Bab 37 Rumah sakit.
Arum melangkah dengan cepat menuju lorong rumah sakit. Waktu menunjukan pukul tengah malam. Namun, tidak membuat gadis itu lantas memperlambat langkahnya. Tanganya masih gemetar saat dia melihat adiknya Raka sedang duduk di depan sebuah ruangan.
Bima yang melangkah mengikuti gadis itu semakin Khawatir dengan keadaanya.
"Raka?" ucap Arum.
"Mbak Arum." Raka langsung bangkit dan memeluk kakaknya itu.
"Gimana keadaan ibu?"
"Kata dokter tipes ibu kumat. Tapi kata dokter juga keadaanya udah membaik."
Arum langsung memasuki ruangan dan melihat ibunya terbaring lemas.
"Ibu," lirihnya membuat dia langsung menangis dan memeluk ibunya.
Di sisi lain, Satria yang melihat Arum datang bersama Bima merasa sangat kesal.
"Ngapain lu ke sini?" Satria muncul dari kejauhan
"Saya yang harusnya bertanya, ngapain kamu di sini?"
"Lebih baik lu pergi dari sini. Bukanya gue udah bilang buat jauhin Arum."
"Siapa kamu melarang saya buat deketin Arum? Kamu ngga berhak."
"Bacot! Kita liat nanti, siapa yang bisa dapetin hati Arum. Dan gue ngga akan biarin Arum jatuh di tangan lu." Satria mendekati Bima.
Tak lama kemudian, suara ponsel Bima berbunyi.
"Saya ngga mau ribut di rumah sakit. Jadi sebelum saya balik lebih baik kamu pergi dari sini." Bima pergi melangkah mengangkat telfon yang sedari tadi berbunyi.
Saat Bima selesai menjawab panggilan telfonya dia kembali melangkah menuju ke ruangan.
"Satria?" Suara Arum terdengar dia melihat Arum melangkah mendekati Satria membuat Bima tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Dari kejauhan dia melihat Arum dan Satria.
Mengapa Arum mengenal pemuda seperti dia?
Satria mengusap air mata Arum dan memeluknya. Bima yang melihat itu dari kejauhan mengepal tanganya.
Sakit?
Entahlah, tapi hatinya terasa sakit saat dia milihat Arum di peluk pria lain. Siapa pemuda itu, mengapa Arum begitu dekat dengannya. Dan mengapa pemuda itu terus-terusan menyuruh Bima menjauhi Arum.
Rasanya seperti ada ribuan duri yang menancap di hatinya. Bima benar-benar tak tahan lagi.
Apakah dia penyebab Arum terus-terusan menolak cintanya?
***
"Ini, Mas bawain bubur buat Arum." Bima meletakan bungkusan berisi bubur ayam di samping Arum.
"Arum ngga laper," ucap Arum yang masih menggenggam erat tangan ibunya.
"Nanti kalo Arum sakit, siapa yang jagain ibu Arum."
Arum melirik kesal Bima. Dia masih sangat kesal dan marah padanya. Mengapa dia harus repot-repot datang ke sini untuk Arum. Bukanya dia harusnya senang bisa berada di sana bersama Fatimah.
"Arum masih marah, Sama Mas. Ngga apa-apa. Tapi Arum harus makan, biar Arum bisa jagain ibu."
Benar, Arum harus makan, dia harus sehat agar dia bisa terus menjaga ibunya. Jika dia sakit siapa yang akan menjaga ibu dan adiknya. Orang tua itu tidak akan mampu, bisa saja saat ibunya sakit seperti ini dia malah pergi meninggalkan ibunya.
Arum mengambil bubur ayam, dan langsung memakanya. Walau dia merasa tidak nafsu makan tapi dia memaksa makanan itu untuk masuk ke perutnya. Sesekali dia mengusap air matanya sembari menahan tangisnya.
Bima yang melihat Arum masih bersedih itupun merasa tidak tega. Dia mengelus pelan kepala Arum dan menepuk punggungnya perlahan menguatkan dia.
"Arum dengerin, Mas. Arum ngga apa-apa kalau mau nangis. Arum juga manusia, rasanya pasti sakit kalau harus menahan tangis. Mas pernah rasain itu dan itu rasanya sesak. Ngga apa-apa, Arum bisa nangis kok."
Arum menatap pria itu, matanya seakan menguatkan Arum. Dia mengelus lembut kepala Arum yang membuat tangis Arum tumpah. Dia menangis kencang yang membuat Bima langsung memeluknya.
Dia hanyalah wanita biasa, jika dia sedih dia ingin menangis. Selama ini dia terus menerus menyakinkan dirinya jika dia adalah wanita yang kuat dan tidak boleh menangis. Tapi dia hanya manusia biasa.
Satria datang membawa sebungkus bubur ayam. Dia terdiam melihat Arum menangis dalam pelukan Bima.
Bubur yang dia tenteng terjatuh begitu saja. Dia sangat kesal dan amarahnya memuncak hingga dia tanpa sadar langsung mendorong tubuh Bima.
Dia memukul Bima tepat di wajahnya, berani sekali dia menyentuh Arum. Dia pasti akan membunuh Bima saat itu juga.
Bima yang memiliki tubuh lebih besar dan tinggi dari Satria itupun langsung dengan mudah menjatuhkan Satria.
Tangan kokohnya mencengkram kerah Satria dan dengan siap meninju Satria dengan kepalan tanganya.
Aksinya berhenti saat sebuah tangan menyentuh lengan Bima.
"Mas, jangan Mas," ucap Arum.
Namun itu tidak membuat Bima berhenti begitu saja. Dia lantas kembali ingin memukul Satria.
"DIA SAUDARA ARUM, MAS."
Bima langsung menghentikan aksinya dan menurun kan tanganya. Dia menoleh ke arah Arum dan menatap gadis itu.
Saudara? Bukanya saudara Arum hanya Raka?.
Satria langsung mendorong Bima dan pergi meninggalkan mereka.
Mata Bima seakan meminta kejelasan dari perkataan Arum. Masalahnya pemuda itu dengan terang-terangan mengatakan dia menyukai Arum dan menyuruhnya untuk menjauhi Arum. Tidak mungkin jika mereka bersaudara.
"Dia saudara tiri Arum, Mas."
"Saudara tiri?"
"Nanti Arum jelasin, Mas harus obatin itu dulu." Arum menunjukan luka yang terdapat di bibir Bima karena pukulan Satria.
"Ah, ini. Ngga apa-apa, Rum."
Arum segera pergi meminta obat ke suster yang berjaga.
Kemudian dia menyuruh Bima untuk duduk di hadapannya agar dia bisa mengobati lukanya.
"Maafin, Satria ya, Mas. Dia emang orangnya kaya gitu. Tapi sebenrnya dia orangnya baik."
"Dia saudara tiri kamu, tapi tingkahnya aneh."
"Dia gampang emosian. Tapi anaknya sebenernya baik. Arum dan Satria kenal saat ibu dan ayah Satria menikah."
"Jadi Arum."
"Iya. Arum dari keluarga dengan ayah tiri dan beberapa saudara tiri. Keluarga Arum ngga seharmonis keluaga yang lain. Arum setiap hari selalu ribut sama ayah tiri Arum. Entah karena masalah yang lain atau bahkan masalah kecil sekalipun."
Bima mengangguk mendengarkan cerita Arum.
"Ayah kandung Arum?"
Arum menatap Bima dengan dalam. Dia juga bingung harus menjelaskan seperti apa pada pria di hadapannya itu.
"Entahlah." Arum menggeleng.
"Sejak kecil dia pergi meninggalkan Arum, dan ibu. Karena itu kami harus berjuang sendiri."
Jadi, ini yang membuat gadis di hadapannya begitu keras. Buka karena dia keras, melainkan dunia yang membuatnya menjadi gadis yang keras. Arum pasti sangat menderita selama ini. Di balik senyum dan tawa serta tingkah unik dirinya tersimpan kehidupan yang membuatnya harus berjuang hidup
"Arum selalu berfikir, jika suatu saat Arum menikah pria yang salah. Apakah Arum dan anak Arum akan bernasib sama dengan Arum dan ibu saat itu. Itu juga salah satu alasan Arum begitu lama memberi jawaban atas pertanyaan, Mas. Bukan karena Arum tidak menyukai, Mas. Hanya saja Arum takut Arum tidak bisa menjadi apa yang mas harapkan kelak dan Mas pergi meninggalkan Arum."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top