7. Perasaan Berbeda
⚠️ Chapter ini memuat konten dewasa (sensual) yang tidak disarankan untuk pembaca di bawah umur.
Jika teman-teman merasa tidak nyaman, silakan skip chapter ini 😊
.
.
.
.
.
.
"Sayang? Kamu ada di kamar?" panggil Ardian.
"Mamaaa, Adek pulanggg." Suara cempreng Tata menimpali.
Sayup-sayup suara mereka terdengar dari luar ruangan membuat Ghea terkesiap. Entah sudah berapa lama ia berada di ruangan perlengkapan, mencari-cari dokumen perpisahan Ghea dan Ardian yang mungkin saja memang tak pernah ada wujudnya.
Atau ... dokumen itu diletakkan di ruangan lain?
"Ma, kok berantakan, sih?" tanya El yang langsung masuk dengan masih mengenakan pakaian sekolah berwarna putih dan biru tua. Ia berdiri tepat di samping Ghea dengan tangannya berada di bahu sang ibunda.
Ardian baru saja kembali setelah menghadiri rapat penting di kantor yang tak bisa ia tinggalkan, sekali jalan menjemput El di sekolah dan Tata di rumah orang tuanya. Sang adam diketahui memang tidak ingin berlama-lama di kantor karena ingin merawat Ghea di rumah. Jujur, Ardian masih sedikit takut meninggalkan sang istri tanpa penjagaannya, walau hanya dalam waktu singkat. Hal ini ia tuturkan saat ia menelpon Bi Sum. Asisten rumah tangga itu sempat menyinggung perihal ini saat berada di dapur tadi.
Ardian tampil memikat di mata sang hawa dengan mengenakan celana hitam dan kemeja putih yang satu kancing di bagian atas terbuka dan lengan digulung, meskipun Ghea tahu bahwa penampilan suaminya sekarang tidak rapi, mungkin tak seperti tadi pagi.
"Eh, udah pada balik ya?" Ghea menoleh ke arah pintu.
Tata dan Ardian kemudian mengikuti langkah El, lalu duduk bersila di depan Ghea sembari merapikan kertas-kertas yang berhamburan.
"Kamu ngapain, Sayang?" tanya Ardian lembut, "kok semuanya diberantakin? Nyari apaan?"
Ghea menggeleng cepat. "Nggak, kok, Mas. Aku cuma iseng baca-baca aja. Siapa tau ada sesuatu yang bisa bikin aku ingat, apa kek gitu."
Ardian menurunkan setumpuk lembaran yang berada di tangannya ke lantai, lalu tersenyum pada Ghea seraya mengulurkan tangan untuk membelai pipi gempal sang istri. "Pasti rasanya aneh ya nggak ingat apa-apa? Pelan-pelan ya, Sayang. Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti bakalan ingat semuanya."
Sang puan menatap bola mata hitam Ardian sembari memamerkan kedua sudut bibir terangkat yang tidak kalah menawannya. Ia mengangguk, lalu berucap, "Iya, Mas."
Rasanya tak salah jika Bi Sum mengatakan bahwa Ardian adalah salah satu pria paling sabar. Perempuan itu ingat, ketika dirinya berada di tubuh Kiana, ia pernah melakukan hal yang sama seperti saat ini di apartemen pribadinya. Tak butuh waktu lama, Valdy pun datang dan langsung memarahi Kiana. Aneh memang jika langsung men-judge begitu saja dan membandingkan dua pria tersebut, di saat ia baru mengenal Ardian dan telah menghabiskan banyak waktu bersama Valdy.
Tidak, tidak seharusnya ia seperti ini!
"Iya, Mas."
Mendengar suara tersebut, khayalan Ghea seketika terpecah. Ardian dan Ghea langsung menatap ke arah sosok kecil yang rambutnya diikat kuda, duduk dipangkuan seraya mendongak pada Ardian. Bibir kecilnya memperlihatkan cengiran lebar.
"Iya, Mas," ulang Tata untuk kedua kalinya.
Ghea membulatkan mata. Segera, ia mendekatkan wajahnya ke arah Tata hingga kedua hidung mereka saling bertemu. "Ehhh, nggak boleh gitu. Adek panggilnya tetap 'Papa' dong, Nak," ujar Ghea gemas.
Setelah kepala Ghea dimundurkan, Tata mengerucutkan bibir dan tangannya dilipat depan dada. "Tapi, Mama tadi panggil 'Mas'. Masa Adek nggak boleh?"
"Yang boleh panggil Papa dengan sebutan itu cuma Mama."
"Nggak mau, Adek juga mau manggil 'Mas'."
El menepuk keningnya dengan tangan, tak habis pikir. "Ya ampun Adek...."
"Oke, sekarang Mama nggak akan panggil 'Mas' lagi supaya Adek nggak ikut-ikutan!" acap Ghea tegas membuat Ardian hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala.
Ada-ada saja!
.
.
.
.
.
.
Langkah ringan kembali terdengar di ruang pakaian malam itu. Tentu saja Ghea dengan lincahnya membuka lemari dan mencari-cari busana yang akan ia kenakan untuk tidur. Mungkin malam ini ia akan terlelap lebih dulu tanpa menunggu suaminya, karena Ardian harus berada di dalam ruang kerja untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda.
Kedua obsidian gelap milik sang hawa terpaku pada beberapa lingerie, piyama kimono transparan, dan set kamisol rendah yang sangat seksi memanjakan mata. Ghea kemudian mengambil kamisol berwarna krem, lalu menempelkannya di tubuh seraya menyerong menghadap cermin satu tubuh yang tak jauh dari lemari.
"Gue kalo pake ini ke pajama party di Bali waktu itu kayaknya cocok banget, dah. Pasti pada pangling. Ya iya, gue aja pangling liat model dan brand-nya. Bagusnya, sih, gue nggak usah sok sok-an ngecek harganya ya," acap Ghea dengan memperlihatkan senyum lebar.
Perempuan itu ingat bagaimana hebohnya pajama party empat bulan lalu di Bali yang diadakan dalam rangka merayakan ulang tahun salah satu sahabatnya, Keyzia. Seorang artis ternama yang seumuran dengannya.
Pesta tersebut awalnya diadakan secara indoor dan diikuti oleh lima orang yang mengenakan piyama, mengingat ini adalah pajama party biasa. Akan tetapi, kedatangan teman-teman lainnya secara mendadak dan ide untuk memanfaatkan kolam renang besar di resort tersebut mencuat begitu saja, berakhir menjadi pool party dengan berbagai hidangan kudapan, minuman tinggi alkohol, dan musik yang memekakkan telinga. Meskipun terbilang dadakan, nampaknya ini tidak terlalu menjadi masalah bagi pihak resort. Sebab, resort tersebut memang milik Keyzia sendiri dan dia sudah ancang-ancang jikalau ternyata malam itu akan ada acara dadakan. Dan benar saja, naluri Keyzia bekerja dengan baik.
Seluruh tamu yang merupakan para seniman layar kaca dan para pengusaha berjumlah lebih dari empat puluh orang itu pun larut dalam suasana pesta. Tak tanggung-tanggung, acara berlangsung hingga pukul 4 pagi. Sang puan yang masih mengenakan piyama hanya mampu tergolek lemah di tempat tidur setelah menghabiskan tiga gelas vodka.
Sejak saat itu, perempuan tersebut berjanji pada diri sendiri untuk tak akan meminum minuman beralkohol tinggi lagi. Sebab, ia merasakan tubuhnya begitu lemah, kepala pusing, mual, dan lain sebagainya yang membuat aktivitasnya hari itu menjadi terganggu. Persetan jika dirinya disebut tidak gaul, tidak seru, dan segala macam julukan tidak menyenangkan oleh teman-temannya. Yang terpenting, dia tidak ingin merasakan hal itu lagi.
Pengalaman buruk!
Setelah berganti pakaian dengan kamisol berwarna hampir menyerupai warna tubuhnya. Ia memutar badan ke kanan dan kiri, memperlihatkan potongan dada rendah, kaki jenjang, dan lekuk tubuh yang sempurna. Benar-benar keindahan yang memanjakan mata.
"Ma, kok--- oh?" ucap Ardian datar dari balik pintu ruangan yang tak tertutup itu.
Mendengar suara sang suami, Ghea sontak menoleh, lalu refleks bergerak untuk mengambil pakaian yang sudah berserakan di atas sofa dan menutupi beberapa bagian tubuhnya. Jika boleh jujur, Ghea sangat malu sekarang hingga ia hanya mampu tersenyum kikuk dan menundukkan tatapannya.
"Kok ditutup, Sayang?" Ardian terdengar kecewa.
"Ah, itu ... yaaa Mama malulah, Pa," ucap Ghea salah tingkah dengan memerah yang mulai terlihat di wajahnya.
Ardian perlahan mendekat ke arah istrinya itu. "Mama lucu, deh. Napa mesti malu di depan suami sendiri? Anak kita udah dua, lho. Papa juga udah sering liat Mama yang nggak pake apapun."
Ghea kemudian mengangkat wajah seraya memberikan senyuman tipis. "Kalo begitu, nggak masalah, dong, kalo Mama tutup? Kan, katanya Papa udah sering liat."
Sang adam semakin mendekat ke arah Ghea membuat degup jantung perempuan itu makin tidak karuan saja. Hingga akhirnya, suara berat Ardian berhasil menggelitik telinga Ghea tatlaka ia berbisik, "Tapi, Papa nggak pernah bosan liatnya. Jadi ... pengen."
Setelah Ardian memundurkan kepala, Ghea tampak mengerjap berulang kali. Ia menelan ludah dengan sulit dan mata perempuan itu sontak membelalak sempurna. Pikiran Ghea kosong saat itu juga.
"Pengen ... apa?"
"Apa kira-kira?" jawab laki-laki itu dengan seringai kecil.
Ardian semakin bergerak ke depan hingga tubuh keduanya tak memiliki celah sama sekali. Tangan besar pria tersebut terulur, lalu membelai pipi, bibir, dan mata Ghea dengan ibu jarinya secara perlahan. Seolah menegaskan bahwa seluruhnya adalah milik Ardian seorang.
Sentuhan demi sentuhan membuat Ghea seketika memejam dan merasakan sensasinya lebih dalam, larut dalam suasana. Ardian memajukan kepala menuju sang istri, hingga perempuan itu dapat merasakan napas hangat yang menjalar di permukaan kulit. Refleks, Ghea memiringkan sedikit kepala saat dirinya mulai merasakan bibir pria tersebut menjejak di sana, memberikan akses sebebas-bebasnya pada laki-laki tersebut.
Gerakan dan sentuhan yang diterima oleh sang puan benar-benar lembut, hingga tanpa sadar ia kembali membandingkannya dengan Valdy. Pria tersebut selalu melakukannya dengan kasar dan terburu-buru membuat perempuan itu terkadang kesal setengah mati. Ah, bukannya ia sudah berjanji tidak memadukan keduanya untuk mencari perbedaan. Jelas, mereka adalah dua pria yang memiliki ego dan prinsip yang tidak sama.
Di sela-sela suasana penuh keintiman, tangan Ardian kemudian meraih tangan Ghea yang masih setia menutupi dada dengan menggenggam pakaian dan menurunkannya secara perlahan, hingga Ghea tanpa sadar menjatuhkannya begitu saja.
Ardian kemudian membawa Ghea menuju sofa panjang, membaringkannya di sana, dan mengikis jarak dengan berada di atas tubuh perempuan itu. Terlihat tatapan mendamba yang terpaku satu sama lain, kedua insan tersebut berbagi senyum singkat sebelum akhirnya sang adam menuntun Ghea pada kecupan pelan nan memabukkan, menuju perasaan membuncah yang sulit untuk dijelaskan.
Perlahan, sebuah desahan dari sang puan terdengar di telinga Ardian yang membuatnya tak mampu untuk menahan lebih lama gairah yang membara. Bibir pria itu kemudian turun ke leher Ghea sekali lagi, lalu semakin ke bawah menuju dada yang tertutup oleh kain. Tangannya begitu lihai meraba titik sensitif Ghea, membawa wanita itu melayang. Sedangkan tangan sang hawa menggenggam belakang kepala Ardian erat. Racauan yang keluar tanpa bisa dicegah menambah suasana semakin panas.
Tidak, tidak ada laki-laki lain selain Ardian dipikiran Ghea sekarang dan perempuan itu ingin menuntut lebih!
"Papaaa!"
Ghea sontak mengernyit dan membuka mata ketika ia mendengar samar-samar suara anak kecil dari luar kamar. Anak itu mengetuk pintu berulang kali dan memanggil Ardian dengan suara lantang di tengah tangisan.
"Papaaaa...."
Suara itu semakin besar, sehingga Ghea dapat mendengarnya lebih jelas dari sebelumnya.
Ghea kemudian mendorong bahu Ardian. "Pa? Papa!"
Tanpa berhenti, Ardian hanya memberikan respons singkat. "Hm?"
"Papa, stop!" titah Ghea dengan sedikit tegas.
Ardian mengangkat wajah dengan kening berkerut, nampak sedikit kesal karena berhenti secara mendadak. "Apa, sih, Ma?"
"Dengerin dulu makanya!"
Keduanya pun terdiam selama beberapa detik. Setelah yakin bahwa mereka mendengarkan hal yang sama, Ardian lantas menegakkan punggung dan memperbaiki kausnya yang telah teracak.
Sebelum melangkah meninggalkan ruang pakaian, Ardian memberikan kecupan singkat di kening Ghea sambil berucap pelan, "Kayaknya Adek mimpi buruk lagi, deh. Papa keluar bentaran ya. Setelah itu, baru kita lanjutin lagi ya, Sayang."
Tak lama kemudian, Ardian pun hilang dibalik pintu tanpa mendengar perkataan Ghea. Untuk apa juga. Toh, memang tidak ada yang ingin Ghea sampaikan.
Ghea mengembuskan napas sambil memejam, rasanya seolah beban di pundak dan hati terangkat seketika. Dia benar-benar hampir gila setelah baru saja mendapatkan sensasi yang berbeda dan sulit untuk dilupakan, bahkan secara ajaib nampaknya dia telah memiliki ruang tersendiri di dalam hati untuk sang adam.
Oh, tidak. Apakah secepat itu?
Sang puan mengubah posisi menjadi duduk, sementara matanya terus menatap pada lemari yang masih terbuka dihadapannya. Seketika ia bingung harus menggunakan pakaian lain atau tidak, setelah tangan Ardian merobek beberapa detil pada busana yang ia kenakan sekarang. Sedikit disayangkan memang, apalagi model dan harganya terbilang mahal. Bukan, bukan ia tak mampu membeli. Ia bahkan memiliki beberapa busana dengan merek yang serupa. Hanya saja, milik Ghea memang lebih ekslusif dan jumlahnya dipasaran bahkan sangat terbatas.
Ghea menggeleng pelan. "Ini, kan, punya gue. Gue bebas, dong, pake yang mana aja."
Ah, Ghea tidak ingat jika tak lama lagi Ardian akan kembali membuka atau mungkin merobek apa yang telah ia kenakan sekarang.
Siapa yang tahu?
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top