HEY CRUSH || 32

Assalamualaykum bestie...

Di sarankan buat baca ulang bab 30 dan 31 ya biar nggak lupa alur ^^

***

Shabira berjalan di apit oleh Chealse dan juga Karina saat mereka menuju ke kantin. Gadis berparas elok itu berjalan selagi tangan sibuk memasukan kancing demi kancing cardigannya agar tertutup sempurna.

Kondisi Shabira belum membaik, bahkan dia merasa semakin pening sementara badannya lemas. Tetapi, dia tetap memaksakan pergi ke kantin karena tidak ingin kedua temannya khawatir dan membawanya untuk beristirahat di unit kesehatan.

Bukannya tidak ingin merebahkan diri dan beristirahat, tetapi rasanya Shabira lebih baik diam di kelas saja atau bergabung di kantin. Karena dia yakin, di tinggal sendirian di ruang kesehatan malah memperburuk keadaannya, bukan hal mustahil jika Shabira akan menangis kembali mengingat Ezio.

Alih-alih beristirahat, dia justru akan memperparah keadaan. Itulah alasannya dia ingin terlihat sehat dan diam di kelas. Memerhatikan guru dan sesekali berbicara dengan temannya membuat Shabira lupa dengan sakit badan, dan sakit hatinya tentu saja.

"Ini kantin lagin renovasi apa? Kok, berantakan banget? Mana nggak di tutup lagi."

Shabira ikut memerhatikan sekeliling, dan benar saja sebagian bangunan kantin sedang di robohkan. Kantin mereka memang bangunan lama dan sudah terlihat kotor, wajar jika pihak sekolah merenovasinya.

"Elah, ngapain buka sih kalau lagi renov? Banyak debu gini," gerutu Karina.

"Ya kalau tutup, nanti kita makan apa maemunah," decak Chealse. "Lagian kan, sebelah kiri yang lagi renov, kita bisa melipir ke kantin pojok sana aja," usulnya.

"Sebenernya gue males, banyak kakak kelas kalau di sana," keluh Karina. Sama hal nya dengan Shabira dan Chealse, mereka juga sebenarnya kurang nyaman jika berada di dalam lingkungan kakak kelas.

Tidak ada peraturan khusus sebenarnya, adik kelas harus di kantin A sementara kakak kelas di kantin B. Hanya saja karena sudah terbiasa mempunyai tempat nongkrong masing-masing, jadilah secara tidak langsung pengklaiman tempat itu terjadi.

"Kita beli makanan ringan aja kalau gitu, terus balik kelas," usul Shabira yang di angguki oleh Karina juga Chealse.

Ketiganya berjalan sopan menuju kedai-kedai snake seperti baso tahu, batagor, kebab dan makanan ringan lainnya. Tapi akhirnya mereka putuskan untuk berhenti di kedai roti bakar yang juga berjualan humberger.

Suasana di kedai tersebut lumayan ramai, hanya ada satu meja tersisa itupun untuk duduk dua orang saja.

"Bir, lo duduk deh sama Chealse di sono, biar gue yang ngantri. Kasian kalau lo ikut berdiri takut lo pingsan nanti."

Shabira yang merasa lemas akhirnya mengangguk dan duduk berhadapan dengan Chealse di meja kosong tadi. Sementara Chealse ijin membuka ponsel, Shabira sendiri lebih memilih diam menikmati suasana kantin yang ramai.

"Eh lo tahu nggak, Elzio yang ketua rohis itu katanya di jodohin sama Ghufaira," ucap seseorang yang entah ada di meja mana namun suaranya cukup besar sehingga bisa Shabira dengar.

Gadis itu diam memasang telinga demi mendengarkan percakapan mereka walau sadar betul bahwa hal ini berpotensi membuat hatinya semakin nyeri.

"Hah? Lo kata siapa?" sahut sebuah suara terdengar kaget.

"Ih gosipnya udah nyebar di Group Chat gue tau, mana tadi ada foto uwu mereka juga ke sebar."

"Foto uwu gimana, kok gue nggak lihat, sih?"

"Masa? Nih, gue tadi sempet save sih abisnya gemes. Tuh, ini kayaknya Aira lagi kasih bekel ke si El gitu. Gila, gemes banget gue lihat si Aira yang malu-malu gitu."

"Anjir iya bener. Mereka cocok banget satu frame kek gini. Adem ya liatnya satu ganteng satu cantik bersinar kayak berlian."

"Emang. Kalau beneran mereka di jodohin, gue setuju banget sih. Cocok bener."

"Eh sebelum ada gosip di jodohin begini, gue malah udah nge ship mereka duluan gitu. Karena kan gue sempet beberapa kali lihat mereka jalan bareng gitu kan di sekolah."

"Ih sama dong! Kita doain deh supaya mereka beneran jodoh."

Shabira menunduk demi menyembunyikan raut wajahnya yang pasti sudah tidak enak di lihat. Ternyata, kabar perjodohan Elzio dan Ghufaira menyebar dengan pesat padahal baru kemarin mereka melakukan pertemuan keluarga.

Dan, ternyata bukan hanya dirinya dan Nadia yang berpikir bahwa Elzio memang serasi dengan Ghufaira. Melainkan beberapa orang juga berpikir demikian, atau mungkin satu sekolah juga berpikiran yang sama. Tidak ada satupun orang yang akan mencibir, tidak setuju atau bahkan menentang perjodohan itu. Elzio dan Ghufaira benar-benar seperti di ciptakan untuk satu sama lain. Sempurna.

"Bir, lo nggak apa-apa?" Chealse yang sadar dengan keterdiaman Shabira, segera menangkup tangan gadis itu. "Kita duluan ke kelas yuk?" usulnya kemudian.

"Gue nggak apa-apa, Chel. Tenang."

Chealse mendecak lantas berdiri dari duduknya sambil menarik Shabira pelan. "Ayok deh kita tunggu di kelas aja."

Bagaimana bisa Shabira mengatakan baik-baik saja sedangkan Chealse yang tidak punya punya hubungan apapun dengan Elzio, bisa merasakan sakitnya. Mendengar secara langsung bagaimana banyak orang mendukung orang yang kita cintai di jodohkan dengan perempuan lain itu, pasti sangat menyakiti hati. Dan Chealse tidak ingin Shabira semakin terperosok ke dalam lukanya.

Maka gadis itu pamit pada Karina untuk pergi duluan dan menunggu di kelas. Tak henti-hentinya Chealse menghibur Shabira sepanjang perjalanan menuju kelas mereka. Bahkan, Chealse beberapa kali menyebutkan kelebihan Shabira yang tidak di ketahui banyak orang. Walau mungkin usahanya sia-sia tapi setidaknya, Chealse ingin Shabira tahu bahwa gadis itu pun cocok dengan Elzio tanpa harus sesempurna Ghufaira.

"Lo tahu nggak, pernah ya om gue di jodohin sama orang lain padahal dia udah punya cewek. Om gue nggak nolak, dia nurut sama orang tuanya. Dia tinggalin cewek yang udah dia pacarin itu, dan lo tahu, tiba-tiba ortu nya om gue alias kake gue batalin perjodohan itu." Cerita Chealse.

Shabira tersenyum. "Oh ya? Karena apa?"

"Karena om gue nurut sama orang tuanya walau dia punya keinginan sendiri. Tapi seiring waktu berjalan, kakek gue sadar, kalau om gue nggak bahagia atas pilihan mereka. Dan akhirnya mengorbakan harga dirinya, kakek gue batalin itu perjodohan dan kasih restu om gue buat nikahin pacarnya. Happy ending banget, kan?"

Shabira mengangguk, berusaha tersenyum menyembunyikan kepalanya yang begitu pening sejak saat dia berdiri dari kedai tadi. "Beruntung banget om lo sama pacarnya, mereka bisa bersatu dan langsung nikah."

"Nah, gue juga berharap lo sama Elzio bisa begitu Bir. Siapa yang tahu kal— Bir!" Chealse kaget ketika jalan Shabira mulai tidak stabil, dan seempoyongan.

Akhirnya gadis itu memapah Shabira agar menepi dan duduk di bangku yang di sediakan setiap jarak tiga meter sekali di selesar. "Ya Allah, Bir. Lo makin pucat!"

"Kepala gue pusing banget Chel," adu Shabira akhirnya. Tak kuat lagi jika harus pura-pura baik-baik saja atau dia akan tumbang untuk waktu yang lama.

"Gue bawa lo ke uks aja, ya?" Chealse berujar sambil berjongkok membelakangi Shabira. "Ayok buru naik, gue gendong."

"Gue masih sanggup jalan Chel," tolak Shabira sambil berdiri. "Bantu papah gue aja."

"Yaudah." Chealse berdiri dan memapah Shabira, mereka memutar arah karena unit kesehatan memang tidak searah dengan kelas mereka. "Kata gue juga apa, daritadi gue udah saranin lo buat ke uks, Bir. Lo keras kepala banget sih."

"Iya maaf."

"Gue nggak akan maafin lo, kalau sampai lo kenapa-napa seudah ini. Lo paham?" Omel Chealse membuat Shabira tersenyum lemah.

Namun, senyum gadis itu lenyap ketika matanya tak sengaja melirik ke sisi taman. Pada bangku yang hendak mereka lewati. Langkah kaki Shabira berhenti, membuat Chealse ikut berhenti dengan raut heran.

"Bir, kenapa berhent—" ucapan Chealse terhenti ketika matanya menemukan apa yang Shabira perhatikan. Di sisi taman, yang terdapat bangku. Ada Elzio yang duduk bersisian dengan Ghufaira sementara satu perempuan yang lain duduk lesehan di bawah mereka.

Elzio tampak terlihat sedang memakan sandwich di sana, yang di terima dari Ghufaira. Sementara Elzio memakan kudapannya dengan kepala mengangguk-angguk, Ghufaira sendiri terlihat tenggelam dalam bacaan alqurannya sembari menatap lurus ke depan.

Suara lembut Ghufaira yang melantunkan ayat demi ayat bahkan samar terdengar sampai ke tempat Shabira dan Chealse berdiri.

Chealse sontak menoleh lagi pada Shabira, dan merasa retak hatinya melihat gadis itu sedang menahan air mata. "Bir...."

"Gue nggak kuat, Chel," aku Shabira berbalik badan dan air matanya tumpah ruah.

Sungguh pemandangan yang indah melihat Elzio yang asyik memakan bekal sementara Ghufaira memaninya dengan lantunan Al qur'an. Mereka tampak serasi seperti suami istri. Tapi, kalau boleh jujur, Shabira sakit hati saat ini. Sangat sakit. Bukan iri.

"Mau pulang?" usul Chealse. "Lo lagi sakit." Sakit yang Chelase maksud tentu saja bukan tentang demamnya saja, melainkan hatinya juga.

Shabira mengangguk. "Bisa bantu gue ke kelas?"

Chealse memeluk lengan Shabira dan mulai menemani langkah gontai itu menuju kelas. Tidak ada yang berbicara di antara mereka karena Chealse sengaja memberikan waktu pada Shabira. "Kalau sakit banget, nggak apa-apa, nangis aja Bir yang keras."

Dan tepat ketika ucapan Chealse rampung, saat itu juga dia mendengar isak pilu dari Shabira. Chealse segera menghambur memeluk sahabatnya itu erat sebagai upaya menenangkan. "Ada gue di sini, Bir. Ada gue."

"Gue nggak kuat, Chel. Gue nggak sanggup," ucap Shabira susah payah diantara nyerinya dada. Gadis itu terisak di pelukan Chealse tanpa peduli beberapa mata mulai memerhatikan mereka.

Beberapa saat waktu berlalu, Shabira mulai tenang dan Chealse segera memapahnya kembali ke kelas. Sesampainya di bangku, Shabira segera mengeluarkan ponselnya, menelepon sang ayah namun panggilan nya tak di jawab juga.

Shabira putuskan untuk menekan nomor Bundanya, selagi menunggu panggilannya terhubung, gadis itu merebahkan kepala di meja dengan mata sesekali terpejam karena pening yang begitu hebat menekan kepalanya.

"Assalamualaikum, Kak? Kenapa?" Suara lembut Bunda Khadijah akhirnya terdengar.

"Bun?"

"Iya sayang, kenapa, nak?"

"Kalau kakak pindah sekolah bisa nggak? Mau ikut Adam mondok aja," ucap Shabira getir.

"Kak, kakak kenapa?" Bunda Khadijah menyahut khawatir. "Sayang, cerita ke Bunda. Ada apa?"

Satu tetes air bening Shabira jatuh megalir dari sudut mata melewati ujung hidung di sertai isak tangis yang benar-benar menyayat hati. "Kakak nggak kuat Bun, pengen pergi," ucapnya sebelum kemudian menutup mata tak sadarkan diri.

Dan jeritan Chealse yang menyerukan nama Shabira adalah hal yang Bunda Khadijah dengar sebelum panggilan di matikan.

***

Bersambung...

Sabtu, 11 Juni 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top