiga orang yang kini sedang berdiri di belakang gue.
"Kak Cristal ...."
Kini ganti suara Budi yang masuk ke telinga gue. Antara rasa ingin menanyakan keadaan mereka dan takut memori itu kembali terulang, gue lebih merasa nggak sanggup untuk mengingat kejadian hari itu. Akhirnya gue memilih diam.
Terlintas keinginan untuk menyuruh Bi Minah mengusir mereka, tapi gue nggak setega itu. Gue yakin Budi dan Indah bakal sedih jika gue menyuruh mereka pergi. Padahal baru kali ini mereka berani menemui gue secara langsung.
"Kak Cristal."
Air mata gue turun dengan sendirinya saat suara Indah merasuk ke telinga. Gue nggak bisa mengartikan perasaan saat ini. Entahlah, terlalu carut marut. Namun, satu hal yang pasti, ada setitik lega di hati saat Indah memanggil nama gue. Gadis yang gue peluk erat hari itu ternyata selamat. Dia masih bisa menjalani hidupnya yang masih panjang. Dia masih bisa menyaksikan indahnya mentari.
"Kak ... maafin kami, Kak ...."
Tangis gue semakin pecah saat Toni dan Budi bersimpuh di bawah kaki kanan gue. Mereka memeluk kaki gue dengan erat.
"Maafin kami, Kak." Berkali-kali ucapan maaf terlontar dari bibir Toni dan Budi. Sedangkan tangis gue dan Indah saling bersahutan.
"Aku sebagai kakak nggak bisa jaga Indah, malah ... malah bikin Kak Cristal seperti ini. Aku nggak becus jadi kakak. Maafin aku, Kak." Toni masih saja bersimpuh dan gue yakin saat ini dia juga sedang menangis.
"Kak ... Budi minta maaf. Kalau dulu Budi nggak membiarkan Kak Cristal balik ke rumah, pasti ini nggak akan terjadi. Budi salah, Kak. Budi yang salah."
"Aku siap menerima apa pun kemarahan Kak Cristal. Aku bersumpah bakal menuruti apa pun perkataan Kak Cristal. Aku bersumpah bakal ikut ke mana pun Kak Cristal pergi. Aku yang akan menjaga Kak Cristal. Tolong biarkan aku menebus kesalahanku, Kak." Suara Toni terdengar tegas.
"Budi juga, Kak. Seumur hidup, Budi bakal ngikutin Kak Cristal."
Gue nggak sanggup lagi melihat kedua remaja yang kini bersujud di tanah. Namun, untuk menyuruh mereka bangkit pun gue nggak bisa. Seolah pita suara gue macet. Bahkan saat Indah menghambur turut memeluk kaki gue pun, hanya tangis yang bisa lolos dari mulut gue.
Kenapa mereka minta maaf ke gue? Apa mereka merasa bersalah sudah menjadi penyebab gue kehilangan kaki? Apa mereka menyesal? Namun, pertanyaan besar yang bercokol di pikiran gue adalah apakah benar ini semua salah mereka? Apakah gue menyesal menjalani semua ini?
Kalau gue nggak menyesal, kenapa gue malah memalingkan muka? Kenapa gue nggak tahan melihat Indah yang ternyata sehat nggak kurang apa pun? Kenapa gue merasa ini nggak adil? Kenapa cuma gue yang merasakan penderitaan ini, sedangkan mereka masih terbebas dari segala kesusahan?
Bahkan gue nggak cuma kehilangan kaki. Gyan pergi dari hidup gue. Rasa bangga Mami Papi pun ikut hilang bersama kaki gue. Hidup gue hancur.
"Lho, ada apa ini?" Suara Mami menginterupsi tangisan kami. "Sudah ... sudah! Ayo, berdiri semuanya."
Gue mengusap air mata dengan tisu yang ada di atas meja. Sekejap gue melihat Mami menggendong Indah, lalu memeluknya sambil menenangkannya. Gue pun sempat melihat mata Mami basah. Mami menyuruh Toni dan Budi untuk berdiri. Namun, sepertinya kedua remaja itu lebih nyaman duduk di dekat kaki kanan gue.
Kenapa Mami bisa memeluk Indah seperti itu? Apa Mami nggak marah sama mereka karena sudah membuatnya nggak lagi memiliki putri yang bisa beliau banggakan?
Gue memalingkan wajah ke kiri saat Mami menyusul duduk di sebelah kanan sambil memangku Indah. Beliau masih saja berusaha membuat tangis Indah berhenti dengan mengajaknnya bicara.
"Cup ... cup ... nanti kalau nangis terus, cantiknya bisa luntur. Yuk, cup ... cup ...."
"Kak Cristal, Buk. Indah ... Indah ... bikin Kak Cristal sakit, Buk." Bukannya tenang, tangis Indah semakin kencang.
Rasa-rasanya gue pengin memeluk Indah dan mengatakan kalau ini semua bukan salahnya. Namun, gue sendiri belum yakin apa memang ini bukan karena Indah? Gue nggak yakin bisa melakukannya.
"Cup ... cup ... Kak Cristal sudah sembuh. Itu lihat, Kak Cristal sudah nggak apa-apa 'kan?" Suara Mami terdengar bergetar. Pasti susah mengatakan kebohongan besar seperti itu. Karena pada kenyataannya, gue masih kenapa-napa. Dan akan terus kenapa-napa seumur hidup.
"Indah, mau es krim?" Bi Minah ikut menenangkan bocah empat tahun itu. "Bibi punya es krim rasa seteroberi sama soklat. Mau?"
Mami mengambil tisu di meja sebelah kiri gue. "Kalau mau es krim, sekarang nangisnya berhenti dulu."
Mami menyerahkan Indah ke gendongan Bi Minah dan menyuruhnya masuk untuk mengambil es krim. Gue bisa mendengar beberapa kali Mami menarik napas panjang dan membuangnya pelan.
"Cristal, ini ada Toni dan Budi, Nak." Mami membelai lengan kanan gue.
Namun, gue nggak menggubris ucapan Mami. Pandangan gue masih lurus ke puncak atap rumah, seolah ada pemandangan menarik di sana.
Entah embusan napas ke berapa yang gue dengar dari Mami. "Kalian sudah makan?" tanya Mami ke Toni dan Budi.
"Ng ... sudah, Buk, tadi di jalan," jawab Toni.
Gue mendengkus pelan sambil tersenyum miring. Gue tahu Toni bohong. Di hati kecil, gue berharap Mami nggak percaya dengan jawaban itu dan menyuruh mereka untuk makan. Toh memberi mereka sepiring dua piring nasi nggak bakal membuat kami miskin.
"Sekarang kalian tinggal di mana?" tanya Mami lagi.
Gue mengerutkan kening saat dalam menit ketiga masih belum ada jawaban baik dari Toni maupun Budi. Benar juga. Setelah rumah kalong hancur, mereka tidur di mana? Apakah dinas sosial yang menampung warga di sana? Apakah hidup mereka tercukupi?
Gue mencoba menelisik penampilan Toni dan Budi. Sesaat gue terkesiap saat menyadari betapa kumalnya mereka. Selama lima tahun ini, nggak pernah sekali pun gue membiarkan mereka terlihat seperti gelandangan. Secara rutin gue membelikan mereka baju. Gue juga selalu cerewet tentang kebersihan, sehingga bisa dipastikan mereka mandi sehari dua kali. Namun, apa ini?
Baju yang dipakai Toni seperti sudah berhari-hari nggak dicuci. Bahkan celana panjang yang dipakai Budi bolong-bolong di berbagai tempat. Warna birunya sudah pudar, entah jadi warna apa. Kausnya nggak jauh beda. Benar-benar nggak layak pakai. Lalu bagaimana dengan Indah tadi? Rasa khawatir mendadak menyergap. Jangan-jangan mereka ....
"Kalian tinggal di jalan?" Mami melontarkan pertanyaan dengan suara melengking. Mungkin saking nggak percaya dengan pertanyaannya sendiri, Mami sampai berjongkok di depan Toni.
"Jawab Mami, Ton! Setelah pulang dari rumah sakit, kalian tinggal di jalan. Benar begitu?"
Gue mengepalkan tangan erat saat melihat Toni mengangguk pelan. Bagaimana bisa? Bukankah seharusnya pemerintah memberi mereka hunian sementara? Bukankah seharusnya ada bantuan dari berbagai pihak?
"Kenapa kalian tidak menemui Mami?" bentak Mami marah.
Toni menunduk dalam. Sedangkan Budi lebih parah, gue yakin dia sudah menahan napas sedari tadi.
"Mulai sekarang, kalian bertiga tinggal di sini!" Dengan tegas Mami memberi perintah.
Gue membuang napas lega. Entah seharusnya gue merasa bersyukur atau bagaimana. Tinggal serumah dengan sumber penderitaan gue, bukan hal yang mudah. Namun yang jelas, gue juga nggak bisa membiarkan ketiga anak ini menggelandang di jalan. Gue jelas nggak bakal bisa melihat mereka tidur di emper toko. Padahal beberapa hari ini cuaca sedang nggak tentu. Bagaimana bisa mereka berdua mengajak Indah? Astaga!
Toni sempat melontarkan penolakan. Katanya dia sudah punya tempat menetap di dekat Pasar Senin. Ya. Gue bisa membayangkan lokasi yang dia maksud adalah pojok pasar dekat pembuangan sampah. Tidur beralaskan kardus dengan dinding yang terbuat dari seng.
"Tadi, Mami dengar kalian bersumpah mau mengabdi seumur hidup ke Cristal. Benar begitu?" Suara Mami terdengar tegas. Mami kembali duduk di sebelah gue sambil menyilangkan kakinya.
Toni dan Budi mengangguk mantap. "Iya, Buk. Aku ... aku bakal nurutin semua yang disuruh Kak Cristal," jawab Toni.
"Bagaimana caranya kalian membuktikannya, kalau tidak berada dekat dengan Cristal? Kalau kalian tinggal di sini, kalian bisa melakukan apa pun yang diminta Cristal. Kapan pun."
"Tapi ... kami nggak pantas tinggal di sini, Buk. Kami yang sudah bikin Kak Cristal---" Toni melirik kaki kiri gue.
"Justru karena itu ... kalian harus ada di sini untuk membalas semua pengorbanan Cristal. Demi kalian, kaki Cristal harus diamputasi. Demi masa depan Indah, Cristal rela mengorbankan nyawanya. Lalu kalian dengan seenaknya membuat anak itu kehilangan masa depannya lagi? Saya sebagai ibunya Cristal, tidak rela. Kalian harus tinggal di sini!"
Siapa yang bisa menolak titah Mami? Bahkan kalau nada bicara Mami sudah seperti tadi, Papi pun akan bertekuk lutut. Jadi, bisa dipastikan, mulai sekarang gue akan tinggal seatap dengan mereka.
* * *
Halloooo ....
Part ini pendek, ya?
Iya, sih, cuma 1.300an kata
Habisnya Emak udah nggak tahan lagi. Mulai dari ngetik paragraf pertama sampai terakhir, Emak nangis terus. Nggak tahan membayangkan berada di posisi Cristal ataupun ketiga bocah itu.
Menurut kalian gimana, Gaes?
Masih kurang bawangnya nggak?
Ojo lali vote dan koment. Sing akeh yooo ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top