Pasien
"Ini ide buruk," gerutu Dokter Auer dari balik masker operasi. Namun tangannya tetap cekatan menjahit luka-luka sobek di punggung. Setelah ini Jonas Auer masih harus menjahit kaki, dan lengan pasien. Dengan banyaknya luka yang dialami, sampai membutuhkan 2-3 kantong transfusi darah selama proses pengobatan berlangsung.
Pasien cukup beruntung 'hanya' mengalami sedikit retak di tulang lengan kiri, tulang kering kaki kanan, dan rusuk. Sepertinya akibat benturan-benturan dengan benda keras. Klinik sempat mengalami padam listrik akibat mengoperasikan mesin X-Ray lebih dari sekali dalam waktu berdekatan–untuk memeriksa memar-memar parah di tubuhnya.
"Aku sudah membakar seragamnya," bisik Tilia sembari mengoleskan antiseptik ke bekas luka yang baru selesai dijahit.
"...lalu senj- ... Perlengkapan yang lainnya?" Dokter Auer balas berbisik.
"Kata Eben, dia mendapat sekantong penuh koin untuk semuanya ... Sarung tangan dan goggle-nya belum laku."
Mendengar nama salah seorang asisten dan jumlah koin yang didapatnya Dokter itu tersenyum lalu menyelesaikan bebatan perban terakhirnya dengan dengkus lega. "Setidaknya bisa menutupi biaya pengobatan yang sudah kita keluarkan."
"Tetap ditagih, Dok. Nantinya dia bakal harus dirawat cukup lama, suruh dia bayar sendiri uang makan dan pengobatan selama dirawat."
"...Kalau sampai terluka, aku tak akan mau dirawat oleh suster sepertimu, Tilia."
"Anda yakin? Saya yang terbaik di sekitar sini, lho."
Dokter Auer terkekeh sembari menghempaskan sarung tangan elastis bekasnya ke tempat sampah sebelum meraih botol disinfektan untuk dilumuri ke kedua tangannya sendiri. Apa yang diucapkan Tilia tak salah. Jemari lentik perempuan itu bahkan lebih cekatan dari tangan terlatihnya saat mengobati luka luar.
"Sepertinya masa kritis pasien kita sudah lewat, tinggal menunggu Tuan Kapten sadar saja." Dokter Auer menjatuhkan diri ke kursi praktek. Meraih buku catatan medis lalu mencatat beberapa hal di situ.
"Wah, Dokter," tegur Tilia, membuka tirai yang membatasi meja operasi kemudian melepas penutup kepala yang membungkus rambut ikal kecokelatannya. Apa baik memanggilnya begitu ... Bagaimana kalau didengar oleh orang-orang berisik lalu kita harus menjelaskan segalanya?"
"Kalau selesai dengan menjelaskan saja, masih bagus." Dokter Auer memberi aba-aba pada dua orang perawat lelaki untuk memindahkan pasien ke ranjang perawatan.
"Sulit dipercaya dia bisa mencapai titik yang cukup dekat dengan gerbang Rogue dengan luka-luka seperti itu. Bahkan sempat nyaris membuatku kehilangan asisten-asisten yang berharga."
Wajah Tilia sumringah, mata cokelat keemasannya berbinar. "Benar, kan?" ujar perempuan itu ceria. "Ada untungnya kita memungut spesimen kali ini, kita bisa meneliti bagaimana kondisi fisiknya dibanding pasien Direland lain!"
"Tilia," tegur Dokter Auer. "Kita tidak menyebut pasien yang masih hidup dengan panggilan spesimen."
Perempuan itu hanya tertawa renyah sembari membawa pergi sampah sisa operasi untuk dimusnahkan.
=000=
Hari ketiga sejak pasien hilang kesadaran. Cairan infus baru saja diganti. Menurut dokter, walau luka-lukanya sudah diobati dan darah yang hilang sudah diganti, tubuhnya masih mengalami kelelahan hebat dan sedang dalam proses penyembuhan.
Tilia memastikan tetesan cairan nutrisi dan obat pagi untuk pasien mengalir dengan tepat, lalu meraih pengukur tekanan darah. Tangannya baru saja menyentuh lengan atas pasien ketika pergelangan tangan perempuan itu tiba-tiba dicengkeram.
"Suster Tilia, pasiennya!!!" jerit perawat lelaki yang jadi asisten hari itu.
Mata lelaki berbalut perban itu masih setengah terpejam. Tangan yang menahan pergelangannya juga berbalut perban. Seharusnya dengan efek penahan sakit pun tak mudah menggerakkan tangan yang masih terluka.
"Serius, darimana spe- ... orang ini mendapat kekuatan untuk melakukan itu?" keluh Tilia. Selain bahwa postur dan ototnya memang lebih terlatih dari orang kebanyakan, rasanya tak banyak perbedaan lain. Tilia menambahkan rencana untuk melakukan tes fisik dalam catatannya.
"Lepaskan tanganku, Prajurit!" tegur Tilia. Sama seperti sebelumnya, pasien langsung mematuhi perintah. Perempuan itu jadi sedikit merasa iba.
Mata cokelatnya bahkan masih belum benar-benar fokus. Dia—lagi-lagi, bergerak secara insting karena ada orang yang menyentuhnya saat setengah sadar.
"Sebutkan namamu, Prajurit!" Tilia memerintah seraya memberi aba-aba bagi perawat lelaki asistennya untuk bersiaga, jaga-jaga kalau reflek pasien berulah lagi.
"D-drakh ... Khuk-huk!" Pasien terbatuk beberapa kali. Walau nutrisinya terbantu oleh cairan infus, kerongkongannya pasti sangat kering setelah berhari-hari tak minum. "Drake ... Pere ... grine ...," jawabnya parau setelah meneguk segelas kecil air, dibantu oleh ranjang pasien yang posisinya dinaikkan dengan engkol oleh asisten perawat. Suaranya masih terdengar lemah.
"Drake?" ulang Tilia. Ingatannya mengembara pada bacaan santai yang dilakukan saat kebetulan ada waktu luang. Nama latin yang bisa berarti naga, tetapi dibanding itu ada ingatan lain yang lebih menggelitik, cara salah satu bangsa di zaman dahulu kala memanggil bebek jantan dewasa.
"Tuan Bebek Jantan?" Perempuan itu menyuarakan isi pikirannya. Lalu menyembur, tak bisa menahan tawa lagi. Tilia terkekeh geli. Membayangkan pasien sangar di hadapannya dipanggil bebek, rasanya tak pantas. Apalagi, bukankah Peregrine itu nama sejenis elang?
"Ya, Nona ... Itu panggilan saya ... di kesatuan," jawab Tuan Bebek itu. Masih serak, tetapi lebih lancar.
"...kau dipanggil dengan sebutan Tuan Bebek, Prajurit?" tanya Tilia, tak percaya.
"Tidak, Nona ... Saya dipanggil ... Ducky."
Tilia hampir tertawa lagi, tetapi pasiennya tidak terlihat sedang bercanda. Wajah kaku dan muram begitu tidak kelihatan seperti punya panggilan kesayangan di antara rekan-rekan.
"Baiklah, Tuan Bebek," perempuan itu akhirnya memilih untuk meneruskan pertanyaan. Sembari mulai memeriksa tekanan darah dan suhu badan pasien. Tekanan darahnya agak rendah sementara suhunya cukup tinggi, mungkin demam dari proses pemulihan. "Apa kau tahu siapa kami dan sekarang ada di mana?"
Pasien mengerjap sekali sebelum mengedarkan pandangan, lalu mengamati Tilia dan asisten perawat, lalu menjawab, "Semacam ... fasilitas medis?" Kemudian melanjutkan dengan ragu-ragu, "Dan Anda berdua ... staf medis?"
Sepertinya, walau tak mengenali lokasi tepatnya, dia masih mampu mengidentifikasi sekeliling dengan baik. Selanjutnya, pasien menyebutkan tahun dan bulan dengan tepat, hanya tanggal yang meleset.
"Sudah tiga hari berlalu sejak kau ditemukan tak sadar di dekat gerbang koloni Rogue," Tilia mengoreksi pasien, sembari mencatat di papan dadanya. "Apa kau ingat apa yang terjadi padamu sebelum hilang kesadaran?"
Tak ada jawaban.
"Tuan Bebek?" tegur Tilia, mengangkat pandangan dari catatannya.
"...saya ... hilang kesadaran?" tanya si pasien lirih.
Tilia melihatnya menggerak-gerakkan kedua tangannya, seperti ingin memastikan bahwa masing-masing masih utuh dan terpasang di tempatnya. Mata cokelatnya menelusuri setiap lekuk dan garis-garis termasuk luka-luka lebam, lecet, dan sayat kecil di telapak tangannya lalu terhenti di jarum infus yang menusuk salah satu pembuluh darah.
"Tuan Bebek?" panggil Tilia lagi, lebih hati-hati. Melirik pada asisten perawat yang langsung mengangguk, meraih suntikan penenang yang sudah disiapkan sejak Tilia menyuruhnya bersiaga.
"Saya ... malam itu ...," pasien mulai menjawab perlahan-lahan, sembari menjauhkan pandangan dari tangannya. "Misi ... Gurun ...."
Tilia mengamati pupil pasien terus terpaku ke satu titik seperti tersedot perhatiannya pada sesuatu yang tak ada di situ.
"Tuan Bebek?" Tilia mencoba meminta perhatiannya dengan memanggil lebih kencang tetapi pasien seperti tak mendengar apa-apa lagi. Bahkan dengan nama aslinya pun pasien tak menanggapi.
"Hei, Prajurit! Kau dengar aku?" seru Tilia, sembari menepuk-nepuk lengan pasien.
Saat itulah pasien baru mulai merespon. Begitu pun kondisinya tampak seperti orang yang baru saja terbangun dari mimpi buruk. Dengan keringat dingin, detak jantung yang meningkat drastis, dan napas yang terengah-engah—lebih-kurang begitulah yang ditulis Tilia di catatannya.
Setelah terlihat jauh lebih tenang. Tilia memutuskan memberikan ransum yang mudah dicerna padanya. Dengan patuh pasien itu menyendok bubur kentang yang diencerkan dalam kaldu—tangannya masih terlihat gemetar— dan menelan dalam diam.
Tilia kembali ke posnya setelah meninggalkan obat dan suplemen untuk mempercepat pemulihan ketika bubur kentang yang disantap dengan sangat lambat itu sudah tinggal separuh. Namun ketika perawat lain datang untuk membereskan nampan, pasien terpergok nyaris terguling ke lantai. Sepertinya dia berusaha turun dari ranjang.
Untung Dokter Auer yang datang untuk pemeriksaan harian berhasil mencegah—dengan cara yang serupa dengan yang digunakan ketika mereka pertama bertemu. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa dengan luka-luka yang dialami, masih butuh beberapa minggu lagi untuk bisa memulai rehabilitasi pemulihan otot dan tulang. Itu pun bila pasien tetap patuh.
Pasien mengangguk pelan sebagai respon atas perintah Dokter Auer untuk tetap tenang di ranjang selama perawatan.
"Apa jawabanmu, Prajurit?" Dokter Jonas Auer mengulang pertanyaannya dengan tajam.
"Siap, laksanakan!"
Pasien kembali terbatuk-batuk untuk usahanya itu. Namun perawat lain jadi terlihat tenang karena kemungkinan lelaki itu memaksakan diri untuk kabur berkurang drastis.
"Dokter ...," panggil pasien, setelah beberapa teguk air lagi. Sudah tak serak tetapi masih lemah. "Barang ... barangku?" tanyanya ragu-ragu.
Jonas Auer tersenyum lalu menarik laci meja mungil di sebelah ranjang pasien. Mengeluarkan sepasang sarung tangan pelindung berwarna biru-kelabu dan sebuah kacamata pelindung dengan warna bingkai dan tali pengikat senada. Membuat mata cokelat pasien membulat ketika benda-benda itu diletakkan di pangkuannya.
"Hanya ini yang bisa kami selamatkan," jelas dokter itu. "Bahkan pakaianmu sudah sobek-sobek terlalu parah karena kami harus menggunting untuk membukanya saat melakukan tindakan medis pada luka-lukamu."
Melihat pasien hanya diam, Jonas melanjutkan, "Untuk sekarang, kami sediakan pakaian dan makanan pasien hingga pengobatanmu selesai."
Setelah itu selama lebih-kurang dua minggu, selain saat tidur, pasien hanya duduk diam menunggu di ranjang pasien. Dengan patuh dia menerima dan memakan jatah makannya—seaneh apapun menunya, pasti habis. Dia juga menerima berbagai pengobatan, termasuk terapi gerak supaya otot-ototnya tak kaku.
Hanya saja, mungkin pasien terlalu patuh. Tak bicara bila tak disapa lebih dulu. Tak pernah inisiatif melakukan apapun, seperti robot dalam kisah sci-fi saja. Seandainya Tilia tak ikut membantu Dokter Auer saat merawat dan menjahit luka-lukanya, mungkin perempuan itu juga bisa mengira Tuan Bebek yang mereka rawat itu bukan manusia.
Saat-saat dia terlihat sangat manusiawi, hanyalah waktu terganggu oleh mimpi buruk. Pengakuan perawat lain yang tugas jaga, hampir tiap malam mereka mendengar igauan dan teriakannya. Tilia sendiri pernah menyaksikan bagaimana orang yang nyaris tak berekspresi lain kecuali wajah muram itu merintih dan menjerit.
Tilia jadi bertanya-tanya, apakah monster yang menghadang Tuan Bebek sebegitu menakutkannya, padahal dia bisa dengan mudah menghabisi banyak yang lain? Terlalu sedikit informasi soal sandworm. Hanya ada sedikit yang bisa diperoleh dari para penyintas yang bertahan hidup cukup lama sebelum akhirnya tewas juga karena luka-luka yang terlalu parah.
Tuan Bebek sebagai jadi satu-satunya sumber informasi mereka, masih sulit untuk diajak komunikasi. Pasien akan langsung membeku dan hilang ke dalam pikirannya sendiri setiap kali ada yang mencoba menyinggung soal apa yang terjadi padanya sebelum ditemukan.
=000=
Minggu keempat sejak pasien dirawat di klinik. Kondisi fisiknya sudah sangat membaik. Sebagian besar luka-lukanya sudah menutup walau untuk luka besar masih belum benar-benar kering. Setidaknya dia tak lagi terlihat seperti mumi hidup dan sudah bisa naik-turun sendiri dari ranjang tanpa terguling. Untuk berjalan masih butuh bantuan tongkat penopang dan belum bisa mengangkat barang berat. Namun untuk komunikasi masih sulit.
Pasien makin sering bengong dan terlihat tak tahu harus berbuat apa, apabila tidak ada yang memberi instruksi—catatan khusus yang diberikan pada semua staf medis di klinik: dia sangat patuh bila perintah datang dari Dokter Auer atau Tilia. Beberapa kali refleknya untuk melindungi diri membuat perawat lain panik, tetapi secara umum pasien cukup jinak. Sampai dengan terjadi peristiwa itu.
Di ruang rekreasi—sebetulnya hanya semacam tempat dengan meja dan kursi-kursi bagi keluarga pasien rawat inap yang juga digunakan pasien yang cukup fit untuk bersosialisasi, Tuan Bebek seperti biasa melakukan terapi fisik dengan olahraga ringan. Hanya ada 2 orang pasien lain, mereka asyik bercengkerama.
Diawasi seorang perawat, dia berjalan perlahan mengelilingi ruangan dengan bantuan sebuah tongkat penyangga. Masih lambat tetapi sudah tak ada lagi gerakan menyeret atau terpincang, dia sudah bisa membagi keseimbangan langkahnya dengan baik. Tiba-tiba dua orang anak berlari masuk, seorang yang di belakang membawa sesuatu di tangannya, disodorkan pada anak yang sambil menangis ketakutan, berusaha menghindar.
"Heeeiii!!!" seru perawat lain yang ikut mengejar. "Jangan bawa hewan jorok itu ke dalam klinik!"
Tilia yang baru datang dari ruang staf melihat pandangan mata Tuan Bebek terarah ke ulat setebal ubi jalar dan sepanjang dua jengkal orang dewasa di tangan anak itu. Ekspresinya masih tak berubah, mungkin hanya terpancing oleh seruan perawat yang kini sibuk berusaha merebut ulat itu dari anak yang sedang meronta-ronta.
Tangan-tangan bocah jahil itu mengayun liar, sementara kakinya menendang berusaha melepaskan diri dari rengkuhan perawat, membuat makhluk menggeliat-geliat berwarna cokelat pudar itu terpelanting ke arah Tuan Bebek. Sekejap saja makhluk malang itu berubah jadi semburan cairan kental kekuningan dengan sabetan tangannya.
Pekik melengking dari anak pertama yang tersiram cairan kental di wajah, menggema. Panik dan jijik membuatnya berusaha mengenyahkan dengan mengusap kuat-kuat tetapi usahanya hanya membuat sebagian cairan masuk ke mata. Pedih membuat anak itu menangis kencang dengan tangan menggapai, mencari pertolongan.
Para pasien lain terperangah, tak tahu harus berbuat apa. Sementara perawat yang mengejar anak pembuat ulah, masih terlalu sibuk mencegah agar bocah itu tak makin membuat masalah. Tilia bergegas meraih lap dan botol air.
Ekspresi wajah Tuan Bebek masih tak berubah walau dengan tinju yang berlumuran serpihan daging dan cairan tubuh ulat, menetes-netes ke lantai dengan suara becek yang menjijikkan. Dia terlihat akan melanjutkan melangkah dengan acuh-tak acuh, ketika tiba-tiba gerakannya terhenti. Lebih tepatnya dia membeku.
Orang yang bisa dengan santai mencerai-berai ulat gemuk dengan tangan kosong seharusnya tak akan terpengaruh oleh tangan bocah berlumuran sisa ulat yang meraih lengannya. Namun Tilia yang mendekat untuk menolong membersihkan wajah anak malang itu, melihat bagaimana Tuan Bebek menoleh dengan gerakan kaku yang ganjil, memandang dengan penuh kengerian pada tangan-tangan mungil yang menggenggam erat lengannya. Wajahnya pucat-pasi.
Selanjutnya chaos.
....
(Bersambung ke chapter berikutnya)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top