❣IL 4❣
Lala
Ka, lo masih di rumah ato udah otw klinik? Gue kangen nih. Masih sempet nongki pagi gak? Ato ntar kita lunch bareng?
07.20
Sori, tadi aku di jalan.
Makan siang aja, ya, La.
Jam 12 aku tunggu di klinik.
07.55
Asoka memasukkan gawai ke tas kerja, setelah membalas pesan Ilalang. Diliriknya lagi kaca spion dalam mobil untuk melanjutkan memoles lipstik dengan cepat. Ia tak sempat berias lengkap, yang penting tidak terlihat pucat. Rambutnya pun tidak sempat digelung rapi, hanya ia jepit ke atas.
Tidak biasanya Asoka datang lima menit sebelum klinik buka. Bukan karena ia bangun kesiangan. Sedari kecil Asoka sudah terbiasa bangun sebelum jam 5 pagi. Terlebih setelah menikah dengan Naga, pukul enam ia mengharuskan diri untuk sudah menyiapkan sarapan di meja makan.
Bagi Asoka, sarapan lebih wajib hukumnya ketimbang membawa buku ke sekolah. Kalau lupa bawa buku, ia masih bisa mengingat pelajaran dengan baik. Tetapi kalau tidak sarapan, bisa-bisa dia pingsan dan tak ada satu pun materi yang tersangkut.
"Pagi, Bu Asoka." Randu—asisten Asoka—sedang menata buku di lemari saat Asoka masuk ke ruang praktek.
Asoka meletakkan tas di nakas kecil samping lemari buku. "Hari ini ada janji dengan siapa saja, Mbak?"
Gerakan tangan Randu terhenti, ia mencoba mengingat jadwal Asoka hari ini yang tadi sempat dibacanya sekilas. "Bu Kusumo janji temu jam sembilan. Lalu Pak Anwar tadi pagi konfirmasi lewat telepon kalau baru bisa ke sini sore, sekitar jam tigaan."
Asoka membuka file di komputer, mencari data-data kliennya. "Hasil tes Damar, anaknya Bu Kusumo, sudah jadi 'kan, Ran?" Asoka selalu mengecek kelengkapan data kliennya sebelum sesi konseling dimulai. Ia butuh data konkrit dan hasil tes akurat agar terapi yang ia berikan pun tepat sasaran.
"Sudah, Bu. Soft copy-nya___"
"Bukan," potong Asoka cepat. "Sudah kamu cetak? Belum ada di meja saya, lho."
Randu membelalakkan mata. "Astaga! Saya lupa, Bu." Randu terlihat panik. "Duh, padahal sudah saya catat, lho. Gara-gara Bu Cempaka kemarin ini sih, Bu. Bikin buyar semua."
Asoka geleng-geleng sambil mengembuskan napas panjang. "Sana kamu cetak dulu." Tak biasanya Randu bersikap ceroboh. Gadis duapuluh lima tahun itu selalu bekerja secara terstruktur. Semua tercatat rapi dalam agendanya. Hal itulah yang membuat Asoka cocok dengan Randu.
Randu menghentikan langkah tepat di depan pintu. "Bu, memangnya Bu Asoka bakal membiarkan hak asuh Elang jatuh ke tangan nenek lampir itu?"
Asoka mengangkat wajahnya. Mau tak mau ia tersenyum geli mendengar julukan yang disematkan Randu pada Cempaka. "Menurutmu bagaimana, Ran?"
"Duh, mending jangan, Bu. Itu perempuan nggak beres." Randu bergidik membayangkan suara cempreng tiga oktaf yang membuat geger klinik, hanya karena Asoka belum mengeluarkan surat rekomendasi untuk hak asuh Elang.
Mengingat kelakuan Cempaka membuat Asoka berpikir ulang dalam mengambil keputusan. "Sudah sana kamu cetak dulu, keburu Bu Kusumo datang."
Asoka masih mendengar gerutuan Randu tentang Cempaka hingga gadis itu berbelok ke ruang arsip. Seandainya Randu tahu kalau tadi pagi hal serupa terjadi di ruang makan Asoka, tentu ia akan dengan senang hati menyumpahi Yasmine selama seribu satu malam.
Bagaimana tidak, Asoka baru menata lauk di meja, tiba-tiba Yasmine datang sambil berkacak pinggang. Lalu dengan lengkingan—yang mampu membangunkan orang sekampung—Yasmine mengata-ngatai Asoka, ditambah dengan acungan jari telunjuk ke muka Asoka.
"Mbak Asoka jangan maunya menang sendiri bisa nggak?" tuduh Yasmine yang membuat Semanggi mematung di sebelah Asoka. Sedangkan Kembang memilih cari aman dengan balik badan kembali ke dapur.
Asoka mengembuskan napas panjang. "Bisa jelaskan maksud dari aku mau menang sendiri yang bagaimana?" Diletakkannya serbet. Tanpa gentar Asoka menatap langsung ke lawan bicaranya sembari melipat kedua tangan di depan dada.
"Apa namanya kalau bukan menang sendiri? Semalam Mbak nggak ngijinin Mas Naga ke kamarku, kan? Terusin aja, Mbak! Kekep sendiri Mas Naganya. Memang Mbak nggak pernah mikirin aku sama Leon." Yasmine mulai melantur.
Naga yang mendengar keributan di bawah pun segera menghampiri kedua istrinya. "Ada apa ini kok dari atas kedengeran rame banget? Kirain rumah kita pindah ke Pasar Rebo."
Asoka mengerling ke arah Naga seolah berkata, "Apa kubilang."
"Papa nggak usah ikut campur, deh. Aku cuma minta diperlakukan adil sama Mbak Asoka. Istri Papa itu kan nggak cuma Mbak Asoka, tapi kenapa tiap malam Papa sama dia terus? Terus buat apa aku ada di sini? Cuma untuk ngurusin Leon?"
Asoka membelalakkan mata sambil pura-pura terkejut. Sekali-kali dia ingin beradu akting juga dengan Yasmine. "Aku tidak adil? Astaga!" Lucu juga melihat reaksi Yasmine yang semakin mendidih.
Sebenarnya Asoka ingin tertawa mendengar ucapan Yasmine. Mengurus Leon? Padahal dari pagi hingga pagi, dari ujung rambut sampai kaki, semua kebutuhan Leon sudah dirampungi Kembang. Sedangkan Yasmine kalau tidak ke salon, ke mall, ke rumah orang tuanya atau paling sering mengekor Naga ke kantor.
"Ya ampun, Yas, aku tidak ada maksud seperti itu. Kamu nuduh seolah aku ini istri pertama yang kejam," lanjut Asoka.
Naga tersenyum dikulum melihat kelakuan Asoka. "Ini teriak-teriaknya masih mau dilanjut tidak? Gimana kalau sambil duduk, biar tidak capek." Naga merangkul bahu Yasmine, membimbing ke kursi keluarga sembari mengode Asoka untuk meninggalkan mereka.
"Papa nggak usah bujuk aku!" Yasmine mengerucutkan bibir. Mulutnya berkata tidak, tapi kepalanya bersender ke bahu Naga.
Asoka terkekeh pelan sambil geleng-geleng melihat kemesraan mereka. Ia menyuruh Semanggi untuk mengambil sayur yang masih ada di dapur, lalu melanjutkan membereskan meja makan.
"Papa tidak membujuk. Papa cuma mau minta maaf sama Mama. Semalam Papa salah sudah ketiduran di kamar Asoka. Mungkin karena Papa tidur terlalu pulas sampai tidak sadar waktu dibangunkan Asoka." Naga berusaha memberi penjelasan sambil menggenggam tangan Yasmine.
"Papa belain Mbak Asoka lagi? Kenapa sih, aku yang selalu salah di sini? Sebenernya Papa sayang sama aku apa enggak?"
Melihat situasi, sepertinya butuh waktu lama bagi Naga untuk membujuk Yasmine. Asoka memutuskan untuk bersiap ke klinik, daripada terlambat.
Terkadang Asoka lelah dengan pertengkaran mereka. Pernah suatu waktu dia meminta pada Naga untuk dicarikan rumah yang cukup dekat dengan tempat tinggalnya sekarang. Namun, Naga tidak setuju. Kalau pun harus ada yang pindah, tentu bukan Asoka.
Tanpa bertanya pun Asoka sudah tahu, Yasmine tidak akan mau meninggalkan rumah utama. Lagi-lagi daripada ribut, Asoka mengubur keinginannya. Dan ia harus menerima segala keunikan istri kedua Naga.
"Bu," panggilan Randu di depan pintu membuyarkan lamunan Asoka. "Bu Kusumo sudah datang. Disuruh nunggu dulu atau gimana, Bu?"
Asoka merapikan letak buku-buku di mejanya. "Suruh langsung masuk, ya, Ran. Sekalian minta tolong Pak Joko buatkan minuman."
Sudah hampir tiga tahun Asoka bersama dua rekan psikolog-nya membuka klinik psikologi terapan, konseling dan psikoterapi. Asoka khusus menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan anak dan segala permasalahan tumbuh kembang. Sedangkan Kenanga—seniornya di program pasca sarjana—berkonsentrasi di bidang pendidikan. Saat ini mereka sedang mengembangkan sayap di sektor psikologi industri yang dibawahi oleh Ganesha.
Dibilang sengaja, Asoka memang butuh kesibukan guna mengalihkan pikirannya yang ruwet setelah Naga menikah lagi. Namun, memiliki klinik konseling pun salah satu target yang sudah ia patok sejak awal kuliah.
Jadi, sewaktu Kenanga dan Ganesha menawarinya bekerja sama, Asoka langsung menyanggupi. Selain itu, berhadapan dengan klien yang mayoritas anak-anak, membuat Asoka terhibur. Jika ia tidak bisa merawat dan mengamati tumbuh kembang darah dagingnya, Asoka masih bisa melakukannya di klinik.
"Jadi, anak saya tidak perlu minum obat ya, Bu?" tanya Bu Kusumo di tengah sesi konseling.
"Selama emosinya masih terkontrol dan stabil seperti saat ini, saya rasa Damar cukup menjalani psikoterapi saja, Bu." Asoka memperhatikan bocah tujuh tahun yang sedang membolak-balik komik. "Seperti yang saya katakan tadi, keluargalah—khususnya Ibu dan Bapak—yang menjadi kunci utama kesembuhan Damar. Selalu komunikasikan apa pun dengan Bapak, buat peraturan yang tegas dan sesuaikan dengan kemampuan Damar. Serta jangan lupa untuk selalu konsekuen dalam menjalaninya."
Asoka membukakan pintu untuk Kusumo dan Damar setelah sesi konseling selesai, sembari berbasa-basi ringan. Sekali konseling, Asoka biasanya memberi waktu minimal satu jam. Namun, ada pula yang sampai berjam-jam. Seperti kasus Damar, tak terasa dua lebih terlewati.
"Ran, saya ke kamar mandi dulu sebentar." Asoka butuh membasuh wajahnya agar segar.
Baru saja Asoka selesai cuci muka, bahkan air masih belum sepenuhnya kering, seseorang mengetuk pintu kamar mandi. Asoka mengerutkan kening, menajamkan telinga demi mendengar keributan di luar.
"Bu!" Terdengar suara panik Randu.
Asoka bergegas membuka pintu. "Kenapa, Ran?"
Randu menunjuk area ruang tunggu. "Bu Cempaka barusan datang sambil marah-marah lagi, Bu."
"Saya kira ada apa." Dengan tenang Asoka berjalan menuju ruangnya. "Suruh tunggu dulu. Seperempat jam lagi baru kamu suruh masuk."
Setelah mengiyakan perintah atasannya, Randu menggegas langkah sebelum Cempaka bertambah emosi.
Asoka mengeluarkan peralatan rias dari dalam tas, lalu memoles dengan cepat. Tak sampai lima menit Asoka sudah selesai berdandan. Masih ada sisa waktu untuknya menyeduh kopi demi mewaraskan diri sebelum menghadapi Cempaka.
Asoka baru saja duduk sambil membawa secangkir kopi panas, Cempaka sudah merangsek ke ruangannya. Asoka sempat menaikkan sebelah alis saat melihat penampilan Cempaka.
Short pants sejengkal di atas lutut, dipadankan tube top berwarna hitam dan blazer merah menyala, ditambah high heels setinggi lima belas sentimeter, cukup membuat Asoka terheran-heran. Mungkin dia yang terlalu udik hingga tidal menerti tren berpakaian saat ini.
"Bu Asoka, sebenarnya Ibu bisa menangani kasus saya atau tidak? Sudah lima hari masih belum ada hasilnya. Saya butuh suratnya untuk kelengkapan berkas di pengadilan. Pengacara saya butuh secepatnya!" cecar Cempaka tanpa basa-basi. Bahkan ia masih dalam posisi berdiri.
Asoka meletakkan cangkir kopi yang belum sempat ia sentuh. "Silakan duduk dulu, Bu." Asoka mengode Randu, yang masih terpaku di ujung pintu, untuk meninggalkan mereka.
"Jadi, maksud dari kedatangan Bu Cempaka adalah untuk meminta saya segera mengeluarkan surat rekomendasi. Benar begitu?" ucap Asoka setelah kliennya duduk tenang.
"Dari kemarin saya sudah minta, tapi Bu Asoka kebanyakan alasan."
Asoka memicingkan mata sejenak sembari menghela napas panjang. Dalam sehari menghadapi dua wanita emosional cukup menguras tenaganya.
"Benar." Asoka tersenyum. "Dan seingat saya, kemarin saya meminta untuk dipertemukan terlebih dahulu dengan Elang."
"Tapi pengacara saya butuh cepat!" bentak Cempaka sambil menggebrak meja. "Lagian buat apa ketemu Elang? Anak saya masih 10 tahun, memangnya mau diapain? Kan dulu saya sudah pernah cerita kondisinya setelah tinggal sama papanya."
Sabar, Asoka. Sabar. Rapalnya terus-menerus. "Maaf, tapi saat ini saya tetap belum bisa mengeluarkan surat yang Ibu minta." Asoka memberi jeda. "Jika Bu Cempaka berkenan, saya bisa bantu untuk mengkomunikasikan permasalahan ini dengan pengacara Ibu."
"Terserah Bu Asoka saja. Saya maunya semua beres. Saya bisa bayar berapa pun asal tidak ribet." Cempaka mencari kartu nama di dalam dompetnya. "Saya capek kalau harus wira-wiri ke sini."
Tarikan napas kedua. "Jika ada yang ingin ditanyakan, Bu Cempaka bisa menghubungi nomor telepon kami."
Cempaka mengangsurkan selembar kartu nama. "Itu pengacara saya. Kabari saya secepatnya!"
Asoka mengurut pelipisnya sembari memejamkan mata setelah Cempaka meninggalkan ruangannya. Melihat perilaku dan sifat Cempaka, Asoka tak heran jika Elang pun memiliki gangguan emosi. Dia jadi penasaran dengan dengan Lembu—calon mantan suami Cempaka.
Jika seluruh aduan Cempaka mengenai Lembu benar, maka betapa parahnya kepribadian laki-laki itu. Namun, Asoka tidak mau mengambil kesimpulan terlalu dini. Ia pun harus bertemu dengan Lembu. Asoka harus menjadi pihak yang netral, sehingga ia perlu mengumpulkan informasi dari kedua belah pihak.
Asoka mengambil kartu nama milik pengacara Cempaka. Sederhana tapi elegan. Berwarna hitam putih dengan logo salah satu kantor advokat terkemuka di daerah Kuningan.
Asoka berencana menghubungi pengacara Cempaka nanti setelah jam makan siang. Ia tidak mau terus-terusan diteror oleh Cempaka. Lebih cepat diselesaikan lebih baik.
Asoka mematung saat netranya menatap tulisan yang tertera di kartu nama. Berkali-kali diulangnya, berharap ia salah.
Giraffa Camelio Pardalis, S.H., LL.M.
***
Part 4 udah aku up ya, Gais ....
Jangan lupa vote dan koment ....
Terima kasih ....
😘😘😘
Solo, 28 November 2020
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top