DUA BELAS
Januar menatap ponselnya, lalu berganti pada bangunan tua yang ada di depannya saat ini. Pandangannya pun beralih pada sekitar. Januar merasa ganjal dengan bangunan itu. Bukan karena bangunannya sudah memakan usia, tetapi Januar merasa ganjal jika bangunan itu seperti sedang mengalami masalah. Bangunan itu hanya berdiri sendirian di tanah wilayah itu sedangkan sekitar sudah mulai dirobohkan.
Apa yang membuat bangunan panti ini masih berdiri sedangkan yang lainnya sudah diratakan dengan tanah? Aku yakin, bangunan panti ini pun akan mengalami hal yang sama karena posisi bangunan ini di muka jalan dan di belakangnya akan dibangun gedung. Januar membatin.
Ya. Dia kini berada di depan bangunan panti asuhan yang dikelola Naima. Januar menepati janjinya untuk mengunjungi panti asuhan itu setelah beberapa hari berlalu. Januar mendatangi panti asuhan itu setelah mengorek informasi dan mendapat kabar dari Emma jika panti asuhan itu salah satu targetnya untuk disumbangi dana dari hasil jerih payah Januar menjadi model pakaian rancangan Emma selama di Australia.
Januar melepas jas dan dasinya, lalu menggulung lengan kemejanya. Ia turun dari mobil. Pandangannya tertuju pada anak-anak yang sedang bermain di halaman panti. Januar mendekati gerbang, lalu mencari bel. Tidak ada. Ia menyentuh gembok dan membenturkannya pada gerbang agar menimbulkan suara.
"Permisi!!!" serunya.
Perhatian anak-anak yang sedang bermain di halaman panti pun tertuju pada Januar yang berdiri di luar pintu gerbang. Salah satu anak berlari masuk ke dalam dan yang lainnya masih menatap Januar. Ingatan Januar kembali pada masa kecilnya ketika menatap anak-anak panti itu. Ia rindu dengan tempat yang membesarkannya.
"Itu, Kak Nai!"
Sosok wanita muda keluar dari dalam panti karena mendapat laporan dari anak-anak. Ya. Dia Naima. Januar tersenyum menatap Naima. Ia melambaikan tangan pada Naima yang berdiri di depan pintu. Naima tersenyum ketika mendapati bahwa Januar datang. Ia bergegas menghampiri Januar.
"Kamu nggak kasih kabar mau ke sini?" tanya Naima, membuka gerbang untuk Januar.
"Aku tak tahu nomor kamu. Ini pun mendadak karena tidak sengaja lewat di jalan depan, jadi sekalian aku ke sini." Januar membalas. Ia menatap Naima yang sedang membuka pintu gerbang.
"Oh," balas Naima singkat.
"Mobilku bisa masuk?" tanya Januar.
"Bisa. Aku bukakan pintu gerbangnya." Naima membuka sisi pintu gerbang lain.
Januar berlalu menuju mobil dan melajukannya agar memasuki halaman panti. Ia turun dari mobil setelah kendaraannya masuk ke halaman panti. Naima kembali menghampirinya setelah menutup gerbang.
"Siapa Nai?!" tanya seseorang dari teras panti.
Januar menatap ke sumber suara. Dilihatnya wanita paruh baya berdiri di sana. Januar tersenyum dan mengangguk.
"Ini teman Nai, Bu. Namanya Januar." Naima membalas pertanyaan wanita itu.
"Bisa bantu aku?" Januar membuka bagasi mobil.
Naima menatap bagasi mobil Januar dan dilihatnya sembako memenuhi bagasi mobil tersebut. "Ini semua buat kami?" tanya Naima.
"Iya. Ini semua buat keperluan panti. Kamu bisa panggil anak lain untuk bantu kita angkut semua ini masuk ke dalam." Januar tersenyum.
Naima mengangguk. Ia meraih satu kardus mie instan dan berjalan masuk ke dalam panti. Januar meraih satu karung beras dan membawanya masuk ke dalam.
"Duh! Mas Januar duduk saja. Pasti capek. Biar Dodi dan Anwar yang angkat barang-barangnya. Ayo mari duduk."
Januar kembali tersenyum. Ia meletakan kantong berisi beras di samping sofa. Januar pun bergegas duduk karena wanita paruh baya itu menarik tangannya agar duduk. "Tidak masalah, Bu. Saya baik-baik saja."
"Nggak apa-apa. Aku yang akan bantu Dodi dan Anwar. Aku juga minta bantuan Nani. Kamu di sini saja ngobrol sama Bu Asih." Naima menyela. Dia meletakkan nampan berisi minuman dan camilan di atas meja.
Januar terpaksa mengangguk. Ia pun hanya menatap kepergian Naima bersama Nani untuk membantu Dodi dan Anwar.
"Sebelumnya, Ibu terima kasih dengan Mas Januar karena sudah mau mengunjungi panti ini. Nggak biasanya ada teman sekolah Nai yang datang ke sini. Ibu bersyukur, ternyata Nai punya teman yang baik seperti Mas Januar." Asih memulai obrolan.
Tidak biasanya ada teman sekolah Naima mengunjungi panti ini? Apa selama sekolah dia tidak memiliki teman? Januar bertanya dalam hati.
"Lebih tepatnya saya kakak kelas Naima saat SMA. Kebetulan kami sering ketemu dan saya pernah membantu Naima saat motornya kehabisan bensin. Setelah lulus SMA, saya kuliah di luar Bali dan jarang pulang, jadi sudah jarang bertemu dengan teman-teman lama. Beberapa hari yang lalu, saya tak sengaja melihat Naima di rumah sakit. Saya bersyukur bisa bertemu kembali dengannya." Januar membalas.
"Oh, jadi Mas Januar ini teman SMA-nya Naima. Waktu SMA, Nai masih tinggal dengan ayahnya. Setelah lulus SMA, dia baru tinggal di sini sampai sekarang."
Berbagai pertanyaan muncul di pikiran Januar mengenai kehidupan Naima. Dia mengenal Naima tak lama, hanya beberapa bulan saja. Januar merasa penasaran dengan masa lalu Naima dan masalah yang sedang dihadapinya. Januar merasa banyak keganjalan pada panti asuhan itu.
"Ayo silakan di minum mumpung tehnya masih hangat. Ini juga kuenya dicoba."
Januar terkesiap. Ia meraih cangkir berisi teh dan menyesapnya perlahan. Januar meletakan kembali cangkir di atas meja. Pandangannya mengitari sekeliling. Kepalanya mengangguk perlahan. Pandangan Januar pun terfokus pada Naima yang sedang berjalan menghampirinya.
"Semuanya sudah selesai dibawa masuk," ucap Naima pada Januar.
Januar mengangguk. "Boleh saya melihat-lihat panti ini?" tanya Januar pada Naima. Pandangannya beralih pada Asih.
"Tentu boleh. Nai yang akan menemani Mas Januar buat keliling panti." Asih menimpali.
Nai mengangguk. Januar beranjak dari sofa. Ia mengangguk pada Asih. Asih pun melakukan hal yang sama.
"Ada berapa anak-anak di panti ini?" Januar melayangkan pertanyaan untuk membuka obrolan. Mereka berjalan menuju lorong kamar.
"Nggak banyak. Hanya dua puluh lima. Paling besar usia delapan belas. Setelah lulus SMA, Bu Asih akan memberikan pilihan pada mereka antara kerja atau kuliah. Yang ingin kuliah, maka dia harus berusaha sendiri karena faktor keuangan panti ini. Atau mereka bisa kerja terlebih dahulu, baru kuliah sambil bekerja. Bu Asih tidak menerima pengadopsi. Ada beberapa faktor kenapa beliau melakukan hal itu. Pertama, karena pernah terjadi penipuan pada panti ini. Itu terjadi sudah lama. Mereka tidak mengadopsi anak-anak panti ini, melainkan untuk dijual. Kedua, karena Bu Asih menganggap anak-anak panti adalah anaknya sendiri. Beliau tidak tega melihat anak panti diadopsi." Naima menjelaskan.
Januar mengangguk. "Kenapa kamu lebih memilih tinggal di panti daripada bersama orang tuamu?" tanya Januar. Pandangannya lurus tak menatap Naima.
"Nggak apa-apa. Aku hanya betah saja di sini, jadi aku memutuskan untuk tinggal di sini." Naima membalas. Ada kebohongan yang ia tutupi dari Januar.
Januar menoleh ke arah Naima. Apa dia menutupi masalahnya?
"Yang sudah lulus SMA apa masih ada yang tinggal di sini?" Januar melanjutkan obrolan mengenai panti. Ia tak ingin menyinggung lebih dalam mengenai kehidupan Naima.
"Ada. Dodi dan Nani sudah kerja. Kebetulan hari ini mereka masuk siang, jadi bisa bantu Bu Asih mengurus anak-anak. Yang lainnya sudah mandiri dan memilih nggak tinggal di sini. Itu hak mereka. Kami nggak maksa. Yang masih mau tinggal di sini kami persilakan. Yang mau mandiri pun kami tak masalah, asal jangan melupakan orang-orang di panti ini."
Januar mengangguk. Ia merasa ragu untuk menanyakan hal serius tentang panti pada Naima. Iya takut jika Naima merasa tersinggung atau Januar sudah melewati batas.
"Semua ini mengingatkan aku saat masih kecil. Sejak bayi sampai usiaku tujuh belas tahun, aku dibesarkan di panti. Aku selalu mengingat tempat itu walaupun sudah diadopsi oleh keluarga baruku." Januar mengungkapkan jati dirinya.
Naima menoleh ke arah Januar. Ia melihat Januar tersenyum walaupun tak menatapnya. Naima pun terpancing ingin tahu.
"Ibuku menitipkan aku di panti. Aku lahir tanpa ayah. Aku punya kakak perempuan. Dia punya ayah, tapi sudah meninggal. Ibu pun sudah meninggal. Kakakku masih ada dan sekarang aku tinggal bersamanya." Januar menghentikan langkah. Ia duduk di anak tangga. "Aku tahu bagaimana rasanya jadi anak yatim, bagaimana rasanya dihina sebagai anak haram, bagaimana rasanya dikucilkan dari teman-teman di sekolah. Itu alasan kenapa dulu Gibran membenciku. Kamu tentu tahu masalah itu." Januar melanjutkan.
"Aku tidak memasalahkan latar belakangmu. Aku hanya melihat sisi kebaikanmu." Naima membalas. Ia masih berdiri tak jauh dari Januar.
"Bagaimana keadaan Fian?" Januar mengalihkan obrolan. Ia tak mau berlarut menceritakan masa lalunya.
"Ada. Dia sedang istirahat. Dia jadi prioritas di sini."
"Apa aku boleh mengunjungi tempat ini jika aku merasa sedang rindu dengan tempat tinggalku dulu?" Januar meminta izin.
"Tentu boleh. Pintu panti ini akan terbuka untukmu jika kamu rindu dengan tempat tinggal lamamu." Naima mengangguk.
"Terima kasih."
Setelah mengelilingi panti asuhan, berbicara dengan Naima, dan berkenalan dengan anak-anak panti, Januar pun pamit untuk pergi karena masih ada urusan. Ia berjanji akan kembali mengunjungi panti. Banyak pertanyaan memenuhi pikiran Januar mengenai jati diri Naima. Januar akan mengorek informasi mengenai Naima dan panti itu. Dia akan berusaha untuk mengetahui semuanya.
***
Beberapa informasi mulai Januar dapati mengenai panti asuhan tempat tinggal Naima. Naima tinggal di panti asuhan itu setelah ibunya meninggal karena penyakitnya. Asih adalah teman dekat Silvi, ibunya Naima. Panti asuhan itu didirikan oleh Asih dan Silvi. Panti itu mengalami masalah karena tanah itu dalam sengketa dengan perusahaan. Naima tidak ingin tempat itu digusur karena terdapat kenangan ibunya di sana. Naima akan berusaha mempertahankan agar panti asuhan itu tidak dihancurkan. Dan yang membuat Januar tak percaya, ayah kandung Naima bekerja sama dengan perusahaan itu untuk menggusur panti asuhan tersebut.
"Apa itu alasan Naima meninggalkan rumah ayahnya? Atau ada alasan lain? Dia tak akan lama bertahan jika kondisinya seperti ini. Panti itu akan tetap digusur tak lama lagi. Apa yang akan dia lakukan?" lirih Januar.
Fokusnya teralih ketika mendengar ketukan pintu ruangannya. "Masuk!" serunya.
Sosok wanita dan laki-laki muda pun masuk ke dalam ruangan Januar. Januar menatap skretarisnya.
"Ada orang yang ingin bertemu Anda, Pak." Sang skertaris menyampaikan.
"Januar!" seru laki-laki muda di belakang skertaris Januar. Dia menyerobot masuk.
Januar beranjak dari tempat duduknya. "Iman," lirih Januar tak percaya. Januar menatap Iman tak percaya.
Iman langsung memeluk Januar. "Kamu apa kabar, Jan? Aku rindu kamu." Iman terdengar haru.
"Aku baik, Man. Kamu bagaimana?" tanya Januar, masih dalam pelukan.
Iman melepas pelukan. "Aku baik. Pak Damian menerima aku di kantornya. Aku ke Bali untuk minta janjinya dan beliau menepati. Aku kerja di kantor Pak Damian bersama adiknya Bu Aisyah, Mas Roni." Iman menjelaskan.
"Syukurlah. Aku pikir kamu masih di Solo. Aku berniat ke sana untuk mengunjungi kalian. Aku senang bisa bertemu denganmu." Januar duduk di kursinya.
Iman pun duduk di kursi seberang meja Januar. "Semenjak kamu nggak ada di panti, aku rasa semuanya berubah. Aku kesepian, nggak semangat sekolah, nggak semangat makan, nggak semangat semuanya." Iman terlihat sedih.
Januar tertawa. Iman menatap Januar yang sedang menertawakannya. Tawa Januar lepas tanpa beban. Iman merasa jika sahabatnya itu mengalami perubahan. Januar kini lebih menikmati hidup.
Kamu berubah, Jan. Kamu sekarang terlihat bahagia setelah bertemu dengan keluarga barumu. Kamu juga sekarang sudah sukses. Kamu makin tinggi dan makin tampan. Pasti banyak cewek ngejar-ngejar kamu. Iman membatin.
"Man. Kamu kenapa?" tanya Januar ketika melihat sahabatnya termenung.
"Nggak apa-apa, Jan. Aku hanya senang saja bisa ketemu kamu. Kamu sekarang lebih hidup dan bahagia." Iman tersenyum.
"Jangan bohong. Aku tahu kamu, Man." Januar menatap serius Iman.
"Kalau bisa, aku ingin kerja sama kamu saja daripada sama Pak Damian. Aku dapat tugas ke Jakarta terus." Iman mengeluh.
"Nanti akan aku bicarakan dengan Ayah. Sekarang, lebih baik kamu ikut aku. Sudah lama kita tak makan bersama." Januar beranjak dari kursinya.
"Tepat. Aku juga laper. Gratis, kan?" Iman pun mengikuti Januar.
Januar tertawa ringan. Tak ada yang berubah dari sahabatnya itu. Banyak hal yang Januar ceritakan pada Iman termasuk kuliahnya di Aussie dan masa susahnya di sana. Iman pun menceritakan kisah hidupnya setelah kepergian Januar. Banyak kesusahan yang dialami Iman termasuk nasib menunda kuliah karena biaya. Mereka seakan tenggelam membicarakan kenangan ketika masih di panti asuhan.
Januar melajukan mobilnya setelah mengantar Iman ke tempat tinggalnya di wisma milik Damian. Januar sengaja melajukan mobilnya melewati panti asuhan tempat tinggal Naima karena searah. Ia melihat Asih dan dua anak panti berdiri di depan gerbang. Januar melihat Anwar menggendong balita. Raut mereka panik. Firasat Januar tak enak. Ia menghentikan mobil persis di depan mereka. Januar bergegas turun dari mobil.
"Apa butuh bantuan?" tanya Januar.
"Kami sedang menunggu taksi untuk ke klinik." Asih membalas.
Januar bergegas membuka pintu mobil. "Masuk saja. Akan saya antar kalian ke rumah sakit."
"Nani, kamu di rumah saja. Tunggu Nai pulang." Asih mengintruksi Nani.
Nani mengangguk.
Januar bergegas masuk ke dalam mobil setelah Asih dan Anwar masuk, lalu Januar melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Suasana hening. Januar fokus mengemudi agar segera tiba di rumah sakit. Tak butuh waktu lama, mereka tiba di rumah sakit. Anwar menggendong anak panti yang sakit diikuti suster menuju UGD. Januar mengikuti Asih untuk registrasi pasien. Januar melihat Asih kebingungan untuk membayar administrasi.
Januar meraih sesuatu dari dalam dompetnya. "Pakai kartu ini untuk biaya administrasi." Januar menyodorkan kartu debitnya pada suster bagian administrasi.
Suster pun menerima kartu itu. Januar mengerti keadaan Asih. Asih meminta ke klinik, tapi Januar lebih memilih ke rumah sakit karena akan lebih baik langsung ke rumah sakit dan dia siap membantu mengenai biaya. Setelah administrasi selesai, Asih dan Januar menuju IGD.
"Terima kasih, Mas Januar. Mas Januar sudah banyak bantu kami," ucap Asih sedih.
"Itu belum seberapa, Bu. Januar senang bisa bantu panti. Kalau butuh apa-apa Ibu bisa hubungi Januar." Januar tersenyum. Ia meraih kartu nama di dalam sakunya dan memberikan pada Asih.
Asih menerima kartu nama Januar. Ia masih memandangi kartu nama pemberian dari Januar.
"Ibu!"
Januar menoleh ke belakang ketika mendengar suara Naima. Ya. Naima berdiri tak jauh dari mereka. Naima menghampiri Januar dan Asih.
"Bagaimana keadaan Dimas? Dia baik-baik saja, kan?" tanya Naima khawatir.
"Ibu belum tau. Ibu habis urus registrasi." Asih menatap Naima.
"Nai kan sudah bilang, bawa Dimas ke klinik saja, kenapa dibawa ke rumah sakit?" Naima terlihat panik dan emosi.
"Aku yang membawa mereka ke sini. Semua sudah diurus. Kesehatan Dimas lebih penting. Aku ingin dia dapat perawatan terbaik." Januar menyela.
"Tapi ..." Naima menggantungkan kalimatnya.
"Kamu tak perlu khawatir. Aku yang akan bantu lunasi perawatan Dimas." Januar tersenyum.
"Ibu lebih baik pulang saja. Naima khawatir dengan kesehatan Ibu. Anwar akan antar Ibu pulang. Biar Nai yang nungguin Dimas." Nai mengalihkan topik. Ia menatap Asih.
"Tapi kamu pasti capek, Nai. Kamu baru pulang kerja. Kamu juga pasti kurang tidur." Asih menatap Naima.
"Naima nggak apa-apa, Bu. Naima kuat. Ibu pulang, ya." Naima tersenyum, menyentuh tangan Asih dan menggenggamnya.
Asih hanya mengangguk pasrah. Naima pun menghampiri Anwar dan menyuruhnya mengantar Asih kembali ke panti menggunakan motor milik Naima.
Naima duduk di samping Januar setelah kepergian Asih dan Anwar. Rautnya terlihat lelah. Januar menoleh ke arah Naima.
Aku tak mengerti alasan kuat apa yang membuatmu mempertahankan tanah panti asuhan tempat tinggalmu. Apa ada kenangan mendalam di sana sehingga kamu melakukan hal ini? Naima ... sampai kapan kamu akan bertahan? Kamu dalam masalah besar jika masih mempertahankan tanah panti asuhan itu. Januar membatin, memikirkan masalah yang dihadapi Naima.
Januar menghela napas. Ia tak ingin terlambat sebelum bahaya muncul karena kegigihan Naima mempertahankan tanah panti. "Apa kamu akan terus mempertahankan tanah panti sedangkan tanah itu sedang dalam sengketa?" Januar memulai obrolan.
Naima menoleh ke arah Januar. Dari mana dia tahu?
"Aku sudah tahu semua tentang panti asuhanmu." Januar menabahi.
"Tolong jangan ikut campur." Naima membalas.
"Aku tidak ikut campur. Aku hanya mengingatkanmu jika kamu sedang membahayakan semua isi panti." Januar menimpali.
"Nggak mungkin." Naima menepis.
"Semua bisa menjadi mungkin jika sudah menyangkut uang." Januar tak mau kalah.
Naima terdiam. Jika saja kamu tahu ada banyak kenangan di sana mengenai aku dan ibuku.
"Aku akan membantumu. Jangan terlambat mengambil keputusan karena semua itu ada di tanganmu. Aku akan menyiapkan semuanya. Kamu bisa pindah dari tempat itu jika sudah menemukan keputusan terbaik." Januar memberi solusi.
Naima tak membalas ucapan Januar. Banyak hal yang sedang ia pikirkan. Semua seakan menumpuk dalam pikirannya. Untuk saat ini, mungkin Januar hanya mendapat sedikit info mengenai Naima dan panti asuhan itu. Ia akan mencari informasi lebih banyak mengenai Naima.
Entah kenapa aku ingin tahu tentang kehidupan gadis ini? Kenal dengannya hanya sebentar. Dekat dengannya pun tidak. Apa yang membuatku seperti ini? Apa karena panti? Atau karena aku simpati dengan gadis ini?
***
Kamu jatuh cinta sama gadis itu, Bang.
Bahkan sejak saat SMA. 😅😅😅
Bener ga gais?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top