5. Perasaan Aneh

Peraturan keempat: Jangan banyak bertanya. Kerjakan tugasmu dengan baik, dan cukupkanlah dirimu dengan hal itu. Apa yang tidak kauketahui tidak akan datang untuk membunuhmu.

~ 🥀🥀🥀 ~

Pada suatu hari, dulu sekali, Amy pernah punya orang tua.

Keluarga Sullivan memang tidak kaya, tetapi mereka hidup berkecukupan. Ayah Amy, Alfred Sullivan, adalah editor surat kabar The Ashfield Daily. Ibu Amy, Emma Woodleigh-Sullivan, bekerja sebagai guru sekolah dasar sebelum menikah. Setelah sepuluh tahun pernikahan dan empat kali keguguran, Amy jadi satu-satunya anak mereka yang tumbuh dewasa. Tidak heran bila keduanya sangat menyayangi gadis itu. Mereka menyekolahkannya, memperkenalkannya pada beraneka macam bacaan, berharap gadis itu bisa jadi perempuan mandiri yang tidak perlu mengejar-ngejar lelaki kaya untuk menaikkan status kehormatannya.

Suatu malam, kala usia Amy dua belas tahun, rumah kecil mereka terbakar habis. Amy selamat karena mencium bau asap dan terbangun tepat waktu, juga karena kamarnya dekat pintu. Ia kehilangan nyaris segala yang ia punya, kecuali kacamata, pakaian yang melekat di tubuh, serta nyawanya. Polisi menyerahkannya pada Panti Asuhan St. Peter, yang dikelola oleh Gereja Anglikan setempat. Di situlah ia menghabiskan masa remajanya.

Di situ juga ia bertemu Oliver. Pemuda yang tepat enam bulan lebih tua daripadanya itu segera jadi teman pertamanya di panti. Oleh karena itu, begiru Amy menerima kabar bahwa Oliver memperoleh pekerjaan sebagai juru tulis di sebuah firma hukum kecil di dekat Rathcliffe Valley, gadis itu segera mengajaknya mengatur tanggal pertemuan. Kesempatan itu tiba di suatu Sabtu yang cerah, saat kantor Oliver libur dan Amy diizinkan keluar selama dua jam. Pagi-pagi benar Amy bangun dan menyelesaikan seluruh rutinitasnya, lalu lekas-lekas berdandan. Ia kenakan gaun krem berenda putih yang ia beli di toko barang bekas. Disanggulnya rambut, lalu dikenakannya topi bonnet berwarna senada.

"Oi, Oliver!" seru Amy. Gadis itu berusaha berjalan secepat mungkin, walau gaunnya yang ketat dan panjang menghalangi langkahnya. Flat kontrakan Oliver tua dan lembap, dengan kamar mandi yang kerannya sebentar-sebentar bocor, tetapi pemuda itu telah mengerahkan segenap usahanya untuk membuat tempat itu rapi dan nyaman. Bagian luar bangunannya dari bata merah, diselimuti lapisan ivy yang lebat. Kala Amy tiba, sudah lima belas menit Oliver menanti gadis itu di depan gedung. Ia bersedekap, tubuhnya terbungkus jaket tipis panjang sewarna kopi susu. Ia tidak mengenakan topi. Rambut cokelatnya ikal dan lebat, bergoyang-goyang disapu angin.

"Hei, Amy! Lama tidak berjumpa!" Mata hazel Oliver berbinar. Kedua muda-mudi itu berpelukan, erat layaknya saudara yang lama terpisah. Oliver sudah lebih tinggi dari Amy kala pemuda itu meninggalkan panti setahun lalu, tetapi agaknya ia tumbuh lebih jangkung lagi dalam waktu setahun itu. Dari melihat tubuh Oliver yang jadi lebih berisi, serta wajahnya yang makin berseri, tahulah Amy kalau pekerjaan pemuda itu cukup baik.

"Wah, aku nyaris tak mengenalimu. Ke mana anak laki-laki kurus yang dulu menyelundupkan cokelat untukku? Kau sudah jadi orang dewasa, Oliver!" Amy berkacak pinggang dan memasang muka cemberut, pura-pura kesal.

"Kau harusnya lihat dirimu di cermin! Aku tahu kau sudah delapan belas tahun sekarang, tetapi, ah, aneh sekali melihatmu dengan gaun panjang dan rambut diangkat." Pemuda itu melihat jam sakunya, lalu mengedikkan kepala. "Ayo berangkat! Pertunjukannya sebentar lagi dimulai."

Di ujung East Avenue, sebuah bar tua telah direnovasi dan diubah menjadi pusat pertunjukan untuk seniman-seniman muda. Hanya butuh waktu singkat hingga tempat itu menjadi pusat tongkrongan para seniman jalanan, mahasiswa-mahasiswa idealis, dan anak-anak muda kelas pekerja yang haus hiburan berbiaya terjangkau. Oliver sudah beberapa kali ke sana. Di akhir pekan ini, sebuah kelompok teater akan mempertunjukkan iterasi modern mereka atas kisah klasik Romeo dan Juliet. Amy sangat menyukai karya-karya Shakespeare, dan Oliver berpendapat bahwa ia akan menyukai pertunjukan itu.

"Memangnya ada apa dengan pekerjaanmu yang dulu di sekolah? Kukira kau kerasan di sana?" Bosan berjalan diam-diam, Amy memutuskan untuk bercakap-cakap. Mereka tidak bisa sering-sering bertemu sekarang, jadi gadis itu merasa harus memanfaatkan setiap kesempatan yang mereka punya untuk bertukar cerita.

"Yah, sejujurnya, tempat itu agak membosankan. Terlalu banyak orang-orang tua dan anak-anak kecil. Kalau di situ terus, bisa-bisa aku lupa caranya menikmati masa muda." Oliver terkekeh. "Bagaimana denganmu? Kuharap kau betul-betul bekerja, dan bukannya terus-terusan memandangi wajah Lord Beverley."

"Jangan ngawur!" Sontak Amy memukul punggung Oliver keras-keras, hingga pemuda itu terhuyung-huyung. "Untuk apa aku melakukannya?"

"Yah, ia masih muda, bukan? Dan kaya raya, tentunya. Aku belum pernah bertemu dengannya, tetapi kurasa dengan uang sebanyak itu ia bisa membuat dirinya terlihat tampan di mata sebagian besar wanita. Entah kau termasuk atau tidak, Amy, tetapi kalau kau masih Amy yang kukenal selama ini, kurasa tidak, kan?" Oliver menyeringai usil. "Atau, jangan-jangan akhirnya kau tumbuh dewasa juga?"

"Bukan seperti itu, astaga!" pekik Amy salah tingkah. Gadis itu berjalan berputar-putar mengelilingi Oliver, pipinya yang berbintik-bintik kini bersemu merah. "Mari bersikap realistis. Pertama, Lord Beverley seorang bangsawan. Itu saja harusnya sudah jadi bendera merah bagi rakyat jelata macam kita ini. Kedua, lelaki itu agaknya tak pernah memikirkan apa pun selain reaksi kimia dan perkembangan-perkembangan sains terbaru. Ketiga, mungkin ini karena ia jenius, tetapi menurutku Lord Beverley agak, um, aneh. Entahlah, aku takut padanya."

"Aneh? Apa maksudmu? Amy, lelaki itu tidak mengapa-apakanmu, kan?" Oliver mengerutkan dahi. Kekhawatiran tersirat di wajahnya. Pemuda itu berhenti berjalan, lalu menatap sahabatnya lekat-lekat.

"Tidak, tidak, bukan seperti itu." Amy mendorong bagian tengah kacamatanya dengan gugup. "Lupakan saja, Oliver. Aku tidak tahu. Mungkin hanya perasaanku saja."

"Amy, jangan membuatku khawatir. Tidak biasanya kau begini risau," tutur Oliver serius. Diajaknya Amy duduk di bangku terdekat. "Sesuatu telah terjadi, bukan?"

Rumor penculik anak-anak di pasar. Suara-suara aneh yang tak jelas asal-usulnya. Kematian tragis pelayan yang dahulu bekerja di Emerald Hall. Peraturan-peraturan ganjil Lord Beverley. Hal-hal itu berputar-putar dalam pikiran Amy. Kala malam tiba, kerap kali ia memimpikan kegelapan merayapi lorong-lorong kecil nan kumuh yang bertebaran di sela-sela ingar bingar East Avenue. Bahkan sekarang, kala ia berada di jalan yang familier, bersama seseorang yang sangat ia kenal, perasaan itu tidak kunjung lenyap. Mungkinkah kesendirian telah membuatnya paranoid?

"Minggu lalu, seorang anak hilang. Ibunya sangat panik. Kudengar semua orang di pasar mencarinya, tetapi anak itu masih belum ketemu juga." Hati-hati Amy mulai bercerita. "Lalu, suatu malam, Lord Beverley dan aku sama-sama mendengar suara-suara aneh di luar rumah. Lord Beverley keluar untuk memeriksa, tetapi tidak menemukan apa-apa. Namun, aku merasa ia tahu lebih daripada apa yang ia bicarakan. Aku tahu kedua kejadian yang kusebutkan ini kemungkinan besar tidak saling berkaitan, tetapi, yah, tidak enak rasanya membayangkan ada penjahat di sekitar sini."

"Anak hilang? Aneh, kau mengingatkanku bahwa kemarin aku mendengar kabar yang mirip. Kemarin sore aku mengunjungi St. Peter, sekadar ingin tahu bagaimana keadaan panti sekarang. Para pengasuh sedang kebingungan sekali. Kau ingat Si Kecil Louie? Ia menghilang semalaman, lalu pulang ke panti sambil menangis. Lutut dan lengannya penuh luka. Ia bilang ia tersesat, lalu ada hantu yang mau menangkapnya, tetapi ia berhasil kabur dan bersembunyi. Ia tidak mau dibujuk oleh siapa pun, dan ia enggan keluar kamar meski para pengasuh sudah mengiming-iminginya dengan permen dan mainan." Oliver mengusap-usap dagu.

"Ia di luar semalaman? Pasti menakutkan. Anak sekecil itu ...," sahut Amy lirih. Kakinya bergerak membentuk lingkaran-lingkaran di atas trotoar berbatu. Ia sudah menganggap anak-anak kecil di St. Peter sebagai adik-adiknya sendiri. Bahkan jalanan yang gelap masih menakutkan baginya, padahal ia sudah dewasa. Bagaimana takutnya anak yang masih berusia enam tahun, tersesat sendirian di tempat yang asing? Amy bersyukur Si Kecil Louie pulang dengan selamat.

"Kurasa sebaiknya kita berhati-hati, hanya untuk jaga-jaga." Oliver menggeser tubuhnya mendekati Amy, lalu menepuk-nepuk pundak gadis itu. "Tidak usah terlalu khawatir, Amy. Paling-paling hanya seorang berandal pemabuk, dan, bila ia tidak keduluan ditangkap polisi, sebentar lagi kita akan melihatnya dipukuli orang karena sudah mencari gara-gara dengan orang-orang yang salah. Pengacau-pengacau seperti itu tidak pernah bertahan lama."

"Semoga saja benar. Aku mengkhawatirkan anak-anak St. Peter." Amy menghela napas panjang.

"Aku juga berharap begitu, Amy. Ayo, kita kembali berjalan. Sebentar lagi kita akan melewatkan pertunjukannya."

Amy mengangguk. Dalam diam gadis itu berjalan di samping Oliver. Bahkan kala ia berusaha keras memusatkan perhatian pada pertunjukan teater di hadapannya, berulang kali gadis itu mendapati pikirannya melayang. Seolah-olah ada suara kecil dalam hatinya, menggedor-gedor, menuntut untuk diperhatikan.

Mau sampai kapan kau memalingkan wajah dari kenyataan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top