PART 4 : MENJALIN HUBUNGAN

Rafli Habiebie

Ingatanku kembali pada kejadian tadi. Setelah menunggu beberapa lama, Alesa dibawa keluar. Tadi katanya dia pingsan setelah mendengar Mbah Muh memberi syarat pernikahan.

Sengaja kupinta ia mengeluarkan pendapatnya di depan semua orang yang hadir. Aku yang benci eksploitasi anak tidak akan mau menyakiti anak-anak. Apalagi menikahinya dalam kondisi dia tepaksa atau dibawah pengaruh orang dewasa. Anak-anak? Eh, Alesa bukan kanak-kanak lagi sih. Hanya saja  .... ck, aku yakin. Gadis bernama Alesa itu tidak akan menerima untuk dinikahkan. Sekalipun itu dengan Rafli Habiebie.

Gadis itu berjalan dibantu Ummi dan Bi Sum. Ia tertunduk lemah. Lalu kemudian, perlahan mengangkat wajah.

Saat wajah itu terangkat, tiba-tiba saja dunia terasa berhenti. Wajahnya yang putih bersih dengan pipi dan hidung mancung kemerahan. Maasyaa Allah. Bagai angin sepoi menerpa, kurasakan sesuatu bergejolak. Desir aneh apa pula ini?

“Alesa Mahira. Ini Kak Rafli Habiebie putra Pak Hamzah dan Ibu Aminah yang akan mengadopsimu seperti pilihanmu. Demi menghindari fitnah, kira-kira kamu bersedia nggak kalau dinikahkan dengan pemuda ini?”

Semula, aku yakin benar, pasti dia akan menjawab tidak. Sudah jelas lah. Namun ternyata semua itu salah! Jawabannya berhasil membuat jantungku spontan meletup bagai ada kembang api beruntun. Hingga mata ini pun ikutan tak berkedip.

“A-alesa ... be-berse-dia.”

♠♠♠

Orang-orang di luar rumah Lek Min mulai berlerai pergi. Aku yang masih bimbang meminta izin untuk mengambil wudhu, menumpang salat di rumah Bi Sum, tetangganya Lek Min. Selesai wudhu, kudirikan salat sunnah istikharah untuk memohon petunjuk Allah. Hanya Ia yang menggenggam hatiku, hati Abi dan Ummi dan Lek Min dan istri, juga  .. Alesa.  Gadis itu, kenapa tadi dia menjawab iya? Memangnya dia merasa apa? Jika aku menerima, apakah tidak akan merenggut masa remajanya?

Dalam sujud terakhir, kubisikkan doa-doa hingga sujud kali ini menjadi lebih lama. Setelah selesai salat, kulangitkan doa, lagi-lagi meminta pentunjuk dari Allah Azza Wa Jalla. Selesai semua itu, tak putus hatiku berzikir mengucap nama Allah. Ya Fattah, ya Fattah.
Mulai tenang, aku meminta izin pada Abi dan Ummi untuk meminta pada Lek Min dan Mbah Muh mengizinkanku dan Alesa bicara, tentunya di bawah pengawasan para orang tua.

Gadis itu dibawa ke rumah Bi Sum. Sebab kalau bicara di rumah Lek Min takut nanti beliau ikut emosi lagi. Gadis itu kini duduk di depanku sambil tertunduk. Abi, Ummi, Pak Latif dan suami Bi Sum memperhatikan dari ruang sebelah.

“Alesa,” sapaku lembut. Gadis itu mengangguk. “Alesa, jawab jujur, ya. Kenapa mau dinikahkan sama saya?” Dia masih diam. Tertunduk sembari memetik ujung kukunya dengan gugup.

“Alesa ... cuma punya dua pilihan, Kak. Dinikahkan sama aki-aki atau ikut keluarga Pak Hamzah. Alesa milih ikut keluarga Pak Hamzah. Tinggal di sini pun Alesa udah nggak kuat,”akunya takut-takut.

“Jadi kalau dinikahkan sama saya?” tanyaku lagi.

“Itu syarat yang dibilang Mbah Muh.” Ya Tuhan, gadis ini polos atau memang tidak mengerti? Apa dia tidak tahu kalau menikah itu artinya dia harus apa saja?

Kami terus berbincang. Kugali perlahan jalan pikirannya. Dulu dia sekolah di mana. Kesukaan, kebiasaan. Satu yang membuatku sedikit terpana. Ternyata  dulunya ia masuk asrama menghafal Al-Qur’an. Semenjak ikut Lek Min ia meski curi-curi waktu untuk mengulang hafalan. Hal itu mulai menggugah hatiku untuk merangkulnya. Tapi ... apa ini cukup untuk menjadi alalsanku menikahinya, Allah?

“Kak. Alesa bukan siapa-siapa. Juga nggak punya apa-apa. Alesa memilih mau diadopsi karena tadi menurut hati Alesa keluarga Pak Hamzah orang baik. Itu lebih baik daripada dinikahkan dengan aki-aki. Tinggal di sini pun Alesa udah nggak kuat. Yang jelas Alesa ingin pergi saja. Tapi Alesa takut Allah murka.” Tiba-tiba dia terisak. “Kalau memang syaratnya meski harus dinikahkan juga, Alesa udah pasrah. Kalau Kak Rafli berat, sebaiknya nggak usah, Kak ....”

Entah bagaimana, hatiku pilu mendengar kata-katanya.

“Mana Alesa nya? Pokoknya kamu nggak bisa ikut mereka karena Pak Lek nggak izinin!” Lek Min tiba-tiba saja sudah ada di depan pintu. Ia langsung meraih paksa tangan Alesa hingga gadis itu mengaduh. Suami Bi Sum dan Pak Latif mendekat dan sibuk melerai. Namun dengan perkasanya beliau tetap menyeret Alesa yang kesakitan dan ketakutan. Ini orang tua maunya apa?

“Min, jangan begitu, Min. Hormati tetua desa di sini.”

“Kalian! Siapa pun! Nggak bisa ikut campur urusan keluarga saya! Pulang! Pulang semua!” sentaknya lagi. Kulihat wajah putih Alesa kini memucat, gadis itu seperti menahan beban yang begitu berat.

“Min, bukannya kalian terbeban menampung Alesa di rumah kalian?” Suara Bi Sum.

“Siapa bilang?”

“Lah. Istrimu yang bilang. Hari-hari ‘kan dia ngomong gitu ke sana kemari. Sekarang ada yang mau bantu adopsi Alesa kok kamu marah dan berat begini?”

“Saya yang akan menghidupi dia. Dia akan hidup senang!”

“Sama Tuan Takur? Apa kamu udah jual dia makanya kamu bersikeras  sekarang?” kata Bi Sum berani sekali.

Tanpa menjawab apapun Alesa langsung diseret dengan kasar ke dalam rumahnya Lek Min. Saat aku ke sebelah, rupanya Mbah Muh sedang permisi pulang untuk salat. Kesempatan itu rupanya segera digunakan Lek Min. Dia mengamuk, akhirnya orang-orang pada bubar semua.

Aku baru ngeh sampai di sini. Artinya di sini masalahnya adalah uang. Makanya Lek Min mengamuk habis-habisan. Kalau Alesa tidak jatuh ke Tuan Takur, dia tidak mendapat uang? Aku punya tabungan, tapi masalahnya, apa aku bisa MENJALIN hubungan pernikahan dengan Alesa? Rasa bimbang itu terus bergelayut hingga ke hari di mana akhirnya kunikahi juga dia. Memang gadis itu berhasil menyita sebagian isi kepala. Namun menurutku itu hanya rasa prihatin saja.

Lek Min tak yakin kami mampu memberinya uang. Aku yakin, hari itu dia akhirnya menyerah sebab keluarga Tuan Takur datang, gagal pernikahan, gagal dia mendapat uang. Saat itu yang ada dalam pikiranku adalah membebaskan Alesa, meskipun akhirnya jadi menguras seluruh uang dalam tabungan. Masalah aku cinta atau tidak dengan Alesa. Entahlah, seperti Ummi bilang, bismillah, lillahi ta’la.

♠♠♠

Hari ini hari sabtu. Artinya sudah tiga hari Alesa resmi menjadi istriku. Hari kedua kemarin, Ummi dan Abi menggelar kenduri kecil-kecilan untuk menjamu warga sekitar sebagai ganti ‘pesta walimahan’. Karena itu, sejak kemarin Kak Naya yang tinggal di kecamatan ada di sini. Habis! Diledeknya aku terus-terusan. Kalau dulu belum nikah diledeknya ‘nggak laku-laku’. Kali ini laku malah dapat yang polos begitu.

‘Biarlah. Nggak tau dia, polos kan berarti memang sudah jelas belum tersentuh.’

Ummi ingin membuat acara besar, namun kularang. Tentu saja masalahnya karena tabunganku sudah kandas. Tak lah kubiarkan Ummi dan Abi yang menanggung semua biaya walimahan.

Tak banyak yang terjadi antara aku dan Alesa. Setiap malam, ia tidur tanpa membuka kerudungnya, sementara aku tidur di lantai beralas bed cover saja. Jika pagi, setelah subuhan dia tak kembali lagi ke kamar. Saat itulah aku bersiap di kamar berganti pakaian.Sampai kapan begini? Entahlah. Yang jelas aku tidak akan memaksanya harus ini dan itu.

Hari ini jadwal mengajar hanya di SLB. Setelah itu aku langsung pulang. Masuk, ke ruang tamu, tak ada siapa pun suara tanda-tanda kehidupan.

“Ummi  ... Rey  ....”

Sepi saja. Tak ada jawaban. Masuk ke kamar, berganti pakaian, tiba-tiba ada suara jeritan dari belakang. Langkah kakiku langsung menuju ke sana. Sampai di pintu dapur, kulihat ada sosok wanita sedang berusaha menjauh dari kompor yang menyala sambil memekik ngeri. Alesa. Namun detik kemudian malah mendekat lagi. Begitu beberapa kali.

Kutahan langkah, memperhatikan apa yang dia lakukan. Kali ini dia celingak celinguk mencari sesuatu. Hhmm, cari apa dia? Matanya mendadak bahagia saat melihat sesuatu di atas lemari. Kuikut ke mana arah matanya. Kini ia sedang mengambil helmku yang sudah lama tak dipakai di sana. Dengan semangat empat lima ia kenakan helm itu lalu kembali ke dekat kompor mengaduk isi wajan. Saat isi wajan sedikit meletup ia kembali memekik yang spontan mengundang tawa Rafli.

“Alesa.”

“Astaghfirullah!” Dia terlonjak menatapku dengan wajah malu. “Kak Rafli?”

“Alesa mau ke mana?”

Kali ini dia meringis kecil.“Nggak ke mana-mana. Eeng  ...  ini, lagi goreng lele.”

“Terus itu?” tunjukku heran dengan helm yang ia kenakan. “Kok?” ledekku menganggu dia.

“Hhhmmp, eh. Minyaknya lompat-lompat, Kak, sakit ngenain tangan sama muka. Pake ini biar nggak sakit.”

Aku terkikik melihat wajahnya yang lucu di balik helm karena ketanggoran Rafli. “Ditutup aja wajannya. Atau nggak  ....” Kali ini mataku yang liar mencari-cari. Menemukan bendanya, kuraih segera. Sebuah botol bekas air mineral ukuran besar. Kupotong bagian bawah, lalu memasukkan pegangan sutil ke dalam sana.

“Nah, begini. Jadi tangannya nggak kena cipratan minyak juga.”

Melihat itu, wajah Alesa berbinar. Matanya yang bulat mengilat bersemangat. “Helmnya masih boleh dipake ‘kan?” tanyanya polos. Aku tersenyum dan mengangguk geli.

“Udah kayak mau bertempur," kikikku geli. "Ummi mana?”

“Ummi lagi keluar. Kalau Kak Naya lagi ke sebelah,” jawabnya pelan. "Oh, kata Ummi, kalau Kak Rafli mau makan udah ada lauk di lemari.”

“He-em. Terus itu goreng lele lagi untuk siapa?” Aku duduk di meja makan sambil memperhatikan Alesa berjuang menggoreng lele lengkap dengan alat tempurnya. Sesekali tingkahnya mengundang tawa saja.

“Untuk Kak Rafli juga. Kata Ummi  ... Kak Rafli sukak.” Ya ampun nih bocah. Jadi itu bela-belain goreng lele buat aku? Kudekati dia, menggantikannya membalik lele di wajan. Kini tubuh kami berdampingan. Tak lama kuangkat lele untuk ditiriskan. Lalu kembali memasukan lele yang mentah. Cipratan minyak membuat dia berjingkat hingga menubruk lengan kiriku. Aku tertawa melihatnya.

“Alesa  ...,” panggilku sambil menyerahkan sutil berselimut botol bekas.

“Ya, Kak.”

“Cerita tempuuur. Entar malam kita tempur, yuk!” Dia melirik dengan tatapan bingung. Kubiarkan dia dengan kebingungannya. Sengaja. Hahaha. Cuma mau menganggunya saja. Setelah itu, Kuraih gelas berisi air minum di meja dan duduk meneguk air di bangku.

“Onty! Ikuuut  ...,” rengek Rey tiba-tiba. Spontan aku jadi tersedak dan terbatuk-batuk. Nih anak, kok nongol tiba-tiba? Rupanya Rey baru saja masuk dari pintu belakang.

“Rey, ikut Mama Rey,” kataku.

“Mama nggak pergi.”

“Onty Alesa juga nggak pergi, Rey,” timpal Alesa.

“Itu, udah pake helm! Ikooot  ....” Kali ini bocah empat tahun itu semakin merajuk.

Kak Naya yang baru saja menyusul masuk melihatku dan Alesa bergantian dengan tatapan heran.

“Rey kenapa?” tanya kak Naya.

“Merajuk minta ikut Alesa, Kak,” jelas Alesa.

“Alesa mau ke mana?” Tatap mata Kak Naya mau tertawa melihat Alesa.

“Oh, ini. Nggak ke mana-mana. Cuma lagi goreng lele tadi.”

“Oalah, Dek. Ini idenya siapa?”

“Idenya Kak Rafli sama Alesa. Malah mau diajaknya tempur nanti malam.”

“Ohoks!” Spontan aku terbatuk lagi. Kak Naya langsung melirikku tajam tapi sudut bibirnya berkedut-kedut mau tertawa.

“Oh. Itu! Maksudnya  ... ehmm, ehem. Kira-kira  ... Alesa entar malam  ... mau jalan-jalan nggak?” tandasku supaya jangan jadi bahan ledekan Kak Naya.

Mata Alesa melirik lagi, kali ini dengan raut senang.

“Ja-lan-ja-lan?” tanya Alesa ragu tapi gelagat mau.

“Tuh ‘kan. Ikoooot  ... ikoot!” kali ini Rey mencak-mencak.

“Rey, Rey. Ikut Mama aja, ya. Nggak usah ikut Om Rafli. Nanti kita jalan juga.” Kak Naya segera membawa Rey ke depan.

“Nggak papa ‘kan Rey ikut, Kak?” tanya Alesa kasihan.

“Nggak. Kalian jalan-jalannya lain. Mana boleh anak kecil ikutan. Gih sana!”

Kak Naya berkata sambil menatapku sengau nyaris mau tertawa. Untung ada Rey, kalau tidak sudah habis aku diledeknya.

.
.
Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top