9. Rindu yang Bersarang di Sana

🚂
🚞
🚂
🚞
🚂
🚞

Setelah semalam aku cukup pengang karena mendapat ceramah dadakan dari orang yang bahkan baru kukenal, kini saatnya kembali ke realita. Masalah audit kudu tuntas hari ini juga, atau aku alamat bakal nginap lagi satu hari. Eunghh ... nggak, nggak, itu pilihan terakhir. Optimis bahwa segala permasalahan gudang Cirebon bakal kelar hari ini.

Berbeda dengan audit sebelumnya, kali ini kedatanganku tentu diketahui oleh pihak gudang. Mereka juga sudah diminta tim sales untuk menyiapkan data-data yang sekiranya bakal kuperiksa nanti. Terang aja, nggak ada spontan audit saat gudang lagi kasus seperti sekarang. Dengan melewatkan satu kali proses audit kemarin, itu sudah masuk ranah kasus. Ditambah beberapa hari yang lalu, kami tim audit mendapat laporan dari Sherly, anak admin sales, bahwa mereka belum bisa cocokan data dengan pihak gudang dikarenakan kapasitas gudang yang overload.

Berbekal data dari SAP, program yang dipakai oleh kantorku, posisi stok di gudang Cirebon saat ini mencapai angka Tujuh ribuan zak dari kapasitas maksimal gudang yang hanya Lima ribu.

Jujur aku nggak bisa bayangin, karena terakhir aku ke sini aja kondisi gudang sudah bisa kukatakan penuh. Jadi, bentukan gudang bakal seperti apa jika Sherly mengatakan overload?

Aku check out dari hotel jam setengah tujuh setelah selesai sarapan dan memastikan bahwa PMS-ku nggak bakal kumat hari ini dengan menenggak satu butir pil yang dibelikan oleh mas Hanif semalam. Padahal aku termasuk orang yang anti obat-obat club lho, tapi ya demi kesuksesan audit hari ini, sedikit mengalah dengan ego lah.

Mobil grab yang kupesan sudah stand by depan lobi hotel, aku segera meluncur ke gudang setelah mengabari Elis via WA bahwa aku lagi otw.

Satu pesan Whatsapp lainnya menyembul di deretan teratas selain Elis.

Ada nama Hanif Zarchasi di sana.

Hanif Zarchasi
Rind, kamu sudah berangkat kerja?

Aku mengernyit sejenak, ternyata nggak cukup sampai tadi malam dia menerorku. Hmm, meneror? Bukan sih, apa ya? Semacam mengusik tapi aku juga nggak terusik. Yang jelas aku heran aja kenapa dia masih menghubungiku ketika semua alasan hubungan di antara kami telah selesai.

Kalau kalian bilang aku terlalu bebal, kenapa sih nggak berusaha menerima kenyataan aja bahwa si Hanif ini terang-terangan ingin berhubungan denganku, dalam artian berteman?

Nggak tahu deh, karena bagiku, temenan sama orang asing yang tiba-tiba datang itu nggak semudah kelihatannya. Pasti pernah kan kalian merasa ada di saat-saat nggak nyaman dengan orang baru?

Oke, aku mungkin belum terbiasa, meski sebenarnya ya apa sih salahnya berteman baik dengan Mas Hanif itu?

Anda
Udah Mas, ini otw gudang

Nggak selang beberapa lama balasan kembali kuterima. Iya, dia lagi online, pesanku langsung tercentang biru begitu sedetik kukirim, itu artinya dia sedang mantengin chat, begitu kan?

Hanif Zarchasi
Kira-kira kamu selesai jam berapa? Kalau boleh sya mau ngajak kamu makan siang.

See? Betapa sangat terlihat bahwa dia melakukan pendekatan terhadapku terang-terangan. Bukan soal ge-er, tapi apa ya, ah nggak tahu lah.

Anda
Maaf mas sepertinya g bisa, aku padat hari ini. G tahu smpe jm brp. Dan kayaknya langsung balik ke sby kalau udh slesai.

Berharap setelah ini dia menyerah. Tapi ternyata nggak karena di bagian atas kontak Mas Hanif tertera bahwa Hanif Zarchasi sedang mengetik.

Hanif Zarchasi
Kalau begitu nanti sore aja sebelum kamu balik. Sya jemput ya, sekalian makan, baru ke stasiun. Naik kereta apa? udah pesan? Kalau sore adanya Gumarang.

Hhh, aku pun tahu bahwa Gumarang adalah satu-satunya kereta ke arah timur dengan rute pantura yang jadwalnya cocok dengan kondisiku saat ini. Tapi aku juga nggak berani jamin bahwa proses audit bisa selesai satu hari kan? Karena itu aku nggak pesan duluan. Lagipula Pak Fikri juga sudah mewanti-wanti untuk nggak bergantung dengan tiket kereta, takut nggak konsen audit karena diburu oleh jadwal keberangkatan yang udah kepegang katanya.

Anda
Blm, nanti go show aja

Hanif Zarchasi
Berarti oke ya, sya jemput. Nanti kalau udah smpe tlong share loc, biar sya mudah nyarinya.

Setelah itu nggak kubalas lagi karena driver grab bertanya arah jalan. Ternyata udah hampir sampai. Aku siap-siap untuk membayar sekaligus memastikan bahwa barang-barangku nggak ada yang ketinggalan. Jarak seratus meter dari jalan raya besar, mobil grab yang kutumpangi telah berhenti.

Setelah memastikan pembayaran dengan sang driver, aku turun dan sudah disambut oleh Elis beserta Pak Miskad dan awak gudang yang lain.

"Pagi Mbak Rindu," sapa Elis sambil menyalamiku dan mengajak cipika-cipiki.

"Pagi, Lis. Pagi, Pak." Aku juga menyapa Pak Miskad dan bapak-bapak kuli yang sepertinya belum mulai beraktivitas.

"Belum ada bongkar muat, Pak?" tanyaku kepada Pak Miskad.

"Belum atuh, kata Elis nunggu Mbak Rindu dulu mau ngecek. Biar gampang ngitungnya," jawab Pak Miskad, aku mengangguk.

Kemudian Pak Miskad membawaku masuk ke dalam gudang dengan Elis di sampingku yang sepertinya sudah siap dengan datanya yang ditenteng di papan dada.

Begitu masuk gudang, syok, jelas. Dari pintu gudang aja tumpukan pakan yang begitu tinggi sudah memenuhi tiap sisi gudang. Bahkan space untuk kami jalan saja sangat minim. Bagaimana cara menghitung dengan posisi seperti ini? Bagaimana dengan tumpukan di tengah yang nggak bisa terdetek berapa jumlah staple ke atas?

Astagfirullah, belum-belum rasanya perutku kembali bergejolak. Eneg melihat pemandangan gudang yang malah makin menjadi paska-kedatanganku dua minggu lalu.

"Oke, kita mulai menghitung dari mana dulu ini, Pak?"

Aku sambil menyiapkan kertas buram untuk membuat hitungan kasar dan denah penempatan sesuai jenis pakannya, biar gampang jika memerlukan cek ulang nanti.

Elis membantuku mendekte jenis pakan apa saja dimulai dari deretan paling mudah yaitu deretan dekat pintu masuk ke bagian tembok sayap kanan.

Pak Miskad dan beberapa kuli juga turut membantu untuk menghitung berapa jumlah dari tiap staple yang kutunjuk.

Keriwehan mulai terjadi saat aku bingung bagian mana yang sudah kuhitung dan bagian mana yang belum. Merunut dari denah yang sudah kugambar, kami mulai menghitung cepat dari awal sambil mencocokkan hasil hitung yang pertama tadi.

Proses hitung-menghitung tersebut belum selesai juga selang tiga jam dari awal kami mulai. Jam dinding di gudang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Ini baru soal menghitung, belum nanti proses mencocokkan data dan mencari sumber selisih jika memang ditemukan selisih.

Cuaca panas kota Cirebon membuatku gerah nggak keruan. Apalagi yang namanya gudang, pastinya tertutup rapat tanpa ventilasi, hanya pintu utama depan sebagai sumber udara. Nggak ada kipas angin apalagi ac, beuh, gerah banget. Aku menjeda sebentar, sambil berusaha mengusir gerah dengan kipas-kipas menggunakan kertas coretanku.

"Mbak, minum dulu." Elis mengasongkan satu botol air mineral dingin yang entah kapan dia belinya, mungkin minta tolong orang lain untuk belikan.

"Makasih, Lis," kataku sambil membuka tutup botol dan menandaskan seperempat air di dalamnya. Kemudian aku mengambil kuncir rambut di dalam tas, rambutku udah mulai lepek saking basahnya karena keringat ngucur terus.

Gerah sekaligus capek, lagian udah setengah waktu jelang siang tapi belum kelar juga.

Seperempat jam rehat, kami memutuskan untuk lanjut. Aku benar-benar harus kejar tayang jika nggak ingin menginap lagi di Cirebon.

"Tinggal sayap kiri bagian depan mbak, jenis Premium Starter," kata Pas Miskad sementara aku sambil menggambar denah.

Pak kuli yang sedari tadi membantu pun kali ini juga langsung sigap menghitungkan tumpukan pakan terakhir yang akan mengakhiri proses hitung ini.

"5x 27, Mbak," jelas beliau. Maksudnya, lima ada jumlah pakan dalam satu tingkat staple, sementara dua puluh tujuh adalah jumlah tumpukan, atau kami menyebutnya dengan staple.

"Baik, udah nggak ada yang kelewatan lagi ya, Pak?" tanyaku memastikan.

"InsyaAllah nggak ada, Mbak. Sok dihitung dulu," kata Pak Miskad.

Kemudian Elis mengajakku untuk ke kantornya, dan istilahnya clear-clear-an di sana. Gila sih, ini proses hitung teruwet bahkan terlama kalau bisa kubilang. Sampai Adzan dhuzur berkumandang aku baru selesai dengan hitungan fisikku.

Berhubung aku nggak salat, jadi aku lanjutin ngitung sekaligus mulai cocokan dengan Elis. Di sinilah ketidakjelasan terjadi. Selisih antara stok dari programku dengan stok fisik yang barusan kami hitung begitu sangat timpang. Selisihnya nggak masuk akal. Satu jenis pakan aja bisa selisih ratusan zak. Entah itu kami ada salah hitung atau memang ada data-data yang belum masuk dalam laporan Sherly sehingga akan mempengaruhi inputan Sherly di program.

Aku mulai merunut berdasarkan kartu stok dan surat jalan yang ada dari awal bulan lalu sampai kemarin, hari terakhir sebelum dilakukan perhitungan. Perdebatan alot terjadi, ada salah lapor ke Sherly, ada yang belum dilaporkan, bahkan ada yang salah nginput.

Frustasi, satu kata yang menggambarkan kondisiku saat ini.

Komunikasi dengan Sherly yang lagi di kantor pun nggak bisa lancar. Pak Fikri yang seharian udah bagus nggak ngerecoki kini turut andil bikin aku tambah pening.

"Kok bisa ada belum lapor? Dan kok bisa ada yang nggak sama dengan surat jalan. Kamu usut sampai tuntas, Rindu. Saya nggak mau tahu."

Belum lagi WA dari Mas Hanif yang mengingatkan untuk makan siang dan minum obat, bah! Mana bisa? Dari tadi aku mantengin kertas-kertas ini aja nggak nemu di mana penyebab selisihnya. Meski tadi diketahui beberapa hal seperti belum lapor, salah input dan lain-lain, tapi selisih tersebut belum tuntas.

Saking aku nggak mikir apa-apa, aku sampai nggak sadar kalau udah hampir jam empat. Tahu-tahu pas Mas Hanif telepon yang berkali-kali aku reject masih aja kembali telepon. Baru ketika itu aku ngeh pas lihat jam digital di layar hapeku.

"Halo, Rind? kamu udah selesai?" Akhirnya aku mengangkat telepon dari Mas Hanif.

"Bisa dibilang belum. Tapi kayaknya aku mau udahan," kataku dengan perasaan campur aduk.

Aku kesal, pengin nangis saat ini juga. Capek, pengin teriak tapi nggak bisa. Tahu kan rasanya kayak gitu itu gimana?

"Yaudah, kamu share loc ya, aku jemput."

Lagi-lagi sekalipun awalnya aku bilang sedikit nggak nyaman dengan intervensi Mas Hanif yang terlalu kentara, pada akhirnya kalau sudah begini mau nggak mau aku kembali manut. Sama ketika aku lagi lemes-lemesnya pas di kereta kemarin.

Harus kuakui, dia memang seseorang yang gigih. Aku aja yang masih menyangkal segala kebaikan dia.

Rindu, calm down! Jangan meninggikan ego.

Aku menghela napas panjang. Merasa buntu bahwa kasus ini emang nggak menemukan titik temu. Nggak peduli lagi bahwa ujungnya aku harus mengakhiri audit ini tanpa hasil yang benar-benar clear. Masa bodoh soal amuk dari Pak Fikri, itu kupikir nanti.

"Saya minta fotokopikan kartu stok ini ya, Rind," pintaku kepada Elis.

"Baik, Mbak. Saya fotokopikan dulu di depan. Tunggu ya, Mbak." Elis keluar, sementara aku membereskan barang-barangku.

Mas Hanif mengabari kalau saat ini dia lagi otw ke sini. Jarak tempuh rumah sakit tempatnya bekerja dengan gudang memang lumayan, setengah jam lah.

"Lis, saya minta file stok excell-an kamu, ya. Sama surat jalan ini saya bawa. Biar saya lanjutin di Surabaya. Karena nggak nutut kalau kita lanjutin," ucapku begitu Elis balik dari tempat fotokopian.

"Iya, Mbak."

Aku kemudian mengangsurkan flashdisk sementara Elis langsung mentransfer file-nya. "Mbak, punten ya kalau jadi riweh gini, sejujurnya Elis teh juga kuwalahen dengan stok segini banyak. Mana pengambilan juga banyak. Fast moving yak istilahnya, itu juga Elis rasa mempengaruhi proses stocking kami, Mbak."

Aku kembali menghela napas panjang.

Memang sih. Tapi mau bagaimana lagi, namanya aja mereka sudah diamanati untuk mengurus segala proses transaksi dari gudang, harusnya bisa lebih diatur lagi lah. Ini semua juga kudunya harus ada andil dari tim sales untuk mentraining mereka biar lebih baik lagi dalam hal komunikasi dan pelaporan dengan segala macamnya.

"Udah, nanti biar Mbak Sherly bilang ke Pak Endo, kali aja butuh tenaga tambahan untuk bantu kamu dan Pak Miskad. Nanti biar saya sampaikan. Saya akan selesaikan ini biar selisihnya nggak berlarut-larut ya, Lis," ucapku menyebutkan nama bos mereka. Haji Endo, pemilik gudang sekaligus ekspedisi yang biasanya digunakan oleh kantor.

Ponselku kembali bergetar, Mas Hanif. "Halo, iya, Mas?"

"Saya di depan gudang yang banyak truknya ini. Bener nggak ya, Rind?"

Aku melihat ke depan, benar, ada xpander hitam udah parkir di sana.

"Benar, tunggu ya, Mas. Aku keluar."

"Elis, saya pamit, ya. Saya sudah dijemput."

"Eh, iya, Mbak. Sekali lagi punten, ya." Aku mengelus pundaknya untuk menenangkan.

Gimana ya, sekalipun kami ini tim audit yang sebenarnya kesal banget kalau nemu kasus beginian, tetap aja mereka manusia. Sesama manusia, haru saling menausiakan kan?

Aku mampir ke sebelah sebentar untuk pamit kepada Pak Miskad dan kuli-kuli yang lain sebelum akhirnya masuk mobil dan bertemu dengan orang ini.

"Gimana udah beres?" tanyanya, sementara aku menggeleng.

"Yaudah, makan dulu yuk, baru ke stasiun."

Aku diam aja, masih berusaha menenangkan diri dari serangan ketegangan seharian. Aku tahu sesekali Mas Hanif curi pandang ke arahku, seperti mau bertanya tapi diurungkan. Mungkin tahu banget kalau aku lagi nggak mood kali ya.

"Rindu, mau makan apa?"

Aku menengok, "apa aja," jawabku lemas.

"Kambuh lagi kah?" tanya Mas Hanif sambil mengerutkan kening. Lagi-lagi aku menggeleng.

Kemudian mobil kembali kedap suara. Mas Hanif nggak mengajakku ngobrol lagi. Kami saling membisu. Aku berusaha memejamkan mata, membiarkan Mas Hanif mengemudi membelah jalanan Kota Cirebon yang masih saja gerah meski sudah sore.

Sampai kurasakan mobil berhenti, aku kembali membuka mata.

"Turun yuk," ajaknya.

Aku melihat sekeliling, ternyata dia mengajakku ke salah satu resto Empal Gentong yang paling terkenal. Jelang magrib, meski nyatanya masih pukul lima, suasana resto sudah begitu ramai. Mas Hanif tanpa menawariku sudah memesankan makanan. Dan lagi-lagi nggak ada yang bisa kulakukan selain manut.

Kemudian dia mengambil duduk di depanku.

Dan dia memandangaku.

"Belum kelar ya auditnya?" tanyanya.

Aku menggeleng untuk kesekian kalinya.

"Saya nggak tahu rasanya kerja kayak kamu itu gimana. Tapi, Rind. Ketika kamu sedang lelah, merasa buntu, bahkan mentok. Nggak ada salahnya kok kalau kamu nangis dan meluapkan semuanya."

Aku mendongak, menatapnya yang mulai ngobrol serius.

"Tapi jangan lama-lama. Setelah itu ambil napas panjang dan istigfar."

Mak nyes ... tapi bener juga.

"Coda deh, insyaAllah bikin lega."

Nggak selang beberaapa lama, pesanan datang. Ternyata Mas Hanif memesankan dua mangkuk empal gentong dan satu porsi sate kambing.

Sate kambing? Wow, kebetulan macam apa ini.

"Kenapa gitu lihatin?" tanyanya ketika aku menatapnya dengan intens.

Kok sama dengan Mas Luthfi.

Sate kambing momen.

"Udah, makan. Kamu belum beli tiket lho," katanya yang langsung mengingatkanku pada tiket kereta.

"Duh, iya. Gimana dong, Mas?" Aku mendadak panik, buru-buru membuka aplikasi pesan tiket online untuk mengecek persediaan tiket.

"Nah kalau ngomong kan enak. Nggak diem-dieman kayak tadi," tandasnya.

"Iih, lagi serius juga."

Dia malah terkekeh, mungkin melihat ekspresiku yang udah nggak karuan ini.

"Udah-udah, makan dulu gih."

Dan yaaa, sate kambing memang ampuh untuk meredakan segala jenis emosi yang bertubrukan jadi satu hari ini.

Terima kasih, terima kasih untukmu yang bahkan sampai detik ini masih belum bisa kuterima dengan akal sehat segala kebetulan yang terjadi di antara kita.

🚂🚞🚂🚞🚂🚞

Aku segera menuju loket tiket go show untuk memesan tiket Gumarang dengan jadwal keberangkatan 19.32 WIB. Sekarang pukul setengah tujuh, dan semoga masih ada bangku kosong untukku kembali ke Surabaya.

Btw, Mas Hanif masih setia menemani, dia lagi duduk di kursi tunggu yang ada di ruang tunggu stasiun.

Antrean sedikit panjang, tapi semoga masih nutut dengan keberangkatan, dan yang paling penting masih ada sisa bangku kosong.

Butuh lima belas menit untuk mendapatkan tiket tersebut, yaaa, syukurlah bahwa tiket untuk kereta Gumarang masih ada kuota. Aku segera menemui Mas Hanif di ruang tunggu, mau pamitan karena penginnya langsung masuk ke dalam aja. Sekaligus minta dia buat pulang, kasihan, aku yakin dia juga capek habis kerja langsung menjemputku tadi.

"Mas, aku udah dapat tiket," kataku, mengahampirinya yang sedang duduk sambil bermain game di ponselnya.

"Masih kan?"

"Masih, kok. Aku mau langsung masuk. Nunggu di dalam aja."

Dia kemudian melirik arloji di pergelangan kirinya.

"Masih ada setengah jam, duduk dulu, saya mau ngomong."

Oke, jadi dia mau ngomong apa harus permisi segala dan nggak langsung ngomong?

Aku akhirnya duduk, sambil was-was karena sekarang posisinya dia lagi menatapku begitu dalam.

Emmh ... jangan gitu dong, Mas. Tahukah kamu bahwa kami, perempuan, mudah baper dengan hal-hal remeh seperti ini. Dilihatin begini?

"Rind, saya nggak tahu apakah ke depan ada pertemuan-pertemuan nggak sengaja lagi di antara kita. Tapi kayaknya bakal sulit."

Oke, lalu ... kenapa?

"Kalau misalkan, saya masih menyambung silahturahmi dengan kamu via Whatsapp. Apakah kamu keberatan?"

Aku menelan ludah.

Apakah dia merasa bahwa aku memang nggak nyaman sehingga dia harus meminta izin seperti ini?

"Tadi juga WA. Dan nggak pakai izin. Kenapa sekarang izin?"

"Saya takut menganggu privasi kamu, atau ada seseorang yang marah ketika tahu bahwa saya menghubungi kamu dengan intens. Apakah kamu keberatan?" tanyanya lagi, masih dengan pandangan matanya yang nggak terlepas sama sekali.

Dan bodohnya, aku menggeleng.

"Nggak? Nggak ada yang marah atau nggak ada yang keberatan?"

"Nggak usah pakai gini segala, Mas. Silakan mau WA sesuka kamu kayak biasanya. Aku nggak merasa terganggu kok?"

Munafikun kau, Rind! Tadi siapa yang bilang agak nggak srek dengan segala intervensi terang-terangan yang dilakukan Mas ini? Kok sekarang bersilat lidah?

Wah, nggak singkron ini.

"Oke, syukurlah kalau begitu."

Kami diam-diaman sejenak, tiba-tiba aja suasana jadi canggung. Aku mengusap layar ponsel, jam digital menampilkan pukul tujuh lebih sepuluh menit, masih ada dua puluh menit lagi. Tapi, dia masih menahanku di sini.

"Rind, maaf kalau apa yang akan saya katakan setelah ini bakal menyinggung privasi kamu."

Aku sudah nggak konsen, suara pengeras dari CS KAI sudah menggema memberitahukan bahwa sebentar lagi kereta Gumarang akan tiba di jalur dua.

"Rindu, maaf sebelumnya ya. Apa kamu nggak pengin berhijab?" Sontak aku membelalak.

Bentar, aku nggak salah dengar?

"Maaf, sekali lagi, maaf. Tapi, Rind, kamu pasti tahu bahwa berhijab bukan soal kesiapan hati semata kan? Lebih dari itu, ada kewajiban yang harus kamu penuhi. Dan aku yakin kamu juga udah tahu bahwa ada dosa besar yang ditanggung oleh seorang ayah ketika anak perempuannya yang sudah baliq keluar rumah dengan aurat yang masih terbuka."

Seolah waktu berhenti, aku nggak mendengar lagi suasana riuh di stasiun di mana orang-orang berlalu lalang hendak masuk ke dalam peron. Mendadak aku nggak peduli bahwa keretaku telah datang dan telah parkir di jalurnya.

Mas Hanif masih memandangku dengan intens, dengan kedua tangannya yang saling bertumpu satu sama lain.

Aku nggak tahu maksud dia mengucapkan ini apa. Tahukah kamu, Mas, kamu kelewat berani hingga memutuskan masuk dan turut campur ranah pribadiku seperti ini.

Rasanya, egoku tersayat.

Kamu nggak salah memang. Apa yang kamu katakan memang benar.

Tapi aku merasa tersakiti, oleh ucapanmu, seseorang yang belum genap kuakui sebagai seorang teman.

"Kemarin kan kita sempat bahas soal mau berbenah bareng-bareng. Mungkin bisa dimulai dari hal ini, Rind. Maaaf, maaaafff banget. Tapi saya harus mengatakan ini. Begini, sebelum nanti tanggung jawabmu beralih ke suamimu kelak, apa kamu nggak pengin menyelamatkan ayahmu terlebih dulu?"

Sebuah tamparan keras yang berusaha kusangkal dan kuingkari kebenarannya, nyatanya aku terlalu egois.

Kamu siapa begitu berani mengatakan semua ini, Mas?

Aku benar-benar nggak tahu harus menanggapinya dengan kata bahkan kalimat seperti apa.

Hingga suara CS KAI kembali menggema, memberikanku jalan untuk kabur dari jebakan suasan nggak enak ini.

"Mas, aku harus berangkat. Aku masuk dulu, ya. Makasih buat semuanya," pamitku yang langsung berdiri dan menuju petugas check-in.

Aku sempat menengok ke belakang sekilas, dengan dia yang masih di tempat yang sama. Pandangan kami masih bertemu, hingga aku benar-benar memutuskan untuk menyudahi semua. Aku menuju peron, masuk ke dalam rangkaian gerbong.

Meninggalkan dia dengan segala obrolan yang sengaja kusudahi begitu aja.

Gumarang, sebuah rindu yang masih bersarang di tempatnya. Seperti parang yang begitu tajam, pedih menyanyat. Rasa ini bukanlah suatu hal terlarang, tapi mengapa aku masih terus menyangkal semua kebenaran yang sudah terpampang di depan?





Jangan lupa tekan 🌟 dan berikan komentar sebahagia kalian.

Ikutan terus Rindu yaaa

Thank u, next 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top