Masih ada yang bacak? Komennya masyaallah, pelit banget.
Yang ga sabar, silahkan ke sebelah, ya. Moga malam ni up lagi, bab berapa, eke lupa, mau 33, ya? Pada hepi semua di sana, wakakka.
***
13 Kasmaran Paling Depan
Gara-gara perselisihan dengan Mayang, Kinara pada akhirnya datang terlambat dan saat ojek yang membawanya ke kantor pada akhirnya tiba di depan lobi, dia memutuskan untuk lari secepat kilat demi menghindari masalah dengan pria menyebalkan bernama Umar Hasibuan. Pria sinting itu selalu tahu kalau dia bakal datang telat dan Kinara sampai hapal kelakuannya itu sehingga berpikir kalau sebenarnya Umar punya kemampuan menguntit amat baik melebihi semua orang dalam hal mendeteksi Kinara.
Sayangnya, di depan lift tampak ramai manusia mengantre dan dia tidak punya pilihan selain menggunakan tanda darurat yang pintunya setengah macet, sebagai bukti sebenarnya tidak ada yang sudi lewat situ kecuali OB yang terpaksa membersihkan tangga. Namun, ketika tiba di lantai lima, Kinara mendengar suara yang tidak asing sehingga dia memilih menghentikan langkah dan menimbang apakah sekarang dia harus menunggu atau keluar lewat pintu darurat di lantai empat.
“Kamu kenapa, sih? Aku telepon berkali-kali nggak pernah ngangkat? Mama Reva selalu nanyain kapan acaranya mau diumumkan.”
Kirana tahu siapa pemilik suara yang terdengar sampai bawah anak tangga tempat dia berdiri saat ini. Jelas sekali sekarang yang sedang berbicara adalah Sintya dan dia bisa menebak dari gelagatnya bahwa yang menjadi lawan bicaranya adalah Baskara. Tapi, kenapa mereka berdua bisa nyasar sampai ke tangga darurat hanya untuk berbicara? Bukankah, kantor Baskara jauh lebih luas dan pribadi dibanding tempat lain di dalam gedung ini?
Gimana kalau ada yang dengar, coba? Kinara bicara pada dirinya sendiri tanpa menyadari kalau dia juga salah satu orang yang mencuri dengar obrolan mereka.
“Aku sibuk. Kamu tahu sendiri, sejak di sini nggak pernah aku namanya ongkang-ongkang kaki. Tapi, kesannya aku harus selalu laporan sedang apa sama kamu seolah-olah di sini aku melakukan hal bodoh.” Baskara terdengar bicara dengan nada serius. Kinara sempat mengintip dari bawah dan menyadari kalau raut wajah pria itu tidak pernah ditampakkan saat dia bersama Sintya sebelum ini.
“Apa salahnya jawab teleponku, Bas? Aku selalu cemasin keadaan kamu. Kamu masih susah tidur?”
Susah menjadi obat nyamuk saat ada dua orang nongkrong dan Kinara merasa dia tidak enak hati mesti berada di antara dua anak manusia yang saling jatuh cinta itu. Nekat naik menuju lantai atas bakal membuatnya langsung jadi tersangka penguntit dan dia bersyukur karena kemudian otaknya menyuruh Kinara berpikir rasional dan profesional. Dia memilih keluar lewat pintu darurat di lantai empat dan meninggalkan dua sejoli di lantai atas melakukan entah apa namanya dan bersyukur, jiwa kepo tidak memerintahkan dirinya untuk tetap berada di sana.
Yang pasti, ketika dia nongol ke depan mesin absen, sosok Umar sudah menunggu dengan kedua tangan terlipat di dada, siap memberi ceramah dan mengomentari hidup Kinara yang kelewat menyedihkan.
“Telat lagi.” desis Umar, persis ular berbisa yang belum makan tikus dua hari. Padahal, di bibirnya terdapat remahan kue dan Kinara yakin, sebelum menemuinya, Umar sempat makan terlebih dahulu.
Dan remahan kue juga nyangkut di antara gigi Umar yang agak kuning dan membayangkannya, Kinara langsung bergidik, ugh. Belum lagi perkara baju yang kerah belakangnya juga sudah berubah kuning, rambut lepek karena kebanyakan minyak, serta parfum aneh yang membuat puyeng, namun, Umar selalu merasa biang ketimpangan dunia bukanlah dia, melainkan Kinara Kemuning.
“Telat satu menit, Mas.” Kinara masih sempat melirik arloji di tangannya. Kenapa juga tadi dia sempat menguping Sintya dan Baskara walau cuma beberapa detik. Kalau tidak, sudah pasti dia akan datang tepat waktu. Tapi, Umar mana mau peduli tentang lift penuh atau ada sepasang sejoli yang bermesraan di tangga darurat. Baginya, telat ya telat saja dan Kinara mesti membayar untuk itu.
“Satu menit? Kamu bayangkan kerugian perusahaan gara-gara itu.” Umar mulai panas dan menyemburkan omelan kepada salah satu pegawai paling muda di lantai tersebut, kecuali OG baru berusia sembilan belas tahun yang langsung melengos begitu Umar membuka mulut.
“Setahu saya, yang bakal kena potong duit makan kalau telat, ya, saya sendiri, bukan Mas Umar. Terus kenapa Mas Umarnya sewot? Saya tahu saya salah, tapi saya mendapatkan konsekuensi atas semua itu.
“Eh, kau nggak disuruh ngomong sama aku.” Umar menaikkan sebelah alis. Kinara hampir tidak pernah protes setiap dia marah di hari seperti ini. Tapi, sekarang, dia mendapat perlawanan dan Umar amat tidak senang.
“Habisnya. Kalau saya diam terus, Mas Umar selalu menyalahkan saya. Saya datang cepat salah, datang telat masih salah. Saya duduk di bangku saya, Mas Umar marah. Saya nanya sama Vienna, Mas Umar bilang saya ngobrol. Semua yang saya buat di tempat ini nggak ada yang benar.” Kinara memuntahkan kekesalannya. Peduli amat setelah itu semua orang memandang ke arah mereka.
“Itu kau sadar.” Umar menusuk jidat Kinara dengan telunjuk kanannya sendiri, membuat sulung dua bersaudara itu tak mau kalah. Dia segera menepis telunjuk menjijikkan yang barangkali bekas diemut pria itu dan semakin membuat Kinara emosi.
“Kau.” Umar melotot. Baru kali ini ada anak buah yang berani melawannya.
“Kalau memang Mas Umar nggak suka, hari ini juga saya serahkan surat pengunduran diri saya. Tunggu saja. Memangnya cuma Mas Umar yang nggak suka, kan? Saya lebih jijik lagi diperlakukan nggak manusiawi kayak gini.” Kinara balas ngegas.
“Hei.” Umar langsung mengerjap beberapa kali karena di saat yang sama, Kinara langsung berbalik, “Tunggu aja. Nggak sampai satu jam surat itu sudah ada di meja Mas Umar.”
“Hoi. Ceking.” Umar menggoyangkan telapak tangannya karena dia tidak menyangka bakal mendapat respon seperti itu dan di saat yang sama, pintu tangga darurat terbuka. Nampak pasangan Baskara dan Sintya keluar dari sana. Kinara sendiri tidak mau ambil pusing dan segera menyalakan layar monitor.
“Kenapa ini?” tanya Baskara dengan suara pelan setelah dia melihat beberapa orang berdiri di meja mereka masing-masing. Mereka semua saling menjulurkan leher dan terlihat bisik-bisik satu sama lain.
“Nggak, Pak. Cuma si Kinara datang telat.” Umar menggosok-gosok kedua punggung tangannya dan berusaha menjilat, “Datang telat terus.”
Mereka semua kemudian terperanjat karena sedetik kemudian, Kinara berdiri dan bicara dengan suara sedikit keras, “Terus aja jelekin saya, Mas Umar. Nggak lama lagi kamu nggak bakal lihat saya. Ini sudah saya buat surat pengunduran diri saya. Bentar lagi saya kasih.”
“Pengunduran diri?” Baskara kemudian menoleh ke arah Umar dan Kinara secara bergantian. Kinara sendiri tidak mau repot-repot memperhatikan para pejabat di depannya dan lebih memilih menatap layar monitor. Jika memang Umar menginginkannya pergi dari tempat itu, dia tidak mau lagi menahan diri. Semua orang telah berhasil membuatnya kesal pagi ini dan barangkali keluar dan menjauh dari mereka bakal membuatnya sedikit normal dan waras.
“Bodoh kamu!” suara teriakan Baskara menggema dan membuat Kinara yang hendak mengetik menghentikan gerakannya. Tangannya sempat gemetar dan dia mendengar Umar memohon-mohon setelah insiden barusan.
“Pak. Bukan begitu. Saya hanya mendisiplinkan karyawan.” Umar berusaha membela diri dan dia mengejar Baskara yang kini berjalan cepat menuju ruangannya disusul oleh Sintya, sedangkan Kinara tampak terpaku menatap layar monitor hingga sentuhan lembut Vienna di punggungnya membuat dia tersadar.
“Sabar.”
Suara Vienna pelan dan menenangkan. Amat beda dengan omelan Mayang pagi ini, gerutuan Umar, serta hardikan Baskara kepada sang HRD yang langsung membuat otaknya mendadak kosong.
“Gue nggak tahan lagi, Vin.” Kinara memelorotkan pundak. Hari sepagi ini saja dia sudah mendapat cobaan seperti ini, bagaimana sepanjang siang dan sore yang bakal makin lama dan menyebalkan?
“Nasib orang banyak yang lebih malang dan merana daripada lo. Ada yang kejerat pinjol dan siap mati kapan aja. Lo cuma dimarahin ama Umar Cunguk itu langsung minta berhenti. Kontrak kita belum kelar, ntar kena penalti.” Vienna mengingatkan, jaga-jaga supaya Kinara tidak ceroboh dengan perbuatannya. Toh, mereka belum jadi pegawai tetap dan di mana lagi mau mendapatkan pekerjaan dengan gaji lumayan walau harus ketambahan jobdesk menghadapi HRD bujang lapuk bangkotan menyebalkan yang sepertinya lupa dengan pekerjaannya yang utama dan lebih suka merundung Kinara setiap hari.
Kinara sendiri hanya mengangkat kepala dan memandang ke arah sahabatnya yang selalu berpikir kalau Kinara adalah wanita polos suci murni. Dia tahu, jika Vienna mengetahui rahasianya, Vienna sendiri yang akan mengajak rekan sebelah tempat duduknya itu langsung berhenti bekerja. Tapi, hidup tidak semudah kata-kata Vienna dan dia amat ingin sekali berkemas lalu angkat kaki dari tempat itu.
Lagipula, entah kenapa dadanya terasa amat sakit padahal jelas sekali dia mendengar kalau di ruang pimpinan, suara Baskara yang memarahi Umar seharusnya membuat dia merasa puas. Sudah waktunya Baskara sadar kalau penjilat menyebalkan itu kelewat batas.
“Tapi, nggak apa-apa, kok, kalau gue berhenti sekarang.” Kinara bicara tanpa berpikir lagi, membuat Vienna sangat kaget sekaligus menceramahinya kalau dia telah berbuat kesalahan amat fatal.
“Kontrak gue nggak lama lagi, Vin. Tinggal dua bulan lagi kalau nggak salah.” Kinara mencoba mengingat-ingat semuanya dan dia sadar, setelah dua tahun, biasanya mereka yang berstatus pegawai kontrak akan ditawari menjadi pegawai tetap. Jika hal tersebut terjadi, akan ada tunjangan ini dan itu dan Kinara tahu, hidupnya bakal makin baik, begitu juga dengan Kafka. Putranya akan bisa bersekolah di kota, dengan fasilitas terbaik.
Lupain, Kin. Habis kontrak, lo balik ke Semarang. Buka usaha di sana. Bantuin kolam lele Bapak. Kalian bisa melakukan apa saja, asal jangan di sini. Mereka semua nggak bakal peduli dan Kafka lebih butuh lo.
“Ih, amit-amit. Ngucap, dong.” Vienna menggelengkan kepala lalu bicara, “Ada banyak orang yang mau ambil posisi lo. Pikirin lagi. Sekarang, lo bisa ngomong gitu. Tapi, bertahun-tahun lagi?”
Vienna membiarkan ucapannya menggantung, tepat saat Umar membuka pintu ruangan Baskara dan berkali-kali meminta maaf sebelum akhirnya dia menoleh ke arah Kinara dan memicingkan mata, seolah hendak menelan wanita itu bulat-bulat, membuat Kinara meneguk air ludah sebelum akhirnya dia meraih tetikus dan membuka halaman word.
Jangan mau kalah sama dia, Kin.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top