Bagian dua puluh enam

Pra-Move On!

Beberapa bulan setelah wisuda.

Proposal, seminar, sidang sarjana dan wisuda.

Tahapan akhir yang melelahkan dan tentunya benar-benar menguras energi, otak dan hati. Mungkin bukan hanya Difan yang mengalami hal ini. Namun semua mahasiswa semester akhir pun mengalaminya. Tapi beruntungnya ia bisa melaluinya dengan cara bertahap. Meski sempat terkendala dengan beberapa hal.

Wisudanya dibilang lancar juga tidak. Ia bahkan sempat melalui proses di mana saat proposalnya mengalami penolakkan. Dan sidangnya pun selalu terkendala dengan kesibukan-kesibukan dosen pembimbingnya.

"Fan, sholat di rumah? Udah adzan kok belum berangkat ke masjid," tanya Ibu Tia dengan kepala melongok di depan pintu dapur yang langsung terhubung dengan ruang keluarga.

Difan yang tengah menonton televisi menggeleng. Hari ini ia menyempatkan untuk izin pulang lebih awal karena ada sesuatu yang ingin ia bicarakan dengan orang rumah.

"Mau berjamaah gak? Si Dina bentar lagi juga pulang," ujar Ibu Tia.

"Boleh," ujar Difan dengan senyum simpul. Ibunya ikut tersenyum.

Wanita paruh baya itu kemudian kembali masuk ke dalam dapur, berniat untuk mengambil wudhu terlebih dahulu.

***

"Bang Difan, tumben pulang cepet," ujar Dina. Gadis itu menghempaskan bokongnya di samping sang ibu. Gadis yang kini telah memasuki semester awal tahun perkuliahan itu tampak sedikit lesu, kentara sekali dari matanya yang sayu dan tubuh lemasnya yang terhempas di sofa.

"Pengen aja, Din," kekeh pria yang kini di bawah hidungnya terdapat kumis tipis yang tambah membuatnya terlihat berwibawa.

Sudah lama rasanya setelah Difan mulai bekerja mereka tidak kumpul seperti ini. Difan akhir-akhir ini sibuk. Banyak proyek yang ia kerjakan dan banyak menguras waktu kumpul keluarga bahkan istirahatnya. Hari ini saja jika ia tidak izin dari atasannya, mungkin ia tidak akan bisa meluangkan waktu hanya untuk mengutarakan maksud baik yang sudah tertimbun di otakknya beberapa bulan belakangan ini.

"Yah ... gak boleh emang?" Ia balik bertanya, menatap Dina dengan tatapan jahilnya.

"Ya boleh sih. Tapi kan tumben banget. Biasanya kerja lembur bagai kuda terus," kekeh Dina yang membuat wanita paruh baya di sampingnya ikut tersenyum.

"Mau ngomongin apa, Fan? Tumben banget. Biasanya kalo gak penting-penting amat, kamu nelepon caranya," ujar Ibu Tia mengalihkan topik pembicaraan kedua anaknya.

Dina yang sebelumnya tak tahu kenapa kakak laki-lakinya pulang cepat itu, kini membuat kedua alisnya semakin bertaut.

Sebelum berbicara, Difan berdeham pelan. Mengatur posisi tubuhnya agar lebih nyaman dan sedikit mengarah langsung ke hadapan ibunya. Raut wajah serius Difan, entah mengapa membuat ibu Tia menjadi sedikit gelisah di tempat duduknya. Takut-takut anak bujangnya membawa berita yang kurang baik. Seperti telah menghamili anak orang mungkin.

"Bu ... santai aja. Jangan mikir yang nggak-nggak dulu." Difan terkekeh saat melihat ekspresi wajah ibunya yang tiba-tiba cemas.

"Aih, kamu ini emang bener-bener ya," ujar wanita paruh baya berdaster lusuh itu seraya melempari Difan dengan kulit kacang yang barusan Dina kupas.

"Ehehe ... iya iya. Pemanasan dulu. Jangan tegang-tegang. Difan manusia baik-baik kok," kekeh pria berkemeja itu. "Eem ... begini, Bu. Difan punya maksud baik," mulainya. Wajahnya kini terlihat kembali serius.

Ibu Tia mengangguk, menyimak kelanjutan ucapan Difan. Sementara gadis sembila belas tahun di sampingnya kini mulai acuh dengan pembicaraan dua orang dewasa itu.

"Difan mau minta restu, Ibu. Karena ini niatan Difan dari beberapa bulan lalu, dan sudah Difan konsultasikan dengan Allah. Dan insyaAllah Difan sudah temukan jawaban yang cocok." Difan bengkit dari duduknya dan melangkah menuju sofa tempat ibunya dan Dina duduk. Ia menggerser tubuh adik sematawayangnya itu, kemudian mengambil posisi di samping sang ibu.

Di tempatnya, dua wanita itu semakin memperlihatkan ekspresi bertanya-tanya. Pernyataan Difan tadi sangat berbelit dan sulit dicerna apa maksud sebenarnya.

Difan meraih tangan wanita paruh baya di depannya. "Boleh kan, Difan pinang Mentari sebagai menantu dan calon ibu buat anak-anak Difan nanti?" tanyanya yang sontak membuat dua wanita itu kaget.

Difan sudah menduga kalau reaksi ibunya akan seperti ini. Maka respon yang Difan berikan hanyalah senyum teduhnya. Meski jauh di dalam hatinya saat ini ia benar-benar gugup setengah mati. Takut-takut kalau ibunya menolak niatnya ini.

Tapi tanpa diduga-duga, wanita yang tangannya masih di genggaman Difan itu malah tersenyum kalem kemudian mengangguk yakin.

"Pergilah, Nak. Jika memang itu keputusan dari hasil istikharahmu. Ibu gak bisa berbuat apa-apa selain merestuimu," ujar wanita itu seraya mengusap tangan Difan dengan tangannya yang bebas.

Alhamdulillah...

***

Difan menaiki satu persatu anak tangga yang akan menghubungkannya dengan teras rumah bergaya minimalis di depannya. Rumah itu terlihat sedikit lebih sepi dari biasanya. Sampai di depan pintu utama, telapak tangannya terasa mulai mengeluarkan keringat dingin. Difan gugup.

Diketuknya pintu kayu yang terbuat dari kayu mahoni itu dengan pelan seraya mengucap salam. "Assalamualaikum."

Selang beberapa saat kemudian, suara kunci diputar terdengar. Pintu pun terbuka dan menampilkan wajah ayu seorang wanita paruh baya bergamis lebar.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawabnya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. "Eh, Nak Difan. Ayo masuk dulu," ujar wanita itu mempersilakan Difan untuk masuk dengan ramah.

Difan mengangguk patuh seraya melangkah mengikuti wanita paruh baya itu. Ibu Fatma namanya. Wanita anggun yang melahirkan Mentari itu kemudian menyuruh Difan untuk duduk pada sebuah sofa panjang di ruang tamu.

"Saya panggil abinya Mentari dulu ya, Nak Difan," ujar wanita itu. Ia berbalik menuju ruangan di samping ruang tamu setelah Difan mengangguk mempersilakan.

Difan menunggu dengan perasaan campur aduk. Ia gugup sekaligus kehilangan kepercayaan diri. Padahal sebelum berangkat ke sini tadi, perasaannya masih tenang dan sedang dalam mode pede luar biasa. Tapi sekarang, entah mengapa ia menjadi terlihat cupu seperti ini. Rasanya bukan dirinya banget. Karena pada dasarnya, Difan sadar diri bahwa dia adalah manusia paling tidak tahu malu dan ter-nyeleneh sepanjang abad. Ya begitulah dia. Tapi kenapa sekarang dia berubah seolah menjadi manusia paling kalem?

"Eh, Fan," panggil suara berat yang tiba-tiba muncul di pintu ruang tamu itu.

Difan menoleh dan mendapati Pak Henis, ayah Mentari. Pria yang masih mengenakan kemeja biru tua yang digulung sebatas siku itu pun berdiri kemudian menyalami pria paruh baya itu.

"Assalamualaikum, Om. Apa kabar?" sapa Difan.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Alhamdulillah sehat walafiat, Fan," ujar Pak Henis, kemudian kembali mempersilakan Difan untuk duduk. Sementara dirinya duduk pada sofa single di hadapan Difan. "Tumben main, Fan. Lagi luang ya?"

Difan tersenyum kalem seraya menganggukkan kepalnya, pelan. "Iya, Om. Tadi izin sebentar," ujar Difan.

"Ibu kamu apa kabar? Kemarin Mentari main ke toko, tapi yang jaga cuma karyawannya aja. Dia sehat kan?" tanya Pak Henis.

"Alhamdulillah sehat, Om. Cuma ibu beberapa hari ini milih di rumah aja. Istirahat sama mantau Dina," jawab Difan seadanya. Pria di depannya pun mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.

"Eh, iya. Kamu mau ketemu Mentari ya, Fan? Dia barusan keluar sebentar," kata Pak Henis tiba-tiba.

Di tempatnya, Difan sedikit tertegun. Padahal ia belum mengutarakan maksud kedatangannya, tapi Abinya Mentari  itu seolah bisa mendebak maksud kedatangan Difan. Membuat Difan yang awalnya memang sudah deg-degan, semakin diguncang rasa tegang. Ia kemudian berdeham, mengatur mimik wajah yang awalnya sedikit pias menjadi raut super tenang. Sebelumnya, ia berayukur Mentari tidak di rumah. Setidaknya, ia bisa mengutarakan maksud kedatangannya dengan lebih leluasa.

"Sebenarnya begini, Om. Difan ke sini mau-"

Kedatangan ibu Mentari dengan nampan berisi secangkir kopi menghentikan ucapan Difan. Pria itu tersenyum ramah saat wanita paruh baya di depannya mempersilakan dirinya untuk meminum kopinya terlebih dahulu.

"Terimakasih, Tante," ujar Difan seraya menyeruput kopi hitamnya.

Wanita yang memilih duduk di sofa terpisah dengan suaminya mengangguk seraya tersenyum. Senang rasanya anak tetangganya ini mau mampir ke rumah mereka.

"Tadi mau ngomong apa, Fan?" Pak Henis bersuara kembali. Wajah kebapakannya membuat Difan merasa sedikit tenang.

"Difan sebenarnya ke sini mau mengutarakan niat baik Difan, Om," ujar Difan sedikit gugup. Dua orang tua di depannya menyimak. "Bolehkan, saya melamar anak Om dan Tante?"

Seketika, raut wajah Pak Henis dan Ibu Fatma berubah. Mereka sama-sama mengerutkan keningnya, namun tidak terlihat terkejut sama sekali. Malahan, beberapa saat kemudian, mereka terlihat menahan senyuman. Bagaimana tidak, pria itu terlihat begitu spontan dan penuh percaya diri saat mengucapkan apa yang mereka duga sebelumnya.

Allahu akbar ... allahu akbar...

Suara adzan asar mengintrupsi mereka. Pak Henis kemudian bangkit dari duduknya sebelum pembicaraan mereka sampai pada titik yang bisa membuat Difan merasa lega.

"Sholat dulu yuk, Fan," ajaknya.

Difan yang masih duduk dengan gugup di tempatnya mendongak. Perasaan gugup yang sempat menyerangnya tadi menguar seketika ketika melihat senyum teduh Pak Henis. Difan pun ikut bangkit dan melangkah berjalan di belakang pria itu.

"Difan imam ya?" ujar Pak Henis setelah mereka selesai berwudhu dan sampai pada mushola kecil di rumah itu dengan tiba-tiba.

Difan yang tengah menurunkan lipatan bawah celananya terdiam dalam posisi jongkok, mendongak menatap Pak Henis yang berdiri di depannya. Tanpa diduga-duga, entah ada dorongan dari mana kepalanya mengangguk. Namun wajahnya masih terlihat bingung dan polos. Dan hal itu membuat Pak Henis serta Ibu Fatma yang sudah siap dengan mukenanya terkekeh.

Dengan segera, Difan berdiri dan mengambil tempat di depan Pak Henis dan Ibu Fatma. Setelah pria paruh baya di belakangnya selesai iqamah, barulah mereka mulai mengerjakan sholat wajib yang diimami oleh Radifan Mahesa.

*

"Fan, minggu depan balik ke sini lagi, ya. Bawa orangtua kamu juga," ujar pria paruh baya yang masih duduk bersila di hadapan Difan itu.

Setelah melaksanakan sholat asar berjamaah yang dilanjutkan dengan dzikir dan do'a, mereka tidak langsung bangkit dari duduk mereka. Saat ini Difan menatap dengan penuh tanda tanya pada pria di depannya. Keningnya terlihat berkerut, mencerna apa maksud dari perkataan abinya Mentari itu.

Di belakang Pak Henis, Ibu Fatma tersenyum penuh arti. Ekspresi mereka terlihat berbeda dari sebelumnya. Kini, wanita itu menatap Difan penuh harap.

"Maksud Om, lamaran nekat kamu di terima, Fan," ujar Ibu Fatma yang seketika membuat Difan membelalakkan matanya.

Ia mencerna ulang ucapan kedua orangtua di depannya. Mengaitkannya hingga sampai pada kesimpulan akhir. Difan tak percaya.

"Mak ... sudnya lamaran saya beneran diterima, Om?" tanya Difan dengan terbata.

Pria yang awalnya menatap ragu ke arah Difan beberapa saat lalu itu kini mengangguk mengiakan. Ia melihat dari mata Difan kalau pria itu benar-benar besungguh-sungguh.

"Alhamdulillah," ujar Difan kemudian sujud syukur di hadapan kedua orang tua Mentari.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top