#9 Satu sama
TESSA mengeluarkan sepeda lipat dari garasi, satu-satunya kendaraan yang dia punya. Minggu pagi ini, dia sengaja bangun lebih awal karena ingin bersepeda keliling kompleks. Tidak perlu jauh-jauh. Yang penting bisa menghirup udara pagi.
Sebagian besar ibu-ibu kompleks juga sudah keluar dari rumah masing-masing, berpakaian olahraga, lengkap dengan sepatu. Memang setiap hari Minggu,di kompleksnya ada acara senam ibu-ibu di jalan buntu depan rumah pak RT.
"Tumben sepedahan, Nduk?"
Budhenya, yang baru keluar rumah dan sedang menutup pagar, yang bertanya. Rumah Budhe hanya berjarak dua rumah dari tempat tinggalnya.
"Iya, Budhe. Sayang sepedanya dianggurin." Kemudian dia mulai mengayuh. "Tessa duluan, Budhe."
Budhe menasehatinya supaya hati-hati karena aspal agak licin setelah hujan semalam. Tessa menyiyakan saja.
Baru dua putaran, gadis itu menghentikan kayuhannya dan berhenti di pinggir jalan.
Rex yang baru keluar dari rumahnya dengan celana pendek dan sepatu lari, dengan earphone di kepala, menghentikan langkah, surprised melihatnya.
"Pagi-pagi mau ke mana, Bos?" tanya Tessa.
"Elo tuh, yang tumben, pagi-pagi udah keluar, mau ke mana?" Rex balik bertanya, mencopot earphonenya dan menggantungkan di leher.
"Muter-muter sini doang."
"Nah, gitu, dong. Keluar. Jangan kayak burung dara."
Tessa meringis, menyangga sepedanya dan turun. "Elo mau ke mana?"
"Mau ke rampal, jemput Troy dulu."
"Rumah Kak Troy di mana?"
"Ijen. Sekompleks ama Edgar."
Tessa mangap. "Rumah Kak Edgar di Ijen?"
"Lo nggak tau?"
"Katanya searah sama sini."
"Hahaha. Bisa aja itu anak. Biar lo nggak nolak dianter itu mah. Hmm, dasar bucin."
Tessa menggeleng-geleng takjub.
Berarti sekolah mereka ada di tengah. Rumahnya jauh di barat, sedangkan rumah Edgar jauh di timur.
"Santai, Tes. Wajar kok cowok begitu. Namanya juga suka. Nggak usah ngerasa nggak enak. Kalau dianya memang mau nganter jemput, ya udah biarin aja."
¤ ¤ ¤
Begitu sepeda Tessa kembali memasuki halaman rumahnya yang tidak seberapa luas, yang pertama kali dilihat gadis itu adalah motor Edgar yang terparkir. Sedangkan pemiliknya sudah duduk di teras.
"Dari mana? Tumben pagi-pagi udah keluar?" tanya cowok itu seraya bangkit dari kursi dan menghampirinya, mengambil alih stang sepeda dari tangan Tessa dan membawanya masuk ke garasi.
"Lagi pengen aja. Mumpung udaranya sejuk."
Tessa menunggu di depan, merebahkan diri di lantai teras. Dia tidak berkeringat sama sekali karena memang suhu udara masih dingin. Hanya agak gerah karena jalanan di kompleksnya memang tidak rata. Ada naik-turunnya.
"Gue beliin sarapan, Tes. Nasi pecel deket rumah yang gue bilang enak waktu itu."
Edgar duduk di sebelah pacarnya.
"Pecel Ijen?" Tessa bangkit dari posisi rebahan.
"Hah?" Alis Edgar bertaut. Dia tidak ingat pernah keceplosan menyebutkan di mana alamat rumahnya.
"Kakak bilang pecel deket rumah. Pecel Ijen, ya?"
"Kok tau?"
Tessa mendengus, kemudian mencubit lengan Edgar keras-keras karena kesal. Bisa-bisanya dia kena tipu!
"Kakak kenapa nggak bilang, sih kalau rumah Kakak jauh?"
"Nanti elo nggak mau dianter."
Jelas waktu hari pertama MOS itu dia akan menolak kalau tahu rumah senionya ini terpisah jarak enam kilo meter dan berlawanan arah dengan rumahnya. "Terus kalau kayak gini kan berarti pengeluaran untuk BBM kakak membengkak dua kali lipat!"
"Apa bedanya kalau lo naik ojek sama gue anterin? Tetep ada pemakaian BBM di situ."
"Kan kalau aku naik ojek, tukang ojeknya dapet nafkah. Lagian Tessa naik ojek kalau berangkat doang. Kalau pulang dan nggak buru-buru, naik angkot."
"Sama aja ah. Tukang ojek dapet nafkah. Gue dapet seneng. Worth it lah."
Tessa mencubit lengan pacarnya lagi. Masih kesal. "Pokoknya Tessa nggak mau dijemput lagi kalau pagi. Kakak tuh berangkat dari rumah jam berapa coba? Emang Ibu kakak nggak heran anaknya pagi banget berangkatnya?"
"Orang tua kalau anaknya rajin bangun pagi malah seneng kali, Tes."
"Ya itu kalau langsung ke sekolah!"
"Orang tua mana zaman sekarang yang nggak tahu kalau anaknya berangkat sekolah pagi-pagi jemput pacarnya dulu?"
Tessa manyun.
"Orang tua gue tau kali, Tes. Lagian selama guenya nggak telat ke sekolah, kenapa enggak? Orang tua juga malah seneng kalau anaknya jadi semangat berangkat sekolah karena satu sekolah sama pacarnya."
"Kakak ngada-ada banget, sih! Yang ada mereka malah khawatir, jangan-jangan anaknya nggak fokus belajar, di sekolah malah pacaran mulu!"
"Lha buktinya nilai gue nggak pernah jelek. Bisa jadi ketua OSIS. Ekskul masih jalan. Kadang-kadang masih diikutin lomba ini itu biarpun nggak selalu menang."
Tessa cuma bisa mencibir karena tidak punya bahan untuk membantah lagi.
"Buruan ambilin piring, sih, Tes. Keburu dingin ini pecelnya."
"Makan di dalem aja. Kotor di sini. Tessa belum nyapu lantai. Masih kepagian."
"Iya itu punggung lo juga jadi kotor semua."
Tessa segera bangkit, membuka pintu rumahnya lebar-lebar, mempersilakan masuk. Kemudian dia segera ke dapur utuk mengambil piring dan meletakkannya di meja ruang tamu. "Tessa mandi dulu, deh. Kakak makan duluan aja."
"Lha kok gitu?"
"Ini baju kotor semua. Nanti debunya masuk ke makanan."
"Gue di ruang tengah aja boleh nggak, sambil nonton TV?"
"Terserah, deh."
Ketika Tessa keluar dari kamar mandi. Dua bungkus pecel di meja ruang tengah masih tetap tersegel. Edgar malah asyik nonton tayangan anime.
Tessa duduk di sebelahnya, langsung mengambil alih piringnya dan mulai membuka jepret pada kertas pembungkus nasinya.
"Fix. Lo tinggal sendirian, ya, Tes?" Edgar mengalihkan pandangan dari layar TV.
Tessa tidak menyahut.
"Gue nggak lihat ada sandal lain selain sandal lo."
"Iya."
"Keluarga lo di mana? Masih di Bandung?"
"Iya."
"Kok elo berani tinggal sendiri di sini?"
"Waktu kecil Tessa tinggal di sini. Lagian rumah Budhe Tessa ada di sebelah, noh. Kenapa mesti nggak berani?"
"Ckckck. Kenapa nggak pernah bilang?"
"Kalau Tessa bilang dari awal, pasti Kakak makin betah main ke sini karena nggak ada ortu yang bakal nginterogasi."
"Tau aja." Edgar tertawa. "Berarti kita satu sama nih ya, Tes?"
Tessa mengangguk sambil mulai mengunyah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top