Ep. 6 - Getting to Know This World
Any time I spend with you
Is my greatest treasure in my life
I won't trade it even with all the gold, the fame, and the glory in this world
That's why
Don't leave me alone
❁⃘*.゚
Catherine membuka pintu Ruang Data dan Barang Bukti. Setelah memastikan bahwa tidak ada orang, Catherine segera menuju komputer yang berada di pojok ruangan.
"Mari kita cari data soal kasus Cat," gumam Catherine.
Catherine mulai memasukkan datanya untuk mengakses file kasus Cat. Setelah berhasil masuk, ia mulai membaca data kasus Cat dengan seksama.
Melihat namanya sendiri tertera di kolom nama korban, Catherine memijit keningnya. Ia tidak menyangka akan melihat namanya di kolom nama korban, karena biasanya namanya tertera di kolom nama penyidik.
"Apakah aku akan kuat menyelidiki kasus ini?" gumam Catherine pelan.
"Aku yakin kamu bisa."
"GYAAAAAAA!!!" Catherine berteriak melihat Altair yang tiba-tiba berada di sebelahnya. Seketika ia menutup mulutnya agar teriakannya tidak terdengar keluar. "Altair!! Jangan ngagetin dong!!" protes Catherine setelah ia menenangkan diri.
"Maaf," ucap Altair. "Aku mendeteksi bahwa kamu merasa kebingungan. Jadi aku datang untuk membantumu. Apalagi kamu masih berusaha beradaptasi di dunia ini."
"Ugh... Iya, ya. Kamu bisa mendeteksi perasaanku," keluh Catherine. "Tapi terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku hanya merasa penat setelah melihat namaku di kolom korban."
Altair melongok ke arah monitor. "Ah, kamu sudah mulai menyelidiki kasus ini. Terima kasih, Catherine Lindberg."
"Tentu saja! Aku kan ingin cepat kembali ke dunia asalku!"
Catherine kembali fokus ke monitor. Ia membaca cepat data kasus yang tertera di sana.
"Penyebab kematian, tenggelam. Ditemukan air sungai di dalam paru-parunya," gumam Catherine sambil membaca. "Lho? Di sini katanya tenggelam. Bukan karena diperkosa."
"Tentu saja data ini sudah dipalsukan," balas Altair. "Aku mencabut nyawa Cat, jadi aku tahu apa penyebab kematiannya. Cat disiksa dan diperkosa hingga tubuhnya tidak ku-"
"Cukup!" seru Catherine. "Aku sudah mendengar soal itu. Sejujurnya aku tidak tahan mendengar hal itu. Mungkin karena aku dan Cat adalah orang yang sama."
Altair menunduk sambil memegang ujung topinya. "Maaf."
"Aku akan mencatat data-data penting kasus ini dan menganalisinya saat waktu luang," ujar Catherine. "Sebentar lagi mau ada briefing."
Catherine mengambil buku catatannya dan mulai mencatat.
"Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk minta bantuan padaku. Aku akan sekuat tenaga membantumu," ucap Altair.
Catherine mengangguk. "Terima kasih, Altair."
Sambil mencatat, Catherine menatap daftar pengakses kasus Cat. Di sana tertulis nama Clive Chester dan tertera bahwa sudah lebih dari 20 kali Clive mengakses data tersebut.
"Clive... Ternyata kau juga menyelidiki kasus Cat..." ucap Catherine dalam hati.
Butuh waktu sekitar 10 menit untuk mencatat data kasus Cat yang ia rasa penting. Catherine memasukkan buku catatan ke dalam sakunya dan ia pun bergegas kembali ke Ruang Divisi Kejahatan Serius. Sebentar lagi briefing mengenai pengintaian di Daylily Amusement Park dimulai. Altair juga sudah menghilang entah kemana.
"Kat! Ayo! Briefing sebentar lagi dimulai!" Sarah melambaikan tangannya ke arah Catherine ketika Catherine muncul di pintu masuk ruangan.
"Oke!" seru Catherine. Ia meletakkan mapnya di dalam laci meja, lalu berlari kecil ke ruang rapat.
Di dalam ruangan sudah ada beberapa polisi yang duduk di kursi. Untungnya Catherine masih dapat duduk. Ruang rapat ini memang tidak tersedia banyak kursi sehingga yang tidak dapat duduk, mau tidak mau harus berdiri.
Sersan Frederick sudah berdiri di sebelah podium Inspektur, menunggu Akasha datang. Sesekali ia menyapa polisi yang masuk ke dalam ruangan.
"Selamat pagi, semuanya," sapa Inspektur Akasha sambil berjalan masuk ke ruang rapat. "Apakah semuanya sudah kumpul?"
"Tim Polisi Kece, semua sudah kumpul!" seru Jack. Semuanya seketika menatap tajam ke arah Jack.
"Baiklah, Tim Polisi Kece, kita mulai rapatnya," ucap Akasha.
"Ugh! Jack! Jangan sebut nama itu di depan Inspektur! Malu tahu!" protes Sarah.
"Apaan sih? Nama itu kan keren!" sanggah Jack.
"Ugh!" Sarah hanya bisa ngedumel.
"Ehem!" Akasha melegakan tenggorokannya sebelum mulai. "Baiklah, rapat kali ini tidak terlalu lama. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa strategi kita masih sama dengan yang sudah saya sebutkan di rapat sebelumnya."
"Aku akan berpasangan dengan Clive!" seru Catherine dalam hati. Tanpa sadar ia senyum-senyum sendiri. Untung tidak ada yang melihatnya.
"Kita akan mengintai Surt dari pintu masuk hingga ia melakukan transaksi. Tunggu sampai ia selesai transaksi, lalu baru kita tangkap saat mereka sudah berpisah. Tim Satu, fokus menangkap target utama, sedangkan polisi berseragam akan menangkap lawan transaksinya," lanjut Akasha. "Pastikan kalian juga mendapat barang buktinya!"
"Siap, pak!" sahut semua polisi.
"Bagus. Kita akan mulai mengintai besok dari pukul 11, ketika banyak pengunjung yang datang. Saat jam makan siang, Klein dan Levan, tingkatkan pengawasan pada orang-orang yang datang ke foodcourt. Saat jam makan siang, banyak orang yang akan mendatangi tempat itu."
"Siap, pak!" sahut Jack dan Sarah.
"Banyak orang yang akan berkumpul di foodcourt saat jam makan siang. Makanya kalau transaksinya pada saat itu, foodcourt adalah tempat yang tepat untuk bertransaksi!" kata Frederick.
"Apakah kita tidak mengetahui waktu pastinya?" tanya Catherine.
"Sayangnya kita hanya mendapat informasi hari transaksi. Bukan jamnya," jawab Frederick. "Tetapi aku menduga bahwa transaksi akan dilakukan dengan memanfaatkan keramaian. Puncak keramaian adalah pukul 11 sampai pukul 7 malam."
"Taman bermain buka pukul 9. Sangat kecil kemungkinannya mereka akan bertransaksi seawal itu. Namun, saya akan menempatkan beberapa polisi berseragam untuk mengawasi taman bermain dari jam buka," sambung Akasha. "Untuk semuanya, mohon pakai pakaian casual yang enak dipakai. Kita mau pergi ke taman bermain, tentu saja pakaian juga harus mengikuti."
Semuanya polisi mengangguk paham.
"Baiklah, kalau tidak ada yang mau ditanyakan. Kita akhiri rapat kali ini," ucap Akasha lagi. "Semuanya, silakan kembali ke pekerjaannya masing-masing."
Semua polisi bergerak meninggalkan ruangan dan kembali ke tempatnya masing-masing. Begitu juga Catherine.
Karena ia belum mendapat kasus baru, Catherine memutuskan untuk mulai mendalami data soal kasus Cat. Namun, saat ia akan mengambil mapnya, Jack datang mendekatinya.
"Kat! Boleh aku minta nomormu? Aku ingin memasukkanmu ke grup tim kita," tanya Jack.
Catherine baru sadar kalau grup yang Jack dan kawan-kawan miliki tentu berbeds dengan yang selama ini Catherine masuki. Namun, Catherine ragu apakah nomornya bisa dihubungi karena ia sama sekali tidak bisa menghubungi siapapun sejak datang ke dunia ini.
Tetapi Catherine memutuskan untuk memberikan nomornya pada Jack.
"Terima kasih, Kat!" seru Jack.
"Sama-sama. Aku tidak tahu apakah nomorku bisa masuk grup atau tidak, karena belakangan ini nomorku error," kata Catherine.
"Yah, nanti akan kucoba. Siapa tahu error-nya hanya sementara."
Catherine mengangguk.
"Oh, ya, ayo kita temui Pak Inspektur untuk menyerahkan laporan kasus pembunuhan Jay Miller," ajak Jack.
"Oke."
Catherine dan Jack pergi ke ruang Inspektur. Di depan ruang inspektur ada asistennya yang asyik berkutat dengan handphone-nya.
"Maya, Inspektur ada?" tanya Jack.
Wanita yang dipanggil Maya itu meletakkan handphone-nya di meja dan tersenyum ke arah Jack. "Hai, Jack. Ada kok. Inspektur juga tidak sedang latihan membuat teh. Mau ngapain?"
"Mau menyerahkan laporan."
Maya tidak mempedulikan Jack dan malah melihat ke arah Catherine. "Apakah ini anak baru yang datang kemarin?" tanyanya.
"Ah, benar. Ini Katarina Lindberg, anggota baru. Kami memanggilnya Kat," ucap Jack memperkenalkan Catherine. "Kat, ini Maya. Civillian administrator divisi kita sekaligus asisten pribadinya Inspektur Akasha."
Walau Catherine sudah mengenal Maya, ia pun berpura-pura baru pertama kali bertemu. "Sa-salam kenal. Namaku Katarina Lindberg."
Catherine mengulurkan tangannya dan disambut oleh Maya.
"Salam kenal, Kat. Aku Maya Watson. Tapi panggil aku Maya ya!" balas Maya dengan suara riang. "Maaf kemarin aku cuti karena ada hal penting yang harus kulakukan, jadi baru bisa bertemu hari ini."
"Ah, tidak apa-apa."
"Kalau Inspektur ada di dalam, kami masuk ya," ucap Jack sambil melambaikan laporannya.
"Ya, silakan," balas Maya. Maya lalu berdiri di kursinya dan mengetuk pintu ruangan Akasha. Setelah itu ia membukanya dan bicara dengan penghuninya.
"Inspektur, Jack dan Kat mau menyerahkan laporan," kata Maya.
Akasha yang sedang sibuk berkutat dengan tumpukan kertas di hadapannya langsung mengalihkan perhatiannya pada Maya. "Silakan masuk," ucapnya dengan senyum khasnya.
Catherine dan Jack masuk ke dalam ruangan.
"Inspektur, kami mau menyerahkan laporan pembunuhan Jay Miller," kata Jack.
Inspektur beranjak dari tempat duduknya dan menunjuk sofa dengan tangannya mempersilakan Catherine dan Jack untuk duduk. Akasha juga duduk di depan mereka.
Akasha membuka laporannya. "Kerja bagus, Klein, Lindberg. Pembunuhnya adalah pembantunya sendiri, kan?"
"Benar," balas Jack. "Pelaku merasa dendam pada Jay Miller karena Jay pernah membuat review jelek soal restoran milik ayah pelaku hingga membuatnya bangkrut. Jay juga mencuri buku resep milik ayah pelaku."
"Kalian sudah menyelidiki soal buku resep itu?"
"Sudah, Inspektur. Buku resep itu semuanya ditulis tangan. Setelah mencocokkannya dengan tulisan ayah pelaku, 100% cocok," jawab Catherine.
Akasha terdiam sejenak sambil menatap foto buku resep milik ayahnya Mita. "Memberi review jelek hingga restoran bangkrut, bahkan mencuri resep restorannya? Benar-benar perbuatan kotor," ucapnya.
"Benar, Inspektur. Saya rasa wajar sekali kalau pelaku menyimpan dendam pada korban," kata Catherine.
Akasha tersenyum pada Catherine. "Ya. Namun, membunuh seseorang tetaplah salah. Pelaku harus mendapat hukumannya."
Catherine dan Jack mengangguk setuju.
"Lindberg, bagaimana hari pertamamu di divisi ini? Anggota lain tidak menyulitkanmu kan?" tanya Akasha.
"Semua anggota sangat membantu saya beradaptasi di divisi ini. Saya sangat berterima kasih," balas Catherine. "Yah, walau sebenarnya aku sudah kerja di divisi ini selama bertahun-tahun. Jadi tidak perlu "beradaptasi"," kata Catherine dalam hati.
"Syukurlah. Semoga terus betah di divisi ini," kata Akasha. "Baiklah, kalau tidak ada yang perlu dibicarakan, silakan kembali ke tugas masing-masing."
"Baik, pak."
Catherine dan Jack beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ruangan Inspektur. Mereka dicegat Maya di depan ruangan.
"Bagaimana? Apakah di antara kalian ada yang dihukum Inspektur?" tanya Maya dengan senyum jahilnya.
"Huh! Tentu saja tidak ada! Kamu kira kami ini apaan?" sahut Jack.
"Yah, biasanya kamu sering dihukum Inspektur. Aku mau membicarakannya dengan admin lain," balas Maya sambil terkekeh.
"Huh, dasar cewek tukang gosip!" keluh Jack. "Ayo, Kat, kita cepat pergi dari sini."
Catherine mengikuti Jack yang berjalan cepat. Mereka bisa mendengar teriakan Maya dari kejauhan.
"Aku cuma bercanda, Jack!!"
______________________________________
Hari ini Catherine hanya mengerjakan desk work dari Sersan Frederick. Namun, kerjaannya lumayan banyak sehingga ia tidak sempat membaca file kasus Cat. Catherine pun memutuskan untuk membawa file tersebut pulang.
Sebelum pulang, Catherine mencari Clive. Namun, sejak briefing selesai, Catherine tidak melihat sosok Clive. Memang, Catherine mencuri dengar bahwa Clive sedang keluar mengurusi kasusnya. Namun, Catherine ingin segera bicara pada Clive.
Catherine pun menyerah mencari Clive dan memutuskan untuk pulang.
Saat Catherine keluar dari stasiun, hidungnya menangkap aroma masakan dari restoran sebelah stasiun. Aromanya sangat memikat menari-nari di hidung Catherine hingga perut Catherine bereaksi.
"Aduh, perutku jadi lapar. Tadi memang cuma makan sedikit saat makan siang gara-gara banyak kerjaan," keluh Catherine. "Apa aku mampir makan di sini ya?"
Catherine diam sejenak. Ia sangat tidak suka makan sendirian. Biasanya ada Clive atau temannya yang menemani. Namun, saat ini Catherine tidak mungkin meminta mereka menemaninya karena ia bukan siapa-siapa bagi mereka.
Lalu, nama Altair muncul dalam benaknya.
"Oh iya, Altair! Aku minta dia untuk menemaniku makan saja. Kan gara-gara dia aku sendirian begini," pikir Catherine.
Catherine pun menyebut nama Altair dengan pelan. "Altair."
"Ada apa? Kau memanggilku?" terdengar suara Altair dari sebelah kiri Catherine.
"Huwaa!! Oh, kamu ternyata benar-benar muncul kalau kupanggil," kata Catherine.
"Kebetulan aku sedang tidak ada urusan sehingga bisa menjawab panggilanmu dengan cepat," ujar Altair. "Ada apa?"
Catherine sebenarnya agak ragu meminta Altair menemaninya makan. Tapi karena perutnya semakin memberontak, akhirnya ia lakukan.
"Temani aku makan," ucap Catherine. "Di restoran itu," tunjuknya. "Aku sering makan di sini sebelumnya tapi biasanya makan sama Clive. Jadi, kuharap kamu bisa menemaniku."
"Baiklah. Aku tidak perlu makan jadi aku hanya akan menemanimu," balas Altair.
"Tidak! Aku ingin kamu ikut makan juga. Lalu, bisakah kamu membuat dirimu terlihat? Aku tidak mau terlihat seperti orang gila karena ngomong sama sesuatu yang tidak terlihat."
"Se-Sebenarnya bisa sih. Tapi apakah aku harus menampakkan diriku?" Altair terlihat gugup.
"Tentu saja! Kau kan pernah bilang akan melakukan apa saja untukku, jadi kamu harus menampakkan diri."
Altair mengembuskan napas berat. "Ba-Baiklah."
Seperti saat mereka sarapan bersama, jubah hitam yang digunakan Altair bersinar lalu melebur menjadi serpihan cahaya dan akhirnya menghilang. Lalu Altair melepas top hat-nya dan membuatnya menghilang.
"Kamu sudah terlihat manusia?" tanya Catherine. "Apakah kamu harus melepas jubah dan topimu agar bisa terlihat?"
"Aku sudah bisa terlihat manusia biasa. Untuk menampakkan diriku, aku hanya perlu melepas top hat-ku. Jubahku juga kulepas karena aku pernah mengalami hal buruk yang membuat jubahku kotor ketika aku menampakkan diri dan memakai jubahku."
"Hmm... Altair sangat menyayangi jubahnya, ya?" pikir Catherine.
Lalu Catherine dan Altair bisa mendengar suara bisikan para gadis yang lewat di sekitar mereka. Mereka saling berbisik sambil menatap Altair.
"Lihat! Cowok itu tampan sekali. Aku baru tahu kalau ada cowok setampan itu di sekitar sini."
"Pakaiannya bagus sekali. Seperti pebisnis kaya atau bangsawan gitu! Apa dia orang kaya ya?"
"Sepertinya dia sudah punya pacar. Itu ada cewek pirang yang bicara dengannya."
"Ugh, itu sebabnya aku tidak suka menampakkan wujudku," ucap Altair lirih.
Catherine menepuk bahu Altair dengan keras. "Hahaha cowok tampan! Jangan malu gitu dong!"
Altair menarik tangan Catherine dan langsung masuk ke dalam restoran.
"Woy! Jangan tarik tanganku!" seru Catherine.
Sesampai di dalam restoran, Altair melepas genggaman tangannya dan meminta maaf sudah menariknya keras. Catherine hanya tertawa melihat reaksi Altair.
Lalu, mereka memilih tempat duduk dan duduk berhadapan. Untungnya masih ada tempat duduk untuk mereka, karena banyak pengunjung yang datang untuk makan di restoran ini.
Memang restoran sebelah stasiun ini sangat strategis. Setiap ada kereta datang, banyak penumpang yang turun mampir makan di sini. Apalagi makanan di sini murah dan enak. Restoran ini jadi favorit para pemakai transportasi kereta api.
Catherine dan Altair memesan makanan. Catherine memesan menu yang ada chicken cutlet-nya, sedangkan Altair memesan menu yang ada sosisnya dan tanpa alkohol. Altair menjelaskan bahwa ia tidak bisa mengonsumsi alkohol karena kalau mengonsumsinya, akan terjadi hal yang tidak menyenangkan.
Sambil menunggu makanan mereka datang, Catherine dan Altair mengobrol.
"Catherine Lindberg," Altair memulai obrolan. "Kenapa kamu mengajakku makan bareng?"
"Hmm... Sebenarnya aku tidak suka makan sendirian. Sejak kecil aku seperti itu. Biasanya aku selalu makan ditemani Clive. Kalau tidak ada Clive, ya aku tidak makan sama sekali," jawab Catherine. "Aku ingin mengubah hal itu, tapi sulit."
"Begitu ya? Aku tidak keberatan menemanimu makan selama kamu ada di dunia ini."
Catherine mengangguk sambil tersenyum. Ia lalu menatap chicken cutlet kesukaannya. Warna keemasan chicken cutlet itu sangat memanjakan mata. Wanginya menggelitik indera penciuman Catherine hingga perutnya kembali berbunyi.
Catherine mulai memotong chicken cutlet-nya. Bunyi krenyess ketika Catherine memotongnya menandakan bahwa daging ayam yang dibalut tepung roti itu digoreng dengan sangat baik. Sudah pasti sensasi renyahnya akan terasa jika daging ayam itu masuk ke mulutnya. Catherine pun langsung melahap chicken cutlet-nya.
"Hmmm! Enak sekali! Aku suka makanan restoran ini!" ucap Catherine.
"Kamu suka ayam goreng itu ya?" tanya Altair. Ternyata daritadi Altair memperhatikan Catherine yang terlihat senang saat memakan hidangannya.
"Ya! Enak banget!" balas Catherine. "Sebenarnya aku suka semua makanan enak. Tapi menurutku di restoran ini, chicken cutlet-nya paling enak."
"Begitu ya?"
"Oh ya, Altair," Catherine memutuskan untuk mengganti pembicaraan. "Ngomong-ngomong, di mana lokasi Cat tewas?"
Altair diam sejenak sambil berusaha mengingat. "Di sebuah rumah tua dekat Daylily JHS."
"Rumah tua dekat Daylily JHS?" Catherine mengelus dagunya. "Jangan-jangan "rumah hantu" itu?"
"Aku tidak tahu julukannya. Rumah itu memang tua. Rusak disana-sini. Cat disiksa di lantai 2 rumah itu."
Bulu kuduk Catherine berdiri. "Ugh... Kenapa TKP-nya tempat yang menyeramkan? Aku takut hantu."
"Aku bisa menemanimu agar kamu tidak takut," tawar Altair.
"Tapi kan kamu makhluk gaib. Sama sekali tidak akan bisa mengurangi rasa takutku," pikir Catherine.
"Apakah kamu sudah mencoba menemui Clive Chester? Dia kan juga menyelidiki kasus ini," tanya Altair.
Catherine menuang saus ke makanannya dan meratakannya di atas chicken cutlet-nya. "Belum. Clive sulit sekali ditemui. Selalu kerja di luar. Karena aku masih baru, kerjaanku hanya di dalam kantor."
"Begitu ya."
"Tapi besok aku ada tugas mengintai berpasangan dengan Clive. Aku tak sabar berduaan sama Clive di taman bermain. Kami dulu sering kencan di sana," Catherine menopang dagunya dengan matanya menerawang jauh ke atas. Pikirannya dipenuhi imajinasinya bersama Clive.
Altair tidak membalas. Ia hanya melahap cepat makanannya hingga habis. Setelah itu ia meletakkan sendoknya di atas piring.
"Aku sudah selesai makan," ucap Altair. Lalu Dewa Kematian itu memunculkan dompet kecil berwarna merah dan mengeluarkan banyak uang logam. "Ini untuk membayar bagianku."
Banyak sekali uang logam yang dikeluarkan Altair. Catherine sampai tercengang melihatnya.
"Kamu tidak tahu kalau sekarang ada uang kertas? Atau uang digital?" tanya Catherine dengan nada mengejek.
"Aku tahu. Hanya saja aku hanya punya uang receh. Uang kertas biasanya kupakai untuk belanja bulanan," jawab Altair.
"Kamu dapat uang dari mana?"
"Pekerjaanku. Sebagai Dewa Kematian, aku dibayar walau bayarannya sangat kecil."
"Enak juga ya jadi Dewa Kematian," komentar Catherine. Ia mengambil semua recehan yang dikeluarkan Altair dan memasukkannya ke dalam dompet tasnya. Ia lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. "Ini untuk membayar makanan kita. Bagaimana kalau kamu yang ke kasir nanti?"
"U-uh... Umm..." Altair mulai terlihat gugup. "Ba-baiklah, aku akan bayar ke kasir."
"Dia ini pemalu banget ya?" pikir Catherine.
Karena hari sudah semakin gelap, Catherine segera menghabiskan makanannya. Ia tidak mau tiba di apartemennya terlalu malam. Altair sampai menegurnya agar tidak buru-buru makan, takut nanti tersedak.
Setelah piring Catherine bersih, Catherine meletakkan sendok dan garpunya di atas piring. Ia diam sebentar sebelum mulai bicara.
"Altair," panggil Catherine.
"Ya?"
"Bisakah sekitar jam 7 malam kamu datang ke apartemenku?"
Altair berpikir sejenak. "Bisa. Kebetulan aku tidak ada pekerjaan. Ada apa?"
"Aku ingin bicara sesuatu. Penting," jawab Catherine. Ia mengalihkan pandangannya ke arah keramaian restoran yang semakin bertambah seiring dengan datangnya kereta.
Altair mendeteksi ada sedikit perasaan takut di hati Catherine. Namun ia tidak berkata apa-apa. Ia sudah menduga apa penyebab rasa takutnya.
"Baiklah. Aku akan datang tepat pukul 7," ucap Altair.
Catherine mengangguk.
Pukul 7 malam, Catherine keluar dari kamarnya dan terkejut melihat sosok pria serba hitam berdiri di tengah ruangan. Tentu saja itu Altair.
"Kamu mengagetkanku saja!" sahut Catherine.
"Aku tidak bermaksud mengagetkanmu. Ma-Maaf..." balas Altair.
"Duduklah di sana," tunjuk Catherine pada ruang makan.
Altair menuruti perkataan Catherine dan duduk di salah satu kursi meja makan. Catherine mulai sibuk membuat sesuatu di dapur yang mengundang rasa penasaran Altair. Dewa Kematian itu pun memperhatikan apa yang dilakukan Catherine.
Tak sampai 15 menit Catherine selesai melakukan kegiatannya. Gadis itu berjalan menuju meja makan membawa nampan berisi dua gelas minuman yang mengeluarkan asap. Catherine meletakkan salah satu gelas di depan Altair. Lalu, ia duduk di depan Altair dan mengaduk isi gelasnya.
Minuman di dalam gelas itu adalah coklat panas. Altair bisa mencium aroma manis coklat dari minuman tersebut.
"Minumlah," ucap Catherine. Altair mengangguk dan menyeruput sedikit minumannya. Walau tidak terlalu kelihatan, Catherine bisa melihat kedua mata Altair berbinar-binar setelah mencicipi minumannya.
"Sepertinya dia suka coklat panas," pikir Catherine.
"Apa yang mau kamu bicarakan, Catherine Lindberg?" tanya Altair sambil meletakkan gelasnya di atas meja. "Apakah ini berhubungan dengan kasus Cat?"
"Sebelum mulai menyelidiki kasus Cat, aku harus mencari tahu soal orang di hadapanku ini," pikir Catherine.
Seharian, di sela-sela waktu kerjanya, Catherine mencari tahu soal Altair di internet. Namun, yang ia dapatkan hanyalah ilustrasi Dewa Kematian yang menyeramkan. Sama sekali tidak ada info soal orang di hadapannya itu.
"Kamu ini apa?" tanya Catherine.
"Apa?"
"Aku tidak mengerti soal Dewa Kematian. Kenapa aku harus merahasiakan nama asliku? Bagaimana kamu bisa jadi Dewa Kematian? Kamu terlihat seperti manusia biasa, sifatmu juga, kecuali dengan hal-hal aneh bin ajaib yang kamu lakukan. Lalu, kenapa kamu ingin mengungkap kasus Cat hingga melakukan ini?"
Altair diam sejenak setelah dihujani pertanyaan seperti itu. "Kamu tahu kan kalau "Catherine Lindberg" seharusnya sudah mati? Kalau sampai ada Dewa Kematian yang tahu kalau kamu adalah "Catherine Lindberg", mereka akan mencabut nyawamu.
"Tugas kami selain mencabut nyawa adalah memastikan bahwa manusia yang sudah mati benar-benar mati dan mengirimnya jiwanya untuk melanjutkan perjalanannya di alam sana. Dewa Kematian bisa segera tahu nama seseorang hanya dengan melihatnya. Itu sebabnya aku mengubah namamu agar mereka tidak melihatmu sebagai "Catherine Lindberg" yang sudah meninggal, tetapi "Katarina Lindberg"."
"Kalau aku membeberkan nama asliku, usahamu sia-sia?" tanya Catherine memastikan.
"Benar," balas Altair. "Lalu soal kenapa aku mirip manusia itu karena aku dulunya manusia. Setelah meninggal, jadi Dewa Kematian."
"Semua manusia yang mati nanti jadi Dewa Kematian?"
Altair menggeleng. "Tidak. Hanya yang mati karena bunuh diri saja yang dihukum menjadi Dewa Kematian."
Pupil Catherine seketika melebar mendengar jawaban Altair. Karena itu berarti orang di hadapannya ini pernah bunuh diri.
"Semua yang bunuh diri dijatuhi hukuman menjadi Dewa Kematian. Setiap hari harus mencabut nyawa manusia dan menyaksikan mereka memohon agar diberi kesempatan hidup lebih panjang. Rasanya seperti ejekan bagi orang yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Padahal banyak manusia lain yang berharap agar tetap hidup ketika ajal menjemputnya," lanjut Altair.
Catherine memijat keningnya untuk mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Entah kenapa ia sedikit menyesal menanyakan hal itu. Ternyata ia sudah menyentuh topik sensitif.
"Tapi aku sebenarnya tidak ingat kenapa aku bunuh diri atau kehidupanku sebelum mati," ucap Altair lagi. "Karena itu pekerjaan ini terasa seperti dihukum tapi tidak tahu kenapa dihukum."
Catherine meneguk coklat panasnya sekali. "Uh, Dewa Kematian benar-benar bukan dream job."
Altair mengangguk setuju. "Karena dulunya aku ini manusia, itu sebabnya aku masih terlihat seperti manusia dan memiliki sifat seperti manusia."
Catherine terdiam sambil memperhatikan busa-busa di atas minumannya yang mulai menghilang. Ia mengaduk minumannya sekali sebelum mulai bertanya lagi.
"Kenapa kamu mau kasus Cat selesai? Apa hubunganmu dengan Cat?" tanyanya.
Mendengar pertanyaan itu, Altair hanya menunduk dalam. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan membuka suara. Catherine terus menatap dan meneliti ekspresi Altair. Namun ia tidak menemukan apa-apa.
"Kurasa aku tidak akan bisa mendapat jawaban jelas saat ini," pikir Catherine. "Baiklah, aku mau bertanya hal lain," Catherine meletakkan handphone-nya di atas meja. "Kenapa aku tidak bisa menghubungi semua orang dari handphone-ku ini?"
Altair menatap benda persegi panjang yang dipegang Catherine. Kedua mata birunya memancarkan rasa penasaran sekaligus familiar terhadap benda itu. "Hen... fon? Apa itu?"
"HAH?!" Catherine terkejut hingga tak sengaja menggebrak meja. "Kamu tidak tahu apa itu handphone??!"
Altair menggeleng.
Catherine mengangkat handphone-nya. "Ini namanya handphone. Alat praktis yang bisa digunakan untuk menelepon atau mengirim pesan. Itu fitur dasarnya. Kamu seriusan belum pernah melihat benda ini?"
"Ah! Itu benda persegi panjang yang para manusia selalu pegang dimanapun mereka berada! Mereka selalu terlihat asyik berkutat pada persegi itu," kata Altair.
Catherine tertegun mendengar deskripsi Altair soal handphone. "Ya benar. Benda itu."
"Kamu tidak bisa menghubungi semua orang karena nomor yang tersimpan adalah nomor dari dunia asalmu. Tidak bisa dihubungi dari dunia ini," ujar Altair. "Sini aku bisa mengubah nomor-nomor di henfonmu menjadi nomor di dunia ini. Kamu bisa menghubungi siapa saja dan siapa saja bisa menghubungimu."
Altair lalu mengenggam handphone Catherine dan muncul cahaya putih beberapa detik. Setelah itu, ia memberikannya pada Catherine.
"Sudah selesai," ucap Altair.
Catherine menatap handphone-nya. Lalu ia terkejut karena tiba-tiba banyak pemberitahuan bahwa ia masuk grup chat "Polisi Kece". Banyak chat yang masuk di grup tersebut. Handphone Catherine tidak berhenti bergetar.
"Ah, sepertinya sudah berfungsi lagi. Aku sudah bisa masuk grup yang dibuat Jack," pikir Catherine. "Terima kasih, Altair," ucapnya.
"Sama-sama."
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Altair meminum coklat panasnya, sedangkan Catherine sibuk membalasi pesan di grup. Altair teringat dengan perasaan takut Catherine yang sekilas Altair deteksi tadi sore. Ia memutuskan untuk bertanya.
"Catherine Lindberg, masih adakah yang ingin kamu bicarakan? Terutama soal rasa takut yang kamu rasakan?" tanya Altair.
Catherine mengalihkan pandangannya dari handphone-nya. "Hah? Takut?"
"Apakah ada hal yang membuatmu merasa takut selama berada di sini?"
Catherine paham apa yang dimaksud Altair. Ia jadi teringat hal paling membuatnya takut selama berada di dunia ini.
"Ingat tidak saat aku menyelidiki kasus pembunuhan Jay Miller?" tanya Catherine.
Altair mengangguk.
"Saat pelaku menyerangku, aku merasa takut. Aku takut mati. Kamu bilang, kalau aku mati di dunia ini, aku tidak akan bisa kembali lagi? Bagaimana kalau aku tidak bisa kembali?"
Air mata Catherine mulai berjatuhan. Catherine ingin lanjut bicara, namun dadanya terasa sesak sehingga ia hanya bisa mengeluarkan isakan. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya. Ia tidak mau Altair melihatnya begini.
"Catherine Lindberg," suara bariton Altair memanggilnya. Pemilik nama itu akhirnya mengangkat wajahnya yang berantakan penuh dengan air mata. Altair menyeka air mata yang mengalir di pipi Catherine dengan sapu tangannya.
"Uuuhhh..." Catherine tidak bisa berhenti terisak.
"Tidak apa-apa merasa takut. Itu hal yang manusiawi," kata Altair. "Maafkan aku karena ucapanku membuatmu ketakutan. Kamu jangan khawatir. Selama kamu di sini, aku akan melindungimu."
"Pa-padahal biasanya aku tidak pernah takut menghadapi hal itu..." ucap Catherine sesenggukan. "Tapi... tapi..."
"Aku mengerti," kata Altair. "Dunia ini masih baru untukmu. Masih banyak hal yang menurutmu asing, apalagi kondisimu sangat berbeda dari dunia asalmu. Tidak apa-apa kamu merasa ketakutan. Menangislah bila itu membuatmu lega. Luapkan rasa takutmu agar kamu bisa kembali menghadapi apapun dengan berani."
Catherine menatap kedua mata biru Altair. Entah kenapa rasanya kedua mata itu memberi Catherine perasaan tenang seperti saat melihat lautan biru yang tenang.
"Aku pasti akan membantumu dan melindungimu. Tidak akan kubiarkan kamu terluka," lanjut Altair.
Altair menepuk lembut pucuk kepala Catherine. Setiap usapan dari Altair, membawa ketenangan di hati Catherine. Rasa takut dan sesak yang tadi menyelubungi dada Catherine, semakin menghilang. Usapan di pucuk kepalanya terasa sangat nyaman. Catherine sampai tidak ingin Altair berhenti.
"Terima kasih, Altair," ucap Catherine.
✧✧✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top